Sabtu, 14 Desember 2019

Kedatangan Yesus dan Kesudahan Dunia


Minggu, 15 Desember 2019 (Advent-III)


Pendahuluan
Menurut Daniel J.Harrington SJ (1991), ahli Perjanjian Baru, waktu penulisan Injil Matius ini diperkirakan setelah tahun 70 ZB (Zaman Bersama/Masehi) di dekat Palestina. Penulis kitab Matius ini dalam karyanya ingin berusaha untuk merespons krisis yang dialami oleh Yerusalem ketika itu dengan memotret kehancuran Bait Allah. Kehancuran itu membuat pusat dan sarana bersatunya umat Yahudi mendadak tidak berfungsi dan sangat kecil kemungkinan ke depannya akan segara dibangun kembali. Orang Yahudi karenanya harus dapat menyesuaikan diri mereka dari segala keterpurukan ini. Dan, Injil Matius ini sedang menceritakan tentang situasi dari orang Yahudi, khususnya yang sudah menerima Kristus (Kristen), di dalam menghadapi situasi/suasana yang baru.
Jack Dean Kingsbury (2004) mempertajam Daniel J.Harrington SJ, di mana ia menjelaskan bahwa ada dua kelompok besar yang dihadapi oleh Yahudi Kristen di dalam Injil ini, yaitu bangsa Yahudi dan para pemimpin mereka. Tentang bagaimana mereka mengalami benturan, hal itu dapat dilihat dalam relasi Yesus dengan kedua kelompok itu. Dari prespektif Yahudi Kristen,  mereka mendukung bagaimana Yesus dapat meyakinkan dua kelompok itu untuk mau mendengarkan berita tentang Kerajaan (Surga). Dan, teks kita pada minggu ini membahas tentang salah satu aspek dari berita Injil Kerajaan (Surga) itu. Ini juga menjadi dasar kesaksian bagi semua bangsa di dalam mendapatkan kesudahan (band.Mat.24:14)

Penjelasan Nas
Sebagaimana yang telah dipaparkan di dalam Pendahuluan, Yesus sebagai representasi dari orang Yahudi Kristen sering mendapatkan tantangan dari bangsa Yahudi dan pemimpin mereka sendiri. Puncak ketegangan itu, pada Injil Matius digambarkan, Yesus mengecam keras ahli Taurat dan orang Farisi (band.Psl.23). Setelah menyampaikan kecaman-Nya itu di dalam Bait Allah, Yesus lalu keluar dari sana dan menunjuk bangunan Bait Allah serta memberitahukan pada para murid-Nya kalau Bait Allah itu akan runtuh fisiknya. Tidak ada satu batu pun yang dibiarkan berdiri.
Kalau kita mengikuti alur awal, kita bisa melihat bagaimana kental terasa romansa orang Yahudi Kristen dengan Bait Allah yang sudah dinubuatkan oleh Yesus akan menjadi rerentuhan. Di dalam kekesalan yang bercampur aduk dengan kesedihan, para murid dan Yesus pun pergi ke bukit Zaitun. Di sana mereka bercakap-cakap tentang kedatangan-Nya kelak dan tanda kesudahan dunia (ay.3). Mengapa para murid menanyakan hal tersebut? Ini sangat berkaitan dengan kefrustasian para murid akan penjajahan Romawi, terlebih menjelang runtuhnya Bait Allah di Yerusalem. Para murid sepertinya ingin menikmati kehidupan yang damai, di mana penjajahan tidak pernah ada di tengah kehidupan mereka.
Merespons pertanyaan tentang waktu kelak tanda kedatangan dan kesudahan dari para murid ini, Yesus dengan tegas memperingatkan mereka agar terlebih dahulu mewaspadai orang yang menyesatkan. Ada banyak orang disebutkan oleh Yesus akan datang memakai nama-Nya dan mengaku bahwa ia adalah Mesias (ay.4-5). Tentang tanda awal kedatangan-Nya dan kesudahan dunia itu, Yesus menggambarkan mereka akan mendengar deru perang. Para murid diminta oleh Yesus untuk tidak gelisah, tetapi berawas-awas diri, karena semuanya pasti terjadi, tetapi yang pasti belum tiba saatnya ke sana (ay.6). Tanda-tanda lain yang mengiringi adalah peperangan yang terjadi baik itu antarbangsa maupun antarkerajaan. Lalu, ada kelaparan dan gempa bumi terjadi di berbagai tempat (ay.7). Akan tetapi, menurut Yesus, hal itu baru permulaan penderitaan menjelang zaman baru (ay.8).
Dari jawaban Yesus pada para murid, kita dapat mencoba untuk memahaminya lebih dalam lagi. Yang pertama, Penyesatan. Pergumulan umat Tuhan di sepanjang zaman adalah penyesatan. Dalam konteks pembicaraan Yesus dengan para murid-Nya, Yesus jelas menunjukkan siapa penyesat yang dimaksud-Nya itu. Mereka adalah nabi palsu (band.ay.11). Apa yang dimaksudkan Yesus dengan penyesat di sini? Yesus di dalam konteks lain pernah menjelaskan bahwa penyesat adalah mereka yang tidak mengerti kitab suci dan kuasa Allah (band.Mat.22:29, Mrk.12:24). Paulus juga di dalam pelayanannya di tengah-tengah jemaat sering mendapatkan tantangan dari para penyesat, seperti ketika berada di Roma, Tesalonika, Filipi, Korintus, Galatia, dan lain sebagainya (Rm.11:9, 1.Kor.6:9, 15:33, 2.Kor.11:3, Gal.6:7, Ef.5:6, 1.Tes.2:3, 2.Tes.2:3, 2:11, Tim.1:4:1).
Terkait dengan tanda-tanda yang disampaikan-Nya, yaitu peperangan, kelaparan, dan gempa bumi, Yesus di pasal sebelumnya sudah menjelaskan manusia hanya bisa melihat tanda langit tetapi tidak dengan tanda-tanda zaman (band.Mat.16:3). Tanda-tanda yang disebutkan Yesus sebagai permulaan dari penderitaan menjelang zaman baru berasal kata Yunani, yaitu “oidin”, yang arti harafiahnya ialah rasa sakit bersalin. Yesus di sini sebenarnya ingin menegaskan tanda-tanda itu bukan memastikan bahwa hal kedatangan-Nya dan kesudahan dunia telah pasti tiba. Karena, sakit hendak persalinan sangat banyak tandanya. Ada istilah persalinan di dalam dunia medis dengan tanda kontraksi (his) palsu. Tanda ini seolah-olah menunjukkan seorang ibu sudah pasti siap waktunya untuk melahirkan anaknya ke tengah-tengah dunia. Padahal, kontraksi itu hanya kontraksi biasa (mengencangnya otot rahim) dan belum menandakan saatnya ibu itu untuk melahirkan. Tetapi, seorang dokter atau bidan tetap juga berjaga-jaga apabila kontraksi yang datang adalah benar-benar kontraksi (his) asli. Dengan demikian, para murid bisa tetap waspada agar apabila tanda-tanda yang digambarkan Yesus terjadi mereka dapat siap menghadapinya.  

Renungan
            Sejak zaman gereja purbakala sampai saat ini ternyata sudah banyak orang yang tidak sabar agar kedatangan Yesus kedua kali segera tiba. Spekulasi waktu hari kiamat terus bermunculan di dunia ini. Termasuk di Indonesia, ada berbagai sekte yang pemimpinnya mengklaim diri mereka adalah yang diutus Allah atau mesias zaman kini. Seperti contohnya, sekte Pondok Nabi, di bawah kepemimpinan Pdt.Mangapin Sibuea di Bandung. Pendeta ini menyatakan bahwa ia mendapat kabar dari surga kalau kiamat bumi akan dimulai dari tanggal 10 November 2003. Karenanya, mereka harus berkumpul di Pondok Nabi supaya mereka dapat terangkat ke surga. Ketika waktu yang ditentukan tiba, mereka tidak kunjung juga terangkat ke surga.
Ada lagi seorang perempuan yang bernama Lia Aminuddin, atau yang lebih dikenal dengan Lia Eden. Ia mengklaim dirinya telah menjadi jalan baru pada semua agama. Lia Eden pada umat Kristen di tahun 1998 menegaskan kalau dirinya itu Mesias. Terkadang juga, ia mengaku bahwa ia reinkarnasi dari Maria, ibunda Yesus. Terkait waktu kesudahan dunia (kiamat), Lia Eden pernah berkirim surat pada Presiden Republik Indonesia agar di tahun 2015 diberikan izin pendaratan UFO (Unidentified Flying Object) di Monumen Nasional (Monas), Jakarta. Menurut Lia Eden, UFO inilah awal dari kesudahan dunia, di mana kota Yerusalem juga akan turut diangkat. Ketika waktu yang ditentukan tiba, tidak ada satu pun UFO yang mendarat dan kota Yerusalem masih berada di tempatnya sampai saat ini.
Dari dua contoh ini, kita dapat mengerti mengapa Yesus mengingatkan para murid untuk waspada pada penyesatan. Benar yang dikatakan oleh Yesus bahwa ada yang mengaku dirinya adalah Mesias, seorang utusan Tuhan. Para nabi palsu ini secara konsiten muncul di sepanjang zaman. Sebagai murid Kristus di masa kini, kita perlu waspada untuk menghadapi mereka ini.Sering para penyesat memanfaatkan mereka yang terlalu lugu di dalam beriman dan mereka yang sedang frustasi menghadapi tekanan kehidupan. Mereka menginginkan kehidupan berbeda yang penuh dengan kedamaian, yang tidak mereka temukan di dunia saat ini. Sebab itu, tugas kita saat ini adalah tetap mengingatkan sesama kita agar tidak terhisap ke nabi palsu masa kini. Pandangan teologis umat Kristus tentang hari kedatangan Tuhan dan kesudahan dunia harus mantap dan kritis. Misalnya, kita sebagai warga GKPI sudah diberikan Pokok-Pokok Pemahaman Iman (P31) yang jelas tentang kedatangan Tuhan dan kesudahan dunia. Di dalam bab “Zaman Akhir dan Akhir Zaman”, kita diberitahukan bahwa terkait waktunya itu tidak ada yang tahu, “...malaikat-malaikat di surga pun tidak tahu, Anak pun tidak, hanya Bapa sendiri” (Mat.24:36, Kis.1:6-7, 2.Ptr.3:8-16). Karenanya, kita diajak oleh Yesus untuk selalu siap kapan saja waktunya. Bukan berarti apabila ada peperangan di Gaza, dunia sudah mencapai kesudahannya dan Yesus datang. Atau, kalau ada peristiwa bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung merapi, longsor, dll, ini semua akan mempercepat kedatangan akhir zaman dan zaman akhir. Yesus mengatakan itu hanya tanda awal saja.
Di dalam minggu Advent-III pada saat ini, kita perlu melihat sebagaimana banyaknya umat percaya menantikan kehadiran Mesias dalam rupa Yesus Kristus di peristiwa 2.000 tahun yang lalu, demikian pula kita menantikan kehadiran Yesus kedua kalinya di tengah-tengah dunia di masa kini.Karenanya, sebagai umat percaya di masa kini, khususnya warga GKPI, kita diminta untuk tahan uji untuk menghadapi tantangan zaman.  Penganiayaan dan penderitaan karena pengharapan akan Kristus di tengah dunia itu sudah pasti kita temukan. Kita perlu mengandalkan pimpinan dari Roh Kudus untuk menjalani semuanya itu. Sehingga, kita dapat membuahkan kasih, damai sejahtera, sukacita, keadilan, dan kebenaran. Kita adalah umat yang mengakui, meyakini, dan menerima ajaran zaman akhir dan akhir zaman yang berpusat pada Kristus, yang kemudian diberitakan oleh gereja di sepanjang masa dan berbagai tempat.


Pdt.Theodorus Benyamin Sibarani, S.Si (Teol), M.Kessos
 (Pendeta GKPI Ressort Sumbul, Wilayah IV: Dairi-Tanah Karo)

Rabu, 02 Oktober 2019

“Hidup untuk Melayani Tuhan” (EPISTEL)


Minggu : 6 Oktober 2019 (16.Set.Trinitatis)
Epistel  : Pengkhotbah 3:1-14







Pendahuluan
LaSor, Hubbard, dan F.W.Bush (2007) menjelaskan bahwa nama “Pengkhotbah” terjemahan dari kata Ibrani qohelet, yaitu orang yang memanggil suatu sidang. Karena itu, terjemahan “Pengkhotbah” tidak salah walaupun terkadang qohelet memang tidak sama dengan pengkhotbah Kristen yang memberitakan firman Allah berdasarkan nas Alkitab. LaSor, Hubbard, dan F.W.Bush lalu memahami bahwa secara umum penulis kitab Pengkhotbah ini selalu dihubungkan dengan tulisan hikmat, yaitu Salomo, karena disebutkan dalam bagiannya (Pkh.1:1,12,16). Akan tetapi, mereka tidak menutup mata akan adanya perdebatan tentang penulis kitab Pengkhotbah - dengan menyatakan, “memang jauh lebih mudah mengatakan bahwa Raja Salomo bukan penulis kitab Pengkhotbah daripada mengatakan siapa penulisnya. Penulisnya jelas adalah seorang bijak yang berhasrat untuk menantang pendapat-pendapat dan nilai-nilai bijak yang lain”. Memang ada teolog yang meragukan qohelet atau yang sering disebut Kohelet dituliskan oleh Salomo. Seperti, E.G.Singgih, seorang teolog Perjanjian Lama asal Indonesia, yang memiliki pandangan kritis. Kajian kritis dari E.G.Singgih ini telah lama dilakukannya sejak ia memulai studi doktoral di bidang Perjanjian Lama, di bawah arahan Prof.Robert Davidson. Menurut E.G.Singgih, penafsiran tradisional (yang menyatakan kitab Pengkhotbah ditulis oleh Salomo), bertahan hanya sampai muncul metode penafsiran yang bersifat kritis, entah itu historis maupun literer. Apakah kalau Kohelet bukan Salomo akan mengurangi kesakralan kitab Pengkhotbah ini? E.G.Singgih dengan kritis menjelaskan bahwa kesakralan teks bukanlah dikarenakan oleh nama (penulisnya), tetapi isinya yang membuat ia menjadi berwibawa dan mampu membuat orang yang berada di zaman jauh sesudahnya dengan konteks yang berbeda (seperti kita selaku umat percaya di masa kini) bergumul dan menangkap sesuatu dari kekayaannya. Kitab Pengkhotbah akan berwibawa lama dalam kehidupan orang beragama di Asia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Pendapat dari E.G.Singgih ini memberikan kita wawasan teologis penting di dalam membahas teks firman Tuhan di minggu ini. Karena, ini akan menjadi pengantar yang baik untuk kita menggumuli teks Epistel ini secara tekstual, berfokus pada nas tanpa menghubungkannya kitab ini dan kitab itu, lalu mencari refleksi teks untuk kehidupan beriman pada masa kini, terutama dalam kaitan tema, “Hidup untuk Melayani Tuhan”.

Pembahasan
Pada ayat 1, Kohelet menggambarkan adanya masa, yaitu bentuk waktu bagi kehidupan di dunia ini. Dalam pendekatan fisika Newton, dunia memiliki jam utama. Detakan jam membuat waktu menjadi mengalir yang bisa ditarik panah ke mana ia akan pergi. Secara sederhana, kita dapat mengatur waktu mau jadi apa kita di masa kini, bagaimana membentuk masa lalu, dan bagaimana cara kita menuju masa depan. Pendapat ini lalu dilawan oleh Ludwig Boltzmann yang menyatakan kalau waktu tidak memiliki arah. Hal ini lalu didukung oleh teori relativitas Einsten yang menjelaskan peristiwa waktu sangat tergantung dari bagaimana kecepatan kita bergerak. Seperti dua orang pengamat yang bergerak dengan kecepatan berbeda akan tidak setuju kapan dan di mana peristiwa terjadi, tetapi mereka saling dapat setuju pada lokasinya di ruang waktu. Bahkan, gaya gravitasi dapat membengkokkan waktu. Apa pointnya dari kajian filsafat ilmu, khususnya pendekatan fisika? Bahwa, manusia tidak bisa memikirkan dunia ini detik per detik, menurut parameter waktu. Kita hanya diberikan bagian untuk melakukan prediksi akan peristiwa waktu. Bila kemudian kita komparasi dengan wejangan hikmat Kohelet, maka kita akan takjub bagaimana Kohelet sudah terlebih dahulu membedah waktu. Ayat ini lalu memberikan kita suatu pemahaman dunia (alam) kita membukakan waktu, bukan pada ruang.
Itulah mengapa di ayat-ayat selanjutnya Kohelet menggambarkan ada waktu untuk lahir, meninggal, menanam, mencabut tanaman (ay.2). membunuh, menyembuhkan, merombak, membangun (ay.3), menangis, tertawa, meratap, menari (ay.4), membuang batu, mengumpulkan batu, memeluk, tidak memeluk (ay.5), mencari, merugi, menyimpan, membuang (ay.6), merobek, menjahit, diam, berbicara (ay.7), mengasihi, membenci, perang, damai (ay.8). Semua contoh yang diberikan Kohelet ini menegaskan kehidupan manusia ada di antara waktu, bukannya ruang. Seluruh peristiwa waktu di hidup manusia di bawah detak waktu yang berjalan. Hasil pekerjaan manusia di dalam ruang seolah tidak memiliki arti selain melelahkan dirinya sendiri (ay.9). Sekalipun pekerjaan itu datang dari Tuhan, ia tetap saja membuat manusia menjadi lelah (ay.10). Lantas, mengapa kita harus tetap bekerja kalau itu  hanya membuat kita lelah saja? Di ayat berikutnya, Kohelet menjelaskan bahwa manusia yang lelah bekerja itu bukan berarti ia telah membuang waktunya dengan percuma. Kohelet menegaskan malah Tuhan memberikan kita dari kelelehan pekerjaan itu sesuatu yang indah di waktu yang ditentukan Tuhan sendiri. Hal ini akan terus menjadi kekaguman bagi manusia yang diingatnya sampai mati. Tetapi, manusia tidak dapat menyelami pekerjaan Tuhan dari awal sampai akhir (ay.11). Menarik apa yang disampaikan oleh Kohelet di ayat ini. Pekerjaan manusia dapat dipahami dengan mudah, bahwa itu sesuatu yang sangat melelahkan dan ada di dalam peristiwa waktu. Akan tetapi, pekerjaan Allah tidak dapat dimengerti manusia, terlebih dijelaskan melalui kapan dimulai dan berakhirnya, seperti di peristiwa waktu. Dengan kata lain, Kohelet ingin mengatakan kalau pekerjaan Tuhan itu melampaui waktu dan ruang, sangat berbeda dengan kita manusia.
Kohelet juga memberikan pertimbangan bijaksana yang sangat positif. Manusia yang lelah bekerja dapat bersukacita ketika ia bisa menikmati jerih payah pekerjaannya. Tuhan memberkati manusia yang menikmati hasil dari pekerjaannya berlelah-lelah (ay.12-13). Namun, Kohelet dibalik motivasinya untuk manusia yang berjerih lelah bekerja memberikan peringatan kalau manusia tetap terpenjara oleh waktu. Mereka hanya bisa hidup oleh karena pekerjaan Allah saja. Itu tidak dapat ditambah dan dikurangi. Allah berbuat demikian supaya manusia takut akan Dia (ay.14).

Renungan
Dari sekian jauh pembahasan yang dilakukan, kita dapat merenungkan setidaknya dua hal dari pembahasan Epistel kita di minggu ini, yaitu:
1.    Waktu adalah sarana Allah bekerja atas kehidupan manusia
Selama di tubuh kita masih ada napas kehidupan, selama itu pula kita akan terkurung di dalam waktu dunia ini. Ada saja peristiwa yang silih berganti mengiringi hidup kita, seperti yang dicontohkan oleh Kohelet. Itu semua perlu kita lihat sebagai cara bagaimana Allah bekerja atas hidup kita. Ketidakmengertian kita akan apa yang Allah perbuat atas hidup kita menjadikan kita sebagai manusia yang utuh. Kita hanya tinggal berusaha untuk menjalaninya sekuat dan semampu kita. Membiarkan rencana Tuhan saja yang terjadi di dalam jatuh-bangunnya kehidupan kita. Kabar baiknya, pada akhirnya Tuhan menjadikan segala sesuatu itu indah. Ini akan terus kita kenang sampai tiba waktu kita untuk mati nantinya.
2.    Waktu adalah sarana kita merespons pekerjaan Allah atas kehidupan manusia
Tidak ada kehidupan yang mudah selama kita ada di dunia. Kita harus bekerja berletih-lelah. Namun, Tuhan senang dengan hasil jerih lelah kita itu, karena itu adalah pemberian-Nya. Kita harus meresponsnya dengan bijaksana. Caranya adalah dengan memberikan diri kita waktu untuk menikmatinya. Karena, ada orang yang bekerja keras, banting tulang pagi, siang, malam, sampai ketemu pagi lagi dengan alasan untuk mencari sesuap nasi. Namun, ia sendiri tidak pernah menikmati hasilnya. Ia jarang makan karena sibuknya. Ini bukan cara kita bersyukur atas pekerjaan Allah di dalam hidup kita. Padahal, kita berjerih lelah bekerja di dalam segala bentuk profesi kita tujuannya tidak lain untuk melayani Tuhan. Kalau tidak diiringi rasa syukur itu, maka kita sesungguhnya hanya menjadi budak atas waktu. Bukannya malah menempatkan Tuhan sebagai tujuan kita bekerja di aliran waktu yang terus berjalan.

Diskusi
1.    Pernahkah Anda merasa lelah dengan pekerjaan Anda sehari-hari? Mengapa itu bisa terjadi?
2.    Setujukah Anda bila dikatakan pekerjaan kita yang berat itu merupakan sarana Allah bekerja untuk kebaikan kita?
3.    Setujukah Anda, bila dikatakan pekerjaan kita itu merupakan cara kita untuk melayani Tuhan yang telah mengerjakan hal yang indah pada akhirnya di hidup kita?

“Hidup untuk Melayani Tuhan”






Minggu           : 6 Oktober 2019 (16 Set.Trinitatis)
Evanggelium : Kisah Para Rasul 20:21-31

Pendahuluan
Menurut H.v.d.Brink (2008), Kitab Kisah Para Rasul (KPR) merupakan suatu bahan yang selain historis juga bersifat praktis, karena memberikan kita banyak informasi perihal pembangunan jemaat dan perluasan gereja. Hal ini disetujui oleh Willi Marxen (2012), yang menegaskan bahwa KPR berusaha memberikan laporan mengenai permulaan gereja dan melakukannya dari titik tolak zaman yan belakangan. Secara tujuan, KPR ini pertama ditulis dengan maksud menjelaskan arti Kekristenan bagi orang bukan Yahudi. Yang kedua, KPR menyajikan bagian dari sejarah yang bukan hanya untuk menampilkan cerita di masa lampau saja, tetapi juga untuk menjelaskan dengan cara inilah “gereja” dibangun. Di sini kita melihat tujuannya adalah untuk kepentingan penginjilan. Willian Barclay (2007) memberikan elaborasi pendapat tentang tujuan penulisan KPR ini. Setidaknya menurut Barclay, ada tiga tujuan penulisan KPR ini, yaitu: Pertama, sebagai rekomendasi Kekristenan pada pemerintahan Romawi; Kedua, Kekristenan ditujukan bagi semua bangsa/negara; Terakhir, mendeklarasikan bahwa Kekristenan yang dulunya merupakan agama yang sangat kecil dari sudut Palestina tapi kini sudah menjangkau Roma kurang dari 30 tahun.

Penjelasan Nas
Konteks dari nas kita di Minggu ini diawali dari kisah Paulus di Efesus. Di dalam pasal 19 sebelumnya diceritakan bahwa Paulus tiba ke Efesus setelah melanjutkan perjalanan dari Korintus dan Antiokhia. Kehadiran Paulus di Efesus untuk memperkenalkan pekerjaan Roh Kudus di dalam baptisan, di mana jumlah orang Efesus yang dibaptisnya pertama kali adalah 12 orang (Kis.19:7). Pekerjaan Paulus tidak berhenti sampai di situ saja, Paulus dalam kurun waktu tiga bulan mengunjungi berbagai rumah ibadat di kota itu dan mengajar dengan berani. Tantangan tentu dihadapi Paulus dari orang yang menentangnya. Akan tetapi, Paulus tetap pada komitmennya di dalam hidup melayani Tuhan. Dua tahun di Efesus, Paulus dapat menyampaikan kabar Injil pada orang di Asia, termasuk orang Yahudi dan Yunani. Tanda-tanda ajaib menyertai pelayanan Paulus pada orang sakit dan kerasukan roh jahat. Merasa fondasi gereja di kota Efesus sudah mulai kokoh, Paulus berencana berangkat ke Yerusalem melalui jalur Makedonia dan Akhaya. Namun, rencana Paulus itu harus tertunda karena adanya gangguan sebagai efek yang timbul dari pekerjaannya. Ada kegelisahan dirasakan pendukung dewi Artemis di Efesus, karena mereka menilai kota Efesus seharusnya tetap menjadi kota yang menjaga kebesaran dewi Artemis. Kehadiran Paulus rupanya telah memberikan dampak besar dengan turunnya tingkat kepercayaan orang di Efesus pada dewi Artemis. Pengusaha perak penghasil patung dewi Artemis, seperti Demetrius dan tukang-tukangnya pun menyatakan sikap penolakkannya pada Paulus secara brutal, sehingga menimbulkan kekacaubalauan yang besar. Akibatnya, rekan Paulus dari Makedonia, Gayus dan Aristarkhus, diseret ke gedung kesenian untuk dihujat. Adapun Paulus yang ingin membela mereka, ia dilarang keras oleh para sahabatnya dengan alasan keselamatan dirinya. Panitera kota datang menyelamatkan mereka karena tidak menemukan kesalahan yang didakwakan; serta bukan tempatnya untuk mengadili mereka (Kis.19:24-41).
Ketika kekacauan sudah mulai tenang, Paulus memanggil para muridnya untuk menguatkan mereka. Lalu, Paulus melanjutkan perjalanan berdasarkan rute yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu Makedonia, Troas, lalu Miletus. Paulus memutuskan untuk tidak akan kembali lagi ke Efesus untuk menyingkat waktunya tiba di Yerusalem tepat di hari Pentakosta. Karenanya, Paulus mengutus suruhannya dari tempatnya berada, Miletus, untuk berangkat ke Efesus memanggil para penatua di Efesus datang menjumpainya segera. Ketika Paulus akhirnya berjumpa dengan para penatua dari Efesus di Miletus, Paulus menyampaikan beberapa pesan penggembalaannya. Inilah yang kemudian menjadi teks kita pada minggu ini. Ada tiga hal yang dapat kita lihat dari teks kita saat ini, sebagai pesan penggembalaan Paulus pada penatua Efesus yang menjumpainya di Miletus, yaitu: Pertama, bagaimana pun yang terjadi, Paulus tetap harus memberitakan Injil tentang Yesus Kristus pada semua orang, termasuk orang Yahudi dan Yunani seperti yang dilakukannya di Efesus (ay.21). Kedua, Kebulatan tekad Paulus diakuinya karena ia telah menjadi seorang tawanan yang tidak bisa lagi lepas. Sebagai tawanan, ia akhirnya menghambakan dirinya kepada tuannya. Paulus memperkenalkan tuannya adalah Allah di dalam Roh Kudus, yang menugaskannya untuk pergi ke Yerusalem (ay.22). Terakhir, Paulus tidak tahu apa yang akan terjadi di sana, apakah harus dipenjara, mendapatkan kesengsaraan lagi (ay.23), atau harus kehilangan nyawanya pada akhirnya. Paulus tidak tahu, yang pasti itu semua telah menunggunya di sana. Secara fisik dan mental, Paulus telah siap, bahkan nyawanya sekalipun dipertaruhkannya (ay.24). Karena itu, jika memang hal terburuk terjadi pada dirinya, Paulus mengucapkan salam perpisahannya (ay.25). Paulus mendoakan agar para penatua di Efesus dapat menjaga hasil pelayanannya di kota itu. Paulus mengingatkan agar para penatua selalu waspada dan berjaga-jaga. Mengapa Paulus sangat mengharapkan para penatua di Efesus benar-benar menjaga semangat Injil Kristus yang menjadi pekerjaannya di kota itu? Pada ayat berikutnya dijelaskan oleh Paulus, yaitu karena ia tahu bahwa para penatua itu telah ditetapkan oleh Roh Kudus menjadi penilik/gembala di kota Efesus dan Paulus sadar akan adanya ancaman dari para serigala ganas, yaitu pengajar palsu, yang mencari kesempatan untuk menghabisi kawanan domba Allah di Efesus (ay.28-29). Perhatian Paulus yang besar pada jemaat di Efesus ternyata tumbuh dari totalitas pelayanannya di sana. Selama tiga tahun, Paulus dengan sungguh-sungguh pagi, siang, dan malam menasehatkan gereja di Efesus dengan mencucurkan air mata (ay.30-31).

Renungan
Dari sekian jauh pembahasan kita terkait nas saat ini, setidaknya ada empat hal yang dapat kita renungkan, yaitu:
1.    Hidup yang melayani Tuhan adalah kesempatan
Firman Tuhan pada minggu ini memberikan kita gambaran dari sosok Paulus yang menggunakan kesempatan dalam hidupnya untuk membuktikan dirinya memiliki komitmen yang sungguh melayani Tuhan. Setelah perjumpaannya dengan Yesus, Paulus memiliki hidup baru. Dulunya, ia sosok yang mengejar Yesus. Akan tetapi, Paulus berubah menjadi orang yang militan menyebarkan berita tentang Yesus setelah ia ditangkap oleh-Nya. Apa yang dilakukannya di kota Efesus sesuai dengan informasi dari nas kita minggu ini menyaksikannya. Lantas, bagaimana dengan kita selaku umat percaya? Kita sudah ditangkap oleh Yesus ketika hidup kita diperbudak oleh dosa. Hidup kita tentu harus memiliki perubahan yang signifikan sebagai manusia baru di dalam Kristus. Karenanya, seperti Paulus, hidup kita ini pun dapat menjadi kesempatan untuk membuktikan komitmen kita di dalam hidup baru bersama Yesus. Hal itu bisa kita wujud nyatakan di dalam berbagai pelayanan kita di gereja serta pekerjaan kita sehari-hari. Paulus pernah mengatakan, “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan, dan bukan untuk manusia” (band.Kol.3:23)

2.    Melayani Tuhan dengan hati hamba
Pernyataan Paulus bahwa ia sekarang adalah “tawanan Roh” mengindikasikan bahwa Paulus kini takluk menjadi hamba setelah ditangkap oleh Yesus. Karenanya, Paulus menyerah akan perintah Roh yang menuntunnya menuju Yerusalem. Paulus pasti tahu bahwa perjalanan menuju Yerusalem tidaklah mudah. Ada banyak tantangan di depan, yang bahkan membahayakan nyawanya. Seorang hamba pastinya tidak punya hak untuk melawan perintah tuannya. Nyawa seorang hamba ada di tangan tuannya. Begitu pula Paulus, ia memasrahkan nyawanya kepada tuannya, yaitu Yesus Kristus melalui tuntutan Roh Kudus. Itulah cara terbaik yang bisa dilakukan Paulus sebagai hamba kepada tuannya, Yesus Kristus. Kita pun selaku umat percaya di masa kini dapat merefleksikan kepatuhan Paulus selaku hamba Tuhan. Bisakah kita melayani-Nya dengan hati seorang hamba? Tidak jarang kita memosisikan diri sebagai tuan/nyonya dan berpura-pura menjadi hamba. Bisa kita lihat di dalam kehidupan bergereja, di mana para pengerja gereja menamakan diri mereka sebagai pelayan, tetapi dalam pelaksanaannya mereka bersikap otoriter, menonjolkan kuasa, dan serba mengatur. Terkadang, ada yang mencari keuntungan pribadinya sendiri. Atau,  bagi mereka yang bekerja sehari-hari dengan latar belakang beragam profesi, tidak jarang mereka menekan Tuhan di dalam hidupnya. Memaksa Tuhan melakukan apa yang diinginkannya. Meminta diberikan berkat berlimpah, tetapi tidak mau bekerja ataupun berusaha. Mendambakan hidup damai-sejahtera, namun sehari-hari bertindak curang dan kejam. Ini bukanlah gambaran seorang pelayan yang berhati hamba, tapi gambaran seorang otoriter yang menyamar menjadi hamba.

3.    Melayani Tuhan adalah gaya hidup orang percaya
Estafet pelayanan Paulus di kota Efesus yang dilanjutkan oleh para penatua kemudian diwariskan pada kita, umat percaya di masa kini. Lingkungan kita saat ini merupakan gambaran kota Efesus di masa pelayanan para penatua di sana. Kita dapat melanjutkan tugas yang sudah dibangun Paulus sebelumnya, yaitu bagaimana mempertahankan gereja yang ada di lingkungan kita. Kita dapat berpartisipasi menjadi pelayanan gereja dalam bentuk apapun yang sesuai dengan talenta kita. Seandainya itu pun masih sulit, kita bukan berarti tidak dapat melayani-Nya. Kita dapat melayani gereja supaya aman dari serigala ganas dengan cara mewaspadai segala bentuk kuasa dunia yang dapat menyesatkan kita dan umat percaya lainnya. Sebagai waris dari pelayanan Paulus dan penatua di Efesus, kita juga sudah ditunjuk menjadi penilik/gembala. Untuk itu, kita harus menjadi seorang yang dapat diteladani di mana pun kita berada. Itulah salah satu cara kita melayani Tuhan dengan bentuk sederhana. Dalam pelaksanaannya, itu tidak semudah dengan yang dibayangkan. Karena, kita harus benar-benar melawan arus yang lazim. Sehingga, itu semua harus menjadi kebiasaan hidup kita sehari-hari. Makanya, melayani Tuhan harus menjadi gaya hidup orang percaya. Ia datang secara alami, bukan dibuat-buat ataupun dipaksakan. Banyak orang yang sudah memiliki pola dalam hidupnya yang tujuannya tentu bagi kepentingannya. Melayani Tuhan tidak demikian. Kita harus membiasakan pola berbuat yang terbaik di dalam hidup, bukan untuk kepentingan diri kita melainkan untuk kepentingan Kristus. Membiasakan pola hidu seorang hamba Tuhan akan sangat menonjol di dalam hal ini.Yang pada akhirnya dari kita dituntut suatu pengorbanan. Sama seperti Paulus yang rela diutus ke mana saja, karena itu sudah menjadi gaya hidup seorang hamba yang selalu melayani, tidak peduli sengsara atau risiko kehilangan nyawa.

4.    Tujuan melayani Tuhan adalah membangun persahabatan dengan sesama
Kehadiran Paulus di kota Efesus ternyata tidak hanya memberitakan Injil tentang Kristus yang bangkit dan naik itu saja. Namun, Paulus juga membangun persahabatan dengan jemaat yang ada di kota Efesus, termasuk para penatua. Sekalipun sudah dalam perjalanan menuju Yerusalem, Paulus tetap saja teringat pada jemaat di Efesus. Sehingga, Paulus mengirim utusannya untuk meminta para penatua di Efesus menemuinya di Miletus. Paulus di dalam kemanusiaannya merasa sangat berat untuk meninggalkan jemaat di Efesus. Jemaat di kota itulah selama tiga tahun didoakannya pagi, siang, malam, tanpa henti-hentinya sampai mengucurkan air mata. Semuanya itu bisa mungkin terjadi karena di antara Paulus dan jemaat Efesus telah terbangun hubungan yang baik. Relasi yang dibangun sudah pasti bukan didasarkan pada bentuk sikap yang otoriter, tetapi dengan penuh persahabatan. Pelayanan yang baik adalah pelayanan yang bersahabat, karena merepresentasikan kasih Kristus yang mau menjadi sahabat semua orang, termasuk mereka yang diperbudak oleh dosa. Sebagai sahabat, Yesus mau menyerahkan nyawanya bagi kita semua. Paulus meneladani pelayanan Yesus yang bersahabat. Kita juga umat percaya di masa kini dapat mengedepankan pelayanan berbasis sahabat, yang belum populer di gereja ataupun di mana kita bekerja.

Senin, 02 September 2019

Mengapa disebut Rumah Tangga




Sempat berpikir keras untuk menjawab pertanyaan istri, "Mengapa kehidupan suami-istri disebut rumah tangga?"
Dulu, aku sering lihat gambar rumah-rumah adat di Indonesia yang letaknya di halaman paling belakang di buku ATLAS. Aku memerhatikan hampir semua struktur bangunan dari rumah adat memiliki tangga yang terletak tepat di depan pintu rumahnya.


Menurutku, kegunaan tangga itu cukup banyak kalau melihat dari gambar. Ruang kosong di bawah rumah bisa untuk dijadikan sebagai tempat kandang ternak, menyimpan kayu bakar, dan hasil ladang. Atau juga, upaya menghindari kontak langsung dengan hewan yang berpotensi mengganggu.

Istilah rumah tangga adalah asli milik orang Indonesia. Mungkin, ini gambaran filosofis hidup suami-istri di Indonesia yang berkominten untuk hidup dan tinggal bersama di dalam satu atap, yang pasti harus melewati fase naik dan turun kehidupan, terutamanya di dalam soal ekonomi (ternak, hasil ladang). Di dalam perjalanannya, ada juga gangguan yang terkadang sudah dielakkan sekalipun tapi harus tetap juga dihadapin.

Selasa, 20 Agustus 2019

Doa Kami untuk Papua (NKRI Jaya)





"Mengapa seperatis Papua tetap ingin merdeka sedangkan Jokowi sudah habis-habisan membangun infrastruktur untuk Papua?"
Kehadiran negara dalam kebijakan Jokowi sebagai Presiden itu baru ada sejak 5 tahun belakangan. Akan tetapi, penderitaan rakyat Papua itu sudah hampir seabad lamanya.
Orang Papua itu sangat kaya. Mereka tidur di atas emas. Tapi, kemiskinan dan ketiadaan infrastruktur membuat bangsa Papua sangat menderita selama ini.
Banyak negara asing ingin Papua merdeka karena harta alamnya yang luar biasa. Sebelum era Jokowi, negara kita sangat Jawasentris pembangunannya. Kita lalu tersadar ketika orang Papua sudah tidak ingin bersama-sama lagi.
Wajar! Karena mereka selama ini selalu dianaktirikan oleh pemerintahan yang Jawasentris.
Persoalan Papua sebagai NKRI sebenarnya sudah ada sejak Indonesia menentukan format negaranya akan seperti apa ke depannya?
Di dalam Risalah Sidang BPUPKI, tanggal 29 Mei-19 Agustus 1945, terekam ada silang pendapat antara pendiri bangsa ini soal Papua.
Diawali seorang perwakilan dari Sulawesi Selatan, Kahar Muzakkar, yang setuju Papua masuk menjadi NKRI apabila keinginan mereka itu secara sukarela.
Akan tetapi, Moh Hatta tidak setuju kalau Papua menjadi NKRI, karena Indonesia sejauh ini merupakan bentukan dari unsur rumpun Melayu dan bukan Melanesia.
Moh.Yamin tidak setuju dengan gagasan Hatta. Sebagai ahli sejarah, Moh.Yamin mengungkapkan ada keterikatan sejarah Papua dengan NKRI.
Moh.Yamin menjelaskan Papua itu dulu merupakan "vassal"-nya Kerajaan Tidore. Keterikatan sejarah ini tidak mungkin dilupakan begitu saja.
Ir.Soekarno tidak menyetujui pandangan Moh.Hata. Presiden RI pertama itu dengan bijaksana mengatakan, "Pertama, bentangan Indonesia dari Sumatera hingga Papua adalah sebagai karunia Tuhan. Kedua, Kerajaan Majapahit dalam kitab Negarakertagama mencakup sampai Papua luasnya"
Voting pun diadakan. Peserta sidang mayoritas mendukung Ir.Soekarno dan Moh.Yamin. Sedikit sekali yang mendukung Moh.Hatta.
Pihak asing tentu banyak yang cemburu kalau Indonesia memiliki Papua. Sejarawan asing sering menyudutkan Sidang BPUPKI ini bukanlah representasi Papua karena tidak ada perwakilan mereka yang bicara di sana.
Persoalan Papua pun berlarut-larut sampai detik ini. Ada begitu banyak nyawa yang terenggang, darah yang tertumpah, air mata yang menetes.
Pdt.Prof.John A.Titaley, Th.D sebagai anak yang lahir di tanah Papua berkata, "Persoalan Papua itu adalah apakah mereka dari Jawa atau Sumatera yang rambutnya ikal dan kulitnya coklat, atau mereka orang Minahasa yang rambutnya lurus, kulitnya putih, mau menganggap saudara kita di Papua yang kulitnya hitam dan rambutnya keriting? Kalau bisa, kita berarti bisa hidup dalam satu bangsa dan negara. Papua adalah anugerah dari Tuhan yang menjadikan kita Indonesia"
Doa kami untuk masyarakat Papua yang sedang menderita di mana saja. Kalian adalah saudara kami. Kita adalah NKRI!

Humor, Gus Dur, dan Salib (Refleksi Hari Merdeka-74 Tahun NKRI)






Paus Fransiskus
Gus Dur adalah ulama Muslim yang sangat dihormati oleh kalangan umat Kristen dan Katolik. Humornya bersifat universal, kaya makna, dan menghibur bangsa ini yang kurang tawa.
Suatu kali, Gus Dur berada di masjid dekat rumahnya, Al-Munawwaroh, Ciganjur, Jakarta Selatan.
Hari semakin larut, Gus Dur tetap berada di sana. Kang Maman datang dan mengajak Gus Dur bercerita yang lucu-lucu. Maklum, Gus Dur adalah sosok/figur yang humoris.
Anehnya, Gus Dur saat itu lebih banyak diamnya. Karena itu, Kang Maman mencoba untuk membahas fenomena serius. Kang Maman bertanya tentang fenomena saat itu di mana ada Ikan Mas yang memiliki sirip berbentuk Salib.
Sebagai informasi, Indonesia saat itu di tahun 2008 sedang gempar berita tentang ditemukannya Ikan Mas di Cirebon (Jabar) yang bentuk siripnya menyerupai Salib. Oleh beberapa kalangan teman Muslim, hal ini rupanya dikhawatirkan dapat menggucang iman. Belum lagi fenomena Ponari yang masih awet diingatkan kita.
Pertanyaan Kang Maman ini juga ternyata merupakan pertanyaan dari banyak kalangan pada Gus Dur.
Seperti biasa, Gus Dur dengan santai menjawab, "Itu biasa saja (Ikan Mas bersirip Salib).
Kang Maman dan orang yang ada di sekitarnya menjadi bingung. "Lho, koq biasa itu, Gus?"
Gus Dur pun menjelaskan, "Biasa lha, karena PAUS itu khan Induk dari segala Ikan?" 😂😂😂😂😂😂
(*Paus adalah Pemimpin tertinggi dalam hierarki umat Katolik)
Semua orang pun tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban dari Gus Dur.
Sumber cerita: Adaptasi dari www.nu.or.id (tanggal 13 Oktober 2017)
Refleksi:
Gus Dur melalui humornya saya pikir tidak ada niat mau merendahkan Salib atau Paus. Tapi, ia mau mengatakan hal-hal sensitif tentang keagamaan, apalagi yang berbeda aliran/kepercayaan, tidak perlu dipersoalkan atau digossipkan.
Agama itu hal yang harusnya membuat kita bahagia, nyaman, dan sukacita, layaknya humor (ala Gus Dur).
Marilah seluruh umat beragama yang ada di Indonesia menjadi umat yang ramah, bukan pemarah. Agama adalah nilai penting di dalam semangat Pembangunan Indonesia yang humanis, berintegritas, dan bermartabat. Merdeka! 🇮🇩🇮🇩🇮🇩🇮🇩

Salib yang Hina, Salib yang Mulia

Foto Tahun 2017 di Taman Wisata Iman, Sitinjo, Dairi.


Baru-baru ini viral video yang dianggap sebagian besar kalangan umat Kristen dan Katolik sebagai bentuk perendahan akan nilai Salib.

Saya mengimbau agar kita tidak turut menyebarkan video tersebut karena hanya akan terus menjadi provokasi dan membakar habis rumah Kebhinekaan kita. Belumkah cukup politik identitas selama Pilkada dan Pilpres di beberapa waktu lalu membuat kita terpecah-pecah?

Tentang salib itu sendiri, ia adalah lambang cinta kasih Allah pada seluruh umat manusia. Janganlah kita jadikan salib itu di masa kini sebagai alat untuk membenci dan memusuhi sesama kita manusia. Salib malahan harus menjadi sarana kita memaafkan, sama seperti Yesus yang tergantung di sana mau memaafkan mereka yang tidak tahu apa yang sedang diperbuatnya.

Salib bagi dunia memang pemberitaannya adalah suatu kebodohan. Akan tetapi, berita salib bagi umat percaya adalah kekuatan dari Allah. Sehingga, salib yang awalnya sesuatu yang hina, oleh karya Allah dalam Kristus, menjadi mulia karena memuat cerita kasih Allah yang tak bersyarat itu.

Hentikanlah segala bentuk amarah, kata-kata yang mengutuki, dan hal yang tak membangun lainnya. Itu bukan berita tentang salib. Karena, pemberitaan salib sejatinya adalah Kabar Baik.

Bukankah Tuhan memberkati umatnya yang santuy?😁

Refleksi Rumah Tangga


Foto Awal Pacaran di Tahun 2016

Istriku mengirimkanku foto saat awalkami pacaran dulu (tahun 2016). Istriku cerita kalau sebelum menikah memang ia soal berat badan sangat benar-benar dijaga
Setelah menikah dan memiliki anak, bentuk badannya kini sudah tidak dapat dikendalikan lagi. Ia pun bertanya, "Kalau bertambah besar istrimu ini, apakah kamu tetap sayang?"
Aku yang sementara LDR-an dengan istriku karena nasehat dokter hanya senyum akan pertanyaan itu. Istriku ini belum paham bahwa aku ini sudah selesai dengan soal "ukuran dunia".
Aku tidak peduli merk barang, pakaian, perhiasan, bahkan bentuk tubuh. Karena, kualitas hidup datang dari diri sendiri dalam memberikan makna atas apa itu hidup.
Aku menjawab, "Semakin bertambah bentuk fisikmu, semakin bertambah pula cintaku padamu".
Bagiku, suami yang mencintai istrinya karena soal bentuk badan adalah suami yang tidak sepenuh hati mengasihi istrinya.
Begitu pula istri yang mengasihi suaminya hanya karena penghasilan yang berlimpah adalah itu pasti cinta yang palsu.
Kehidupan rumah tangga itu sangat rumit. Ada banyak tantangan dan masalahnya. Rumah tangga tidak akan dapat bertahan menghadapi semua itu bila hanya mengandalkan bentuk tubuh dan harta berlimpah.
Rumah tangga dapat bertahan jika mereka memiliki visi yang sama, walaupun dengan ekspresi cara yang berbeda-beda.
Sebagai rumah tangga Kristen, visi kami hanya satu, yaitu tidak boleh menyimpang dari firman-Nya.

Ibu Dokter yang Baik

KKS digendong oleh dr.Nelly Saurma Simarmat, Sp.A




Hari Senin (29/7) kemarin, anak kami -KKS- tuntas menjalani tahapan imunisasinya di tahun 2019. 



Imunisasi wajib dan tambahannya KKS selalu kami percayakan RS.St.Elisabeth, Medan, karena kami percaya akan kualitasnya. Dan, dokter anak yang memegang KKS sejak usia dua bulan adalah dr.Nelly S Simarmata, Sp.A. Aktivitas imunisasi tambahan KKS yang hampir rutin tiap bulannya semakin mengakrabkan kami dengan ibu dokter ini.

Dalam beberapa kali kondisi, KKS pernah sakit ketika di Sumbul. Penanganan medis pertama dari dokter di Sumbul pada KKS hampir tidak pernah ada yang cocok. Kami sering memberanikan diri untuk menghubungi dr.Nelly, berkonsultasi tentang kondisi KKS. Puji Tuhannya, dr.Nelly mau memberikan nasehatnya. Padahal, banyak dokter spesialis anak setahu kami dari cerita tidak mau ditanya-tanya via japri (jalur pribadi). Maklum, biaya konsultasi itu mahal. 

Di hari KKS terakhir menjalani program imunisasi tambahannya, ada tiga moment menarik. Pertama, KKS masuk ke ruangan dokter tidak lagi digendong emak atau bapaknya. Tapi, ia melangkahkan kakinya sendiri ke dalam ruangan. Kedua, ada dokumentasi khusus antara KKS dengan dr.Nelly, di mana suasananya penuh dengan kekeluargaan. Terakhir, KKS dapat hadiah boneka dino dari dr.Nelly. Kami kaget dengan perhatian ibu dokter ini pada KKS.

Sehat selalu dan semoga dipakai Tuhan lagi lebih hebat untuk dr.Nelly. Tuhan memberkati ibu dokter selalu.

Minggu, 30 Juni 2019

Mengikut Yesus Keputusanku

Tiap hari, ada banyak orang di dunia yang mengkonversi agamanya, termasuk mereka yang meninggalkan Kekristenannya. Itu bukan hal yang baru lagi, secara khusus kasus yang ada di Indonesia.
Biasanya, hal itu menjadi besar bila yang melakukannya adalah publik figur, seperti Bella Saphira Simanjuntak, Melly Goeslow, Angelina Sondakh, Christian Sugiono, Lulu Tobing, dan terakhir adalah Deddy Corbuzier.
Sebagai seorang Kristen, aku tak pernah resah dan sedih melihat fenomena seperti ini. Aku malah salut dengan pilihan mereka yang demikian. Mereka telah menggunakan kesempatan untuk memilih bagian terbaik dari hidupnya.
Menjadi seorang pengikut Kristus ini memang sangat berat. Kesetiaan merupakan bagian dari identitas hidup mereka. Sebagaimana kita ketahui, kesetiaan adalah barang yang sangat mahal harganya di dalam hidup ini.
Contoh kesetiaan hidup seorang Kristen:
Di dalam pernikahan, seorang Kristen tidak boleh bercerai kecuali salah satu pasangannya bertindak tidak setia karena zinah dan (atau) mereka dipisahkan oleh kematian.
Di dalam pekerjaan, mereka harus bekerja secara jujur, total, dan loyal seolah mereka bekerja untuk Tuhan.
Di dalam hidup bernegara, seorang Kristen harus setia pada pemerintah.
Semua hal kesetiaan itu telah diaturkan oleh firman Tuhan bagi seorang Kristen.
Kekristenan bukanlah soal jumlah berapa banyak orangnya (kuantitas), akan tetapi soal seberapa besar rasa cintanya di dalam mengenal Kristus (kualitas).
Jadi, kesetiaan seorang Kristen itu lebih pada karena penghayatannya akan kasih Allah yang bekerja di hidupnya. Ikrar iman seorang Kristen bekerja di dalam pengharapannya dan kasihnya.
Mereka yang mengkonversi Kekristenannya malah menjadi semangat bagiku untuk tetap hidup di dalam ikrar iman Kristenku. Terlahir sebagai seorang Kristen, menikah sebagai seorang Kristen, dan mati sebagai seorang Kristen.
Aku sejak kecil sangat tersentuh dengan lagu Sekolah Minggu,
Mengikut Yesus keputusanku.
Mengikut Yesus keputusanku.
Mengikut Yesus keputusanku.
Kutak ingkar, kutak ingkar
Kuikut sampai, kulihat Yesus.
Kuikut sampai kulihat Yesus.
Kuikat sampai kulihat Yesus.
Kutak ingkar, kutak ingkar.
Pdt.Th.B.Sibarani (GKPI Ressort Sumbul)
Sumbul - Jumat, 21 Juni 2019

Sabtu, 29 Juni 2019

Ingatan Kolektif (Alm.Pdt.Em.P.Sibarani)

Kami bertemu pertama kalinya sekitar September 2017. Akan tetapi, suasana pertemuan kami yang pertama itu sudah sangat akrab dan penuh kekeluargaan. Kami seperti sudah saling kenal bertahun-tahun lamanya. Aku memanggilnya dengan Amanguda, karena secara tutur kekeluargaan Sibarani begitulah seharusnya.
Kalau tidak salah ingat, Alm.Pdt.(Em.) P.Sibarani / amanguda ini baru saja pensiun dari tugas kependetaannya di HKBP ketika kami bertemu. Kami karenanya banyak berbicara tentang pengalaman tugas pelayanannya, mulai dari ia menjadi calon pendeta, lalu penempatan pertamanya pendeta, sampai akhirnya masa pensiunnya.Kami cerita panjang lebar di rumah pensiunnya, yang diberinya nama "Sopo Pangkirimon" (Rumah Pengharapan)
Hal yang sangat kuingat amanguda adalah nasehatnya yang sangat bernas bagiku, di mana hal ini kemudian berkontribusi besar untuk pelayananku di saat ini. Ada tiga hal yang menjadi nasehat amanguda kala itu:
Pertama, ia menasehatkanku agar senantiasa menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh di dalam tugas pelayanan. Bukan tanpa alasan amanguda ini memberikan nasehat demikian. Ia melihat semasa hidupnya ada banyak pendeta yang masih muda dan aktif tapi sudah sakit-sakitan. Akibatnya, ada banyak jemaat yang tidak terlayani kebutuhan imannya.
Selanjutnya, Amanguda memberikan nasehat keras untukku supaya selagi masih muda jangan membiasakan diri untuk memikirkan pelayanan hanya untuk mendapatkan uang/materi. Amanguda ini menegaskan kalau mau jadi kaya secara harta, tidak perlu menjadi pendeta, karena seorang pendeta harus menyangkal dirinya dari keinginan daging yang lekat dengan harta dunia.
Terakhir, ia berpesan padaku, sebagai seorang pendeta laki-laki, aku harus dapat terlebih dahulu membimbing keluargaku baru jemaatku. Menurut amanguda ini, seorang pendeta yang sudah ditahbiskan jabatannya, ia juga sudah sepenuhnya milik jemaat. Aku diingatkannya dengan tegas supaya memberikan pemahaman pada istri dan anak-anakku agar mau memahami tugas suami dan bapaknya sebagai seorang pendeta. Hal terakhir ini berulangkali ditegaskannya,
"Jangan ajarkan istrimu mencari tambahan uang kependetaanmu yang sedikit itu, tapi ajarkan istrimu untuk mendukung dan mendoakan yang sedikit itu supaya menjadi berkat di dalam hidup kalian".
Adapun aku yang selalu semangat berdiskusi, tapi kali itu hanya banyak diam saja. Aku tidak tahu kalau pertemuan kami ini sangat singkat.
Tanggal 13 Juni 2018, Amanguda ini sudah menghadap Penciptanya. Secara pribadi, hal ini sangat menyedihkanku karena aku masih butuh nasehatnya, seperti seorang anak pada bapaknya dan seperti seorang junior pada seniornya.
Aku meyakini bahwa perjumpaan itu memang singkat, tapi kenangan akan selalu abadi.
Caraku mengenang nasehatnya adalah mengabadikannya di sosial mediaku. Dengan demikian, nasehat ini akan terus menjadi ingatan kolektif.
Sumbul, 25 Juni 2019

Kamis, 27 Juni 2019

Perlengkapan Senjata Allah (Efesus 6:10-20)

Sumber : Internet

Minggu-6 Set.Trinitatis, 28 Juli 2019

Epistel : Efesus 6:10-20


Pendahuluan
Foulkes (1991) menyatakan kalau Surat Paulus pada Jemaat di Filipi ini dituliskannya ketika ia berada di dalam penjara. Paulus prihatin dengan kondisi jemaat di Efesus. Situasi jemaat di Efesus saat itu sedang kurang kondusif, khususnya dari yang berlatar belakang Yahudi dan non-Yahudi. Ancaman perpecahan internal terpampang di depan jikalau persoalan tidak segera dikendalikan. Selain itu, tantangan dari luar yaitu sihir dan berhala datang mengancam komunitas umat percaya di Efesus. Karenanya, Paulus mengingatkan jemaat di sana bahwa mereka itu anak-anak terang Allah. Penting bagi jemaat di Efesus untuk meninggikan nama Yesus, di samping membangun komunitas di dalam persatuan tubuh Kristus dengan ragam karunia yang mereka miliki.  Hal ini didukung oleh Abineno (1997) yang memberikan informasi tambahan tentang surat ini sebagai nasehat Paulus pada jemaat di sana untuk menghayati rencana Allah atas dunia ini di dalam Yesus Kristus.

Pembahasan
            Paulus berharap agar jemaat di Efesus tetap kuat di dalam pergumulan yang dialaminya. Kekuatan yang mereka andalkan harus di dalam kuasa Tuhan (ay.10). Mengenai “kuasa” yang dimaksudkan oleh Paulus, hal itu telah dijelaskannya di bagian awal suratnya. Di Efesus 1:19b-23, kuasa yang ada pada Yesus merupakan kuasa dari Allah melalui kebangkitan-Nya dan mendudukkan-Nya di sebelah kanan-Nya di surga, lebih tinggi dari pemerintah dan penguasa serta kerajaan yang ada di dunia. Paulus meminta umat percaya untuk tidak terpengaruh dari hal-hal jahat yang dapat merusak persekutuan jemaat di Efesus. Semua itu dikatakan Paulus merupakan muslihat dari Iblis yang harus dilawan. Supaya kita dapat bertahan dari muslihat jahatnya, Paulus mengajak umat percaya untuk mengenakan seluruh persenjataan Allah (ay.11). Ketika menggunakan istilah persenjataan, Paulus sesungguhnya sedang membangun perspektif kalau usaha umat percaya untuk melawan muslihat Iblis itu sama dengan seorang yang sedang berperang melawan musuh di medan tempur. Namun, peperangan yang dimaksud Paulus hanya gambaran bukan soal fisik yang terdiri dari darah dan daging. Gambaran muslihat Iblis yang dimaksud Paulus perlu diperangi ada pada pemerintah, penguasa, penghulu dumia gelap, dan roh jahat di udara (ay.12).
            Perlengkapan senjata Allah sangat diperlukan oleh umat percaya untuk berperang melawan muslihat Iblis karena itulah yang membuat kita sanggup melawannya dan tetap berdiri tegap sekalipun penuh bahaya (ay.13).Umat percaya tidak boleh kalah. Ikat pinggang mereka adalah kebenaran, dan baju zirah mereka adalah keadian (ay.14). Fungsi ikat pinggang pada baju perang di masa itu adalah menjaga baju zirah untuk tetap melekat pada tubuh serta mengikat pedang. Bila ditafisrkan secara konteksnya, Paulus memaksudkan muslihat Iblis tidak akan bisa merusak persekutuan umat Tuhan bila mereka hidup di dalam kebenaran. Karena, kebenaran itulah yang mendatangkan keadilan bagi semua orang. Muslihat Iblis memang sering datang di dalam cara-cara manipulatif/memperdaya seseorang melalui fakta yang diputarbalikkan, sehingga tidak ada lagi keadilan diakibatkannya. Karena itu, Paulus meminta umat percaya di Efesus untuk selalu berjalan di dalam kerelaan untuk memberitakan Injil yang damai sejahtera (ay.15).
            Paulus melihat cara umat di Efesus bertahan dari serangan muslihat Iblis adalah dengan menangkisnya dengan perisai iman (ay.16). Iman ini sangat krusial bagi mereka yang percaya kepada Yesus. Karena, Yesus pernah mengatakan pada seorang perempuan sakit pendarahan yang menjamah-Nya dan sembuh, “Imanmu telah menyelamatkan engkau, pulanglah dengan selamat”. Paulus menggambarkan firman Allah sebagai ketopong keselamatan dan pedang Roh. Ini sangat menarik karena Paulus melihat dua sisi fungsi dari firman Allah, pertama sebagai hadiah mahkota keselamatan dan satu lagi sebagai senjata bermata dua yang lebih tajam dari pedang apapun yang sanggup menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi dan sumsum dan sanggup membedakan pertimbangan hati dan pikiran (bnd.Ibr.4:12). Paulus juga memohon pada jemaat di Efesus untuk hidup di dalam pengharapan melalui doa permohonan yang dipanjatkan. Akan tetapi, doa yang dimaksud Paulus harus sungguh-sungguh, di mana doa itu dipanjatkan tiap waktu di dalam Roh. Paulus meminta jemaat Efesus mendoakan orang Kudus dan dirinya yang sedang berada di penjara, sehingga dikaruniakan keberanian dan perkataan benar. Paulus ingin dirinya senantiasa membukakan mulutnya untuk memberitakan Injil dengan setia seumur hidupnya (ay.18-20).

Renungan
            Di dalam kehidupan ini, kita pun sering mendapatkan tantangan dari muslihat Iblis. Inilah yang diminta Paulus bagi kita umat percaya di masa kini supaya dengan berani kita memeranginya. Yesus sendiri pernah dicobai oleh muslihat Iblis, tapi Dia berhasil menang (bnd.Mat.4:1-11; Luk.4:1-14). Kita pun sebagai pengikut Kristus harus mampu menang melawan muslihat Iblis itu. Karenanya, kita diberikan tips untuk menghadapi muslihat Iblis, yaitu tinggal di dalam kuasa Tuhan, tetap melakukan kebenaran dan keadilan sekalipun di tengah situasi rumit, memiliki hati yang rela memberitakan hal sukacita/damai sejahtera, setia di dalam iman, selalu mengandalkan firman Allah, dan tidak putus-putusnya berdoa bagi perkabaran Injil.
            Kewaspadaan kita sebagai pengikut Kristus harus ditingkatkan, karena musuh kita, yaitu muslihat Iblis, adalah sesuatu yang tidak dapat kita lihat. Dalam contoh kehidupan sehari-hari, salah satunya bisa kita lihat dari bagaimana seseorang yang dengan maksud terselubung menggunakan nama Tuhan tetapi tujuannya untuk kepentingan dirinya sendiri. Ini merupakan muslihat Tuhan yang tampak di tengah masyarakat, bahkan di tengah gereja kita sendiri. Seolah-olah mendatangkan kebaikan, tetapi hasilnya adalah perpecahan.

Diskusi
1.      Pernahkah Anda menjumpai salah satu muslihat Iblis di tengah-tengah kehidupan Anda?
2.      Bagaimana cara Anda untuk menghadapi muslihat Iblis itu?
3.      Menurut Anda, efektifkah saran Paulus tentang Perlengkapan Rohani itu ketika menghadapi muslihat Iblis?

Pdt.Theodorus B.Sibarani, S.Si-Teol, M.Kessos
GKPI Ressort Sumbul & Plt.GKPI Ressort Jumaramba
Wilayah IV : Dairi-Tanah Karo