Kamis, 03 September 2015

Fungsi dan Peranan Doa dalam Kehidupan Umat Kristen Lutheran Masa Kini



(Ilustrasi Gambar Martin Luther: http://www.afaithtoliveby.com)

Dalam membahas fungsi dan peran doa dalam kehidupan umat Kristen Lutheran, esai kita tidak akan lengkap tanpa memunculkan sosok Martin Luther, yang doanya dapat mereformasi GKR (Gereja Katolik Roma). Kemudian, setelah mengetahui latar belakang kehidupan Luther, kita kemudian membandingkannya dengan kehidupan doa dari Martin Luther, serta apa itu doa dalam teologi dan menurut Alkitab, sehingga kita dapat menyimpulkan fungsi dan peran doa dalam kehidupan umat Kristen Lutheran.
Siapa Martin Luther? ia merupakan seorang anak laki-laki yang lahir dari keluarga sederhana, yaitu keluarga petani yang tinggal di Thuringen. Namun, karena menginginkan kehidupan yang lebih layak dari orangtuanya, ia pindah ke Eisleben dan menjadi penggali tambang tembaga di sana (Berkhof, 2009, h.120). Ayahnya bernama Hans Luther dan ibunya bernama Magdalena Lindemann.  Martin Luther lahir pada tanggal 10 November 1483 dan pada keesokan harinya ia dibaptis di gereja Petrus dan ia diberi nama sesuai dengan nama Santo pada saat itu yaitu St. Martinus dari Tours, sehingga ia diberi nama Martin. Martin Luther dididik menurut cita-cita agama zamannya karena orangtuanya pun dikenal sebagai keluarga yang setia pada Gereja Katolik Roma. Karena didikan yang sedemikian rupa pula yang membuat Luther ketakutan bila mendengar nama Kristus karena dia memandang Kristus sebagai seorang hakim yang keras dan pemurka (van den End, 2009, h.153).  
Martin Luther dikenal sebagai murid yang pandai. Oleh karena itu, ayahnya mengirimnya ke sekolah menengah di kota Magdeburg untuk mendapat pendidikan yang baik. Luther dan teman-temannya memiliki kebiasaan menyanyi di lorong-lorong kota untuk mencari nafkah. Oleh karena sering menyanyi itu pun sehingga Luther dikenal sebagai seorang yang berbakat dalam bidang musik. Pada umur 17 tahun Luther lulus pada sekolah menengah dan memasuki universitas di Erfurt. Ayahnya sangat menginginkan Luther menjadi seorang ahli hukum.. Pada tahun 1505, Martin Luther lulus dalam ujian dengan gelar magister artes sehingga ia diperbolehkan untuk menuntut ilmu hukum. Namun, secara tiba-tiba, perubahan besar terjadi dalam diri Luther. Dalam perjalanannya menuju rumah orangtuanya, ia ditimpa hujan deras dan disertai guruh serta halilintar yang membuatnya sangat ketakutan. Ia pun meminta kepada St.Anna untuk menolongnya dengan memberikan janji bahwa ia akan menjadi rahib. Luther memang menepati janjinya. Dua minggu kemudian ia masuk biara yang memiliki aturan yang begitu keras, yaitu ordo Eremit Augustin. Keinginan Martin Luther untuk menjadi rahib sangat membuat ayahnya terpukul dan kecewa. Teman-temannya pun tidak menyetujui ia menjadi rahib karena mereka akan kehilangan seseorang yang berbakat dalam musik. Ayahnya sangat marah terhadapnya karena ia tidak mengabulkan permintaan ayahnya supaya ia menjadi ahli hukum. Namun, Martin Luther tetap mempertahankan akan niatnya karena dalam pikirannya, jika seseorang ingin mengorbankan sesuatu untuk Allah, maka ia harus mengorbankan sesuatu yang paling indah dan molek baginya (Boehlke, 1997, h.309).
Menjadi doktor biblika dan melakukan segala perintah Tuhan tidak membuat hidupnya menjadi tenang. Martin Luther malah merasa ia semakin jauh dari rahmat Allah karena ia mengerti bahwa segala perbuatan manusia meski sangat baik dan saleh sekalipun tidak berharga di hadapan Tuhan. Martin Luther tidak percaya lagi bahwa setiap dosa manusia dihitung dalam buku “kas sorgawi”. Martin Luther pun insaf. Ia kemudian berpikir dan menganalogikan dirinya seperti pohon. Jika mengharapkan sesuatu yang baik dari pohon itu, maka terlebih dahulu harus melihat apakah pohon itu baik atau tidak. Martin Luther menyadari bahwa mustahil ia akan mendapat damai dan ketentraman bagi dirinya karena ia tahu bahwa semua yang dilakukannya tidak benar-benar dari hatinya yang paling dalam. Ia menyadari bahwa selama ini ia mementingkan akan dirinya sendiri. Ia mencari keselamatan untuk dirinya sendiri dan bukan untuk kehormatan dan kemuliaan nama Allah. Makin besar usaha Martin Luther untuk menyucikan dirinya, ia makin sadar bahwa ia semakin menuju kebinasaan. Allah yang rahmani yang dicarinya semakin jauh saja dirasakannya, sehingga ia mulai putus asa. Terkadang hatinya terhibur bila ia bercakap-cakap dengan pemimpin biaranya, Johan von Staupitz. Johan menasehatinya agar percaya kepada rahmat Kristus dan memandang luka-luka yang dialami oleh sang Juruselamat. Menurut Staupitz lebih baik seperti itu dari pada merenungkan apakah kita terpilih menjadi orang yang diselamatkan atau tidak karena barangsiapa yang percaya pada Kristus, ia dapat yakin bahwa ia telah dipilih (Berkhof, 2009, h.124)
Akhirnya, segala keresahan dalam hatinya dapat terobati dari Firman Tuhan sendiri (Alkitab). Dalam keputusasaanya Martin Luther menemukan surat Roma 1:17, mengenai “keadilan Allah” (iustitia Dei) yang merupakan istilah yang menjadi kunci dalam ajaran mengenai pembenaran manusia (iustificatio). Pada awalnya Martin Luther tidak mengerti akan maksud dari Roma 1: 17 yang berbunyi : “Sebab di dalamnya (Injil) nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman, seperti ada tertulis: orang benar akan hidup oleh iman.” Siang dan malam Luther menggumuli akan maksud Paulus menulis seperti itu. Apa hubungan antara kebenaran dan iman kita. Akhirnya, terlintaslah pikiran terang kepadanya, ketika ia duduk merenung di menara biaranya (Turmerlebnis). Martin Luther menyadari bahwa kebenaran Allah itu tidak lain dari pada suatu pemberian yang dianugerahkanNya kepada manusia untuk memberi hidup yang kekal kepadanya; dan pemberian itu harus disambut dengan iman yang tulus. Dengan kata lain, kebenaran yang dimaksudkan Paulus dikaruniakan Allah adalah kemenangan yang dialami Yesus dari salib dan kebangkitanNya. Lutherpun akhirnya mulai mendapatkan akan kedamaian dan kententraman yang selama ini dicari-carinya. Hal ini terjadi sekitar tahun 1514. Segera pandangan-pandangan yang mengherankan itu mulai tersebar di Wittenberg. Skolastik dan Aristoteles mulai ditolak oleh orang-orang. Alkitab dan teologia Agustinus menjadi hal yang asyik untuk dipelajari Luther, serta diuraikannya dalam kuliahnya. Banyak pandangan-pandangan baru yang didapatnya dari kitab-kitab Agustinus) (de Jonge, 1993, h.25-26).
Awal timbulnya reformasi gereja adalah perbedaan antara teologi dan praktek gereja dengan ajaran Alkitab seperti yang ditemukan oleh Luther. Namun, pemimpin-pemimpin gereja pusat tidak menyadari akan bahaya yang mengancamnya. Paus Leo-X dan tokoh-tokoh gereja lainnya sibuk memikirkan akan pembangunan gereja raksasa, yaitu gereja Santo Petrus di Roma, yang melambangkan keagungan Gereja Barat. Lalu Paus pun menyarankan kepada Uskup Agung Albrecht dari Mainz untuk memperdagangkan surat penghapusan dosa secara besar-besaran di Jerman. Perdagangan Indulgensia dengan maksud “tertentu” ini tidak diketahui oleh umat Kristen dan Luther pun tidak mengetahuinya. Namun cara menjalankannya menimbulkan suatu kecurigaan tersendiri. Surat kuasa yang diberikan Albrecht kepada para penjual menimbulkan sangkaan bahwa surat penghapusan siksa itu juga dapat menebus dosa. Johan Tetzel, seorang Dominikian merupakan kepala penjualan indulgensia ini. Tetzel melakukan propaganda besar-besaran yang mengosongkan dompet rakyat Jerman untuk mengisi kantong Albrecht dan Leo X. Syarat indulgensia yaitu penyesalan yang sungguh-sungguh tidak disebut lagi. Para pembeli mengaku dosa pada rahib-rahib yang tidak mereka kenal. Rahib-rahib ini membantu Tetzel dalam melancarkan akan penjualan indulgensia itu. Tetzel memperdaya masyarakat bahwa indulgensia selain mengahapus dosa pembeli juga dapat melepaskan akan keluarganya dari api penyiksaan di alam seberang. Kata-kata Tetzel yang melegenda berbunyi : “As soon as the money jingles in the chest, the soul springs out of  Purgatory” (Collins, Michael, Price, 1999, h.132).
Beredarnya tesis-tesis tentang indulgensia itu membuat Paus merasa terusik. Awalnya ia tidak memperhatikan hal itu. Ia hanya menganggap bahwa hal itu hanya pertengkaran di antara para rahib saja. Iapun meminta Martin Luther untuk memungkiri akan pandangan-pandangannya yang sesat itu, tetapi Martin Luther tetap berdiri pada tempatnya. Martin Luther menjelaskan akan dalil-dalilnya kepada paus dalam sepucuk surat. Paus meminta Martin Luther untuk menghadap kepausan dalam tempo 60 hari (Edwards, 1983, h.70).
Namun, Friederich “yang bijaksana” meminta agar Martin Luther didispensasi untuk hadir di Roma; dan cukuplah ia diinterogasi di Augsburg oleh Kardinal Thomas de Vio. Paus tidak berani melawan permintaan Friederich karena ia ingin mecalonkan Friederich pada pemilihan kaisar pada tahun 1519, karena pencalonan Karel V dari Spanyol tidak disetujuinya.  Namun, proses introgasi yang dilakukan oleh Thomas de Vio (Cajetanus) tidak mebuahkan hasil karena Martin Luther tetap pada pendiriannya dan tidak mau menarik dalil-dalil yang telah dikeluarkannya. Matin Luther meminta agar ia diadili oleh Paus sendiri atau mengadakan konsili untuk menimbang dan memutuskan akan perkaranya.Kemudian, pada bulan Juni 1519 terjadi perdebatan yang sengit antara Luther dan Johan Eck (guru besar di kota Ingolstad, Bavaria) di Leipzig. Walaupun Eck tidak berhasil membuat Luther meninggalkan akan ajarannya, namun berhasil menjelaskan untuk pertama kalinya kepada publik doktrin tentang primat dan infalibilitas konsili-konsili. Namun sebenarnya yang beruntung adalah Luther karena dari perdebatan ini ia menyadari bahwa hanyalah Alkitab yang menjadi ukuran dan patokan dan bukan paus ataupun konsili. Hanyalah Firman Tuhan yang berkuasa atas orang beriman. Setelah perdebatan sengit itu, Eck pun beranjak ke Roma untuk membantu mempersiapkan kecaman terhadap Luther. Pada tanggal 15 Juni 1520, Paus Leo X mengeluarkan bulla Exsurge Domine (Bangkitlah Tuhan), yang menutup proses terhadap Luther. Bulla ini mengecam 41 tesis yang ditarik dari ajaran-ajaran Luther. Eck dan Duta Besar, Aleander yang bertanggung jawab atas penyebaran bulla itu. Mereka mendesak Luther untuk menarik ajarannya itu dalam 2 bulan. Mengikuti desakan mereka berarti ia harus menarik ajarannya yang telah tersebar luas. Lagi pula sudah banyak barisan di belakang Luther dan bahkan Sylvester von Schaumburg menawarkan pada Luther perlindungan berkekuatan 100 bangsawan Frankonian; Franz von Sickengen dan Ulrich Hutten, yang menjunjung Luther setinggi langit sebagai : “Pemerdeka Jerman” (Kristiyanto, 2004, h.60).
Pada tahun 1520, Luther menerbitkan buku “An den christlichen Adel deutscher Nation ( Kepada Bangsawan Kristen Bangsa Jerman). Buku ini dikhususkan untuk orang Jerman. Dalam buku ini Martin Luther ingin merobohkan akan 3 (tiga) tembok yang memungkinkan gereja Roma bertahan. Tembok pertama adalah perbedaan antara imam (kekuasaan spiritual) dan awam (kekuasaan duniawi). Tembok yang kedua adalah hak istimewa hierarki untuk menafsirkan Kitab Suci. Tembok yang ketiga adalah previlese paus untuk memanggil konsili. Kemudian Luther menulis buku “De captivitate babylonica ecclesiae praeludium (Perihal Malapetaka Pembuangan Babilonia Gereja). Buku ini bertujuan untuk menghancurkan doktin-doktrin gereja mengenai sakramen. Luther tetap mempertahankan sakramen Baptis dan Ekaristi, sambil menyangkal transubstansiasi dan makna kurban Ekaristi. Dalam De libertate Christiana (Tentang Kebebasan Kristen), Luther menyanjung akan kebebasan (batin) manusia yang dibenarkan oleh karena iman dan kesatuan dengan Kristus (Lane, 1990, h.132).
Bagi Martin Luther tindakan baik itu tidak bermanfaat sama sekali untuk pembenaran. Tetapi tindakan baik itu wajib dilakukan karena manusia telah dibenarkan oleh iman. Setelah melewati batas waktu yang ditentukan dari penetapan Exsurge Domine, Melanchton bersama mahasiswa di Wittenberg ke lembah Sungai Elbe untuk melakukan ritus pembakaran teks-teks hukum dan skolastik klasik serta buku-buku Eck. Luther sendiri membakar Exsurge Domine, dan sebuah salinan Kitab Hukum Kanonik, dasar yuridis bagi corpus Christianorum Abad Pertengahan. Dua hari berturut-turut mereka berdemonstarsi melawan paus. Pemimpin Gereja Roma telah kelabakan dalam mengatasi Luther dan para pendukungnya dan tidak tahu lagi bagaimana cara mempertahankan kekuasaannya di Jerman tanpa dipermulakan. Akhirnya pada tanggal 3 Januari 1521, dikeluarkanlah bulla Decet Romanum Pontificem yang mengekskomunikasikan Martin Luther dan para pendukungnya. Popularitas Martin Luther makin teruji. Di setiap toko-toko buku di Worms berisikan buku-buku Martin Luther. Parlemen Worms akhirnya memutuskan utnuk mengusir Luther dan para pengikutnya dari kekaisaran; buku-bukunya dianggap sebagai bidah dan harus dimusnahkan; penyebarluasan doktrin Luther dilarang; siapa saja yang berkomunikasi dengan Martin Luther maka ia akan ditangkap dan harta kekayaannya akan disita. Dalam perjalannya kembali ke Wittenberg, Martin Luther “diculik” oleh pasukan berkuda atas suruhan Friederich dari Saxonia dan mengamankannya di Kastel Wartburg. Selama satu tahun (awal Mei 1521 hingga awal Maret 1522) Luther tinggal di kastel itu dan memakai nama samaran Junker Georg. Dalam kastel ini, Luther merasa aman. Aktivitas sehari-harinya adalah menerjemahkan Alkitab dari bahasa aslinya yaitu Ibrani dan Yunani ke bahasa Jerman. Ia selesai menerjemakan Alkitab dalam waktu 3 bulan dan dicetak di Wittenberg pada September 1522 sehingga disebut September Testament. Cetakan pertama terjual 3000 ekslempar dan cetakan keduanya pada bulan Desember dan disebut December Testament. Martin Luther berusaha supaya terjemahan itu sedekat mungkin dengan teks aslinya. Terjemahan tersebut membawa perubahan positif di Jerman khususnya bagi perkembangan bahasa Jerman dan nasionalisme. Pada tahun 1534 berhasil menerjemahkan seluruh Alkitab. Martin Luther juga menulis beberapa buku sekunder, misalnya Komentar Tentang Paulus, Surat-surat Paulus, Bacaan-bacaan Dalam Perjamuan Tuhan, Argumen-argumen Melawan Bulla Ekskomunikasi. Dan sebagai tanda terimakasihnya kepada Friederich karena telah menculiknya setelah ekskomunikasi kepausan dijatuhkan, ia menulis sebuah buku Magnificat verdeutschet und ausgelegt (1521).
Martin Luther pernah mengatakan bahwa Allah itu adalah Dia yang dari-Nya kita mengharapkan segala yang baik dan kepada-Nya kita lari dalam segala kesesakan (Jacobs, 2010, h.11). Bagi Martin Luther, doa adalah bagian yang sangat penting dalam agenda reformasinya. Teman Martin Luther yang bernama Johan Agricola mengumpulkan khotbah-khotbah Martin Luhter mengenai Doa Bapa Kami di City Church of Wittenberg dan menerbitkannya dengan judul The Exposition of Lord’s Prayer. Yang sangat luar biasa dari buku ini adalah buku ini terjual lima edisi pada tahun pertamanya (1518). Namun, Martin Luther belum puas. Ia meminta temannya yang bernama Nicholas von Amsdorf untuk menerbitkan sekali lagi buku yang sama. Inti perjuangan reformasi Martin Luther adalah doa. Dalam hidup dan pekerjaannya, doa dan teologi adalah hal yang tidak dapat dipisahkan. Baginya, doa menyatakan teologi dan teologi menyatakan doa. Martin Luther juga menegaskan bahwa teologinya adalah buah dari rangkaian doanya. Bapak reformasi ini menyatakan bahwa doa adalah keistimewaan khusus dari komunitas orang Kristen. Dalam karyanya, On Counsil and The Church, Martin Luther mengatakan bahwa doa adalah tanda eksistensi sebuah gereja. Sebuah gereja disebut eksis atau berada kalau gereja tersebut berdoa. Bagi perspektif Martin Luther, Reformasi Protestan juga termasuk reformasi doa. Martin Luther melihat reformasi sebagai usaha bagaimana gereja memahami dirinya sendiri di hadapan Allah dan bagaimana gereja memahami keterlibatan Allah di dalam dunia ini melalui gereja-Nya. Itulah mengapa jika kita ingin memahami Martin Luther, kita harus lebih dulu memaham dengan baik mengapa ia menghabiskan hidupnya untuk berdoa bagi reformasi. (Russel dalam Saragih dan Sipayung, 2013, h.26-27).
Dalam berbagai tulisan tentang Martin Luther, ia diketahui bahwa Martin Luther seorang yang tekun berdoa, setidaknya meluangkan waktu tiga jam untuk berdoa. Hal itu tampak dari tulisannya pada sahabatnya yang cukup panjang. Walaupun demikian, perlu diingat pula bahwa Martin Luther sendiri yang menyakinkan sahabatnya bahwa Roh Kudus yang paling baik membimbing dalam berdoa daripada diri Martin Luther. Martin Luther berulangkali mengingatkan bahwa contoh doanya itu bukanlah dogma yang kaku. Namun, doa dapat berubah. Hanya saja, doa itu sebisa mungkin mengikuti prinsip doa dalam Doa Bapa Kami (h.42). Martin Luther pernah berkata “saya mempunyai begitu banyak pekerjaan yang tak mungkin saya kerjakan kecuali jika saya berdoa tiga jam sehari. Hal ini menunjukkan bahwa bagi Martin Luther, doa mengefesienkan segala waktu kita. Bukankah kita sering memboroskan waktu karena kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan dan bagaimana melakukannya? Doa menyelesaikan setengah dari pekerjaan, demikian kata Martin Luther (Daulay, 2009, h.66).
Setelah kita melihat latar belakang Martin Luther dan sekilas mengenai kehidupan doanya, maka kita akan dapat mengerti bahwa hidup Martin Luther adalah hidup yang berdoa. Setiap kata diresapinya dengan penuh penghayatan, termasuk Doa Bapa Kami yang begitu menyentuhnya, seperti yang kita bahas di awal tulisan ini. Reformasi yang dihasilkannya merupakan hasil pergumulan doanya. Martin Luther melewati begitu banyak pergumulan, dimulai sejak ia merasa ditolak ayahnya, sampai ia mempertanyakan iman dalam surat pengampunan dosa. Tidak satu pun pertanyaan di dalam hidupnya dilewati tanpa berdoa. Dari doanya Martin Luther diantar menjadi seorang doktor dalam bidang teologi. Dan, dalam doanya juga ia menolak dogma surat pengampunan dosa. Pascareformasi gereja yang didengungkan oleh Martin Luther, banyak gereja memperbarui dirinya dari Gereja Katolik Roma. Hal itu terlihat dari banyaknya berbagai aliran gereja yang ada pada saat ini.
Katekismus Besar yang ditulis oleh Luther membahas lima pokok besar: 10 perintah Allah, iman, doa, baptisan dan perjamuan kudus. Bagian ketiga tentang doa sebenarnya merupakan penjelasan tentang Doa Bapa Kami, dan sebelumnya Luther menulis suatu pengantar mengenai doa. Ada beberapa hal yang kita bisa pelajari dari konsep Luther tentang doa pada bagian pengantar ini. Pertama, Luther mengaitkan doa dengan ketaatan terhadap perintah yang kedua “Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan sembarangan …” Seperti Calvin (yang menjelaskan prinsip ini lebih detail) Luther memahami 10 perintah Allah ini bukan hanya sebagai perintah negatif saja (maksudnya didahului dengan kata “jangan”), melainkan juga sebagai perintah yang positif. Dengan kata lain “Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan sembarangan” berarti kita harus menyebut nama Tuhan dengan benar. Tidak cukup hanya dengan tidak menyebut nama Tuhan dengan sembarangan. Maka ini berarti kita harus belajar untuk memuji nama-Nya yang kudus dan juga dalam kesengsaraan kita memanggil nama-Nya (berdoa kepada-Nya). Sehingga, berdoa merupakan ketaatan terhadap perintah Allah yang kedua. Dengan demikian, doa adalah suatu keharusan, bukan suatu pekerjaan yang boleh kita lakukan kapan kita mau. Kita berdoa berdasarkan perintah Allah, bukan berdasarkan kelayakan kita. Luther mengutip Yesaya 1:4, yang menyatakan bahwa Allah masih murka kepada mereka yang terpukul akibat dosa-dosa mereka, karena mereka tidak kembali kepada Allah dan melalui doa mereka meredakan murka Allah serta mencari kasih karunia-Nya. Dosa dapat membuat seseorang untuk semakin enggan berhubungan dengan Allah dan hubungan seperti itu akan semakin menghancurkannya. Kita tidak membangun doa di atas kesalehan pribadi kita, melainkan di dalam ketaatan akan perintah-Nya. Luther menegaskan bahwa Allah tidak melihat doa berdasarkan orang yang berdoa, melainkan berdasarkan firman-Nya (yang menjadi dasar dari doa tersebut) dan ketaatan kehendak kita. Maka inilah hal pertama dan yang terpenting: semua doa kita harus didasarkan atas ketaatan kepada Allah dan perintah-Nya, tanpa melihat diri kita, layak atau tidak layak. Dengan demikian doa dibangun atas suatu dasar yang teguh dan yang tak tergoncangkan yaitu firman Allah.
Kedua, menurut Luther, kita seharusnya terdorong untuk berdoa karena Tuhan adalah Tuhan yang berjanji. Tuhan berjanji untuk memberikan pada mereka yang meminta kepada-Nya. Jika kita menghargai janji-janji Tuhan, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, kita pasti terdorong untuk bertekun dalam doa. Fakta bahwa kita seringkali enggan untuk berdoa adalah karena kita tidak melihat bahwa janji-janji Tuhan sangat berharga bagi kita. Kita menganggap sepi janji-janji Tuhan bagi kita. Sebaliknya suka merenungkan janji-janji Tuhan memberikan dorongan terus-menerus bagi kita untuk berdoa, karena kita tahu sesuai dengan janjiNya, Dia pasti akan memberikannya kepada kita.
Ketiga, menurut Luther, Tuhan sendiri telah mengajarkan kata-kata dan bagaimana kita harus berdoa serta meletakkannya dalam mulut kita. Tidak ada alasan bagi kita untuk mengatakan kita tidak tahu bagaimana kita harus berdoa. Dia sangat memerhatikan kesengsaraan kita dan kita boleh yakin bahwa Doa Bapa Kami ini pasti berkenan kepada-Nya dan didengar oleh-Nya.
Keempat, bagi Luther, melalui kesengsaraan/penderitaan yang menekan kita, kita dapat berdoa senantiasa. Karena setiap orang yang meminta harus mengingini sesuatu, dan tanpa keinginan ini tidak ada doa yang sejati. Luther mengaitkan timbulnya keinginan ini justru pada saat kita mengalami kesulitan. Karena dalam kesulitan itulah timbul keinginan yang jujur dalam diri kita. Bukan berarti tidak mungkin kita bertumbuh dalam saat yang lancar, namun sesuai dengan natur kita yang lemah, kita cenderung berpuas diri  ketika tidak ada kesulitan yang terjadi. Rasa berpuas diri begitu merusak hingga dapat melumpuhkan kehidupan doa kita di hadapan Tuhan. Sebaliknya ketika kita berada dalam penderitaan, jiwa kita dibangunkan untuk berseru kepada Tuhan. Luther bahkan menegur dengan keras mereka yang hanya berdoa sebagai suatu tindakan perbuatan baik untuk membayar hutang kepada Allah. Orang-orang seperti itu tidak mau mengambil sesuatu dari Tuhan, melainkan hanya memberi! Kalimat ini mengejutkan kita karena yang seringkali kita dengar dan pelajari adalah “Jangan hanya meminta saja, melainkan memberi juga.” Namun yang dimaksud Luther di sini adalah tidak mungkin sebenarnya orang hanya memberi saja karena ini berarti tidak mengenal keterbatasan diri (yang bukan merupakan sumber). Dengan kata lain orang yang hanya mau memberi namun tidak suka meminta kepada Tuhan adalah seorang congkak yang merasa dirinya tidak pernah bisa habis, dan akhirnya mengakibatkan satu kehidupan yang tidak bergantung pada Tuhan. Kita semua memiliki cukup kekurangan yang nyata; persoalannya adalah bahwa kita tidak merasakan serta melihatnya dengan sadar. Memang penderitaan atau kesulitan pada dirinya sendiri bukanlah suatu kebajikan atau kebaikan (ada orang yang dalam penderitaan menjadi marah, pahit, dendam, kecewa, dingin, acuh tak acuh, mengejar kesenangan duniawi sebagai pengimbang duka dsb), namun dalam tangan Tuhan penderitaan dapat menjadi suatu sarana bagi kita untuk bertumbuh, asal kita berespon dengan benar (yaitu berseru kepadaNya di tengah penderitaan kita).
Kelima, menurut Luther, doa menjadi senjata yang ampuh dalam melawan permusuhan dengan iblis. Kita terlalu lemah untuk dapat mengalahkan kuasa iblis dengan kekuatan kita sendiri. Doa membawa kekuatan yang dari Tuhan untuk mengalahkan kuasa jahat, sehingga bukan kita yang berperang, melainkan Tuhan sendiri yang berperang. Rahasia ini selalu dimengerti oleh setiap pejuang iman yang namanya tercantum dalam sejarah Gereja. Dalam bagian yang lain Luther pernah mengatakan bahwa orang percaya yang berdoa adalah seperti pilar-pilar yang menopang dunia ini.
Apa yang disampaikan oleh Luther mengenai lima tentang doa, sejalan dengan apa yang digumuli Tom Jacobs. Menurut Jacobs, doa adalah pengerak agama. Tanpa doa, agama adalah upacara adat atau kebudayaan saja. Dalam doa, iman dibahasakan dengan segala kekhasan dan ciri dari bahasa itu sendiri. Bisa dengan bahasa yang puitis, suara lantang, bisa resmi, bahasa rakyat, dan bisa juga renungan di dalam hati. Semua bentuk itu merupakan doa yang baik karena yang pokok dalam doa itu tidak lain yang menyatakannya di dalam hati. Orang beriman berdoa untuk membuat imannya menjadi sadar dan jelas. Iman adlaah relasi dengan Allah, lebih khusus: tanggapan atas wahyu Allah. Relasi itu tidak mulai dengan doa. Relasi itu sudah ada sejak Tuhan menyatakan diri dan memanggil manusia. Karena itu, relasi juga tidak terbatas pada saat doa khusus. Doa adalah pertama-tama suatu sikap dasar, suatu kesadaran mengenai relasi dengan Allah. Tetapi yang paling khas dari doa adalah bahwa secara nyata-nyata, doa itu ditujukkan kepada Tuhan. Kalau doa menjadi suatu perasaan aman dalam hati yang hanya berpusat pada kepuasan diri sendiri saja, itu bukan doa sungguh-sungguh. Doa atau renungan yang hanya mencari ketenangan hati dan hiburan bathin bukanlah doa yang baik. (2010, h.23-24)
Alkitab sebagai sumber utama dalam teologi tentu tidak boleh luput dari bahan pembahasan tentang doa. Pengetahuan tentang doa harus dilihat juga dari apa kesaksian Alkitab tentang doa. Ada 307 kata doa di dalam Alkitab. Dari 307 kata doa di dalam Alkitab itu, ada beberapa hal menarik yang dapat kita lihat sebagai pemahaman tentang doa. Setidaknya ada 10 hal tentang doa yang dapat kita pelajari dari Alkitab, yaitu:
1.     Dalam surat Paulus pada jemaat di Roma, doa dipahami sebagai sarana untuk menguatkan manusia dan melakukan kehendak Allah : “Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan dan Allah yang menyelidiki hati nurani, mengetahui maksud Roh itu, yaitu bahwa Ia, sesuai dengan kehendak Allah, berdoa untuk orang-orang kudus” (Roma 8:26-27)
2.     Pemazmur menyatakan doa sebagai suara kejujuran hati orang percaya: “seandainya ada niat dalam hatiku, tentulah Tuhan tidak mau mendengar. Sesungguhnya, Allah telah mendengar, Ia telah memperhatikan doa yang kuucapkan” (Mzm.66:18-19)
3.     Dalam Amsal, doa berhubungan dengan mendengarkan hukum Tuhan: “siapa memalingkan telinganya untuk tidak mendengarkan hukum, juga doanya adalah kekejian (Ams.28:9)
4.     Dalam Injil Yohanes, doa dilihat sebagai janji penyertaan Yesus bagi umat percaya: “dan apa juga yang kamu minta dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya supaya Bapa dipermuliakan di dalam Anak. Jika kamu meminta sesuatu kepada-Ku di dalam nama-Ku, Aku akan melakukan-Nya”(Yoh.14:13-14)
5.     Menurut Paulus, doa merupakan sarana tempat mengucapkan syukur kepada Allah: Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. (Fil.4:6)
6.     Menurut Yesus dalam Injil Matius, kekuatan doa bukan ada pada kata-kata yang diucapkannya, tetapi pengalaman kita dalam mengenal Allah: “Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan. Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya” (Mat.6:7-8)
Lalu pertanyaannya kemudian adalah apa yang dapat dipahami umat Kristen Lutheran di Indonesia dari berdoa? Umat Kristen Lutheran di Indonesia dapat memahami doa berdasarkan fungsi dan perannya. Apa itu fungsi dan apa itu peran doa? Fungsi doa dalam konteks ini berbicara tentang kegunaan dari doa bagi umat Lutheran. Sedangkan peran doa adalah apa yang dapat dilakukan oleh umat Kristen Lutheran dengan doanya. Fungsi doa bagi umat Kristen Lutheran tidak jauh berbeda dengan fungsi doa saat Luther tengah berdoa. Sebelum menjadi rahib, Luther pernah berdoa ketika ia menjadi sangat takut dengan kilat. Doa di tengah rasa takut yang muncul tiba-tiba dalam diri Luther mewakili apa yang dirasakan oleh umat percaya. Manusia berdoa karena ia merasa terancam dan tidak mampu mengendalikan hal yang di luar kuasanya.
Dorongan Luther untuk berdoa kemudian dijelaskannya setelah ia menjadi rahib dan seorang doktor dalam dunia teologi, bahwa hal itu wajar apabila kita meminta perlindungan dari Tuhan saat merasa takut. Manusia terdorong berdoa karena Tuhan adalah Tuhan yang berjanji. Tuhan berjanji untuk memberikan pada mereka yang meminta kepada-Nya. Dan, ketika umat percaya berdoa di dalam ketakutannya, mereka menghargai janji-janji Tuhan. Dan, apa yang disampaikan oleh Luther juga sesuai dengan yang dikatakan di dalam Alkitab bahwa doa adalah sarana untuk menguatkan manusia serta melakukan kehendak Allah. Ketika Luther berdoa, ia melakukan kehendak Allah lewat nazarnya untuk menjadi seorang rahib. Reformasi gereja tidak akan mungkin terjadi apabila Luther pada saat itu tidak bernazar. Jadi, fungsi pertama dalam doa bagi umat Kristen Lutheran adalah sebagai penguatan dalam ketakutan dan sarana melakukan kehendak Allah.
Fungsi kedua dapat kita acu dari apa yang dikatakan Luther sebagai bentuk ketaatan kita pada perintah Allah. Menurut Luther, kita berdoa karena berdoa merupakan perintah dari Allah. Apa yang dikatakan oleh Luther juga senada dengan apa yang disaksikan oleh Alkitab bahwa doa berhubungan dengan hukum Tuhan. Di dalam melakukan hukum Tuhan sebenarnya terlihat bagaimana relasi kita dengan Tuhan. Jika kita melakukan hukum Tuhan, berarti kita masih berusaha menautkan diri dengan Tuhan. Relasi dengan Tuhan bukanlah suatu relasi yang baru dibangun. Relasi dengan Tuhan merupakan suatu relasi yang telah lama ada, bahkan sejak semula. Namun, kesadaran kita akan relasi kita dengan Tuhan terlihat di dalam doa kita. Untuk itu, ketika kita berdoa, doa juga berfungsi untuk menautkan kita kepada Tuhan dan menyadarkan relasi kita dengan Tuhan. Dalam kesadaran kita berelasi dengan Tuhan itulah kita akan terdorong melakukan perintah Tuhan.          Fungsi ketiga dari doa yang dapat kita pelajari adalah doa sebagai sarana mengucapkan syukur. Luther menjelaskan bahwa kita dapat berdoa dalam kesukaran sehingga tidak larut dalam rasa berpuas diri. Hal itu setara dengan apa yang disaksikan oleh Alkitab bahwa doa merupakan sarana mengucap syukur pada Allah sebagaimana yang disampaikan oleh Paulus pada jemaat di Filipi. Banyak orang berdoa dengan menyisipkan berbagai permintaan kepada Tuhan tetapi sedikit mengucapkan syukur.
Sedangkan peran doa bagi umat Kristen Lutheran adalah menjadikan kita sebagai orang yang jujur apa adanya. Di dalam doa, kita dapat berterus terang kepada Tuhan tanpa harus ada menyembunyikan sesuatu. Seperti yang dikatakan oleh Pemazmur, bahwa Tuhan tahu niat apa yang ada di dalam hati, sehingga ia mendengarkan dan memerhatikan orang yang memiliki niat tulus. Bukan orang yang berbasa-basi dengan panjang lebar dalam kata-kata doanya. Malah Yesus mengkritik orang yang terlalu berbasa-basi dengan doa adalah orang yang tidak mengenal siapa Tuhan.
Peran kedua dari doa adalah sebagai pilar terakhir umat percaya untuk tidak jatuh dalam kejahatan. Luther mengatakan “Doa membawa kekuatan yang dari Tuhan untuk mengalahkan kuasa jahat, sehingga bukan kita yang berperang, melainkan Tuhan sendiri yang berperang”. Dalam menjalani hidup, umat Kristen tentu menghadapi banyak tantangan. Terkadang, umat Kristen merasa bingung dan tidak tahu harus bagaimana dalam menghadapi tantangan. Namun, doa ternyata adalah teknik yang paling baik dilakukan agar tidak melakukan dosa. Terkadang, kita menjadi gelap mata saat sedang putus asa. Kita percaya bahwa dalam Tuhan bekerja melalui setiap doa yang kita panjatkan.
Terakhir, doa berperan sebagai agenda reformasi kehidupan. Kita mengetahui bahwa melalui doa, Martin Luther berhasil mereformasi gereja pada saat itu. Begitu pula dengan umat Kristen Lutheran di Indonesia saat ini, doa harus berperan untuk dasar reformasi kehidupan yang dijalani. Reformasi yang dimaksud tentu perubahan ke arah yang lebih baik, dan tidak terkungkung dalam dogma yang kaku tentang Tuhan. Dalam agenda reformasi umat Lutheran, dasar yang dijadikan nilai pergerakkan itu adalah Kasih Karunia Allah yang menyelematkan manusia. Upaya manusia untuk mencari keselamatan tidak akan berhasil jika mengandalkan kemampuannya. Oleh karena itu, manusia membutuhkan Kasih Karunia Allah yang menyelamatkan. Di situlah nilai reformasi itu berpijak, yaitu bukan pada kuasa manusia tapi atas belas kasih Allah pada manusia.


Daftar Pustaka

Berkhof, H. 2009. Sejarah Gereja. Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia
Boehlke, Robert R. 1997. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen. Jakarta : PT.BPK Gunung Mulia
Collins, Michael & Matthew A. Price. 1999. The Story of Christianity. Yogyakarta : Kanisius
Daulay, Richard M. 2009. Firman Hidup: Edisi 60. Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia
de Jonge, Christian. 1993. Gereja Mencari Jawab : Kapita Selekta Sejarah Gereja. Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia
Edwards, Mark U, Jr. 1983. Luther’s Last Battles. Tuta Sub Aegide Pallas
End, Th.van den. 2009. Harta dalam Bejana. Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia
Jacobs, Tom. 2010. Teologi Doa. Yogyakarta : Kanisius
Kristiyanto, Eddy A, OFM. 2004. Sejarah Pustaka Reformasi dari Dalam, Sejarah Gereja Zaman Modern. Yogyakarta : Kanisius
Lane, Tony. 1990. Runtut Pijar. Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia
Tjen, Anwar (penerjemah). 2007.  Katekismus Besar Martin Luther. Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia
Sumber Lain:
Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia



Tidak ada komentar:

Posting Komentar