Minggu, 23 Agustus 2015

Takut akan Tuhan dan Beribadah Kepada-Nya

Yosua & Bangsa Israel (Ilustrasi Gambar : Wikipedia)

Khotbah Minggu Umum, 23 Agustus 2015, GKPI Jemaat Khusus Jambi Kota
(Yos.24:1-2a, 14-18)

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus Kristus, Sang Kepala Gereja!
Suatu kali, Plato ingin mengetahui pendapat gurunya, Sokrates, tentang bagaimana untuk memilih cinta sejati. Karena itu, ia memberanikan diri untuk bertanya. Dari pertanyaan yang diajukan itu, Sokrates pun menjawab, “ “Ada ladang gandum yang luas di depan sana. Berjalanlah kamu tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambilah satu saja rantingnya. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta.” Plato lalu melakukan apa yang diperintahkan oleh gurunya itu dan tidak berapa lama kemudian kembalilah dia dengan tangan kosong tanpa membawa apa pun. Kemudian, gurunya bertanya: “Mengapa kamu tidak membawa satu pun ranting?” Plato menjawab: “Saya hanya boleh membawa satu saja dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali. Sebenarnya saya telah menemukan ranting yang paling menakjubkan, tetapi aku tidak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan di depan sana. Jadi saya putuskan untuk tidak mengambil ranting tersebut. Saat saya melanjutkan berjalan lebih jauh, baru saya sadari bahwa ranting-ranting yang kemudian tidak sebagus ranting yang tadi, jadi tidak ada satu pun ranting yang saya bawa pulang. Gurunya kemudian menjawab: “Jadi ya begitulah cara memilih cinta sejati.
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan!
Makna dari cerita tadi adalah dalam hidup kita harus memilih. Mau tidak mau kita harus memilih karena hidup ini merupakan pilihan. Sesulit apapun pilihan itu, kita harus memilih. Bila kita tidak menentukan pilihan, maka kita tidak akan mendapatkan apapun. Begitu pula dalam soal keyakinan/beragama, kita diberikan pilihan untuk memilih apakah beragama atau tidak beragama? Jika kita memilih untuk beragama, maka agama apa yang kita pilih? Dalam memaknai hidup yang berkaitan dengan pilihan, tentu kita tidak boleh asal dalam memilih. Oleh karenanya, kita dalam memilih harus menggunakan seluruh daya analitis, pengalaman, serta naluri kita agar jangan ada penyesalan di kemudian hari. Dalam menentukan pilihan, kita harus memikirkannya berulang-ulang sampai mendapatkan keyakinan akan pilihan itu. Demikianlah yang dilakukan oleh Yosua pada bangsa Israel pada saat hari-hari terakhir dalam hidupnya. Sebelum melepaskan bangsa Israel selamanya, Yosua ingin menegaskan pilihan bangsa Israel dalam ber-Tuhan. Apa yang dilakukan Yosua rasanya logis, karena setelah perjalanan yang panjang dari tanah perbudakan di Mesir sampai masuk tanah perjanjian di Kanaan, bukan tidak sering bangsa Israel berpaling dari Tuhan. Mereka berpaling karena selalu bersungut-sungut ketika mereka mengalami penderitaan (band.Yos.24:2). Sekarang, mereka tiba di hari yang baru. Masa perbudakan sudah berakhir. Tanah kehidupan yang baru sudah direbut dari tangan musuh. Mereka akan memulai segala sesuatu dari awal. Dalam menjalani awal kehidupan yang baru sebagai suatu bangsa merdeka, Yosua tidak dapat lagi mendampingi Israel karena ia sudah terlalu tua untuk itu. Maka, Yosua mengumpulkan bangsa Israel (ay.1) dan bertanya pada mereka akan siapa yang mereka pilih menjadi Tuhan mereka? (ay.15). Namun, sebelum mereka menjawab, Yosua terlebih dahulu menjelaskan bahwa bila mereka nantinya memutuskan beribadah kepada Tuhan Allah, mereka harus takut dan beribadah kepada-Nya secara tulus dan ikhlas, juga setia. Tidak seperti yang dilakukan oleh nenek moyang mereka dahulu (ay.14). Secara pribadi, Yosua menyatakan pilihannya bahwa “ia dan seisi rumahnya akan beribadah kepada Tuhan (Allah)”. Karena, Yosua telah menyaksikan secara langsung bagaimana Tuhan Allah menuntun mereka sampai pada tanah perjanjian.
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus Kristus Sang Kepala Gereja!
Lantas, bagaimana jawaban bangsa Israel? Ternyata, mereka menjatuhkan pilihan yang sama dengan Yosua. Mereka menjawab “jauhlah dari kami meninggalkan Tuhan untuk beribadah pada allah lain!” Alasan mereka karena mereka juga menyadari bahwa Tuhan Allah saja yang menolong bangsa Israel mulai dari masa nenok moyang mereka di tanah Mesir (rumah perbudakan) sampai di tanah Kanaan. Juga, tanda-tanda mukjizat yang telah ditunjukkan oleh Tuhan Allah di sepanjang perjalanan. Serta, bagaimana Tuhan Allah yang ikut serta dalam peperangan melawan orang Amori serta musuh-musuh lainnya. Sehingga, keputusan mereka sudah bulat untuk beribadah kepada Tuhan Allah (ay.16-18).
Ibu, Bapak, dan Jemaat sekalian!
Dari pilihan yang dilakukan oleh Yosua dan bangsa Israel, kita menemukan satu hal yang sama, yaitu mereka sama-sama memilih berdasarkan pengalaman hidup yang mereka alami serta rasakan. Dari pengalaman itu, mereka menganalisis yang melibatkan naluri kemanusiaan serta keagamaan mereka, sehingga menjatuhkan pilihan untuk beribadah kepada Tuhan Allah. Tentu, konsekuensinya sudah mereka pahami, yaitu mereka harus beribadah dengan takut serta beribadah dengan tulus, ikhlas, dan setia. Sebelum melangkah jauh ke dalam konsekuensi, kembali ke soal pilihan, kita dapat melihat juga bagaimana pengalaman hidup beriman dalam beribadah kepada Tuhan menjadi sangat penting bagi manusia. Martin Luther menjelaskan soal pengalaman hidup beriman, bahwa umat percaya tidak dapat menemukan keselamatan di dalam akan pencarian imannya sendiri. Baik itu melalui perbuatan-perbuatan baiknya. Atau apapun usaha yang diperbuatnya. Namun, hanya karena kebaikan Tuhan lewat anugerah-Nya, sehingga kehidupan beriman kita dapat dibenarkan. Jadi, pengalaman hidup beriman itu sangat terkait dari bagaimana kita menyadari bahwa Tuhan telah memberikan kita banyak kebaikan dalam hidup, terkhusus di dalam anugerah-Nya, sehingga kita beroleh pembenaran iman. Kita semua menyadari bahwa kita dapat hidup sampai dengan saat itu tidak lain karena belas kasihan Tuhan. Dengan demikian, belas kasih Tuhan adalah pengalaman hidup beriman yang kita saksikan sepanjang waktu. Sehingga, kita dapat memutuskan dengan tegas pilihan kita untuk mengikuti-Nya. Atas dasar itulah, kita kemudian berbicara tentang konsekuensi pilihan. Karena belas kasihan Tuhan, maka kita beribadah pada Tuhan dengan takut, taat, tulus, dan setia. Apakah yang dimaksud beribadah dengan takut akan Tuhan? Apakah kita takut seperti resah, cemas, khawatir, gelisah, serta tertekan ketika beribadah? Atau seperti apa? Dalam Alkitab Ibrani, takut dibedakan ke dalam dua kata, yaitu “pa-khad” dan “yi-rah”. Pa-khad itu artinya takut yang mencemaskan seperti ada rasa teror. Sedangkan, Yi-rah menekankan takut dalam nuansa hormat ataupun dapat dipahami sebagai suatu sikap segan yang tidak berlaku sembarangan. Jadi, ketika dikatakan kita beribadah dengan takut akan Tuhan, maka hal itu berarti kita harus beribadah dengan rasa segan pada Tuhan. Bersikap sungguh-sungguh seperti ketika menghadapi orang besar dalam hidup kita. Misalnya saja, jika kita hendak bertemu dengan seorang tamu yang tidak lain merupakan pejabat besar negara, maka kita akan mengatur cara berpakaian serta berbicara, bahkan gerak-gerik kita ketika berinteraksi dengannya. Namun, ketika kita hendak bertemu dengan tamu yang tidak lain adalah teman kita sendiri, maka kita tidak segan untuk berperilaku biasa-biasa saja. Bahkan, kita cenderung bersikap kurang sopan. Seperti itulah sikap takut yang diminta dalam beribadah kepada Tuhan, seolah-olah hendak akan bertemu dengan tamu besar.
Akan tetapi, dalam kenyataannya, kita dalam menghadap Tuhan tidak selalu benar-benar takut, sekalipun kita diminta takut dalam beribadah. Misalnya saja, ketika ibadah sudah dimulai, masih saja kita asyik berbicara dengan orang di sekitar kita walaupun itu tidak ada hubungannya dengan firman Tuhan. Atau, malah ada juga orang yang dengan sengaja tidur saat sedang beribadah. Tidak jarang juga ada orang yang keluar masuk gereja dengan seenaknya sekalipun ibadah sedang berlangsung. Atau, saat beribadah, kita makan atau minum, lalu sampahnya kita buang ke lantai dan tinggalkan begitu saja. Di situ, apakah kita telah bersikap hormat kepada Tuhan ketika beribadah?
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan!
Selain beribadah dengan sikap takut akan Tuhan, kita kemudian diingatkan juga konsekuensi lain ketika kita memilih Tuhan Allah yang kepada-Nya kita beribadah. Konsekuensi itu adalah kita harus beribadah dengan ikhlas, setia, dan tulus. Di sini, perbedaan antara ikhlas dan tulus adalah bila dikatakan beribadah dengan ikhlas, maka ia akan beribadah dengan hati yang bersih, tidak ada unsur paksaan. Berbicara soal beribadah dengan ikhlas, saya jadi teringat beberapa minggu belakangan di mana saya bersama rombongan guru sekolah minggu (GSM) melakukan program kunjungan bagi anak-anak sekolah (ASM) yang sudah jarang beribadah. Ada sebagian warga jemaat yang mengatakan bahwa ASM tidak boleh dipaksa beribadah. Hal yang sama juga terjadi ketika saya dan beberapa GSM menjemput ASM yang ada di ruang ibadah minggu dewasa untuk pindah ke ruang ibadah ASM di tempat berbeda. Ada juga warga jemaat yang mengatakan bahwa ASM tidak boleh dipaksa beribadah. Dua peristiwa ini menurut hemat saya adalah letak kesalahpahaman dari warga jemaat dalam memahami keikhlasan dalam beribadah. Bukan sebagai apologi, tetapi sesuatu yang tidak jelas tentu harus diluruskan. Harus diakui, tidak ada seorang pun yang boleh memaksa orang lain untuk beribadah. Yosua sekalipun diceritakan dalam nas saat ini tidak ada memaksa orang Israel beribadah kepada Tuhan. Namun, adapun maksud kunjungan dari GSM ke rumah-rumah, serta menjemput ASM dari gedung ibadah umum dewasa, tidak lain hanya sekadar mengingatkan bahwa sudahkah kita ikhlas beribadah kepada Tuhan? Kalau ASM dan orangtuanya ikhlas beribadah pada Tuhan, pasti mereka pergi beribadah ke gereja tiap hari minggu dan datang dalam kebaktian sektor. Dan juga, orangtua mengantarkan anak-anaknya untuk beribadah di sekolah minggu karena anak-anak tentu tidak memahami khotbah orang dewasa. Namun, jika dirasa itu pun tidak berkenan, itu menjadi pilihan bebas orangtua dan ASM. Tidak ada paksaan dalam beribadah. Jika orangtua memutuskan untuk tidak mengantarkan orangtuanya pergi sekolah minggu karena orangtuanya juga malas pergi bersekutu di gereja, silakan saja tidak ada paksaan. Karena, beribadah memang tidak harus di rumah ibadah, tapi persekutuan itu penting, dan salah-benarnya tindakan kita akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya kelak di hari terakhir. Begitu pula, jika orangtua enggan mengantarkan anak-anaknya pergi beribadah ke sekolah minggu, silakan saja karena tidak ada paksaan dari gereja. Namun, benar tidaknya pertumbuhan iman anak itu akan dipertanggungjawabkan oleh orangtuanya juga kelak kepada Tuhan. Di sinilah letak keikhlasan beribadah, apakah kita benar-benar memberikan hati kita secara bersih dan terbuka dalam beribadah kepada Tuhan?
Kemudian, soal tulus dalam beribadah. Ketulusan beribadah itu dipahami dengan beribadah tanpa ada maksud apa-apa. Dalam beribadah, ada banyak partisipasi dari imam dan jemaat. Pertanyaannya adalah apakah partisipasi mereka dalam beribadah itu benar-benar beribadah atau adakah motif lain? Tidak jarang terjadi ketidakcocokan di antara para pelayan di suatu gereja karena para pelayannya berlomba-lomba ingin menonjolkan dirinya di gereja. Sehingga, apabila ia tidak melakukan suatu kegiatan apapun di gereja, ia merasa kurang dihargai. Begitu pula dengan jemaat yang beribadah, apakah mereka benar-benar beribadah? Tidak jarang ada jemaat yang datang ke gereja ingin memamerkan perhiasan, mode pakaian, mode sepatu, merk mobil, merk tablet, dsb. Atau, saat pesta demokrasi sedang mendekat, kita sering melihat bahwa calon legeslatif ataupun calon pemimpin daerah sering tampil di gereja-gereja di mana mereka mendadak menjadi orang kaya yang baik hati. Tentu gereja tidak hendak mengambil sikap menjaga jarak terhadap orang seperti ini, apalagi berpikir negatif, semua dikembalikan pada pribadi masing-masing apakah kita memiliki keikhlasan dan ketulusan dalam beribadah.
Dan yang terakhir, kesetiaan dalam beribadah. Indikator kesetiaan dalam beribadah tidak hanya dilihat dari keaktifan seseorang dalam mengunjungi ibadah-ibadah yang diselenggarakan, tetapi juga dalam peribadahannya secara pribadi dengan Tuhan. Apakah ia setia tetap berdoa untuk mengucap syukur kepada Tuhan sekalipun harinya tidak menyenangkan. Apakah ia tetap setia memuji Tuhan sekalipun terjadi hal yang tidak baik dalam hidupnya. Kesetiaan mengikut Tuhan tentu tidak hanya diukur di saat kita sedang suka saja. Tetapi, kesetiaan kita juga harus dibuktikan di tiap kondisi, termasuk di kala sedang duka.
Ibu, Bapak, dan Jemaat sekalian yang dikasihi oleh Tuhan Yesus, Sang Kepala Gereja!
Akhirnya, dari sekian banyak pembahasan yang telah disampaikan, pertanyaan besarnya adalah apa yang dapat kita refleksikan untuk diaplikasikan dalam kehidupan beriman kita? Saya mencatat setidaknya ada dua hal, yaitu,
Pertama, sudah tepatkah kita memilih Tuhan sebagai Allah kita? Sehingga, dengan bangga kita dapat berkata, “Aku dan seisi rumahku beribadah kepada Tuhan?”. Sekalipun kita sudah matang dalam memutuskan pilihan bahwa Tuhan telah menjadi Allah dalam hidup kita, maka tidak ada salahnya juga bagi kita untuk merenungkan kembali mengapa kita memilih Tuhan sebagai Allah dalam hidup kita? Apakah karena kita diberikan berkat kekayaan, kesehatan, keturunan yang hebat, dsb? Biarlah perenungan kita itu membawa kemantapan langkah kita dalam mengikut Tuhan. Sehingga, dalam keadaan buruk sekalipun kita dapat menyaksikan Tuhan adalah Allah kita.
Kedua, benarkah kita sudah beribadah dengan takut, tulus, ikhlas, serta setia? Saya mengambil contoh beberapa hari lalu kita digegerkan dengan pemberitaan bahwa Frangky Sihombing mengakui perselingkuhannya dengan Febby Febiola. Ada seorang jemaat yang bertanya pada saya, “Theo, perlukah kita tolak penggunaan lagu Frangky Sihombing di gereja kita?” Saya menjawab, “Hal ini seperti seorang pernah bertanya pada Martin Luther, bagaimana bila seorang imam pendosa melayankan sakramen Perjamuan Kudus, apakah sakramen itu sah? Martin Luther menjawab bahwa sakramen itu sah karena kekudusan sakramen itu bukan karena imam ataupun manusia, melainkan karena firman Tuhan yang menyertainya. Begitu pula dengan kasus lagu Frangky Sihombing, yang bersalah adalah pribadi Frangky Sihombing dan bukan firman Tuhan yang dirangkaikan ke dalam lagu itu”. Hubungan contoh ini dengan refleksi beribadah takut, tulus, ikhlas, dan setia adalah sebaiknya ibadah kita jangan kita gantungkan pada sesuatu, baik itu orang ataupun gerejanya. Apabila kita beribadah hendaklah kita benar-benar beribadah. Sering kita menjumpai ada orang yang membandingkan gereja X dan gereja Y. Salah seorang warga GKPI yang sering beribadah di gereja lain pernah berkata bahwa ia tidak suka beribadah di GKPI karena panas, gerah, musiknya kayak gereja di kampung-kampung. Saya sangat marah mendengar cerita itu dan saya menjawab, “Anda beribadah sebenarnya menyenangkan pribadi Anda atau Tuhan?” Saya berpikir bahwa GKPI telah merancangkan liturgi beribadah yang memadukan kekhusyukan dan kekudusan seperti yang kita lakukan pada saat ini. Jadi, kita jangan pernah sama sekali menggantungkan peribadahan kita pada sesuatu baik itu benda maupun orang, karena kita tidak akan dapat beribadah dengan takut akan Tuhan, ikhlas, tulus, dan setia.
Biarlah firman Tuhan saat ini menguatkan dan meneguhkan hati kita semuanya. Amin!

Jumat, 21 Agustus 2015

Harapan itu Masih Ada

Nebukadnezar (Ilustrasi Gambar : Wikipedia)

Pada waktu itu Yehuda akan dibebaskan dan Yerusalem akan hidup dengan tenteram. Dan dengan nama inilah mereka dipanggil: Tuhan keadilan kita! (Yer.33:16)

Gejolak politik di suatu bangsa timbul karena adanya reaksi yang berlebih dari suatu gerakan. Misalnya saja ketika berbicara tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau yang lebih sering didengar dengan istilah G30S, kita menemukan sepenggal fakta bahwa adanya gerakan dari militer untuk menggulingkan rezim Soekarno. Pada saat itu, Soekarno lebih berpihak pada negara sosialis di Eropa daripada Amerika Serikat. Sehingga, organisasi intelejen Amerika yang menjalin kerjasama dengan beberapa tokoh militer Indonesia, seperti Soeharto, membuat gerakan bahwa seolah Indonesia dalam bahaya ketika bekerja sama dengan negara sosialis.  Satu-satunya cara adalah menggoyang posisi Soekarno agar kendali pemerintahan dipegang. Kemudian, rezim pengganti Soekarno yang menamakan diri mereka sebagai Orde Baru membuat suatu mistifikasi bahwa paham sosialis itu adalah komunis, dan komunis itu adalah ateis. Padahal, tidak pernah terbukti ada kaitan antara gerakan sosialisme dengan paham tanpa agama. Malahan, tokoh pejuang sosialis di Indonesia itu banyak dari golongan agamawan, baik itu Kristen maupun dari kalangan Islam. Namun, mistifikasi itu berhasil. Jutaan orang yang tidak mengerti soal politik tewas dihabiskan dengan cara mengenaskan. Pembicaraan mengenai komunisme hingga saat ini di Indonesia pun seolah dibungkam karena takut diciduk oleh pemerintah. Jutaan orang yang menjadi korban seperti lenyap begitu saja tanpa dipermasalahkan ke ruang pengadilan pelanggaran hak asasi manusia internasional.
Gejala yang hampir sama terjadi di Yerusalem pada saat itu. Setelah Yoyakim dilengserkan oleh Nebukadnezar, raja Babel, yang mengekspansi kerajaan Israel pada saat itu, Zedekia diangkat menjadi raja Yehuda menggantikan Yoyakim dan para pendukungnya yang dibuang ke Babel pada gelombang pertama. Ternyata, Nebukadnezar salah menunjuk orang karena Zedekia tidak menghendaki ekspansi bangsa Babel. Malahan, Zedekia bekerja sama dengan Mesir untuk memerangi Babel. Hal ini membuat kemarahan raja Babel itu tidak terbendung sehingga Yehuda siap diserang dengan kekuatan penuh. Yerusalem dikepung dan suasana mencekam. Nas kita pada saat ini merupakan nubuatan Tuhan yang dinyatakan lewat Yeremia pada bangsa Yehuda, setelah Yehezkiel ikut dibuang dalam gelombang pertama. Tuhan akan menunjukkan keadilannya pada mereka di suatu saat nanti. Namun, mereka harus rela dibuang ke Babel karena bangsa Yehuda lebih memilih berlindung pada Mesir daripada kepada Tuhan Allah. Akhirnya, banyak korban yang jatuh atas penyerangan bangsa Babel ke Yerusalem. Bait Allah dihancurkan dan Yerusalem bagaikan seorang perempuan yang diperkosa, tidak memiliki harga diri lagi untuk dipertahankan. Mereka salah memercayakan perlindungan politik pada Mesir, karena Mesir tidak dapat menolong. Sehingga, nubuatan Tuhan pada Yeremia bagaikan oase di padang gurun. Begitu menyejukan hati mereka yang kering karena penindasan. Ternyata, harapan itu masih ada.
Demikian pula sebagai umat percaya, kita terkadang harus menghadapi permasalahan yang rumit dalam hidup karena mungkin disebabkan oleh kesalahan kita sendiri. Kita mencoba dengan segala upaya kita untuk keluar dari persoalan itu. Kita mungkin mengandalkan orang lain untuk membantu kita. Namun, kita tetap gagal dan orang lain tidak banyak menolong. Hal ini membawa pada ketakutan bahwa kita akan segara berakhir. Akan tetapi, marilah kita ingat bersama-sama bahwa kita tidak akan segara berakhir karena harapan itu masih ada. Tuhan tidak akan membiarkan kita bergumul sendiri dalam persoalan hidup. Seperti nubuatan Yeremia bahwa kita akan kembali hidup tenteram karena Tuhan adalah Tuhan yang adil dan memerhatikan pergumulan umat-Nya.

Senin, 17 Agustus 2015

Tabita: “Dibangkitkan oleh Cinta”


Khotbah di Sie.Perempuan GKPI JKJK, 14 Agustus 2015
Kisah Para Rasul 9 : 36 - 42

Tabita /Dorkas (ilustrasi: jeniuscaraalkitab.com)
Seksi Perempuan GKPI JKJK yang dikasihi oleh Tuhan!
Dijelaskan dalam nas, Tabita memiliki nama lain yaitu Dorkas (ay.36). Namun, bukan hal itu yang ingin diceritakan dari kitab Kisah Para Rasul. Hal yang ingin diceritakan adalah Tabita, seorang perempuan yang baik dan rajin memberi sedekah, meninggal dunia. Fakta ia meninggal diperjelas dengan gambaran bahwa ia telah dimandikan dan mayatnya di baringkan di ruang atas (ay.37). Ada banyak orang yang menangisi kepergiannya. Setidaknya, itu terlihat dari bagaimana banyak orang yang menunjukkan baju yang pernah dipakai dan pakaian yang dibuatnya saat ia masih hidup (ay.39). Sangking cintanya banyak orang pada dirinya, ada sekelompok orang yang berusaha untuk menunda “kepergiannya”. Caranya adalah dengan memanggil Petrus, murid Yesus yang dikenal dapat membuat mukjizat, yang diketahui sedang berada di Lida di mana jaraknya tidak terlalu jauh dari Yope (ay.38). Mereka pun mengutus dua orang untuk menjumpai Petrus sembari berusaha menghadirkannya segera walaupun mungkin terkesan sudah terlambat.
Seksi Perempuan GKPI JKJK yang dikasihi oleh Tuhan!
Hal yang unik adalah dua orang itu sudah mengetahui bahwa Tabita sudah mati. Namun, mereka meminta untuk Petrus datang segera (ay.38). Petrus menyetujui dan segera berkemas untuk pergi bersama mereka. Mungkin, keganjalan Petrus terjawab mengapa mereka berpikir tidak masuk akal setelah melihat betapa banyak orang yang kehilangan Tabita. Orang banyak menunjuk-nunjukkan baju dan pakaian Tabita pada Petrus (ay.39). Sebagai orang Yahudi, Petrus tentu paham bahwa orang yang menangis di rumah duka merupakan orang bayaran untuk menangis. Tetapi, ekspresi orang yang ada di rumah duka itu berbeda dari orang bayaran. Inilah yang mendorong Petrus untuk menolong Tabita. Petrus pun berdoa pada Tuhan agar Tabita dibangkitkan kembali (ay.40). Dan, Tabita pada akhirnya dibangkitkan oleh Tuhan melalui perantara Petrus (ay.41). Namun, hal yang terpenting sebenarnya adalah Tabita dibangkitkan oleh cinta banyak orang yang sungguh-sungguh mengasihinya.
Seksi Perempuan GKPI JKJK yang dikasihi oleh Tuhan!
 Belajar dari kisah Tabita, bagaimanakah orang lain melihat kita? Adakah kita menjadi sosok yang dikasihi? Adakah kita menjadi sosok yang dirindukan? Kita tentu tidak bisa mengukurnya sendiri. Akan terlalu subjektif bila kita menilai sendiri. Namun, kita sesekali perlu untuk mengukur arti hadir kita di hadapan orang lain. Mengapa? Agar kita dapat instropeksi diri! Kita dapat memerhatikan tanda-tanda kecil apakah kita diterima atau ditolak. Misalnya saja, apabila kita berada di tengah-tengah orang banyak, adakah orang banyak itu tertawa lepas bersama kita? Adakah mereka senang bercerita dan berkomunikasi dengan kita? Apabila orang banyak yang ada di sekitar kita tidak bisa tertawa bersama dengan kita, artinya kita memiliki persoalan dengan keberadaan kita. Begitu pula, jika dengan kehadiran kita, tiba-tiba orang banyak yang berkumpul satu per satu pergi meninggalkan kita, itu tandanya kita tidak diterima.  Jika memang kehadiran kita benar-benar tidak disukai, maka kita jangan berpikir hidup kita sudah berakhir. Tidak! Kita dapat menginstropkesi diri dengan memerhatikan secara detail apa perilaku kita yang kurang baik selama ini. Apakah kita berbicara terlalu meninggi? Atau, terlalu membual? Atau, tidak dapat dipercaya? Atau, suka membicarakan orang lain? Kita dapat menguraikan kekurangan kita satu per satu lalu memperbaikinya. Akan tetapi, apabila kita diterima dalam komunitas, bahkan sangat diterima, kita jangan lekas berpuas diri. Kita juga masih dapat menginstropeksi diri kita. Kita benahi kekurangan kita dan kita pertahankan apa yang baik dari kita. Kebangkitan Tabita dari kematian membuktikan bahwa kematian dapat dikalahkan dengan cinta/kasih. Tuhan memberkati kita!

Sabtu, 08 Agustus 2015

Tuhan Mendengar dan Menyelamatkan Orang Tertindas

Refleksi Ibadah Minggu 9 Agustus 2015
Mazmur 34 : 1 - 8


Dok.Pribadi : Sirombu November 2014
Pelarian dari Saul membawa Daud pada berbagai pengalaman hidup beriman. Salah satu episode dari kisah pelarian Daud adalah ia harus berjumpa dengan Akhis, Raja Gat. Daud tentu tidak dapat menghindari peristiwa itu, karena ia harus terus bergerak agar tidak dapat terjangkau oleh Saul. Bagi Daud, ini ibarat “keluar dari kandang macan, masuk ke mulut buaya”. Di satu sisi, Daud harus lari dari Saul. Di sisi lain, Daud tidak bebas ke mana saja, karena ia harus melewati teritorial penguasa lain yang pernah menjadi lawannya. Untuk melewati Gat, wilayah Filistin, tentu Daud harus meminta suaka dari Akhis. Tanpa itu, Daud akan menjadi tahanan bangsa Filistin. Sehingga, kalau tidak diserahkan pada Saul untuk dihukum, maka orang Gat sendiri yang menghabisinya. Mengapa baik Saul dan orang Gat itu membenci Daud? Alasannya tidak lain karena Goliat. Saul tidak senang karena nama Daud menjadi semakin tenar dibandingkan dirinya ketika Goliat berhasil dikalahkannya. Para rakyat Israel bersorak “Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa” (1.Sam.18:6-8). Inilah yang membuat hati Saul begitu sakit sehingga ia berencana untuk”menyelesaikan” permasalahan hidupnya. Sedangkan persoalan Daud dengan Akhias, Raja Gat-bangsa Filistin adalah Daud baru saja membunuh pahlawan terbaik orang Gat, yaitu Goliat (1.Sam.17:4). Sorak-sorai orang Israel pada Daud yang berhasil mengalahkan Goliath jugalah (1.Sam.21:11) menjadi pengingat yang buruk bagi orang Gat akan Daud. Ditambah, Daud memegang pedang Goliat yang dibunuhnya itu. Inilah yang kemudian membuat Daud sangat ketakutan (1.Sam.21:12). Dalam kondisi yang semakin berbahaya, Daud berhasil menemukan jalan keluar atas situasi buruk itu. Daud berpura-pura gila dengan cara menggores-gores pintu gerbang dan membiarkan air liurnya meleleh ke janggut (1.Sam.21:13). Melihat Daud berlaku demikian, Akhias pun melepaskan Daud (1.Sam.21:14-15). Peristiwa ini tentu akan sangat dikenang oleh Daud sebagai bagian dari perjalanan hidup berimannya. Yang sangat menarik adalah Daud melihat bahwa ia bisa lepas dari Akhias karena penyertaan Tuhan, bukan atas kehebatan dirinya sendiri. Hal itu dapat kita lihat dari mazmurnya yang menyaksikan pertolongan Tuhan atas hidupnya, di mana mazmur tersebut menjadi renungan bagi kita pada saat ini, Mzm.34:1-8.

Dalam Mazmur 34 memang tidak disebutkan di sana Akhias, malahan disebut Abimelekh. Hal ini tidak menjadi persoalan karena Abimelekh merupakan nama raja bagi Akhis pada saat itu. Sama seperti jabatan paus, raja di Vatikan, di mana seorang paus boleh memilih nama pausnya apa. Misalnya saja, Karol Josef Wojtyla memilih memakai nama Paus Yohanes Paulus II. Begitu pula dengan Joseph Ratzinger yang menggunakan nama paus Benedictus XVI. Sedangkan, paus terakhir, Jorge Mario Bergoglio menggunakan nama paus Fransiskus. Hal yang menjadi fokus renungan kita pada saat ini dapat dibagi menjadi tiga hal, yaitu : 1) adanya pengakuan Daud akan campur tangan Tuhan dalam menolong perkara hidupnya melalui pujiannya (ay.2-6); 2) Adanya pengakuan dari Daud bahwa ia adalah manusia biasa yang merasa ditindas oleh sesamanya. Sehingga, Daud memercayai perkaranya kepada Allah yang menciptakan manusia itu; 3) Adanya pengakuan Daud akan perlindungan Tuhan pada dirinya yang takut akan Tuhan. Pertolongan Tuhan bisa datang dalam bentuk malaikat perlindungan.

Pujian Daud kepada Tuhan merupakan pengakuan Daud terdalam akan campur tangan Tuhan atas pertolongan besar yang dilakukan di dalam kehidupannya. Di sini terlihat bagaimana Daud tidak menonjolkan kehebatannya dalam menangani suatu persoalan/tantangan hidup. Namun, Daud mengakui bahwa tanpa campur tangan Tuhan di dalam perkaranya, Daud tidak akan selamat dari bahaya. Hal yang dapat kita teladani dari Daud adalah bagaimana kita dapat mengakui campur tangan Tuhan dalam kehidupan kita? Belajar dari Daud, pengakuan itu datang lewat pujian dan mazmur. Adakah seorang beriman pada saat ini yang melakukan hal seperti Daud-memuji Tuhan dan mengumandangkan mazmur-atas syukur kita akan penyertaan tangan Tuhan? Memuji Tuhan dan mengumandangkan mazmur pada masa sekarang tentu sudah berbeda dengan masa Daud. Pada masa sekarang, orang beriman dapat memuji Tuhan dan mengumandangkan mazmur melalui ibadah-ibadah yang dilakukannya. Di dalam setiap peribadahan, kita dapat bermazmur lewat pujian-pujian kita yang sampaikan lewat nyanyian jemaat, paduan suara yang indah, serta jiwa yang bernyanyi karena telah menyatu di dalam aliran peribadahan yang hikmat. Dan, umat beriman juga dapat mengucapkan syukur kepada Tuhan lewat penerimaan mereka akan firman Tuhan di hati sanubari mereka, serta memberikan persembahan atas rasa syukur mereka. GKPI telah merumuskan peribadahannya sebagai persekutuan penyembahan dan persembahan. Oleh karena itu, tiap pelayan dan warga GKPI, harus lebih dapat menyadari bahwa ibadah merupakan sarana bermazmur bagi Tuhan serta mengucapkan syukur lewat penyembahan dan persembahan yang dilakukan. Namun, agar praktik ibadah ini tidak jatuh pada suatu kultus belaka, maka hal kedua yang harus diperhatikan dalam setiap peribadahan adalah bagaimana yang dapat dilakukan umat percaya terhadap sesamanya?
Persoalan manusia di sepanjang segala abad adalah bisakah ia hidup berdampingan dengan sesamanya manusia? Jika memerhatikan apa yang terjadi di antara Daud dan Saul, kita akan menemukan, bahwa ketidakmampuan manusia untuk hidup bersama adalah karena pembuktian kemampuan berkuasa. Saul merasa Daud jauh lebih unggul darinya, sehingga sebelum Daud menyadarinya lebih jauh, Saul terlebih dahulu ingin menyingkirkan Daud. Begitu pula persoalan Daud dengan bangsa Filistin-orang Gat, di mana akar persoalannya adalah penaklukkan daerah kekuasaan. Gara-gara tanah, manusia bisa saling bunuh dan menghancurkan antara satu dengan yang lain. Dalam kajiaan teori kebutuhan Maslow, setidaknya ada lima kebutuhan manusia yang harus terpenuhi. Kebutuhan paling rendah adalah kebutuhan fisiologis, dilanjutkan dengan kebutuhan rasa aman dan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan ego, dan yang tertinggi adalah aktualisasi diri. Konflik Daud dengan Saul ada pada kebutuhan ego dan aktualisasi diri. Saul takut bahwa Daud lebih dipuja oleh masyarakat Israel, sehingga Saul tidak dapat mengaktualisasikan dirinya menjadi seorang raja yang kuat. Di sinilah letak mengapa Saul seakan tidak dapat berdamai dengan Daud. Berbeda dengan orang Gat yang membebaskan Daud karena persoalan mereka hanya pada tingkat rasa aman, yaitu memiliki tanah. Sehingga, Akhias/Abimelekh tidak menekan Daud sampai mengancam nyawa seperti Saul. Dan, hal itu terjadi turun temurun, sehingga seorang dari Asinaria pada tahun 195 SZB, Plautus menciptakan karya yang sampai detik ini menyentuh dunia, Homi Homini Lupus (manusia menjadi serigala bagi sesamanya). Pemahaman di sini, manusia dapat saling menikam/membunuh dengan sesamanya. Melihat begitu berbahayanya paham ini berkembang di tengah peradaban manusia, seorang filsuf dari Inggris, Thomas Hobbes, menggugatnya dalam karya besarnya “De Cive”. Di dalam karyanya itu, selain menyinggung Homi Homini Lupus, Hobbes juga menekankan Homi Homini Socius, di mana manusia dapat menjadi sesama atau sahabat bagi teman-temannya. Pemikiran Hobbes dalam teologi kemudian berkembang dalam manusia itu sendiri ada citra Tuhan di dalam relasi antarmanusia, tetapi bisa juga menjadi serigala. Manusia tinggal memilihnya saja. Dalam renungan pada saat ini, kita tentu dituntut untuk menjadi sahabat bagi banyak orang. Sehingga, kita tidak menjadi seorang Kristen yang menindas orang lain dengan kekuatan/kekuasaan kita. Melainkan, kita menjadi seorang yang melindungi hak kemanusiaan orang lain. Ketika kita tidak berdaya menghadapi penindasan, belajar dari Daud, kita dapat menyerahkan segala pergumulan kita kepada Tuhan. Lawan-lawan kita yang gelap mata dapat dibutakan oleh Tuhan jikalau Dia berkenan, seperti apa yang dilakukan oleh Tuhan atas Daud. Ketika kita merasakan sakitnya ditindas, kita tidak boleh mengambil bagian menjadi salah satu penindas itu. Namun, kita dapat menjadi duta Allah yang membebaskan orang tertindas melalui Tuhan yang hidup di dalam diri kita.
Hal terakhir adalah bagaimana kita belajar dari Daud untuk tetap hidup benar di hadapan Tuhan, sehingga Tuhan melindungi kita melalui malaikat-Nya. Untuk hidup benar, di atas sempat disinggung salah satu caranya adalah dengan tidak mengambil bagian menjadi penindas itu. Namun, hal yang dapat kita kembangkan kemudian adalah bagaimana kita dapat menjalani hidup ini dengan menyerahkan seluruh kehidupan kita ke dalam perlindungan Tuhan. Tentu kita memercayai bahwa hal yang jahat akan dijauhkan dari kita bila kita hidup benar di hadapan Tuhan dan mengandalkan Tuhan di dalam kehidupan kita. Malaikat perlindungan Tuhan yang akan melindungi kita di dunia ini tentu ada banyak, ada orang yang kita cintai, ada aparatur keamanan negara yang telah diamanatkan oleh suara rakyat yang adalah suara Tuhan, serta hukum/konsitusi sebagai hasil anugerah Tuhan pada suatu bangsa. Tentu, hal itu tidak cukup menjadi malaikat perlindungan kita, karena Tuhan sendiri yang akan melindungi kita sebagaimana Dia telah berjanji. Oleh karenanya, sikap pasrah dalam perlindungan membuat hidup kita tenang karena kita yakin ada Tuhan yang menjaga kita. Sehingga, kita tidak perlu resah dan khawatir di dalam kehidupan ini.