Rabu, 26 Oktober 2016

Politisasi Agama dalam Pesta Demokrasi di Indonesia : Belajar Bersikap dari Pilpres 2014 Guna Menyambut Pilkada DKI Jakarta 2017)

Peserta Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017 (Sumber : Internet)
Runcingnya persoalan agama di negara kita ini paling sering muncul karena aktvitas politik, seperti Pilpres (Pemilihan Presiden) dan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah). Sisanya adalah gerakan bawah tanah dari mereka yang belum "move on" dari Piagam Jakarta 45
Harus kita cermati baik-baik bahwa pola kerukunan hidup beragama di Indonesia itu berbentuk Top-Down Design. Artinya, kalau ada satu atau dua tokoh nasional atau tokoh agama yang berkonflik memakai isu agama maka konflik itu bisa berdampak sampai ke lapisan bawah, yang melibatkan manusia dengan jumlah yang sangat banyak. Ini yang mengerikan!


Dalam Pilpres dan Pilkada yang terjadi di negara kita belakangan ini, ada tokoh nasional dan tokoh agama yang semangat bernegaranya sebelum memiliki kepentingan tertentu di politik begitu nasionalis. Tetapi, ketika ia memiliki kepentingan pribadi dan kelompok, mereka itu sedikit "nakal"  memainkan isu agama. Hal itulah yang bisa dimanfaatkan oleh kelompok yang belum "move on" dari Piagam Jakarta 45 yang terus berjuang mewujudkan cita-cita mereka.


Sederhananya, kerukunan umat beragama di Indonesia dapat tercipta kalau segenap tokoh nasional, pemerintah, para stakeholder, dan tokoh-tokoh agama yang berwawasan nasionalis bersatu padu. Kita tentu lebih kuat dari mereka yang gagal "move on" dari Piagam Jakarta 45. Semoga hal ini sudah dipikirkan baik-baik oleh mereka, khususnya Pak Jokowi, Pak A Hok, Bu Mega, Pak SBY, Pak Yusril, Pak Prabowo, dan Pak Amien Rais. Ketahanan dan keutuhan NKRI ada di tangan mereka saat ini.

Sabtu, 08 Oktober 2016

Kita Mati dengan Dia, Kita pun akan Bangkit dengan Dia (2.Tim.2:8-15)

Renungan Minggu, 9 Oktober 2016


Media massa di Indonesia saat ini sedang dihebohkan berita dari Probolinggo-Jawa Timur. Berita itu juga telah menjadi bahan pembicaraan masyarakat di Siantar-Simalungun. Adalah Dimas Kanjeng Taat Pribadi (DKTP), seorang pria yang diteladani menjadi guru spiritual, dan dianggap memiliki kekuatan sakti untuk mendatangkan uang, sepeda motor, pulsa, bahkan garam pun disebut bisa disulap menjadi permata. Namun, DKTP dilaporkan oleh pengikutnya sendiri yang merasa telah ditipu dengan kerugian materi yang sangat besar. Saat ini, DTKP sendiri sudah dijadikan Bareskrim Polri sebagai tersangka kasus penipuan yang jumlahnya mencapai miliaran rupiah. Menariknya, korban dari penipuan DKTP ini tidak hanya dari kalangan bawah saja, tetapi juga dari kalangan elite dan terpelajar. Belakangan, ada muncul kabar yang mengatakan bahwa kemungkinan kasus penipuan ini melebar sampai kasus pembunuhan. Melihat daya ledak kasus ini yang sanggup menjangkau pembicaraan seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, kita dapat memahami bahwa persoalan yang terjadi di Probolinggo-Jawa Timur itu adalah persoalan yang relevan dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Persoalan warga Probolinggo-Jawa Timur yang menjadi korban penipuan DKTP ini tidak lain karena ada harapan dari mereka untuk meraup keuntungan materi yang besar tetapi didapatkan dengan cepat dan mudah. Begitu pula sebagian masyarakat di Indonesia, pasti banyak yang tergiur untuk mendapatkan keuntungan materi yang besar dengan cara cepat dan mudah, sekalipun itu sangat irasional (tidak logis). Memang, hasrat manusia untuk hidup senang membuat manusia menjadi sangat tidak logis. Kasus penipuan yang dilakukan DKTP ini bukanlah kasus baru yang terjadi di Indonesia. Namun, mengapa kasus serupa terus berulang terjadi? Apakah karena tingkat kesejahteraan manusia di Indonesia yang rendah? Sehingga, mereka ingin segera sejahtera tanpa harus bersusah payah untuk bekerja dan memenuhi kebutuhannya? Rasanya tidak juga, karena apabila kita perhatikan data dari UNDP tahun 2015, IPM (Indeks Pembangunan Manusia) di Indonesia terus mengalami kemajuan. IPM Indonesia dari data itu menempati posisi 110 dari 187 negara dengan nilai indeks 0,68. IPM sendiri menjadi barometer yang penting dalam mengukur kesejahteraan suatu bangsa karena menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembanganunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dsb. Jika penyebab banyaknya korban penipuan di Indonesia bukanlah karena persoalan kesejahteraan, lantas apa soal di balik banyaknya masyarakat Indonesia menjadi korban penipuan yang irasional sekalipun seperti yang terjadi pada kasus DKTP? Dalam analisa saya, penyebab utamanya adalah keinginan manusia untuk hidup senang yang tak ada batasnya. Terkadang, keinginan manusia yang tak terbatas itu membuat mereka menjadi sangat tidak rasional. Hal ini juga ditegaskan oleh Sigmud Freud yang mengatakan bahwa manusia bisa menjadi sangat tidak rasional karena tidak dapat mengendalikan “Id”-nya. Menurut Freud, “Id” merupakan energi-energi psikis manusia yang dapat memberi dasar kehidupan dan di satu sisi hadir sebagai ciri yang merusak. Agar “Id” yang berisikan keinginan tak terbatas manusia itu tidak sampai merusak, ia harus diatur oleh “ego” sehingga dapat menyaring realitas yang ada. Lalu, hasil yang disaring oleh “ego” itu diputuskan menjadi suatu tindakan atau milik seseorang melalui “superego”. Dalam konteks sosial, “superego” merupakan introjeksi norma eksternal, yang bisa juga dipengaruhi oleh keyakinan pada norma agama. Bisa dipahami mengapa DKTP mampu membuat orang dari kelas atas termasuk mereka yang berpendidikan menjadi tertipu tidak lain disebabkan bahwa DKTP menggunakan kedok agama untuk memengaruhi psikologis korbannya menjadi tidak logis (irasional). Lantas, sebagai umat Kristen, bagaimana cara kita mengantisipasi hal ini sehingga kita tidak terhisap ke dalam lingkaran kejahatan penipuan serupa?
Firman Tuhan saat ini memberikan kita satu pengajaran moral akan apa itu keuntungan? Bila kita membaca surat kedua Paulus pada Timotius, di sana kita menemukan Paulus memberikan pengembalaan pada Timotius agar hidup di dalam iman percayanya pada Kristus, seperti yang sudah sudah ada sejak dari generasi neneknya –Lois- dan ibunya –Eunike- (2.Tim.1:5). Dalam hidup percaya pada Kristus, ada hal yang harus dihadapi, di antaranya adalah tantangan untuk menyaksikan kabar baik tentang kebenaran Kristus tanpa malu (2.Tim.2:15). Tantangan itu tidak mudah karena seperti Paulus yang sudah lebih dahulu melakukannya, ia menghadapi berbagai penderitaan dunia di antaranya menderita penghukuman (2.Tim.1:8+12 & 2.Tim.2:9). Timotius sebagai seorang percaya yang sangat diharapkan Paulus untuk menjadi pemberita tentang Kristus juga diminta untuk memiliki kekuatan di dalam imannya sehingga bisa saksi Kristus di dunia melanjutkan tugas Paulus. Penderitaan yang dialami Paulus dan yang akan dirasakan oleh Timotius nantinya adalah hal yang wajar. Paulus menggambarkannya seperti tahapan penderitaan seorang prajurit yang tidak memusingkan dirinya dengan kehidupannya sehingga berkenan pada komandannya (2.Tim.2:4), juga seperti penderitaan ketekunan olahragawan dalam berlatih dan mengikuti peraturan perlombaan sampai ia mendapatkan mahkota juara (2.Tim.2:5), dan seperti penderitaan seorang petani yang bekerja keras untuk dapat menikmati hasil usahanya (2.Tim.2:6). Untuk itu, Paulus mengajak Timotius untuk tidak takut menderita karena hal itu hanya bagian dari tahapan menuju keselamatan. Malahan, Timotius diminta semakin teguh bersaksi bahwa “Yesus telah bangkit dari orang mati dan lahir sebagai keturunan Daud”. Frasa ini merupakan satu rumusan teologis baru dari Paulus pada saat itu untuk menegaskan bahwa Yesus adalah Mesias yang dijanjikan sejak zaman Perjanjian Lama itu. Namun, tidak semua orang dapat menerima rumusan teologis yang baru itu, sehingga ia dibelenggu karena menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat Yahudi dan dianggap sebagai provokator (2.Tim.2:9). Paulus menyaksikan pada Timotius bahwa ia tidak menyesali sama sekali tindakannya itu karena Paulus memiliki kepercayaan bahwa “siapa yang mati untuk Kristus akan mati bersama dengan Kristus, dan siapa yang bertekun dalam iman akan memerintah bersama dengan Kristus” (2.Tim.2:10-12). Paulus juga meyakini bahwa Kristus itu setia sebagaimana Tuhan Allah yang sejak zaman purbakala setia adanya sekalipun nenek moyang Yahudi berulangkali bersikap tidak setia kepada-Nya (2.Tim.2:13). Oleh karenanya, tiap orang percaya, termasuk Timotius, dituntut daripadanya untuk bersungguh-sungguh di dalam kesaksian imannya dan berusaha untuk layak di hadapan Allah (2.Tim.2:14-15).
Dari pengembalaan yang dilakukan oleh Paulus pada Timotius dalam nas minggu ini, kita memperoleh satu gambaran bahwa penderitaan adalah bagian tahapan dalam iman Kristen. Tekanan hidup –sebagai suatu penderitaan- yang dirasakan umat Kristen masa kini ternyata bukanlah tujuan akhir. Tetapi, jika kita meminjam istilah yang dipakai Rostow, penderitaan itu adalah tahapan lepas landas menuju kehidupan bersama Kristus di dalam keselamatan kita. Harta dunia tentu tidak akan kita bawa mati. Sebanyak apapun kita kumpulkan di dunia ini, kita tidak bisa membeli keselamatan itu dengan nilai kekayaan yang kita miliki. Dengan demikian, tugas seorang Kristen adalah memberi kesaksian akan “Yesus adalah Juruselamat (Mesias)” pada seluruh dunia yang tengah dihinggapi kuasa keserakahan. Banyaknya manusia yang serakah membuat kehidupan di dunia ini semakin rusak. Yang kaya ingin kaya. Yang miskin ingin segera kaya bagaimana pun caranya. Keinginan memperkaya diri dengan segera adalah ciri keserakahan. Mengapa? Karena, tuhan mereka adalah mamon. Mereka menganggap bahwa harta dunia itu bisa menolong dan membuat aman kehidupan mereka. Padahal, pakar psikologi sekaliber Freud mengatakan keserakahan yang ada dalam “Id” manusia itu adalah hal yang merusak. Hal itu nyata terjadi seperti yang ada dalam kasus DKTP di mana terjadi kerugian akibat keserakahan bahkan ada indikasi terjadinya pembunuhan. Untuk itu, umat Kristen melalui nas saat ini diminta untuk tidak terjebak dalam sikap serakah, sehingga melakukan hal yang irasional seperti warga di Probolinggo. Malahan, umat Kristen dipanggil untuk memberitakan Kristus yang telah mati dan bangkit itu supaya bila kita mati kita mati dengan Dia, dan bila kita hidup kita pun akan hidup dengan Dia. Mati dan hidup bersama Kristus itulah menjadi keuntungan sejati bagi umat Kristen. Mengapa? Sebab seperti yang disampaikan oleh Martin Luther, dengan kita mati bersama Kristus, kita boleh memaknai bagaimana pengorbanan “Tuhan yang menyerahkan diri-Nya”. Kita dapat juga memahami bagaimana Allah memberi diri-Nya sendiri pada kita dan segala makhluk ciptaan-Nya, dan Dia mencurahkan pemberian-Nya yang tidak ternilai yang bertahan selamanya. Lebih dari itu, Dia menderita, mati, dan dikuburkan untuk melunaskan dosa kita –bukan dengan uang, melainkan dengan darah-Nya sendiri yang mulia.  Sehingga, kita tidak menyia-nyiakan kehidupan ini dengan pengharapan yang sia-sia, dan dengan kesenangan yang sia-sia. Hidup yang kita serahkan sepenuhnya kepada Kristus akan memadamkan roh keserahkahan yang membawa kita pada kehidupan yang sia-sia dan kematian selamanya.