Rabu, 02 Oktober 2019

“Hidup untuk Melayani Tuhan” (EPISTEL)


Minggu : 6 Oktober 2019 (16.Set.Trinitatis)
Epistel  : Pengkhotbah 3:1-14







Pendahuluan
LaSor, Hubbard, dan F.W.Bush (2007) menjelaskan bahwa nama “Pengkhotbah” terjemahan dari kata Ibrani qohelet, yaitu orang yang memanggil suatu sidang. Karena itu, terjemahan “Pengkhotbah” tidak salah walaupun terkadang qohelet memang tidak sama dengan pengkhotbah Kristen yang memberitakan firman Allah berdasarkan nas Alkitab. LaSor, Hubbard, dan F.W.Bush lalu memahami bahwa secara umum penulis kitab Pengkhotbah ini selalu dihubungkan dengan tulisan hikmat, yaitu Salomo, karena disebutkan dalam bagiannya (Pkh.1:1,12,16). Akan tetapi, mereka tidak menutup mata akan adanya perdebatan tentang penulis kitab Pengkhotbah - dengan menyatakan, “memang jauh lebih mudah mengatakan bahwa Raja Salomo bukan penulis kitab Pengkhotbah daripada mengatakan siapa penulisnya. Penulisnya jelas adalah seorang bijak yang berhasrat untuk menantang pendapat-pendapat dan nilai-nilai bijak yang lain”. Memang ada teolog yang meragukan qohelet atau yang sering disebut Kohelet dituliskan oleh Salomo. Seperti, E.G.Singgih, seorang teolog Perjanjian Lama asal Indonesia, yang memiliki pandangan kritis. Kajian kritis dari E.G.Singgih ini telah lama dilakukannya sejak ia memulai studi doktoral di bidang Perjanjian Lama, di bawah arahan Prof.Robert Davidson. Menurut E.G.Singgih, penafsiran tradisional (yang menyatakan kitab Pengkhotbah ditulis oleh Salomo), bertahan hanya sampai muncul metode penafsiran yang bersifat kritis, entah itu historis maupun literer. Apakah kalau Kohelet bukan Salomo akan mengurangi kesakralan kitab Pengkhotbah ini? E.G.Singgih dengan kritis menjelaskan bahwa kesakralan teks bukanlah dikarenakan oleh nama (penulisnya), tetapi isinya yang membuat ia menjadi berwibawa dan mampu membuat orang yang berada di zaman jauh sesudahnya dengan konteks yang berbeda (seperti kita selaku umat percaya di masa kini) bergumul dan menangkap sesuatu dari kekayaannya. Kitab Pengkhotbah akan berwibawa lama dalam kehidupan orang beragama di Asia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Pendapat dari E.G.Singgih ini memberikan kita wawasan teologis penting di dalam membahas teks firman Tuhan di minggu ini. Karena, ini akan menjadi pengantar yang baik untuk kita menggumuli teks Epistel ini secara tekstual, berfokus pada nas tanpa menghubungkannya kitab ini dan kitab itu, lalu mencari refleksi teks untuk kehidupan beriman pada masa kini, terutama dalam kaitan tema, “Hidup untuk Melayani Tuhan”.

Pembahasan
Pada ayat 1, Kohelet menggambarkan adanya masa, yaitu bentuk waktu bagi kehidupan di dunia ini. Dalam pendekatan fisika Newton, dunia memiliki jam utama. Detakan jam membuat waktu menjadi mengalir yang bisa ditarik panah ke mana ia akan pergi. Secara sederhana, kita dapat mengatur waktu mau jadi apa kita di masa kini, bagaimana membentuk masa lalu, dan bagaimana cara kita menuju masa depan. Pendapat ini lalu dilawan oleh Ludwig Boltzmann yang menyatakan kalau waktu tidak memiliki arah. Hal ini lalu didukung oleh teori relativitas Einsten yang menjelaskan peristiwa waktu sangat tergantung dari bagaimana kecepatan kita bergerak. Seperti dua orang pengamat yang bergerak dengan kecepatan berbeda akan tidak setuju kapan dan di mana peristiwa terjadi, tetapi mereka saling dapat setuju pada lokasinya di ruang waktu. Bahkan, gaya gravitasi dapat membengkokkan waktu. Apa pointnya dari kajian filsafat ilmu, khususnya pendekatan fisika? Bahwa, manusia tidak bisa memikirkan dunia ini detik per detik, menurut parameter waktu. Kita hanya diberikan bagian untuk melakukan prediksi akan peristiwa waktu. Bila kemudian kita komparasi dengan wejangan hikmat Kohelet, maka kita akan takjub bagaimana Kohelet sudah terlebih dahulu membedah waktu. Ayat ini lalu memberikan kita suatu pemahaman dunia (alam) kita membukakan waktu, bukan pada ruang.
Itulah mengapa di ayat-ayat selanjutnya Kohelet menggambarkan ada waktu untuk lahir, meninggal, menanam, mencabut tanaman (ay.2). membunuh, menyembuhkan, merombak, membangun (ay.3), menangis, tertawa, meratap, menari (ay.4), membuang batu, mengumpulkan batu, memeluk, tidak memeluk (ay.5), mencari, merugi, menyimpan, membuang (ay.6), merobek, menjahit, diam, berbicara (ay.7), mengasihi, membenci, perang, damai (ay.8). Semua contoh yang diberikan Kohelet ini menegaskan kehidupan manusia ada di antara waktu, bukannya ruang. Seluruh peristiwa waktu di hidup manusia di bawah detak waktu yang berjalan. Hasil pekerjaan manusia di dalam ruang seolah tidak memiliki arti selain melelahkan dirinya sendiri (ay.9). Sekalipun pekerjaan itu datang dari Tuhan, ia tetap saja membuat manusia menjadi lelah (ay.10). Lantas, mengapa kita harus tetap bekerja kalau itu  hanya membuat kita lelah saja? Di ayat berikutnya, Kohelet menjelaskan bahwa manusia yang lelah bekerja itu bukan berarti ia telah membuang waktunya dengan percuma. Kohelet menegaskan malah Tuhan memberikan kita dari kelelehan pekerjaan itu sesuatu yang indah di waktu yang ditentukan Tuhan sendiri. Hal ini akan terus menjadi kekaguman bagi manusia yang diingatnya sampai mati. Tetapi, manusia tidak dapat menyelami pekerjaan Tuhan dari awal sampai akhir (ay.11). Menarik apa yang disampaikan oleh Kohelet di ayat ini. Pekerjaan manusia dapat dipahami dengan mudah, bahwa itu sesuatu yang sangat melelahkan dan ada di dalam peristiwa waktu. Akan tetapi, pekerjaan Allah tidak dapat dimengerti manusia, terlebih dijelaskan melalui kapan dimulai dan berakhirnya, seperti di peristiwa waktu. Dengan kata lain, Kohelet ingin mengatakan kalau pekerjaan Tuhan itu melampaui waktu dan ruang, sangat berbeda dengan kita manusia.
Kohelet juga memberikan pertimbangan bijaksana yang sangat positif. Manusia yang lelah bekerja dapat bersukacita ketika ia bisa menikmati jerih payah pekerjaannya. Tuhan memberkati manusia yang menikmati hasil dari pekerjaannya berlelah-lelah (ay.12-13). Namun, Kohelet dibalik motivasinya untuk manusia yang berjerih lelah bekerja memberikan peringatan kalau manusia tetap terpenjara oleh waktu. Mereka hanya bisa hidup oleh karena pekerjaan Allah saja. Itu tidak dapat ditambah dan dikurangi. Allah berbuat demikian supaya manusia takut akan Dia (ay.14).

Renungan
Dari sekian jauh pembahasan yang dilakukan, kita dapat merenungkan setidaknya dua hal dari pembahasan Epistel kita di minggu ini, yaitu:
1.    Waktu adalah sarana Allah bekerja atas kehidupan manusia
Selama di tubuh kita masih ada napas kehidupan, selama itu pula kita akan terkurung di dalam waktu dunia ini. Ada saja peristiwa yang silih berganti mengiringi hidup kita, seperti yang dicontohkan oleh Kohelet. Itu semua perlu kita lihat sebagai cara bagaimana Allah bekerja atas hidup kita. Ketidakmengertian kita akan apa yang Allah perbuat atas hidup kita menjadikan kita sebagai manusia yang utuh. Kita hanya tinggal berusaha untuk menjalaninya sekuat dan semampu kita. Membiarkan rencana Tuhan saja yang terjadi di dalam jatuh-bangunnya kehidupan kita. Kabar baiknya, pada akhirnya Tuhan menjadikan segala sesuatu itu indah. Ini akan terus kita kenang sampai tiba waktu kita untuk mati nantinya.
2.    Waktu adalah sarana kita merespons pekerjaan Allah atas kehidupan manusia
Tidak ada kehidupan yang mudah selama kita ada di dunia. Kita harus bekerja berletih-lelah. Namun, Tuhan senang dengan hasil jerih lelah kita itu, karena itu adalah pemberian-Nya. Kita harus meresponsnya dengan bijaksana. Caranya adalah dengan memberikan diri kita waktu untuk menikmatinya. Karena, ada orang yang bekerja keras, banting tulang pagi, siang, malam, sampai ketemu pagi lagi dengan alasan untuk mencari sesuap nasi. Namun, ia sendiri tidak pernah menikmati hasilnya. Ia jarang makan karena sibuknya. Ini bukan cara kita bersyukur atas pekerjaan Allah di dalam hidup kita. Padahal, kita berjerih lelah bekerja di dalam segala bentuk profesi kita tujuannya tidak lain untuk melayani Tuhan. Kalau tidak diiringi rasa syukur itu, maka kita sesungguhnya hanya menjadi budak atas waktu. Bukannya malah menempatkan Tuhan sebagai tujuan kita bekerja di aliran waktu yang terus berjalan.

Diskusi
1.    Pernahkah Anda merasa lelah dengan pekerjaan Anda sehari-hari? Mengapa itu bisa terjadi?
2.    Setujukah Anda bila dikatakan pekerjaan kita yang berat itu merupakan sarana Allah bekerja untuk kebaikan kita?
3.    Setujukah Anda, bila dikatakan pekerjaan kita itu merupakan cara kita untuk melayani Tuhan yang telah mengerjakan hal yang indah pada akhirnya di hidup kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar