Sabtu, 27 Agustus 2011

Tampakan dan Realitas (Persoalan Filsafat) - Bertrand Russell


Di dunia ini adakah pengetahuan yang begitu pasti sehingga tidak seorang pun manusia berakal dapat meragukannya? Pertanyaan ini sekilas tampak tidak terlalu sulit, namun sebenarnya merupakan pertanyaan paling sulit yang dapat ditanyakan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menganggap banyak hal sebagai sesuatu yang pasti, padahal setelah diperiksa dengan cermat ternyata penuh dengan kontradiksi dan hanya dengan pemikiran yang suntuk, kita mampu mengetahui apakah hal itu sesungguhnya sehingga kita benar-benar dapat mempercayainya.

Dalam pencarian untuk mendapat suatu kepastian, wajar jika kita mulai dari pengalaman kita sekarang ini, dan dalam beberapa hal tidak diragukan lagi bahwa pengetahuan kita berasal dari pengalaman-pengalaman tersebut. Tetapi, pertanyaan apa pun tentang apa yang kita ketahui dan pengalaman-pengalaman yang dekat kita, kemungkinan besar keliru.

Saya merasa sedang duduk di atas sebuah kursi, di belakang sebuah meja dengan bentuk tertentu, di mana di atasnya saya melihat selembar kertas dengan tulisan tangan atau tulisan cetak. Begitu memalingkan muka melalui jendela, saya melihat gedung-gedung, awan dan matahari. Saya percaya matahari berjarak kurang lebih 93 juta mil dari bumi. Saya juga percaya bahwa matahari berupa benda bulat panas yang ukurannya beberapa kali lebih besar dibandingkan bumi. Oleh karena rotasi bumi, saya percaya bahwa matahari terbit setiap paginya dan akan terus berlanjut seperti itu selama waktu yang tidak terbatas di masa yang akan datang. Saya percaya, jika orang lain masuk ke ruangan saya, mereka akan melihat kursi, meja dan kertas yang sama seperti yang saya lihat. Semuanya itu tampak begitu nyata.

Untuk memahami letak kesulitan pemahaman di atas, mari kita pusatkan perhatian pada meja itu. Dalam penglihatan mata kita, meja itu membujur, berwarna coklat dan memantulkan cahaya. Kulit kita merasakannya mulus, dingin dan keras. Jika saya mengetuknya, terdengar bunyi ketukan. Semua orang yang melihat, merasa dan mendengar tentang meja ini akan menyetujui deskripsi ini, sehingga tampak seolah-olah tidak ada kesulitan yang muncul.

Tapi coba kita amati secara seksama lagi, maka permasalahan pun muncul. Meskipun saya percaya bahwa meja itu "benar-benar" memiliki warna yang sama di seluruh permukaannya, satu bagian yang memantulkan cahaya tampak lebih terang dibandingkan bagian lainnya dan satu bagian lagi tampak lebih putih karena pantulan cahaya itu. Saya tahu bahwa jika saya bergerak, bagian yang memantulkan cahaya itu akan tampak berbeda, sehingga sebaran warna yang tampak akan berubah.Selanjutnya, jika beberapa orang memandang meja itu secara bersamaan, di antara dua orang tidak akan ada yang secara tepat melihat sebaran warna yang sama, karena tidak akan ada dua orang yang secara tepat melihatnya dengan sudut pandang yang sama pula. Setiap perubahan dalam sudut pandang, jelas membawa perubahan dalam cara cahaya dipantulkan.

Untuk tujuan-tujuan praktis, perbedaan-perbedaan ini tidaklah penting. Tetapi bagi pelukis, masalah tersebut sangatlah penting. Seorang pelukis harus belajar meninggalkan kebiasaan berpikir bahwa segala sesuatu mempunyai warna yang menurut akal sehat "benar-benar" dimiliki oleh sesuatu tersebut. Para pelukis juga harus belajar melihat segala sesuatu menurut tampakannya. Di sini kita telah mengawali salah satu dari perbedaan-perbedaan yang paling menimbulkan masalah dalam bidang filsafat, yaitu perbedaan antara "tampakan dan realitas"Kembali ke persoalan meja yang tadi, dari uraian di atas jelas tidak ada warna yang secara dominan menjadi warna "sejati" dari meja tersebut, yang ada hanya warna yang berbeda karena sudut pandang yang berbeda, dan tidak ada alasan untuk menganggap sebagian dari warna-warna ini lebih nyata dibanding yang lainnya. Dan kita tahu bahwa dari sudut pandang tertentu sekalipun, warna bisa tampak berbeda karena ada tipuan cahaya, atau bagi orang yang memakai kacamata biru, sementara di kegelapan sama sekali tidak ada warna, meskipun bagi indera peraba dan pendengar, meja itu tidak berubah.

Warna ini bukan merupakan sesuatu yang inheren berada dalam meja itu, melainkan sesuatu yang bergantung pada meja, penonton dan cara cahaya menimpa meja itu. Hal yang sama berlaku pula bagi tekstur. Dengan mata telanjang, semua orang dapat melihat urat kayu apa meja itu mulus dan datar? Jika kita mengamati dengan mikroskop, kita akan melihat kekesatan, bukit dan lembah serta segala jenis perbedaan-perbedaan yang tidak terlihat oleh mata telanjang. Manakah dari semua ini yang merupakan meja sejati?Kita biasanya tertarik untuk mengatakan bahwa yang kita lihat dengan menggunakan mikroskop adalah yang sebenarnya, namun selanjutnya pendapat itu akan cepat berubah begitu kita menggunakan mikroskop yang lebih canggih lagi. Lalu kita tidak mempercayai apa yang kita lihat dengan mempergunakan mata telanjang, mengapa pula kita harus percaya dengan apa yang kita lihat di mikroskop? Dengan demikian, sekali lagi, kita mulai hilang keyakinan dengan indera tubuh.

Bentuk meja pun tidak jauh berbeda. Kita semua terbiasa membuat penilaian tentang bentuk sejati dari suatu benda, dan kita melakukan hal ini secara tidak sadar, sehingga terbiasa berpikir bahwa kita sungguh-sungguh melihat bentuk yang sebenarnya. Tetapi sesungguhnya seperti yang kita pelajari jika kita mencoba melukis, bentuk suatu benda biasanya tampak berbeda bila dipandang dari sudut pandang yang berbeda pula.

Jika meja itu benar-benar berbentuk persegi dilihat dari segala sudut pandang, maka dia tampak memiliki dua sudut lancip dan dua sudut tumpul. Jika sisi-sisi yang berlawanan disejajarkan, sudut-sudut itu tampak bertemu pada satu titik jauh dari yang melihatnya. Jika sisi-sisi tersebut memiliki panjang yang sama, sisi yang terdekat akan tampak lebih panjang. Dalam mengamati sebuah meja, semua ini biasanya tidak diperhatikan karena pengalaman mengajarkan kita untuk membangun bentuk yang sejati dari yang kelihatan. Dan bentuk sejati ini adalah bentuk yang menarik perhatian kita sebagai orang-orang praktis. Sayangnya bentuk sejati bukanlah yang kita lihat, sehingga sekali lagi indera tubuh tampaknya tidak menyuguhkan kepada kita kebenaran tentang meja itu, melainkan hanya tampakan meja itu.

Kesulitan serupa muncul ketika kita berbicara mengenai indera peraba. Benar bahwa meja selalu membuat kita merasakan suatu sensasi kekesatan dan kita merasakan meja tersebut melawan tekanan. Tetapi sensasi yang kita rasakan sebenarnya bergantung pada seberapa keras kita menekan meja itu, begitu juga bagian tubuh mana yang kita gunakan untuk menekannya? Hal yang sama juga berlaku bagi bunyi yang ditimbulkan dengan mengetuk meja.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa meja sejati, jika memang ada, tidak sama dengan yang segera kita alami melalui indera penglihatan, peraba atau pendengaran. Meja sejati jiaka ada sama sekali tidak segera kita ketahui meskipun sudah pasti merupakan kesimpulan dari segera yang diketahui. Karena itu, dua pertanyaan paling sulit muncul sekaligus, yaitu:

1. apakah memang benar ada meja sejati itu?
2. jika ada, objek macam apakah meja itu?

Dengan ringkas sebenarnya dapat dikatakan bahwa secara langsung yang kita lihat dan rasakan selama ini hanyalah "tampakan", yang kita percaya sebagai tanda tentang "realitas" yang ada di baliknya. Tetapi, jika realitas bukan sesuatu yang terlihat, apakah realitas itu benar-benar ada? Adakah sarana untuk mengetahui realitas tersebut? Meja yang kita kenal selama ini kurang merangsang pikiran di kehidupan kita sehari-hari, telah menjadi masalah yang penuh kemungkinan-kemungkinan yang mengejutkan. Satu hal yang tidak ketahui tentang hal ini, bahwa meja tidaklah seperti yang terlihat

Di luar hal yang sederhana ini, kita memiliki kebebasan mutlak untuk membuat dugaan-dugaan. Leibniz memberitahu kita bahwa materi itu sesungguhnya adalah sekumpulan pikiran yang belum sempurna dan benda itu merupakan koloni jiwa. Jadi mengenai meja sejati, menurut Leibniz, itu pasti ada karena dia termasuk suatu komunitas jiwa. Berkeley sependapat dengan Leibniz, bahwa ada meja sejati itu, tetapi ide-ide tertentu itu ada di pikiran Tuhan. Di antara kemungkinan yang diberitahu oleh para Filsuf Idealis ini, sebenarnya menyiratkan ada keraguan bahwa tidak ada meja sejati. Filsafat jika tidak dapat menjawab pertanyaan sebagaimana yang kita harapkan, namun setidaknya mempunyai kekuatan untuk melontarkan pertanyaan yang meningkatkan daya tarik dunia, sekaligus menyingkap keanehan dan keajaiban benda-benda paling umum sekalipun dalam kehidupan sehari-hari.

Ringkasan Buku Bertrand Russell, "The Problem of Philosophy", hal 1 - 13

Selasa, 23 Agustus 2011

Surat Terakhir Habibie untuk Ainun

Ainun…

Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.

Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya,dan kematian adalah sesuatu yang pasti, dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.

Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.

Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang. Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang, pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada,aku bukan hendak mengeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau di sini.

Mereka mengira aku-lah kekasih yang baik bagimu sayang,tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik.

mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.

Selamat jalan,

Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,

kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.

selamat jalan sayang, cahaya mataku, penyejuk jiwaku,

selamat jalan,calon bidadari surgaku ….


BJ.HABIBIE

Rabu, 17 Agustus 2011

Mengisi Kemerdekaan Indonesia dalam Konsep Kekristenan (Catatan Teologis)


Tulisan ini sebenarnya terinspirasi dari kiriman layanan pesan singkat (SMS) ayah saya pada tanggal 16 Agustus 2011, pukul 16.05 WIB, yang berisi: “Apakah kita sudah merdeka? Siapa yang tetap dalam Firman-Ku, maka dia mengetahui kebenaran dan kebenaran itu memerdekakan dia – Yohanes 8 : 31, Gbu” Sambil senyam-senyum menutup SMS itu, karena tidak tahu harus membalas apa? Sepintas saya merenungkan isinya, memang itulah hakikat kemerdekaan yaitu berada di dalam kebenaran. Dalam tulisan ini, saya akan berusaha menjabarkan “kebenaran” seperti apa yang membuat seseorang itu merdeka?
Saya akan mulai menguraikan pokok pikiran saya dengan suatu pernyataan bahwa Indonesia tanpa Pancasila bukanlah Indonesia. Identitas Keindonesiaan kita tercermin dalam Pancasila sebagai kontrak sosial bangsa Indonesia. Dengan demikian tidaklah lengkap membahas kemerdekaan Indonesia tanpa membahas Pancasila sebelumnya. Pancasila lahir jauh setelah Kerajaan Kutai, Singosari maupun Majapahit. Sebelum 17 Agustus 1945, negara Indonesia belum ada. Pada zaman kerajaan-kerajaan, Indonesia dikenal dengan nama “Nusantara”. Pada zaman kolonialisme oleh Belanda, Indonesia dikenal dengan nama “Hindia-Belanda”. Secara etimologi, Indonesia berasal dari dua kata, yaitu Hindus (Hindu) dan Nesos (Kepulauan). Sesuai namanya memang, dulunya di Nusantara di dominasi oleh kerajaan bercorak Hindu. Nyaris saja pada masa Kerajaan Majapahit berhasil mempersatukan wilayah-wilayah yang ada di Nusantara. Akan tetapi, karena belum ada rasa persatuan dan kesatuan di dalamnya, ketika perselisihan muncul lalu terpecahlah kerajaan itu. Pada zaman penjajahan, telah ada perjuangan dari putera-puteri bangsa. Sekali lagi karena perjuangannya masih bersifat kedaerahan, maka perjuangan kita dapat diredam dengan mudah para penjajah yang awalnya datang untuk berdagang. Ceritanya mulai berbeda ketika suatu organisasi kepemudaan yang berjiwa nasional lahir, yaitu Boedi Oetomo, pada tanggal 20 Mei 1098. Peristiwa penting selanjutnya adalah pengikraran Sumpah Pemuda tahun 1928, yang menjadi batu loncatan bagi bangsa Indonesia untuk bersatu.
Setelah Belanda angkat kaki dari Indonesia, lalu Jepang masuk untuk menjajah Indonesia. Ada hal sinyal positif dengan masuknya Jepang menggantikan Belanda, di mana ada celah untuk kemerdekaan Indonesia. Sebagai tindak lanjutnya, harus ada wadah untuk mempersatukan Indonesia. Untuk itu pada tanggal 29 April 1945, dibentuklah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zyunbii Tioosakai, dengan ketuanya dr.Radjiman Wedjodiningrat dan wakil ketuanya Raden Panji Soeroso, sedang wakil dari pihak Jepang adalah Ichubangase. Total jumlah anggota yang hadir ada 60 orang. Sidang pertama BPUPKI diadakan tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945, dengan pembicaranya Mr.Moh.Yamin, Mr.Soepomo dan Ir.Soekarno.
Pidato dari Moh.Yamin pada tanggal 29 Mei 1945 menginginkan Indonesia terdiri dari: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat. Pidato dari Mr.Soepomo pada tanggal 31 Mei 1945 mengusulkan dasar Indonesia dalam negara integralistik, yang menekankan: Negara Persatuan yang melindungi segenap bangsa, Negara yang mengatasi segala paham dan golongan, Negara yang pemimpinnya bersatu dengan rakyat, Menolak paham individualisme dalam negara, seperti teori dari Marx dan Lenin. Sedangkan pidato Ir.Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan : Kebangsaan atau Nasionalisme, Kemanusiaan (Internasionalisme), Musyawarah Mufakat dan Perwakilan, Kesejahteraan Sosial, Ketuhanan yang berkebudayaan. Dari kelima hal tersebut, Soekarno menamakannya dengan Pancasila, tetapi jika sidang tidak menghendaki dapat pula diperas menjadi tigas (Trisila), yaitu Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi dan Ketuhanan. Jikalau sidang juga tidak menyenangi yang tiga tersebut, dapat diperas menjadi satu sila saja (Ekasila), yaitu Gotong Royong. Inilah yang menurut Soekarno sebagai dasar asli bangsa Indonsesia.
Dari sidang yang berlangsung tadi, lahirlah Pancasila sebagai kontrak politik dan sosial bangsa Indonesia sebagai awal menuju kemerdekaan, hanya lanjutan dari sidang pertama untuk membentuk panita kecil sebagai kelanjutan tugas dari BPUPKI. Akan tetapi pada sidang kedua ini muncul permasalahan dari golongan Islam yang berbeda pendapat dengan golongan nasionalis. Golongan Islam menginginkan negara berdasarkan Syariat Islam, sedangkan golongan nasionalis tidak ingin negara Indonesia berdasarkan agama tertentu. Sebagai langkah lanjut dari upaya mempertemukan perbedaan pendapat antara golongan Islam dengan golongan nasionalis, maka ketua panitia delapan (Ir.Soekarno) membentuk panitia sembilan, yang anggotanya merupakan golongan nasionalis dan golongan Islam. Kesepakatan mengenai naskah rancangan preambule / mukadimah hukum dasar (cikal bakal pembukaan UUD 1945) yang dipopulerkan Moh Yamin sebagai Piagam Jakarta adalah : 1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan SI bagi pemeluk-pemeluknya, 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3) Persatuan Indonesia, 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, Proklamasi Indonesia dibacakan oleh Ir.Soekarno dengan didampingi oleh Moh.Hatta, yang diiringi pengibaran bendera merah putih dan lagu Indonesia Raya. Sore hari setelah proklamasi, datanglah seoran g opsir Jepang ke rumah Moh.Hatta menyampaikan keberatan wakil Indonesia bagian Timur terhadap tujuh kata yang tercantum di Piagam Jakarta. Untuk itu, jikalau tidak ada perubahan di dalamnya, maka Indonesia bagian Timur akan memisahkan diri dari NKRI. Menyadari hal tersebut, Moh. Hatta menemui wakil-wakil golongan Islam untuk membicarakan masalah tersebut. Maka sebelum sidang PPKI, tanggal 18 Agustus 1945, terlebih dahulu ada pertemuan singkat antara Moh.Hatta dengan golongan Islam selama lebih kurang 15 menit. Hasilnya adalah rumusan negara yang sebelumnya di bagian pertama berbunyi : “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan SI bagi pemeluk-pemeluknya”, diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Akibat dari perubahan 7 kata itu, terjadi lagi dalam hal-hal seperti : a) Kata Mukadimah diganti menjadi kata “Pembukaan”, b) Pasal 6 ayat 1 : Presiden ialah orang Indonesia asli. Kata sebelumnya “yang beragama Islam” dihapuskan, c) Pasal 29 ayat 1 : Negara bersadarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ dan d) Alinea ketiga, kata “atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa diganti menjadi “atas berkat rahmat Tuhan yang Maha Kuasa”.
Perdebatan mengenai konsep dasar negara menjadi ramai sebagai konsekuensi bahwa sebelum 17 Agustus 1945, tidak ada namanya Indonesia. Oleh karena itu tidak ada istilah asli-tidak asli dan pribumi – non pribumi, karena baik suku-suku dan budaya, bahkan agama sekalipun merupakan unsur yang baru di dalam negara Indonesia. Melihat pertimbangan tadi, jadi penting harus dirumuskan apa yang akan diisi ketika Indonesia hadir nantinya. Di sini setiap kelompok berlomba-lomba memasukkan kepentingannya. Setidaknya ada tiga kubu besar yang hendak menjadi asli Indonesia, yaitu kelompok Agama (Syariat Islam), Nasionalisme dan Sosialisme. Beberapa kali kubu Syariat Islam berusaha menjadikan Indonesia sebagai negara agama, namun gagal karena kebanyakan perwakilan pada saat itu memilih konsep nasionalisme bukan agama ataupun sosialisme. Apa makna teologis dari peristiwa itu? Makna teologisnya adalah ketika negara Indonesia tidak jatuh ke menjadi negara agama itu pekerjaan Tuhan yang besar atas negara Indonesia. Indonesia menjadi negara yang bisa dinikmati oleh semua golongan, tidak hanya agama Islam dan masyarakat Jawa, tetapi semua agama dan semua suku. Bukan hanya pada saat itu saja kelompok SI berusaha menjadikan Indonesia sebagai negara agama, tetapi pada era setelah reformasi juga terjadi. Akan tetapi sudah terbukti dari Pemilu 1999, 2004 dan 2009 bahwa masyarakat Indonesia masih mencintai konsep negara nasionalis dari pada negara agama.
Sebagai umat Kristen yang hidup di Indonesia, tugas kita adalah mengawal Pancasila sebagai dasar negara. T.B. Simatupang mengungkapkan bahwa keunikan bangsa Indonesia ada di Pancasila, bukan hanya sebagai dasar negara tetapi Pancasila hadir sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya, pembangunan di Indonesia dilihat dari seperti apa pengamalan terhadap Pancasila itu sendiri. Lebih lanjut T.B. Simatupang berpendapat, bahwa Pancasila bukan hanya sebagai dasar bernegara dari Gereja saja, tetapi juga dasar dari agama lain dalam kehidupannya bernegara di Indonesia. Tidak bermaksudkan mempancasilakan gereja dan bukan maksud mengkristenkan Pancasila, tetapi Pancasila menjadi asas satu-satunya dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian T.B. SImatupang merumuskan tanggungjawab umat Kristen dalam mengisi kemerdekaan Indonesia adalah lewat partisipasi mereka dalam pembangunan nasional, yaitu a) bertanggungjawab untuk mengelola ciptaan Allah, b) bertanggungjawab mengusahakan kehidupan masyarakat berdasarkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua orang, dan c)bertanggungjawab memberitakan Injil Kristus, yaitu berita kesukaan bagi manusia yang dibebaskan, berkeadilan, hidup dalam kebenaran dan kesejahteraan yang dikehendaki Tuhan (Lukas 4 : 18 – 21)
Hal senada juga diungkapkan oleh teolog Indonesia, yaitu Pdt. Eka Darmaputera, Ph.D. Menurut Eka Darmaputera tugas dan panggilan orang Kristen di dunia ini adalah sebagai mitra sekerja Allah yang sedang akan mendatangkan Kerajaan-Nya (Kerajaan Allah), yaitu sebuah terminologi dalam teologi Kristen yang mengandung pemahaman suatu keadaan atau kenyataan di mana Allah sepenuhnya memerintah dengan keadilan, kebenaran, perdamaian dan kesejahteraan yang menyeluruh bagi seluruh umat manusia. Tetapi hal yang harus dipahami menurut Beliau adalah umat Kristen tidak bertugas untuk mendirikan Kerajaan Allah di atas bumi, namun mendirikan “tanda-tanda” yang menunjukkan Kerajaan Allah, dimana ciri yang mengikuti tanda itu ada perdamaian, keadilan, kesejahteraan, dan kebenaran. Dalam kerangka berpikir seperti itu, Pancasila dapat dipahami secara dinamis dan kreatif, bukan dengan doktriner dan tertutup. Bahwa melalui Pancasila , setiap agama termasuk umat Kristen mengusahakan suatu nilai bersama untuk kerangka kerja fungsional yang bertolak dari sistem kepercayaan masing-masing.
John Titaley dalam pemikiran lebih kritis lagi mengungkapkan bahwa secara teologis, Indonesia itu sudah Injili. Dari sejarah lahirnya Pancasila sampai masuk ke tahap kemerdekaan Indonesia, bagi Titaley itu adalah pekerjaan Tuhan untuk negara Indonesia. Nilai dari sejarah itulah yang harus tetap diperjuangkan umat Kristen saat ini, yaitu jangan sampai pekerjaan Tuhan atas bangsa Indonesia jadi hancur karena kepentingan golongan tertentu saja. Baginya, keseluruhan sila yang ada dalam Pancasila itu menunjukkan kesetaraan bagi rakyat Indonesia. Akhir-akhir ini Titaley meresahkan bahwa identitas primordial masyarakat Indonesia lebih kental daripada identitas nasionalnya. Memang harus diakui secara jujur bahwa Indonesia terdiri dari dua realitas, yaitu nasional dan primordial. Akan tetapi, jika masih ingin menjadi satu bangsa yang utuh, kepentingan primordial harus dikesampingkan daripada kepentingan nasional. Harus dipahami secara utuh bagaimana kemenangan kelompok nasional yang menjadikan Indonesia milik semua rakyat Indonesia, melalui perkataan Soekarno : “Semua buat semua! Bukan Kristen untuk Indonesia, bukan golongan Islam untuk Indonesia, bukan Van Eck untuk Indonesia, bukan Nitisemo yang kaya untuk Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia”. Pernyataan Soekarno ini tertampung di dalam Pancasila, yang artinya Pancasila mengandung kesetaraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam kerangka berpikir seperti itu, Titaley memperluas pokok pikirannya mengenai tugas dan tanggungjawab umat Kristen dalam mengisi kemerdekaan Indonesia, yaitu : a) menjaga kesetaraan yang sudah teologis dari Indonesia itu agar tidak hilang, b) mendidik warga bangsa untuk tidak berlaku diskriminasi terhadap sesamanya (tidak Injili), c) Secara riel terlibat dalam bidang politis, sosial dan budaya dan berbagai bidang lainnya, d) Mendidik warganya untuk melakukan panggilan ini dalam berbagai bidang, e) Secara khusus mengkritisi perilaku pemerintah dan Undang-Undang yang dibuatnya agar tidak menuimpang dari hakikat kemanusiaan Indonesia, dan f)Tidak hanya menikmati keselamatan bagi dirinya sendiri.
Bagi saya apa yang disampaikan oleh John Titaley adalah suatu realitas yang harus dikerjakan oleh umat Kristen Indonesia dalam mengisi kemerdekaan negaranya. Sama seperti Yesus yang hadir di dunia untuk menyampaikan Injil, maka umat Kristen hadir di dunia juga untuk menyebarkan Injil. Injil bukanlah tulisan pada kitab-kitab, tetapi Injil adalah kabar sukacita. Ketika Yesus datang ke dunia, Dia datang untuk memerdekakan orang yang terjajah secara sistem. Yesus hadir di tengah-tengah mereka yang sakit, berdosa dan terpenjara oleh hutang, lalu melawat, menyembuhkan dan membebaskan mereka. Inilah cara Yesus menunjukkan Kemesiasan-Nya, bukan seperti yang diharapkan oleh kebanyakan bangsa Israel bahwa seorang Mesias harus datang dengan jubah perang, membawa perisai, menunggang kuda dan mengangkat pedang untuk membebaskan bangsa Israel dari penjajahan. Umat Kristen harus menyampaikan hakikat sejati dari Injil dalam kehidupan bernegara, yaitu menyuarakan keadilan, melawat yang terluka, menyembuhkan yang sakit dan membebaskan yang tertawan. Inilah hakikat sejati dari Injil yang harus disampaikan kebenarannya.
Dengan demikian, benarlah isi SMS ayah saya yang mengutip dari kitab Yohanes, bahwa di dalam Firman Tuhan ada kebenaran yang memerdekakan. Ya, kebenaran itu adalah kabar sukacita yang membuat orang menjadi bebas. Selama ini di bangsa kita, tidak ada lagi terdengar gema Injil. Semua sibuk dengan kepentingan masing-masing. Sistem multipartai akibat demokrasi yang kebablasan melemahkan koalisi sehingga mengorbankan rakyat Indonesia. Perilaku tidak jujur, tidak adil dan berlaku tidak setara membuat hati rakyat teriris. Mari kita hentikan ketidakbenaran ini dengan kembali menggemakan kabar sukacita kepada Indonesia. Berhenti berlaku curang, diskriminasi, tetapi mari berani menyuarakan kebenaran, keadilan dan kesetaraan di dalam kehidupan kita mengisi kemerdekaan Indonesia. Dirgahayu HUT RI-66! Tuhan memberkati bangsaku!

Kamis, 04 Agustus 2011

Geming


Tersadarkanku dalam geming,
ternyata suatu rasa telah berdenting,
membuat hatiku jadi genting,
dalam pikiran yang sinting.

Kau bagaikan buih terbang,
membuat rasaku melayang,
tinggi mengalahkan layang-layang,
ingin 'ku katakan betapa aku sayang,
namun semuanya terbuang.

larut pada cinta pilu,
seluruh misterimu,
dalam rahasiaku,
hanya dalam hatiku yang galau.

Suatu saat nanti,
di suatu pagi,
semuanya akan pasti,
namun aku tak akan pernah berani,
jika melihat kau tak di sisi.

Depok, 4 Agustus 2011