Minggu : 6 Oktober 2019 (16 Set.Trinitatis)
Evanggelium : Kisah Para Rasul 20:21-31
Pendahuluan
Menurut H.v.d.Brink (2008), Kitab Kisah
Para Rasul (KPR) merupakan suatu bahan yang selain historis juga bersifat
praktis, karena memberikan kita banyak informasi perihal pembangunan jemaat dan
perluasan gereja. Hal ini disetujui oleh Willi Marxen (2012), yang menegaskan
bahwa KPR berusaha memberikan laporan mengenai permulaan gereja dan
melakukannya dari titik tolak zaman yan belakangan. Secara tujuan, KPR ini
pertama ditulis dengan maksud menjelaskan arti Kekristenan bagi orang bukan
Yahudi. Yang kedua, KPR menyajikan bagian dari sejarah yang bukan hanya untuk
menampilkan cerita di masa lampau saja, tetapi juga untuk menjelaskan dengan
cara inilah “gereja” dibangun. Di sini kita melihat tujuannya adalah untuk
kepentingan penginjilan. Willian Barclay (2007) memberikan elaborasi pendapat
tentang tujuan penulisan KPR ini. Setidaknya menurut Barclay, ada tiga tujuan
penulisan KPR ini, yaitu: Pertama, sebagai rekomendasi Kekristenan pada
pemerintahan Romawi; Kedua, Kekristenan ditujukan bagi semua bangsa/negara;
Terakhir, mendeklarasikan bahwa Kekristenan yang dulunya merupakan agama yang
sangat kecil dari sudut Palestina tapi kini sudah menjangkau Roma kurang dari
30 tahun.
Penjelasan Nas
Konteks dari nas kita di Minggu ini
diawali dari kisah Paulus di Efesus. Di dalam pasal 19 sebelumnya diceritakan
bahwa Paulus tiba ke Efesus setelah melanjutkan perjalanan dari Korintus dan
Antiokhia. Kehadiran Paulus di Efesus untuk memperkenalkan pekerjaan Roh Kudus
di dalam baptisan, di mana jumlah orang Efesus yang dibaptisnya pertama kali
adalah 12 orang (Kis.19:7). Pekerjaan Paulus tidak berhenti sampai di situ
saja, Paulus dalam kurun waktu tiga bulan mengunjungi berbagai rumah ibadat di
kota itu dan mengajar dengan berani. Tantangan tentu dihadapi Paulus dari orang
yang menentangnya. Akan tetapi, Paulus tetap pada komitmennya di dalam hidup
melayani Tuhan. Dua tahun di Efesus, Paulus dapat menyampaikan kabar Injil pada
orang di Asia, termasuk orang Yahudi dan Yunani. Tanda-tanda ajaib menyertai
pelayanan Paulus pada orang sakit dan kerasukan roh jahat. Merasa fondasi
gereja di kota Efesus sudah mulai kokoh, Paulus berencana berangkat ke Yerusalem
melalui jalur Makedonia dan Akhaya. Namun, rencana Paulus itu harus tertunda
karena adanya gangguan sebagai efek yang timbul dari pekerjaannya. Ada
kegelisahan dirasakan pendukung dewi Artemis di Efesus, karena mereka menilai kota
Efesus seharusnya tetap menjadi kota yang menjaga kebesaran dewi Artemis.
Kehadiran Paulus rupanya telah memberikan dampak besar dengan turunnya tingkat
kepercayaan orang di Efesus pada dewi Artemis. Pengusaha perak penghasil patung
dewi Artemis, seperti Demetrius dan tukang-tukangnya pun menyatakan sikap
penolakkannya pada Paulus secara brutal, sehingga menimbulkan kekacaubalauan yang
besar. Akibatnya, rekan Paulus dari Makedonia, Gayus dan Aristarkhus, diseret
ke gedung kesenian untuk dihujat. Adapun Paulus yang ingin membela mereka, ia
dilarang keras oleh para sahabatnya dengan alasan keselamatan dirinya. Panitera
kota datang menyelamatkan mereka karena tidak menemukan kesalahan yang
didakwakan; serta bukan tempatnya untuk mengadili mereka (Kis.19:24-41).
Ketika kekacauan sudah mulai tenang,
Paulus memanggil para muridnya untuk menguatkan mereka. Lalu, Paulus
melanjutkan perjalanan berdasarkan rute yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu
Makedonia, Troas, lalu Miletus. Paulus memutuskan untuk tidak akan kembali lagi
ke Efesus untuk menyingkat waktunya tiba di Yerusalem tepat di hari Pentakosta.
Karenanya, Paulus mengutus suruhannya dari tempatnya berada, Miletus, untuk
berangkat ke Efesus memanggil para penatua di Efesus datang menjumpainya
segera. Ketika Paulus akhirnya berjumpa dengan para penatua dari Efesus di
Miletus, Paulus menyampaikan beberapa pesan penggembalaannya. Inilah yang
kemudian menjadi teks kita pada minggu ini. Ada tiga hal yang dapat kita lihat
dari teks kita saat ini, sebagai pesan penggembalaan Paulus pada penatua Efesus
yang menjumpainya di Miletus, yaitu: Pertama, bagaimana pun yang terjadi,
Paulus tetap harus memberitakan Injil tentang Yesus Kristus pada semua orang,
termasuk orang Yahudi dan Yunani seperti yang dilakukannya di Efesus (ay.21).
Kedua, Kebulatan tekad Paulus diakuinya karena ia telah menjadi seorang tawanan
yang tidak bisa lagi lepas. Sebagai tawanan, ia akhirnya menghambakan dirinya
kepada tuannya. Paulus memperkenalkan tuannya adalah Allah di dalam Roh Kudus,
yang menugaskannya untuk pergi ke Yerusalem (ay.22). Terakhir, Paulus tidak
tahu apa yang akan terjadi di sana, apakah harus dipenjara, mendapatkan
kesengsaraan lagi (ay.23), atau harus kehilangan nyawanya pada akhirnya. Paulus
tidak tahu, yang pasti itu semua telah menunggunya di sana. Secara fisik dan
mental, Paulus telah siap, bahkan nyawanya sekalipun dipertaruhkannya (ay.24). Karena
itu, jika memang hal terburuk terjadi pada dirinya, Paulus mengucapkan salam
perpisahannya (ay.25). Paulus mendoakan agar para penatua di Efesus dapat
menjaga hasil pelayanannya di kota itu. Paulus mengingatkan agar para penatua
selalu waspada dan berjaga-jaga. Mengapa Paulus sangat mengharapkan para
penatua di Efesus benar-benar menjaga semangat Injil Kristus yang menjadi
pekerjaannya di kota itu? Pada ayat berikutnya dijelaskan oleh Paulus, yaitu
karena ia tahu bahwa para penatua itu telah ditetapkan oleh Roh Kudus menjadi
penilik/gembala di kota Efesus dan Paulus sadar akan adanya ancaman dari para
serigala ganas, yaitu pengajar palsu, yang mencari kesempatan untuk menghabisi
kawanan domba Allah di Efesus (ay.28-29). Perhatian Paulus yang besar pada
jemaat di Efesus ternyata tumbuh dari totalitas pelayanannya di sana. Selama
tiga tahun, Paulus dengan sungguh-sungguh pagi, siang, dan malam menasehatkan
gereja di Efesus dengan mencucurkan air mata (ay.30-31).
Renungan
Dari sekian jauh pembahasan kita terkait
nas saat ini, setidaknya ada empat hal yang dapat kita renungkan, yaitu:
1.
Hidup yang melayani Tuhan adalah kesempatan
Firman Tuhan pada minggu ini memberikan
kita gambaran dari sosok Paulus yang menggunakan kesempatan dalam hidupnya
untuk membuktikan dirinya memiliki komitmen yang sungguh melayani Tuhan. Setelah
perjumpaannya dengan Yesus, Paulus memiliki hidup baru. Dulunya, ia sosok yang
mengejar Yesus. Akan tetapi, Paulus berubah menjadi orang yang militan menyebarkan
berita tentang Yesus setelah ia ditangkap oleh-Nya. Apa yang dilakukannya di
kota Efesus sesuai dengan informasi dari nas kita minggu ini menyaksikannya.
Lantas, bagaimana dengan kita selaku umat percaya? Kita sudah ditangkap oleh
Yesus ketika hidup kita diperbudak oleh dosa. Hidup kita tentu harus memiliki
perubahan yang signifikan sebagai manusia baru di dalam Kristus. Karenanya, seperti
Paulus, hidup kita ini pun dapat menjadi kesempatan untuk membuktikan komitmen
kita di dalam hidup baru bersama Yesus. Hal itu bisa kita wujud nyatakan di
dalam berbagai pelayanan kita di gereja serta pekerjaan kita sehari-hari.
Paulus pernah mengatakan, “Apapun juga
yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan, dan
bukan untuk manusia” (band.Kol.3:23)
2.
Melayani Tuhan dengan hati hamba
Pernyataan Paulus bahwa ia sekarang
adalah “tawanan Roh” mengindikasikan bahwa Paulus kini takluk menjadi hamba
setelah ditangkap oleh Yesus. Karenanya, Paulus menyerah akan perintah Roh yang
menuntunnya menuju Yerusalem. Paulus pasti tahu bahwa perjalanan menuju Yerusalem
tidaklah mudah. Ada banyak tantangan di depan, yang bahkan membahayakan
nyawanya. Seorang hamba pastinya tidak punya hak untuk melawan perintah
tuannya. Nyawa seorang hamba ada di tangan tuannya. Begitu pula Paulus, ia
memasrahkan nyawanya kepada tuannya, yaitu Yesus Kristus melalui tuntutan Roh
Kudus. Itulah cara terbaik yang bisa dilakukan Paulus sebagai hamba kepada
tuannya, Yesus Kristus. Kita pun selaku umat percaya di masa kini dapat
merefleksikan kepatuhan Paulus selaku hamba Tuhan. Bisakah kita melayani-Nya
dengan hati seorang hamba? Tidak jarang kita memosisikan diri sebagai tuan/nyonya
dan berpura-pura menjadi hamba. Bisa kita lihat di dalam kehidupan bergereja,
di mana para pengerja gereja menamakan diri mereka sebagai pelayan, tetapi
dalam pelaksanaannya mereka bersikap otoriter, menonjolkan kuasa, dan serba
mengatur. Terkadang, ada yang mencari keuntungan pribadinya sendiri. Atau, bagi mereka yang bekerja sehari-hari dengan
latar belakang beragam profesi, tidak jarang mereka menekan Tuhan di dalam
hidupnya. Memaksa Tuhan melakukan apa yang diinginkannya. Meminta diberikan
berkat berlimpah, tetapi tidak mau bekerja ataupun berusaha. Mendambakan hidup
damai-sejahtera, namun sehari-hari bertindak curang dan kejam. Ini bukanlah
gambaran seorang pelayan yang berhati hamba, tapi gambaran seorang otoriter
yang menyamar menjadi hamba.
3.
Melayani Tuhan adalah gaya hidup orang percaya
Estafet pelayanan Paulus di kota Efesus
yang dilanjutkan oleh para penatua kemudian diwariskan pada kita, umat percaya
di masa kini. Lingkungan kita saat ini merupakan gambaran kota Efesus di masa
pelayanan para penatua di sana. Kita dapat melanjutkan tugas yang sudah
dibangun Paulus sebelumnya, yaitu bagaimana mempertahankan gereja yang ada di
lingkungan kita. Kita dapat berpartisipasi menjadi pelayanan gereja dalam
bentuk apapun yang sesuai dengan talenta kita. Seandainya itu pun masih sulit,
kita bukan berarti tidak dapat melayani-Nya. Kita dapat melayani gereja supaya
aman dari serigala ganas dengan cara mewaspadai segala bentuk kuasa dunia yang
dapat menyesatkan kita dan umat percaya lainnya. Sebagai waris dari pelayanan
Paulus dan penatua di Efesus, kita juga sudah ditunjuk menjadi penilik/gembala.
Untuk itu, kita harus menjadi seorang yang dapat diteladani di mana pun kita
berada. Itulah salah satu cara kita melayani Tuhan dengan bentuk sederhana.
Dalam pelaksanaannya, itu tidak semudah dengan yang dibayangkan. Karena, kita
harus benar-benar melawan arus yang lazim. Sehingga, itu semua harus menjadi
kebiasaan hidup kita sehari-hari. Makanya, melayani Tuhan harus menjadi gaya
hidup orang percaya. Ia datang secara alami, bukan dibuat-buat ataupun
dipaksakan. Banyak orang yang sudah memiliki pola dalam hidupnya yang tujuannya
tentu bagi kepentingannya. Melayani Tuhan tidak demikian. Kita harus
membiasakan pola berbuat yang terbaik di dalam hidup, bukan untuk kepentingan
diri kita melainkan untuk kepentingan Kristus. Membiasakan pola hidu seorang
hamba Tuhan akan sangat menonjol di dalam hal ini.Yang pada akhirnya dari kita
dituntut suatu pengorbanan. Sama seperti Paulus yang rela diutus ke mana saja,
karena itu sudah menjadi gaya hidup seorang hamba yang selalu melayani, tidak
peduli sengsara atau risiko kehilangan nyawa.
4.
Tujuan melayani Tuhan adalah membangun persahabatan
dengan sesama
Kehadiran Paulus di kota Efesus ternyata
tidak hanya memberitakan Injil tentang Kristus yang bangkit dan naik itu saja.
Namun, Paulus juga membangun persahabatan dengan jemaat yang ada di kota
Efesus, termasuk para penatua. Sekalipun sudah dalam perjalanan menuju
Yerusalem, Paulus tetap saja teringat pada jemaat di Efesus. Sehingga, Paulus
mengirim utusannya untuk meminta para penatua di Efesus menemuinya di Miletus.
Paulus di dalam kemanusiaannya merasa sangat berat untuk meninggalkan jemaat di
Efesus. Jemaat di kota itulah selama tiga tahun didoakannya pagi, siang, malam,
tanpa henti-hentinya sampai mengucurkan air mata. Semuanya itu bisa mungkin
terjadi karena di antara Paulus dan jemaat Efesus telah terbangun hubungan yang
baik. Relasi yang dibangun sudah pasti bukan didasarkan pada bentuk sikap yang
otoriter, tetapi dengan penuh persahabatan. Pelayanan yang baik adalah
pelayanan yang bersahabat, karena merepresentasikan kasih Kristus yang mau
menjadi sahabat semua orang, termasuk mereka yang diperbudak oleh dosa. Sebagai
sahabat, Yesus mau menyerahkan nyawanya bagi kita semua. Paulus meneladani
pelayanan Yesus yang bersahabat. Kita juga umat percaya di masa kini dapat
mengedepankan pelayanan berbasis sahabat, yang belum populer di gereja ataupun
di mana kita bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar