Selasa, 13 September 2011

Memeriksa Narasi tentang Masa Lalu Komunis


(Tulisan ini masih penggalan bagian dari buku "Mematahkan Pewarisan Ingatan", Budiawan, 2004, hal 83-102. Suatu essay yang menjawab mengapa komunisme (PKI) begitu dikhawatirkan bila muncul kembali di bumi Indonesia. Adalah konstruksi peristiwa sejarah yang lengkap disajikan Budiawan bagi kita untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi pada masa jaya komunisme di masa lampau. Tulisan ini merupakan terjemahan tesis doktoral Budiawan di SEASP, NUS)


Meskipun kelompok komunisme dengan agama (Islam) selalu bertentangan, namun kaum Komunis dan kaum Muslim, terutama pada tahun-tahun awal PKI, kedua-duanya menaruh kepedulian nasional yang sama dalam berjuang untuk kemajuan rakyat. Kedua belah pihak sampai batas tertentu saling bercekcok lebih-lebih dalam hal memahami keyakinan agama yang sama, yaitu Islam, ketimbang dalam masalah pendirian ideologi yang berbeda. Perbantahan antara komunisme dengan agama dalam sejarah Indonesia, khususnya dalam zaman pergerakan nasional, harus tidak diartikan sebagai pertentangan yang diametral, tetapi lebih sebagai pertentangan berebut pengakuan mana “muslim sejati”. Jelas ini bertentangan dengan anggapan umum bahwa PKI niscaya anti agama. Akan tetapi karena pembentukan “kebenaran” tidak terpisahkan dari basis material penopangnya, yang menetapkan klaim atas kebenaran yang akhirnya menjadi rezim kebenaran, maka pembentukan “kebenaran” bergantung pada sejauh mana ia ditopang oleh berbagai basis materialnya.

Meskipun disusun secara kronologis, esay ini akan banyak didasarkan pada analisis terhadap nada keagamaan dari pengucapan-pengucapan politik PKI. Dalam konteks ini, “Peristiwa Madiun” September 1948, bisa ditempatkan sebagai titik perubahan arah sejarahnya. Itulah titik waktu ketika PKI secara terbuka menantang kekuasaan pemerintahan Soekarno-Hatta dengan memproklamirklan “Republik Soviet” Indonesia di Madiun, Jawa Timur, karena keyakinan mereka bahwa pemerintah telah berkompromi dengan Belanda yang berusaha mengembalikan kekuasaan kolonialnya. Peristiwa itu bisa diinterpretasikan sebagai titik balik yang gawat, karena selanjutnya masalah agama baik secara positif maupun negatif hampir tidak pernah lagi disebut-sebut dalam artikulasi pimpinan baru PKI. Hal ini berbeda sekali dengan masa-masa awal PKI, sebagaimana akan dibahas, ketika sejumlah tokoh kuncinya berusaha keras “mengatasnamakan” komunisme, dalam pengertian menginterpretasikan komunisme dari perspektif agama



Islamisasi Komunisme dan Pertentangan antara PKI dan Organisasi Islam 1920-an – 1948

Periode historis PKI sebelum terjadinya Peristiwa Madiun tidak begitu banyak diceritakan dalam wacana anti komunisme. Tetapi, ada dua peristiwa yang menjadi perhatian luas. Kejadian pertama ialah lahirnya PKI. Menurut dokumen resmi, sejak awal komunis dianggap cerdik dan tidak bisa dipercaya, karena sebelum partai mereka sendiri terbentuk pada 1920, mereka telah menyusup ke dalam organisasi Islam, yaitu Sarekat Islam (SI). Kejadian kedua adalah pemberontakan 1926-1927, yang diungkapkan tanpa memaparkan latar belakang, proses dan rangkaian kejadiannya yang semestinya. Tujuannya untuk membangun citra bahwa PKI sejak semula berwatak pemberontak, seperti yang dipaparkan oleh “Buku Putih”. Karena penggambaran semacam itu, maka tidak aneh masyarakat tidak mengetahui bahwa sejumlah tokoh penting komunis adalah orang-orang Muslim yang soleh. Begitu juga terhadap kenyataan, bahwa basis utama PKI pada masa-masa awal adalah Banten dan Sumatera Barat, di mana tradisi Islam lebih “puritan” dibandingkan dengan masyarakat Jawa. Sebagaimana akan dibahas, orang-orang Muslim komunis itu tidak hanya simpati pada komunisme. Mereka malah berusaha mengagamakan (meng-Islam-kan) komunisme. Hal ini menimbulkan kritik dari kalangan Muslim yang memandang komunisme sebagai ancaman terhadap Islam. Bagaimana kaum Muslim berusaha meng-Islam-kan komunisme? Bagaimana kaum Muslim anti komunis menentang usaha itu?

Sebagai partai tertua di Indonesia dan sebagai gerakan komunis pertama di Asia, di luar wilayah kekaisaran Rusia, semula PKI merupakan organisasi sosialis Marxis, yaitu Perhimpunan Sosial Demokrat Hindia, yang didirikan di Hindia Belanda beberapa bulan sebelum Perang Dunia 1 pecah. Pada waktu Soviet merebut kekuasaan, Rusia telah dibersihkan dari unsur-unsur non-Bolsyewik dan dalam bulan Mei 1920, secara resmi memproklamirkan dirinya sebagai partai komunis.

Hal yang masih belum dinyatakan dengan tegas di dalam gambaran ringkas semacam itu adalah bahwa kaum komunis bergabung di dalam SI untuk memperluas pengaruh politik mereka dari dalam dan melalui organisasi Muslim itu. Komintern menyebut strategi ini sebagai “di dalam kubu” (bloc within), di mana aktivis komunis harus meluaskan pengaruh komunismenya dengan membangun jaringan sel-sel di dalam organisasi-organisasi non-komunis. Pada waktu itu, keanggotaan rangkap seperti itu masih dimungkinkan, karena tidak adanya disiplin partai, selain karena sifat keorganisasian SI yang desentralistis. Karena itu, dari perspektif hukum sulit untuk mengatakan bahwa hal semacam itu sbeagai “infiltrasi”, karena dalam infiltrasi terkandung anggapan adanya penyamaran oleh para infiltran. Apa yang terjadi bukanlah beberapa orang komunis yang berpura-pura menjadi Muslim supaya diterima dalam SI. Tetapi yang benar, sejumlah orang Muslim mempunyai gagasan komunis bergabung dalam SI, sebelum akhirnya mereka dikeluarkan karena ada maklumat disiplin partai pada Kongres SI tahun 1923. Petumbuhan pesat PKI di Banten dan Sumatera Barat, dan kepemimpinan Haji Muhammad Misbach dalam gerakan komunisme di Surakarta, seperti akan dibahas di bagian berikut:



Kepemimpinan Muslim dalam tubuh PKI di Banten dan Sumatera Barat.


Komunisme Islam, tulis Michael Williams, tampak seperti paradoks. Ini memang benar jika orang beranggapan bahwa barangkali tidak ada agama yang terbukti lebih berani menantang komunisme selain Islam. Akan tetapi, kenyataan bahwa di dalam babak-babak sejarah tertentu di negeri-negeri tertentu, suatu gerakan sosial yang dapat disebut “Komunisme Islam” telah berkembang dan harus diperhatikan. Inilah yang rupanya terjadi di Indonesia pada akhir tahun1920-an.

Banyak pemimpin komunis Indonesia pada masa-masa awal, misalnya Tan Malaka, berpendapat bahwa Islam bisa dipakai untuk tujuan revolusioner. Yang lainnya, seperti Haji Misbach di Surakarta dan pemimpin Banten, Haji Achmad Chatib, bahkan menegaskan bahwa tidak ada ketidaksesuaian yang mendasar antara Islam dengan komunisme. Pendirian seperti itu bukan suatu hal yang unik untuk Indonesia yang terjajah. Pada awal abad kedua puluh, Islam dan nasionalisme dipandang sebagai sangat erat, sementara kekuasaan asing dan kapitalisme dilihat sebagai hal yang satu dan sama. Dengan memberi nama kapatalisme sebagai musuh utama, mereka memberikan dimensi baru dan modern dalam oposisi klasik terhadap dominasi Barat.

Perkembangan mencolok PKI pada 1920-an disebabkan oleh kenyataan bahwa ia tidak menolak tradisi Islam Indonesia. Di Banten, sebagai misal, di mana mayoritas penduduk wilayah ini petani-petani gurem, turun temurun para petani itu telah menemukan kepemimpinan sosial dan politik mereka di dalam diri kaum ulama. Para elite agama ini jauh di luar pemerintahan kolonial, namun tetap memperoleh martabat sosial di kalangan petani itu. Oleh karenanya, mereka menerima PKI yang menawarkan suatu perspektif dan strategi baru dalam menentang pemerintahan kolonial.

Kaum ulama dan para pemimpin Banten lainnya, yang berlatar belakang Islam, bukan sekedar bersimpati tetapi juga sebagai propagandis-propagandis PKI. Tentu saja tidak semua ulama bergabung dengan PKI. Akan tetapi hanya sedikit saja di antara para pemimpin agama di Banten yang suka berbicara menentang PKI. Justru mereka sama-sama berpendirian bahwa pemerintah Belanda itu kafir.

Bagi PKI kebencian para ulama terhadap pemerintah kolonal itu merupakan sumber penting untuk propaganda. Para propagandis partai tidak pernah berhenti menyatakan bahwa Islam tidak mungkin bebas di bawah pemerintahan kafir. Tetapi di bawah komunisme, agama tidak akan menjadi sasaran pelarangan seperti yang dilakukan oleh para penguasa kolonial. Beberapa pemimpin PKI berasal dari latar belakang religius dan pandai membuat kutipan-kutipan dari Al-Quran, ketika mengemukakan pokok-pokok pandangan mereka; oleh karena itu dengan mudah mereka bisa masuk di kalangan para ulama.

Dalam semua rapat-rapat mereka, PKI mengingatkan pada berbagai kesamaan dan keteladanan di dalam sejarah Islam. Ini dimaksudkan untuk membangkitkan perasaan bahwa perjuangan selanjutnya akan berakhir dengan kemenangan karena rahmat Ilahi. Rujukan yang diambil untuk perjuangan saat itu adalah perjuangan rakyat Maroko dalam melawan pemerintahan kafir Spanyol dan Prancis. Lenin dan kaum Bolsyewik bahkan digambarkan sebagai pembela Islam dan pendiri sebuah negara yang luhur dan adil, serta diridhoi oleh Allah. Namun, terlepas dari retorikanya yang religius, PKI tidak pernah mengaku diri sebagai organisasi Islam. Ia hanya berjanji untuk menghargai dan melindungi agama. Ia menawarkan jalan bagi kebebasan beragama dan politik. PKI menarik hati kaum ulama untuk melihat berakhirnya larangan-larangan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap mereka, seperti misalnya kewajiban untuk mendapatkan surat izin mengajar dan keharusan untuk memperlihatkan daftar para santri. Di samping itu, penguasa selalu memantau khotbah-khotbah publik.

Karena jumlah ulama yang bergabung dengan PKI makin bertambah, penggunaan kosakata keagamaan sebagai ganti jargon-jargon komunis dalam gerakan menjadi lebih dominan. Manakala momentum untuk melancarkan pemberontakan semakin dekat, kemenangan lalu dikaitkan dengan pembentukan sebuah negara Islam, kadang dipandang sebagai kesultanan Banten. Di samping itu, kaum ulama tidak pernah lupa mengutip sebuah ayat Al-Quran, “dengan pertolongan Allah segala sesuatu bisa dicapai”. Dalam masa-masa menjelang pemberontakan komunis di Banten, seperti diuraikan di atas, gagasan-gagasan politik diartikulasikan dalam idiom-idiom agama, sementara gerakannya itu sendiri disulut dengan sentimen-sentimen keagamaan. Ini memang para strategi para pimpinan PKI. Tetapi karena banyak di antara mereka telah ditangkap sebelum pemberontakan meletus pada akhir 1926, dan pemimpin partai diserahkan kepada kaum ulama dan para jawara, maka penggunaan idiom-idiom Islam dan pengurasan sentimen keagamaan menjadi lebih intensif. Ini merupakan bagian dari dunia wacana kaum ulama di mana komunisme dipandang sebagai “sumber imajinasi”, alih-alih sebagai ancaman keimanan agama mereka. Dengan demikian, di Banten, komunisme di-Islam-kan ketimbang sebaliknya.

Gejala yang serupa bisa dijumpai di Sumatera Barat. Sebagaimana diteliti oleh Joel Kahn, penyebaran komunisme di wilayah ini tidak dapat dipisahkan dari peranan tokoh seorang guru agama, Haji Datuk Batuah. Ia mengubah bekas sekolah agama Thawalib Sumatera menjadi pusat perumusan komunisme Islam. Di Sumatera Barat, sukses awal komunisme adalah berkat penyebaran ide komunisme Islam di desa-desa pedalaman. Ideologi itu dipakai untuk mengartikulasikan keluh kesah radikal yang semakin meningkat terhadap pemerintah kolonial yang disebabkan oleh keterpurukan ekonomi awal tahun 1920-an. Di sini ide tentang kesengsaraan semakin meningkat bersamaan dengan ide anti kolonialisme berdampak pada peningkatan tajam jumlah anggota Sarekat Rakyat (SR), yang berafiliasi dengan komunis yang sudah berdiri di sana pada 1924.

Seperti di Banten, seruan komunis di Sumatera Barat diletakkan pada identifikasi mereka terhadap penguasa kolonial Belanda dengan kafir (tak beriman)-sebuah istilah yang menusuk perasaan bagi kaum non-Muslim. Di Sawah Lunto, daerah pertambangan batubara, kaum komunis menyatakan bahwa tambang batubara Ombilin milik negara harus diserahkan kepada rakyat. Di tempat-tempat lain, mereka menentang pemberian konsesi kepada perusahaan-perusahaan pertambahan asing. Jadi mereka melihat Islam dan nasionalisme dihalangi langsung oleh kapitalisme dan borjuasi dipahami dalam hubungan etnik. Penyamaan kapitalisme dengan kolonialisasi bukan hal yang kebetulan. Eksploitasi ekonomi di Sumatera Barat semuanya dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada waktu perjuangan melawan Belanda tiba, siapa saja yang bukan komunis dianggap sebagai berada di pihak kafir. Dengan demikian antagonisme kelas menemukan pengucapannya dalam perjuangan agama dan dengan jalan itu mobilisasi massa terbukti efektif.

Artikulasi religius komunisme seperti itu juga dapat diamati dalam gerakan komunisme Haji Muhammad Misbach di Surakarta. Akan tetapi, tidak seperti kawan-kawannya di Banten dan Sumatera Barat, yang tidak mengalami tentangan berarti dari sesama kaum Muslim, Misbach harus menghadapi oposisi serius dari kaum ulama yang anti komunis, terutama para ulama dari organisasi Muslim Muhammadiyah. Komunisme Islam yang dikembangkan Misbach betul-betul gugatan terhadap tatanan kolonial dan sekaligus juga terhadap Islam yang lain. Atas dasar inilah persaingan klaim sebagai Muslim sejati merebak.



Haji Muhammad Misbach dan Komunisme Islam di Surakarta pada awal 1920-an


Haji Muhammad Misbach tidak begitu dikenal dalam pergerakan. Lahir dan besar di Kauman pada 1876, ia menghabiskan sebagian besar pendidikannya di pesantren. Ia mulia terlibat aktif dalam pergerakan pada 1914, ketika ia bergabung dengan Liga Jurnalis Pribumi (Inlandsche Journalisten Bond, IJB) yang dipimpin oleh jurnalis dan novelis Marco Kartodikromo. Marco menggambarkan pertemuannya dengan Misbach sebagai berikut:

“Ketika saya menerbitkan surat kabar mingguan Doenia Bergerak di Solo (1914), saya berkenalan dengan H.M.Misbach, karena dia anggota perkumpulan (IJB) dan pelanggan surat kabar tersebut. Dia seorang Islam yang bercita-cita menyebarkan Islam dengan cara-cara zaman sekarang, menerbitkan surat kabar Islam, membenahi sekolah Islam dan menyelenggarakan rapat-rapat untuk membahas agama Islam dalam kehidupan soial. Pada tahun 1915, H.M.Misbach menerbitkan surat kabar bulanan Medan Moeslim. Pada waktu itulah, dia mengambil langkah pertama masuk pergerakan dan mengibarkan panji Islam. Ia menyebarkan agama Islam di mana-mana dan senang bersahabat dengan semua orang. Misbach punya teman-teman di semua kalangan rakyat yang bisa meneruskan pergerakannya. Tetapi di antara yang mengaku sebagai Muslim (yang baik), ada yang lebih menaruh kepentingan untuk menimbun harta daripada membantu rakyat yang menderita. Misbach tampak bagaikan seekor harimau di antara sekelompok kecil binatang, lantaran dia tidak pernah gentar mencela kelakuan orang-orang yang mengaku diri sebagai Muslim yang baki tetapi terus saja menghisap darah sesama anggota masyarakat.”

Ada dua hak yang layak dicatat dari kenangan Marco di atas. Pertama, Misbach sungguh seorang Muslim ortodoks yang saleh. Akan tetapi, keprihatinannya terhadap orang yang menderita membuat artikulasi keagamaannya menjadi populis. Kedua, artikulasi semacam itu membuatnya tidak hanya berbeda dari, tetapi juga bertentangan dengan kaum Muslim ortodoks yang menyerukan simbol-simbol Islam. Pertentangan semacam itu pada gilirannya menempatkan Misbach dan pengikutnya pada satu pihak dan para pimpinan Muhammadiyah pada pihak lain, dalam perebutan klaim tentang siapa yang benar-benar menjalankan Islam sejati.

Pertarungan ini merupakan refleksi dari perpecahan di tubuh SI itu sendiri, khususnya setelah kongres 1923 yang menghasilkan keputusan tentang disiplin partai. Dengan ada perpecahan itu, CSI (Centraal Sarekat Islam) menjadi sangat identik pada pandangan modernis Muhammadiyah, yang pada 1924 menyatakan bahwa Islam dan komunisme tidak terdamaikan dan karena itu tidak ada Muslim sejati yang menganut PKI. Tetapi pertumbuhan komunisme Islam terus berlanjut. Di Jawa, komunisme Islam kuat di Surakarta. Berikut merupakan contoh uraian, di mana unsur-unsur tradisi lokal, Islam dan Marxisme terlihat jelas:

“Berabad-abad dahulu keadilan dipandang oleh rakyat sebagai kebutuhan yang paling tinggi dan diakui seluruh dunia. Pelaksanaannya ada di tangan raja, yang dalam kapasitasnya sebagai hakim dijunjung di atas segala mahluk dan dimuliakan, serta rakyat menundukkan diri sepenuhnya di hadapannya. Akan tetapi, ketika banyak orang mulai bersaing satu sama lain dalam mengejar kekayaan, keadilan tidak lagi bisa diberikan sebagaimana mestinya, karena orang-orang kaya yang telah berbuat jahat bisa menyogok saksi dan dengan demikian membeli jalan keluar dari penuntutan terhadap diri mereka. Sejak saat itu, raja sudah jarang mampu mengadili secara benar. Budi manusia menjadi tidak jujur lagi dan tersesat dalam liku-liku kepalsuan, sehingga dosa manusia menjadi semakin besar dan dunia pun menjadi penuh dengan kekejaman. Orang kaya bisa mengambil untung dari harta yang Tuhan berikan, melalui pribadi nabi-Nya dan dalam bentuk pengajaran agama, demi maslahat dunia dan umat manusia. Ketika orang kaya mulai menaruh perhatian pada urusan keagamaan, mereka juga memasukkan politik ke dalam pengajaran agama. Dan setelah nabi wafat, mereka bisa menggunakan pengaruh mereka. Para pemimpin agama, ulama dan guru-guru agama dibayar oleh kaum kapitalis. Dengan cara ini, kaum kapitalis bisa mencapai tujuan mereka dalam mengurusi urusan kekayaan di atas urusan rakyat banyak. Kewajiban memberikan zakat dan fitrah membuktikan bahwa kesejahteraan manusia semestinya ditempatkan di atas keselamatan harta benda. Tetapi segera setelah kepemimpinan Islam tidak di tangan para murid nabi, kewajiban-kewajiban itu tidak lagi ditaati. Banyak di antara orang kaya tidak lagi memikirkan tentang zakat, serta banyak barang-barang terlarang diperjualbelikan dengan bagian-bagian lain dunia, sehingga dari sudut pandangan Islam semua harta benda di dunia menjadi najis. Kapitalisme yang penuh dosa telah bangkit. Tetapi belum ada hukum yang menentang kapitalisme selain di Rusia. Sudah saatnya bagi kaum buruh dan tani menyadari betapa jahatnya kapitalisme itu.”

Penjelasan semacam itu jelas merupakan penerjemahan dari kritik Karl Marx terhadap praktik-praktik sosial agama (gereja), yang dikenal umum sebagai “agama adalah candu bagi rakyat”. Banyak pemimpin agama sampai sekarang sering menggunakan kata-kata tersebut untuk mencurigai dan meyakini bahwa komunisme memang pada dasarnya bertentangan dengan agama. Misbach tidak hanya merasa perlu menjelaskan apa yang dimaksud Marx dengan kata-kata itu. Dia bahkan menggunakan penjelasan ini untuk menyerang Muhammadiyah atas nama Islam sejati. Inti pertikaian antara Misbach beserta Muslim komunis dengan Muhammadiyah terletak pada soal, apakah seorang bisa menjadi Muslim sejati tanpa menempatkan Isla dalam suatu gerakan politik. Lebih khusus lagi, apakah Muhammadiyah harus atau tidak harus bergerak dalam politik; dan apakah harus atau tidak harus berjuang menentang pemerintah dan kapitalisme dalam zaman kapital dan di negeri sendiri dijajah oleh kekuasaan non-Muslim. Karena Muhammadiyah merupakan satu-satunya basis organisasi pimpinan CSI, maka pertentangan tersebut menarik perhatian luas dari berbagai surat kabar. Islam Bergerak-nya ala Misbach muncul dalam barisan terdepan dalam gerakan anti Muhammdiyah.

Dalam serangkaian artikel yang terbit pertama kali dalam surat kabar PKI, Sinar Hindia, dan kemudian dimuat ulang dalam Islam Bergerak, seorang penulis dengan nama samaran, “Botja Pakoealaman” membuat penggolongan Islam baru, yaitu Islam sama rasa / Islam komunis, Islam imperialis dan Islam kapitalis. Kategori pertama adalah Islam menurut pemahaman kromo (orang kebanyakan). Yang kedua adalah Islam menurut pemahaman kaum ningrat dan yang ketiga, Islam menurut pemahaman kaum hartawan. Berdasarkan “analisis kelas” Islam Hindia ini, penulis tersebut mengemukakan bahwa Muhammadiyah adalah Islam kapitalis, sedang SI (sayap merah) adalah Islam sama rasa atau Islam komunis. Dengan mengecap Muhammadiyah sebagai Islam kapitalis, Misbach dan kawan-kawannya di dalam PKI menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak sesuai berbuat dengan ajaran Islam, karena melakukan perbuatan haram dengan membungakan uang, menjauh dari politik dan tidak berjuang menentang kepalsuan. Keengganan mereka untuk menyebut Muhammadiyah dengan namanya itu sendiri, dan ketegasan mereka selalu menyebutnya “MD” membuat pertentangan itu semakin jelas. Muhammadiyah berarti pengikut Muhammad, sedangkan MD bisa diartikan Mundur Diri atau Musibat Dunia (bencana dunia).

Melalui kritik semacam itu, Misbach menarik garis tegas antara mukmin (kaum beriman) yang mengorbankan segala-galanya demi perintah Allah dan kaum munafik (hipokrit) yang mendaku diri sebagai mukmin tetapi menggunakan Islam hanya untuk pamer semata. Pembedaan antara mukmin dan munafik ini pada pokoknya sama dengan pembedaan yang dibuat sebelumnya, yaitu Islam sejati dan Islam lamisan (Islam semu).

Untuk menjernihkan penjelasannya tentang Islam sejati, Misbach mengemukakan beberapa butir kesesuaian antara ajaran AlQuran dan ajaran komunisme: “…Quran menyatakan bawha menjadi kewajiban setiap Muslim untuk mengakui hak umat manusia dan hal ini juga teradapat dalam prinsip-prinsip program komunis. Selanjutnya adalah perintah Allah bahwa kita harus menentang penindasan dan penghisapan. Ini juga merupakan salah satu tujuan komunisme. Jadi benarlah jika dikatakan bahwa prinsip barang siapa yang tidak bisa menerima prinsip-prinsip komunisme, dia bukanlah Muslim sejati.”

Sementara itu serangannya terhadap apa yang disebutnya sebagai Islam lamisan sebagai berikut: “..kita mengetahui bahwa Muhammadiyah itu suatu perkumpulan kapitalis dan sangat dalam di bawa pengaruh kapital. Ia tidak peduli dengan politik. Suatu perkumpulan yang tidak bersikap menentanng kapitalisme, dengan sendirinya didukung oleh kapital. Tampaknya sekarang ini menjadi mode bagi setiap orang untuk menyebut diriya Muslim, meskipun mereka tidak memenuhi kewajiban yang diperintahkan oleh Islam. Di mana-mana orang bahakan bisa menemukan Hotel Islam, Toko Islam dan lain-lain. Dengan cara itu orang menyalahgunakan nama Islam, semata-mata supaya bisa memperkaya diri mereka sendiri.”

Misbach sungguh-sungguh merupakan seorang tokoh gabungan antara komunisme dan Islam. Dia melihat Islam dan komunisme sebagai dua hal yang bersesuaian. Namun, hanyalah Islam dalam semangat revolusioner baginya seorang menjadi Muslim sejati karena menentang kapitalisme. Islam adalah suatu agama yang harus membuat bangsa Indonesia sadar terhadap keadaannya yang menyedihkan, dan itulah Islam sejati. Bagi Misbach, ini berarti bahwa Islam yang tidak berpandangan demikian adalah Islam palsu. Pandangan Misbach itu tetnu saja merupakan penghinaan serius kepada Muhammadiyah yang mengambil jalur reformis untuk meningkatkan apa yang mereka nyatakan sebagai kesejahteraan kaum Muslim juga. Akan tetapi, sumber konflik itu tidak terletak dalam strategi perjuangan mereka, melainkan lebih pada soal hak mendefinisikan dan mempertahankan rasa keberagamaan itu sendiri.

Penentangan Muhammadiyah terhadap dalil-dalil Muslim komunis memperlihatkan usahanya dalam merumuskan dan membela rasa keberagamaan mereka. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa Muhammadiyah selalu berada dalam posisi defensif. Obsesi mereka untuk memurnikan Islam dari nilai-nilai lokal dan tradisional, dalam konteks modernisasikan umat Muslim dipandang sebagai sebuah ancaman oleh kaum Muslim yang wawasan budayanya kuat bertumpu pada tradisi lokal. Dengan perspektif ini, tentu tidak ada maksud menaruh konflik tersebut dalam wacana perselisihan kultural antara abangan dan santri, seperti yang dianjurkan dalam pendekatan budaya politik. Justru essay ini bermaksud memperhatikan pada bagaimana praktik-praktik ini menemukan artikulasinya.

Kamis, 08 September 2011

Gagasan Gus Dur tentang Rekonsiliasi Nasional dan Pejabarannya (Budiawan,Mematahkan Pewarisan Ingatan, 2004, hal.46-57)

Sebelum dipilih sebagai Presiden Indonesia yang keempat pada Oktober 1999, Gus Dur telah dikenal sebagai sosok pemimpin Muslim terpandang dan moderat. Ia bukan hanya sebagai tokoh agama terkemuka dalam hal toleransi beragama, yang telah membuatnya diterima oleh berbagai kalangan non-Muslim, melainkan juga pembela gerakana demokratisasi dan hak asasi manusia. Setelah dengan terang-terangan menyatakan keprihatinannya terhadap berbagai konflik dan pelanggaran HAM di Indonesia dalam tahun-tahun terakhir era pemerintahan Soeharto, dia mengangkat isu rekonsiliasi nasional. Akan tetapi seruannya itu tidak mendapat tanggapan, dan ia sendiri juga tidak mengelaborasi pemikirannya lebih jauh. Gus Dur hanya menegaskan soal pentingnya membentuk sebuah forum nasional, di mana para tokoh politik terkemuka Indonesia akan saling merundingkan kepentingan dan agenda mereka satu sama lain. Kendati demikian, Gus Dur tidak berhenti. Setelah terpilih sebagai presiden, dia mengajukan kebijakan yang ditujukan untuk mewujudkan gagasan rekonsiliasi nasional. Apa alasan di balik insiatifnya yang berkenaan dengan ekstapol dan keluarga mereka itu?

Pertama, mengenai keputusannya memberi izin kepada para pengasingan politik Indonesia untuk pulang kembali dan mendapatkan kembali hak kemwarganegaraan apabila mereka sendiri menghendaki, karena Gus Dur mengharapkan terciptanya masyarakat sipil dalam suasana Indonesia yang baru. Satu cara untuk merealisasikan harapan semacam itu adalah dengan membangun wacana demokrasi dan pluralisme, di mana setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam mengembangkan dan menghidupi kemanusiaan mereka, tak peduli apa pun agama, etnis dan afiliasi politik mereka;

Kedua, mengenai keputusannya untuk membubarkan Bakorstanas dan menghentikan praktik-praktik penelitian khusus (litsus), karena dia menganggap Bakorstanas sebagai mata-mata alat politik yang malah memperumit birokrasi. Sebagai juru bicara presiden, Marsilam Simanjuntak, menyatakan bahwa tujuan dikeluarkannya kebijakan ini adalah untuk membangun sebuah asumsi yang lebih baik terhadap setiap orang.

Ketiga, Gus Dur secara pribadi menawarkan pernyataan permintaan maaf kepada para keluarga korban pembantaian massal 1965-1966 dan kepada mereka yang telah dipenjara tanpa proses peradilan. Ini merupakan pernyataan yang mengagetkan. Bagaimanapun Gus Dur sebenarnya tidak bermaksud membuat kejutan, sebagaimana dikatakannya bahwa dia juga pernah menyampaikan maaf semacam itu ketika menjabat sebagai ketua Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai tambahan dari permintaan maafnya terhadap para korban pembantaian massal 1965-1966 itu, Gus Dur menyetujui gagasan peninjauan ulang sejarah seputar “peristiwa 1965”. Dia mengatakan bahwa demi mewujudkan rekonsiliasi nasional, misteri kalem “peristiwa 1965” harus disingkap kembali.

Keempat, Gus Dur mempunyai beberapa alasan dengan usulannya untuk mencabut TAP MPRS No.25/1966, tentang pelarangan PKI dan ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme. Awalnya usulan itu dimaksudkan sebagai tanggapan terhadap isu yang tengah muncul soal pencabutan semua ketentuan hukum yang meminggirkan para eks-tapol dan keluarga mereka yang telah diwariskan oleh rezim Orde Baru. Isu pencabutan TAP MPRS tersebut muncul ke publik ketika seratus eks-tapol yang dipimpin Sri Bintang Pamungkas melakukan demostrasi di hadapan DPR pada 3 November 1999. Mereka mengajukan petisi kepada komisi HAM dalam tubuh lembaga legeslatif tersebut. Salah satu butir dari petisi yang mereka kemukakan menuntut pencabutan TAP MPRS itu dan instrumen hukum lainnya. Ketentuan-ketentuan hukum itu menurut Bintang, merupakan sebentuk diskriminasi sosial dan politik terhadap para eks-tapol dan keturunan mereka. Bintang menggambarkan dua contoh diskriminasi dalam kaitannya dengan hal itu: a) pencantuman label ET (eks-tapol) pada KTP para eks-tapol yang merupakan sebentuk tindakan stigmatisasi secara politik, dan b) pelarangan keturunan, keluarga dan orang-orang terdekat dari para eks-tapol untuk menjadi pegawai negeri atau meniti karier dalam bidang militer atau kepolisian.

Gus Dur menjawab petisi tersebut pada akhir Januari 2000. Dia mengumumkan bahwa demi rekonsiliasi nasional, dia menerima dan sangat menyetujui gagasan pencabutan TAP MPRS No.26/1966. Gus Dur menegaskan bahwa PKI telah dihukum selama bertahun-tahun. Dia mengajukan pertanyaan retoris, “Apakah kita masih harus menghukum mereka?” Pertanyaan Gus Dur menumbulkan protes dari publik, terutama dari organisasi-organisasi Islam. Meskipun timbul protes seperti itu, Gus Dur terus menggulirkan gagasan tersebut. Dia menyatakan dan menyerukan gagasannya itu dalam beberapa kesempatan. Sebagai contoh, ketika Gus Dur berada di Universitas Islam Malang, Jawa Timur, dia mengulangi bahwa TAP MPRS tersebut seharusnya dicabut.

Gus Dur menegaskan bahwa telah banyak orang yang non-komunis turut terbunuh dan terpenjara tanpa proses pengadilan dengan ketentuan tersebut. Dia mengatakan bahwa kalaupun seorang adalah komunis, juga tidak boleh diperlakukan sebagai orang yang tanpa hak-hak sipil. Jadi, demikian ia menegaskan gagasan pencabutan TAP MPRS itu terikat dengan isu HAM.

Tanpa mempedulikan protes yang muncul, Gus Dur kembali melontarkan secara terus menerus gagasan tersebut. Bahkan sebelum melakukan shalat Jumat di Jakarta, Gus Dur mengatakan TAP MPRS itu dibuat oleh seseorang yang tengah berendam dalam nafsu kekuasaan dan takut dituduh sebagai salah satu seorang anggota PKI itu sendiri (tidak jelas apakah Gus Dur hendak mengatakan bahwa “seseorang” yang dimaksudkannya itu telah berteriak seperti maling teriak maling untuk menyelamatkan diri) Untuk meyakinkan khalayak bahwa dia benar-benar ingin menegakkan prinsip HAM, Gus Dur mengaitkannya dengan sepenggal kisah hidupnya sendiri. Dia lahir di dalam sebuah keluarga Non-PKI. Akan tetapi, dia menyaksikan sebuah hubungan pribadi yang sangat erat antara ayahnya, Wahid Hasyim dan seorang tokoh terkemuka komunis, Tan Malaka, yang acap mengunjungi orangtuanya serta diterima dengan sangat terbuka. “Bagaimana mungkin seorang kyiai dan seorang komunis saling berpelukan?” Demikian Gus Dur bertanya untuk memberi penegasan, bahwa berpayung di bawah pandangan ideologi dan ideologi yang berbeda, atau bahkan saling berseberangan, bukan merupakan sebuah aral tak terseberangi bagi terjalinnya persahabatan pribadi yang erat.

Gus Dur mengatakan bahwa orang jarang sekali berniat untuk memahami hukum dan pandangan politik seseorang atau orang lain. Dia menegaskan bahwa menghukum anggota PKI, bahkan seorang yang benar-benar terlibat dalam Peristiwa 1965, tidak berarti anak-anaknya juga harus dihukum oleh masyarakat. Gus Dur mengatakan bahwa anak-anak tersebut barangkali bahkan tidak mengerti sama sekali soal politik atau pandangan politik orangtua mereka. Oleh karena itu, TAP MPRS tersebut harus segera dicabut.

Untuk menekankan niat kuatnya atas usul pencabutan TAP MPRS tersebut, Gus Dur menggunakan argumen keagamaan: “Melanggar hak hukum seseorang karena dia telah menyerang kita tidak mencerminkan pandangan hidup seorang Muslim yang baik. Seorang Muslim yang baik harus mengatakan apa yang salah adalah salah, dan apa yang benar adalah benar, terlepas kita menyukainya atau tidak. Gus Dur menyadari bahwa sejumlah kyiai telah menetang dan mengkritiknya. Namun, dia tetap berpegang teguh pada gagasan tersebut. Gus Dur tidak merasa bermusuhan dengan yang menentang dan mengkritiknya itu. Gus Dur tiada lelahnya melontarkan gagasan itu pada berbagai kesempatan. Pada suatu kesempatan, dalam pertemuan dengan masyarakat Kedungombo, sebagai misal, dia menyatakan TAP MPRS tersebut bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945, alasannya: Konstitusi kita tidak melarang ideologi apapun. Bahkan, kalaupun sebuah ideologi dinyatakan sebagai ideologi terlarang, ideologi tersebut dibiarkan tetap hidup dalam benak para pemeluknya. Jadi, sia-sialah melarang ideologi apapun. Tambahan pula, bahkan kalaupun PKI telah berkali-kali mencoba menghancurkan negara dan bangsa, toch mereka selalu gagal. Mereka gagal total. Jadi, kita tidak perlu panik dalam menghadapi komunisme.

Menanggapi gelombang demonstrasi menentang usulannya untuk mencabut TAP MPRS tersebut, Gus Dur berjanji untuk mengklarifikasinya pada 20 Mei 2000 dan setelah tanggal itu dia akan berhenti mengkampanyekan gagasan itu. Namun, kembali lagi dia tetap merasa perlu mengatakan, proses perumusan TAP MPRS tersebut sangatlah sewenang-wenang. TAP tersebut tidak bisa membedakan antara hak hukum dan hak politik warga negara. Hak hukum seseorang tidak dapat dienyahkan begitu saja, bahkan sekalipun secara politik dia bersalah. Di samping itu, TAP tersebut mengaburkan perbedaan antara partai dan ideologi. Kita bisa saja mencabut sebuah partai, tetapi kita tidak bisa melarang sebuah ideologi.

Protes-protes tersebut kemudian mereda karena adanya janji yang disampaikan. Pada 20 Mei 2000, dalam siaran yang ditayangkan oleh TVRI, Gus Dur pertama-tama mengulangi alasannya. Kemudian dia menambahkan beberapa poin baru berkenaan dengan status hukum TAP MRPS tersebut dan tugasnya sebagai presiden. Meskipun status hukum sebuah TAP MPR lebih tinggi daripada sebuah Undang-Undang, kita tidak dapat memandangnya sebagai sesuatu yang keramat. Produk hukum seperti TAP MPR tidak terlalu relevan sepanjang masa. Sebagai contoh, TAP MPR yang berkaitan dengan jabatan seumur hidup presiden. TAP MPR yang berkenaan dengan pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila (P4). TAP MPR tentang integrasi Timor Timur semuanya telah diganti dan disesuaikan dengan situasi baru. Sesuatu yang kita butuhkan pada satu masa, mungkin saja tidak dibutuhkan pada waktu lain. Berkaitan tugasnya dengan presiden, Gus Dur menegaskan bahwa menjadi kewajibannya untuk menegakkan prinsip-prinsip HAM, sebagaimana yang dinyatakan secara tegas dalam Konstitusi UUD 1945. Dengan demikian, mengajukan gagasan mencabut TAP MPRS No.25/1966, yang menurutnya bertentangan dengan HAM, justu sangat sesuai dengan amanat konstitusi. Gus Dur menambahkan, di samping itu, dia juga hanya mengajukan kepada MPR, dan MPR yang berhak untuk mempertimbangkannya, apakah menerima atau menolak. Jika MPR menolak, maka itu adalah tanggungjawab MPR itu sendiri dan bukan lagi menjadi tanggungjawab Gus Dur. Setelah klarifikasi itu, Gus Dur akan berhenti berbicara gagasan itu. Setelah memberikan klarifikasi, Gus Dur benar-benar berhenti berbicara tentang isu itu. Pada 29 Mei, komite ad hoc Badan Pekerja MPR menolak usulan pencabutan TAP MPRS tersebut. Argumen utama mereka adalah bahwa TAP MRPS itu harus dipertahankan karena justru melindungi HAM. Argumen ini secara implisit mempersalahkan PKI sebagai pelanggar HAM par excellence, dan jika TAP MPRS itu dicabut, PKI kemungkinan besar akan hidup kembali serta mengulangi dosa-dosa lamanya. Ini menggambarkan suara dominan dari publik dalam gelombang demonstrasi menentang gagasan pencabutan TAP MPRS itu.