Senin, 14 Desember 2015

Bermazmurlah Bagi Tuhan, Sebab Perbuatan-Nya Mulia (Khotbah di GKPI JKJK, Minggu 13 Desember 2015)


(Yesaya 12:2-6), Minggu Advent-III

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus Kristus!
Suatu kali, seorang anak laki-laki menghampiri ibunya untuk meminta izin karena ia merasa sudah siap untuk menikahi kekasihnya. Tanpa diduga, jawaban ibunya malah meminta anak itu untuk menyampaikan permohonan maaf pada ibunya. Anak laki-laki itu yang bingung kemudian bertanya, “Mengapa saya harus minta maaf kepada ibu?”. Ibunya dengan tegas menjawab, “Ayo minta maaf!”. Berulangkali anak laki-laki ini mencari jawaban dari ibunya, “Mengapa ia harus meminta maaf?”. Namun, berulangkali pula ibunya memaksanya untuk meminta maaf. Akhirnya, anak laki-laki itu menyerah dan segera meminta maaf pada ibunya, “Ibu, saya minta maaf. Sekalipun saya tidak mengetahui apa kesalahan yang baru saya lakukan pada ibu!”. Tidak lama kemudian, ibunya langsung berubah sikap, dengan lembut ibunya pun berkata, “Anakku, itulah yang harus kau lakukan pada istrimu nanti ketika rumah tangga kalian sedang ada permasalahan! Sebagai laki-laki, engkau tidak perlu mencari alasan mengapa kau harus meminta maaf pada istrimu! Ibu sudah lebih dahulu menjadi seorang istri selama hampir 30 tahun, dan ibu tidak ingin istrimu nanti merasakan kepahitan seperti yang ibu rasakan selama berumahtangga”. Setelah menikah, anak laki-laki itu memang harus menghadapi saat-saat di mana terjadi ketidakcocokkan dengan istrinya. Persoalan yang sangat sepele sekalipun bisa menjadi sumber percecokkan dalam rumah tangga mereka. Dan, sebagaimana nasehat dari ibunya sebelum menikah, anak laki-laki itu pun meminta maaf pada istrinya. Hal ini berlangsung setidaknya sampai usia pernikahan delapan tahun, karena setelahnya anak laki-laki itu merasa kesabarannya sudah habis. Ia kemudian membalikkan tuduhan istrinya lalu memojokkan istrinya sebagai seorang yang bersalah. Karena sudah sangat rumit situasinya, istrinya pun mengajukan surat cerai. Anak laki-laki yang telah menjadi seorang bapak atas anak-anak yang tengah bertumbuh pun menjadi sangat bingung. Ia sangat mencintai istri dan anak-anaknya. Sehingga, ia memohon maaf pada istrinya dan memintanya agar tetap tinggal. Istrinya pun mengabulkan permintaan suaminya itu, karena ia pun masih mencintai suaminya. Setelah badai rumah tangga itu berlalu, anak laki-laki itu kemudian menjumpai ibunya kembali dan sambil berlutut di kaki ibunya ia pun berkata, “Syukur aku masih mengingat nasehat ibu, dan aku berterima kasih untuk peringatan yang sangat bermanfaat bagiku dan bagi keluarga kecilku”.
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan!
Sama seperti cerita di atas, demikianlah pula nas kita pada saat ini, yaitu Tuhan melalui visi Yesaya telah memperingatkan bangsa Israel bahwa nantinya mereka akan dihukum oleh Tuhan, tetapi kasih setia Tuhan tetap tinggal pada mereka yang masih beribadah kepada Tuhan. Dan, atas peringatan itu, Israel layak bersyukur kepada Allah yang masih menjaga Israel. Memang, bila kita memerhatikan cerita di dalam Alkitab, kita akan menemukan bahwa Israel akan dibuang ke Babel, tapi segera dibawa-Nya kembali mereka sebagaimana janji-Nya. Inilah yang tengah dinantikan bangsa Israel yaitu hari Tuhan yang menyelamatkan mereka di kala mereka akan menghadapi penderitaan yang sudah menanti. Mengacu pada nas kita saat ini, pembahasan kita merupakan bagian pertama dari kitab Yesaya (Protoyesaya), di mana konteksnya bangsa Israel belum dalam pembuangan. Atas nubuatan keselamatan setelah melewati serangkaian penderitaan, Yesaya mengucap syukur kepada Allah melalui puji-pujiannya, di mana isi pujiannya merupakan tema minggu kita pada saat ini. Ucapan syukur Yesaya atas keselamatan itu dibuka Yesaya dengan kalimat, “Aku mau bersyukur kepada-Mu ya Tuhan, karena sungguhpun Engkau telah murka terhadap aku, tetapi murka-Mu telah surut dan Engkau menghiburku”. Kemudian disambung dengan pengakuan bahwa “Allah adalah kesalamatan, sebab Allah adalah kekuatan dan mazmur”(ay.2). Pengakuan iman ini sangat unik karena keselamatan yang diberikan oleh Allah tidak lepas dari penghayatan mereka akan kekuatan yang diberikan Tuhan atas bangsa itu. Kekuatan di nas ini dapat kita pahami dengan cara Tuhan menjaga bangsa Israel, sekalipun berada di tengah penderitaan mereka masih dapat bertahan, seperti saat keluar dari perbudakan di tanah Mesir. Dengan kekuatan itu pula mereka bermazmur bagi Tuhan. Kata mazmur sendiri aslinya berasal dari kata ibrani sefer tehillim, yang secara gramatikal sangat dekat dengan kata haleluya. Per definisi, Mazmur dapat dipahami sebagai respons manusia terhadap Allah di tengah berbagai situasi, baik suka maupun duka. Jadi, ketika dikatakan Allah adalah mazmurku, hal ini ingin menyiratkan bahwa Allah tetap menjadi Allah yang ada di tengah suka dan duka. Dari penjabaran ini, kita dapat menarik satu benang merah, yaitu keselamatan Israel dinyatakan dalam penyertaan Tuhan lewat penguatan yang diberikan di tengah respons mereka di berbagai situasi hidup. Atas dasar itulah, kita dapat memuji Tuhan yang memberikan  penguatan akan keselamatan bagi kita. Hal berikutnya adalah bagaimana Yesaya mengajak agar umat percaya menceritakan pekerjaan besar Allah yang akan telah menyelamatkan Israel (ay.4). Janji keselamatan Allah itu digambarkan dengan mata air keselamatan (ay.3). Suatu harapan yang menjamin orang percaya bahwa tidak selamanya murka Allah ditimpakan atas kita melalui penderitaan, karena kasih Allah lebih besar dan itulah yang membuat umat percaya merasakan sukacita yang besar. Mereka tidak akan haus dalam penderitaan, karena Tuhan akan melegakan mereka dengan perbuatan-Nya yang besar. Dengan menyampaikan kesaksian pekerjaan Allah yang besar, itu merupakan pujian kita kepada Allah atas rancangan-Nya yang indah dalam suka-duka kehidupan. Juga seperti Sion, yang adalah bukit di mana Tuhan berada, serta menjadi kota benteng Israel. Sion telah menjadi tanda keperkasaan umat percaya, karena di situ keselamatan dinyatakan Tuhan. Umat percaya yang dikiaskan sebagai penduduk Sion tentu harus menyambut keberadaan Allah di tengah-tengah persekutuannya. Mereka tidak akan mungkin dikalahkan lagi karena Allah ada di tengah-tengah mereka
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus Kristus!
Dari penjabaran nas di atas, serta memerhatikan tema kita pada saat ini, maka ada dua hal yang dapat kita refleksikan pada Minggu Advent-III pada saat ini.
Pertama, persoalan alasan bermazmur. Alasan kita memuji (bermazmur) bagi Tuhan adalah karena Dia itu keselamatan. Sebagai umat percaya, kita tentu bersyukur bahwa di tengah ketidakpastian dalam hidup, kita meyakini ada hal yang pasti bahwa kedatangan Tuhan yang membawa keselamatan itu pasti akan terjadi. Umat Kristen memercayai bahwa Yesus adalah Juruselamat yang dikirimkan oleh Allah di dunia ini untuk memberikan keselamatan. Dengan memperdamaikan manusia dari dosa, manusia kembali dipersekutukan dengan Allah. Inilah yang patut kita syukuri dalam pujian kita kepada Allah. Belajar dari bagaimana menantikan kedatangan Tuhan pertama kali di dunia, begitu pula kita juga saat ini tengah menantikan kedatangan Tuhan kali keduanya. Ada beberapa pendekatan dalam menantikan hari kedatangan Tuhan kedua kali sebagai sumber keselamatan itu. Ada yang memaknainya sebagai hari kiamat. Ada pula yang memahami hari Tuhan itu datang dalam hari kematian kita, di mana tugas kita sudah selesai di dunia ini dan Tuhan datang menjemput kita dalam keabadian. Serta, banyak penjelasan tentang hari Tuhan yang beredar di kalangan umat Kristen. Apapun pemahaman yang beredar itu, yang jelas ketika menanti kedatangan hari Tuhan itu, kita harus sudah memiliki dasar yang pasti bahwa Allah adalah keselamatan. Dari situlah kemudian kita memuji Tuhan melalui hidup kita sampai hari Tuhan itu datang kembali.
Kedua, jikalau kita sudah memiliki dasar mengapa kita harus bermazmur bagi Tuhan di kala menantikan kedatangan-Nya, kita kemudian diperhadapkan dengan pertanyaan bagaimana cara kita bermazmur bagi Tuhan dalam penantian itu? Belajar dari nas kita saat ini, kita mendapatkan dua cara bermazmur dalam penantian akan kedatangan hari Tuhan yang penuh keselamatan itu. Yang pertama, kita dapat bermazmur melalui kesaksian kita akan perbuatan besar Tuhan atas hidup kita. Tuhan bekerja atas diri manusia dengan berbagai cara yang unik. Masing-masing tidak sama. Ada orang percaya yang disapa Tuhan melalui peristiwa yang membahagiakan tetapi ada juga melalui peristiwa yang menyedihkan. Ada juga yang disapa oleh Tuhan melalui situasi ketidakadilan yang terjadi. Banyak cara Tuhan menyapa umat percaya. Ketika penderitaan datang sebagai sapaan Tuhan bagi umat percaya, pada batas apa kita dapat mengaku Tuhan adalah keselamatan kita? Mungkin ketika kita sedang dilanda sakit penyakit yang kronis, atau kepedihan karena kepergiaan orang yang kita kasihi selamanya dari tengah dunia, atau juga kemelaratan hidup di tengah-tengah dunia karena ketidakadilan ekonomi, bahkan ketidaktenangan menjalani hidup yang disebabkan rasa cemas berlebih. Dari banyak penderitaan yang mengambil banyak bentuk dalam hidup itu datang, sebagai umat percaya, kita tentu harus sudah yakin bahwa kita akan telah dikuatkan oleh Tuhan dalam menghadapinya. Namun, ketika harus bersedih, menangis, kecewa, hal itu silakan kita lakukan. Akan tetapi, kita harus membatasi diri dalam bersedih, menangis, dan kecewa. Kita harus meyakini secara sungguh bahwa kita dikuatkan oleh janji-Nya kalau Dia tidak meninggalkan kita sendiri. Sebagaimana bangsa Israel di masa Yesaya akan dihiburkan di tengah pembuangan dan dibawa kembali pulang, begitu pula kita sebagai umat percaya akan dihiburkan di tengah penderitaan kita dan kehidupan kita segera dipulihkan dengan pekerjaan Tuhan yang besar. Bagaimana proses yang kita alami sewaktu Tuhan memulihkan dan menghiburkan itulah yang kita saksikan sebagai pekerjaan Tuhan yang besar atas hidup kita. Sikap hidup dan teladan iman yang baik yang kita tunjukkan kala menghadapi penderitaan, sesungguhnya itu merupakan satu kesaksian kita yang hidup, walau tanpa harus diceritakan. Seperti yang dikatakan Paus Fransiskus, “Kabarkanlah Injil bila hanya perlu dengan kata-kata”, artinya kesaksian yang hidup akan pekerjaan besar Tuhan nyata dalam kehidupan keseharian kita. Dengan demikian, ketika kita menghadapinya dengan iman yang teguh serta tidak ada kata-kata hujatan yang keluar dari mulut kita, sesungguhnya kita tengah bermazmur kepada Allah, sekaligus menyampaikan kesaksian kita pada seluruh manusia. Selanjutnya, sorak-sorai dan seruan penduduk Sion, pada masa kini dapat kita pahami dengan keoptimisan umat percaya menjalani kehidupan dengan rasa terima kasih kita kepada Tuhan yang hadir di tengah hidup, sebagaimana Dia yang hadir di antara penduduk Sion. Rasa terima kasih atas keyakinan Tuhan selalu ada di tengah kehidupan umat percaya itu terlihat dari bagaimana umat percaya menyatakan penyembahan dan persembahannya kepada Tuhan. Apakah ia menyembah dan membawa persembahan pada Tuhannya melalui ibadahnya, doanya, nyanyiannya, persembahannya, rasa syukurnya, tubuhnya, dan hidupnya? Kebulatan tekad menyembah dan bersembah kepada Tuhan sesungguhnya juga merupakan bentuk bermazmur bagi Tuhan yang adalah keselamatan itu.
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan!
Inilah firman Tuhan pada saat ini. Biarlah di Minggu Advent-III ini, kita semakin merenungkan bagaimana kita bermazmur kepada Tuhan dalam penantian akan kedatangan-Nya kembali. Biarlah firman Tuhan ini tidak lalu begitu saja, tetapi dapat menjadi suatu refleksi yang dihayati dalam menyambut Dia yang akan datang. Tuhan memberkati! Amin.

Selasa, 08 Desember 2015

tentang sendiri..


Pergilah, jika ingin pergi dariku,
karena tak seorang pun dapat menahan langkahmu,
termasuk aku.
kutahu, kusadari, mustahil kita dapat bersatu,
bagaimana pun caranya itu,
hanya mukjizat mendapatkanmu,
sudah kucoba berdoa membatu,
kutahu itu hanya candu yang menghiburku.
janganlah khawatirkan aku,
sudah biasa ditinggal begitu.
sendiri itu sesuatu,
yang selalu jadi karibku.



Sabtu, 05 Desember 2015

Suci Tak Bercacat Menjelang Hari Kristus

Filipi 1:3-13 (Khotbah Minggu Advent-II, GKPI JKJK)

Lukisan Paulus karya Bartolo Montagna (1450-1523)

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus Kristus!
Mungkin masih segar dalam ingatan kita bagaimana dua orang polisi di Deliserdang, Brigadir Richardo Sitorus dan Brigadir Siregar, gugur dalam menjalankan tugas pada 26 Februari 2012. Para korban ini tentu tidak menyangka kalau pada hari Minggu itu, sekitar jam 8 malam, akan menjadi akhir dari tugas mereka dalam menjaga keamanan di tengah masyarakat. Semua peristiwa naas ini berawal ketika kedua polisi malang itu turut ke dalam 5 rombongan tim yang ingin mengamankan seorang bandar judi di daerah Perumahan Bumi Tuntungan Sejahtera, Deliserdang-Sumut. Di luar dugaan, bandar judi itu malah meneriaki kelima polisi itu, Maling! Warga yang mendengar teriakan itu langsung berkerumun menyerang kelima polisi yang berpakaian bebas. Kelima polisi berusaha lari dari kejaran massa, akan tetapi kedua brigadir yang menjadi korban gagal meloloskan dirinya sehingga meninggal dunia dikeroyok oleh massa yang mengganas. Peristiwa ini mengajarkan pada kita bahwa ternyata setiap pekerjaan memiliki risiko, termasuk menegakkan hukum di tengah masyarakat, seperti yang dilakukan oleh polisi. Demikian pula tugas pemberitaan kabar sukacita, tugas ini juga memiliki risiko bagi pengabarnya. Paulus, contohnya, ia harus menerima risiko sebagai pembawa kabar sukacita ketika memberitakan Injil di kota Filipi. Sesaat setelah memenangkan iman seorang perempuan yang bernama Lidia, Paulus kemudian mengusir roh tenung yang ada dalam diri seorang perempuan yang ingin mengikut Allah. Ternyata, ada para pembesar yang tidak suka dengan perginya roh tenung itu karena roh itu membawa keuntungan ekonomi bagi mereka. Inilah yang kemudian membawa Paulus masuk ke penjara. Dan, sebagaimana kita ketahui kemudian bahwa kekuatan Allah juga nyata atas Paulus ketika berada di dalam penjara (Kis.16:13-40). Dari dalam penjara, Paulus menuliskan suratnya pada jemaat yang ada di Filipi, di mana dalam Alkitab kita disebut dengan kitab Filipi, yang juga menjadi nas firman Tuhan bagi kita pada saat ini.
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang berbahagia di dalam Kasih Tuhan!
Perhatian Paulus melalui suratnya pada jemaat di Filipi mencakup berbagai hal. Salah satu di antaranya adalah soal persekutuan dalam relasinya dengan tindakan yang benar sebagai umat percaya. Konteks jemaat di kota Filipi pada saat itu memang tengah mengalami peningkatan setelah kehadiran Paulus. Banyak umat percaya baru di kota Filipi karena pekerjaan Allah lewat Roh Kudus yang turun atas Paulus. Dan, pada mereka semua yang baru percaya, serta pada umat yang telah percaya sebelumnya, Paulus begitu sukacita saat mengingat mereka. Hal itu terlihat dari doa Paulus pada jemaat di Filipi yang juga bentuk ungkapan syukurnya (ay.3-5). Tampaknya, Paulus tidak ingin bermegah atas persekutuan yang kian besar di Filipi. Paulus menyadari bahwa semuanya itu merupakan pekerjaan Allah, mulai dari sejak awal sampai pada akhirnya di hari Kristus (ay.6). Paulus kemudian menegaskan mengapa ia meyakini bahwa persekutuan mereka yang kian berkembang merupakan pekerjaan Allah karena mereka yang ada di dalam hati Paulus turut mendapat bagian dalam kasih karunia yang sama seperti yang diterima olehnya. Sekalipun dalam keadaan yang rumit, harus terpenjara karena berita Injil, Paulus menjelaskan bahwa ia tidak sangsi untuk meneguhkan dan membelanya(ay.7). Keteguhan hati Paulus itu seiring dengan kerinduannya berada di tengah-tengah jemaat (ay.8). Sehingga, Paulus dalam kerinduannya itu mendoakan agar jemaat di Filipi juga dipenuhi oleh pengetahuan yang benar dan segala macam pengertian (ay.9). Tujuannya tidak lain agar mereka dapat memilih yang baik, kemudian menjadi suci dan tak bercacat, penuh kebenaran untuk memuji dan memuliakan Allah menjelang hari Kristus (ay.10-11).
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus!
Dari surat Paulus pada jemaat di Filipi, kita sebenarnya dapat melihat empat hal yang sedang ditekankan oleh Paulus, yaitu
1.     Doa merupakan sarana kita mengucap syukur atas persekutuan yang ada.
Seorang umat percaya tentu tidak bisa dilepaskan dari umat percaya lainnya. Oleh karenanya, umat percaya harus menyadari bahwa mereka juga terpanggil dalam suatu persekutuan. Dengan demikian, maju dan mundurnya suatu persekutuan sangat ditentukan oleh anggota masing-masing. Karenanya, saling dukung antaranggota dalam suatu persekutuan menjadi demikian penting. Dukungan antaranggota tidak mungkin terjadi bila masing-masing anggota tidak saling mengingat kebaikan apa yang sudah terjadi dalam persekutuan. Untuk itu, tiap anggota harus saling mendoakan sebagai bukti syukur mereka bahwa persekutuan tetap boleh berlangsung, dan masing-masing orang masih menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Kita juga dapat mengembangkan pandangan kita terkait hal ini dalam konteks persekutuan kita di saat ini yang bernama GKPI. GKPI mengidentifikasi dirinya sebagai persekutuan umat percaya, persekutuan penyembahan-persembahan, persekutuan imamat rajani. Hal ini berarti bahwa tiap anggota GKPI itu orang percaya, orang yang menyembah dan membawa persembahan, serta orang yang menjadi imam. Mereka ini tentu harus saling mendoakan antara satu dan yang lain. Itulah yang membuktikan bahwa GKPI merupakan persekutuan pemberitaan Injil. Namun, jika di dalam persekutuan GKPI ada orang yang tidak saling mendoakan, malah saling menjatuhkan, maka sesungguhnya persekutuan GKPI itu harus dipertanyakan. Bukan suatu hal yang tidak mungkin jika karena satu atau lain hal, eksistensi persekutuan GKPI  dalam ancaman. Baik itu mungkin karena perseteruan organisasi antarpelayan, atau juga karena perseteruan antarjemaat yang disebabkan oleh ego masing-masing. Oleh karena itu, doa merupakan fondasi kokoh persekutuan umat percaya, termasuk persekutuan GKPI. Dalam iman kita mengakui, GKPI masih menjadi persekutuan yang ada sampai saat ini tidak lain karena jemaatnya masih saling mendoakan.
2.     Mengakui pekerjaan Allah dalam suatu persekutuan.
Pada bagian sebelumnya dikatakan bahwa maju mundurnya suatu persekutuan sangat tergantung dari bagaimana anggotanya masing-masing yang saling mendoakan. Hal itu menjadi sangat benar bila masing-masing anggota menyadari bahwa mereka merupakan sarana pekerjaan Allah di tengah-tengah persekutuan. Satu hal yang harus disadari oleh anggota persekutuan adalah menonjolkan diri sendiri di tengah-tengah persekutuan merupakan awal dari kehancuran persekutuan. Mengapa? Karena, persekutuan umat percaya itu dibangun oleh pekerjaan Allah, bukan pekerjaan manusia. Ada banyak gereja yang mengalami konflik, bahkan di tengah masa Advent dan Natal yang menjelang tidak lama lagi, disebabkan karena satu atau beberapa individu yang secara sengaja menonjolkan dirinya. Mungkin juga hal ini terjadi di tengah persekutuan GKPI. Oleh karena itu, kita sebagai bagian dari persekutuan itu melalui minggu Advent pada saat ini harus benar-benar merenungkan akan pekerjaan Allah di tengah-tengah persekutuan kita. Apakah kita telah membiarkan Allah bekerja di tengah-tengah persekutuan kita, sehingga kita dapat mengakui bahwa Dia-lah yang menghidupkan persekutuan itu? Atau, jangan-jangan, sesungguhnya kita tengah berusaha memunculkan pekerjaan kita sehingga menutup pekerjaan Allah atas persekutuan kita?
3.     Loyalitas menempuh risiko dalam menyampaikan Berita Injil
Dalam suatu persekutuan, tentu harus ada Berita Injil yang disampaikan. Layaknya Paulus yang dengan teguh membela Berita Injil di hadapan mereka yang dimabukkan oleh roh tenung, kita juga tentu harus mengambil sikap loyal dalam menyampaikan Berita Injil sekalipun penuh risiko. Tentu, Berita Injil tidak hanya firman Tuhan yang tertulis di Alkitab saja, tetapi juga Berita Injil adalah segenap gerak dan perbuatan kita yang mencerminkan firman Allah dalam diri kita. Ini berarti umat percaya sebagai anggota persekutuan harus mencerminkan firman Tuhan di dalam kehidupannya. Tidak berkompromi dengan hal yang jahat merupakan bentuknya. Mulai dari bentuk terkecil, yaitu tidak membuang sampah sembarangan, sampai mengambil bentuk yang terbesar, yaitu: merampas hak orang lain demi kepentingan pribadi. Kita dapat menyatakan loyalitas itu dalam berbagai profesi yang kita geluti, seperti yang disaksikan oleh Martin Luther, bagaimana seorang penjahit maupun tukang kebun dapat menunjukkan keimamannya melalui pekerjaannya. Melalui minggu Advent-II saat ini, warga GKPI kembali diajak untuk merenungkan sudah seberapa jauh loyalitas kita dalam pemberitaan Injil? Mari kita melakukan yang baik dalam hidup ini selagi napas masih ada dianugerahkan Tuhan atas kita. Martin Luther mengatakan “sekalipun dunia akan runtuh, aku tetap akan menanam pohon apel”. Kalimat ini menunjukkan bahwa bagi Martin Luther dalam berbagai kesempatan yang ada, kita harus melakukan hal yang baik dalam hidup ini. Itulah loyalitas menyampaikan Injil.
4.     Sikap umat percaya dalam menyambut hari Tuhan
Sikap yang dimaksudkan Paulus di sini merupakan sikap yang didasarkan oleh pengetahuan yang benar dan berbagai pengertian. Hari Tuhan tentu harus dipahami dengan benar dan berbagai pengertian sehingga kita tidak menjadi sesat. Dengan memahami dengan benar serta didukung oleh berbagai pengertian akan hari Tuhan, kita akan dengan bijaksana menyambutnya. Hari Tuhan bisa dipahami dengan kedatangan Tuhan kedua kali di dunia kita ini. Namun, tidak seorang pun yang mengetahui kapan hari itu akan tiba. Hari Tuhan juga dapat kita pahami bagaimana Tuhan menghampiri kita untuk membawa kita masuk Kerajaan-Nya lewat kematian dan kebangkitan-Nya. Sehingga, ketika sudah saatnya kita menghadap Tuhan di hari itu, kita sudah siap dengan tidak bercacat dan suci. Inilah yang juga penting kita renungkan dalam minggu Advent-II pada saat ini.
Kita harus mengakui Natal tidak akan bermakna tanpa Advent. Kedatangan Juruselamat melalui kelahiran Yesus tentu tidak akan bermakna jika tidak ada janji keselamatan akan datangnya Penebus. Melalui janji keselamatan dan penantian akan penggenapannya itulah harapan kita menjadi tidak sia-sia. Ada kepastian yang telah dijanjikan. Tema ibadah kita pada saat ini berfokus pada penekanan Paulus yang keempat, tapi tidak bisa dilepaskan dari tiga penekanan sebelumnya. Untuk itu, kita-jemaat masa kini- dalam minggu Advent-II dibawa pada perenungan akan kesiapan kita menyambut hari Tuhan. Siapkah kita menyambut Dia datang kembali? Siapkah kita menyambut Dia yang menghampiri kita? Atau kita menjadi gentar karena dosa kita? Sebagaimana kedatangan Mesias, dalam rupa kelahiran Yesus sekitar 2.000 tahun lalu, yang disambut dengan antusisas, kita juga menantikan hari Tuhan itu dengan penuh antusias bukan dengan rasa kekhawatiran. Karena, cepat atau lambat Tuhan akan menyelamatkan kita dari dunia yang penuh dengan dosa ini. Dan, bila itu terjadi, berdasarkan pemahaman yang benar dan pengertian yang kita terima selama ini, kita ditemukan-Nya tidak bercacat dan kudus. Dengan demikian, kita dapat dibenarkan oleh kasih anugerah-Nya sehingga kita beroleh selamat.
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dipersekutukan oleh Kristus!
Inilah firman Tuhan bagi kita pada saat ini. Biarlah kita, melalui persekutuan kita ini, menyambut hari Tuhan dengan antusias. Sembari menanti hari Tuhan tiba, marilah kita tetap saling mendoakan, saling merendahkan diri di hadapan Tuhan, menjadi pemberita Injil, sehingga kita mendapatkan pemahaman dan pengertian yang benar. Dengan demikian, biarlah oleh kemurahan Allah, kita ditemukan oleh-Nya pada hari Tuhan nanti dengan tanpa cacat dan suci. Selamat menyambut hari Tuhan! 

Senin, 23 November 2015

Khusus Dewasa: Tips Mengajar Sekolah Minggu bagi Guru Sekolah Minggu Laki-Laki


GSM GKPI JKJK 
Tulisan ini digagasi dari diskusiku dengan salah seorang Guru Sekolah Minggu (GSM) laki-laki saat kelas persiapan Sekolah Minggu (SM) beberapa hari lalu. Ia baru saja bergabung menjadi GSM di gerejanya. Ketika melakukan microteaching depan kelas, ia terlihat begitu gugup dan kacau. Sehingga, ia memberikan pertanyaan padaku sesaat setelah  microteaching-nya dievaluasi rekan-rekan GSM lain; “Bang, bagaimana caranya agar dapat menjelaskan cerita sekolah minggu dengan baik pada Anak Sekolah Minggu (ASM)?”.
Diskusi yang dikembangkan oleh GSM laki-laki
Sebagai orang yang dipercayakan untuk memimpin kelas persiapan GSM di gereja ini, aku memang menggunakan beberapa pendekatan belajar di dalam kelas persiapan. Aku ingin kelas persiapan SM menjadi laboratorium pelayanan Kategorial Sekolah Minggu. Aku membuka pembelajaran dengan memberikan topik diskusi bagi para GSM, yaitu: hal apa yang menarik perhatian mereka terkait nas maupun buku panduan? sesuatu yang sukar dipahami? sesuatu yang menjadi bahan pertanyaan? hal yang tidak logis? sampai sesuatu yang sangat kuat maknanya? Tujuannya tidak lain untuk membangkitkan daya analistis dari para GSM. Lalu, aku mencoba menghimpun hal-hal yang ditemukan para GSM itu untuk “menjahit”-nya dalam penjabaran teologis. Setelah konstruksi teologinya utuh, kemudian hal berikutnya adalah menurunkannya menjadi suatu sajian refleksi-aplikasi bagi para GSM. Prinsipnya, bagaimana mungkin para GSM dapat menceritakan nas firman Tuhan pada ASM sedangkan GSM sendiri tidak mengerti, tidak tersentuh, dan tidak hidup di dalam firman Tuhan itu? Lalu, tugas berikutnya semakin rumit, yaitu menurunkan sajian refleksi-aplikasi dari tingkat pemahaman GSM ke pemahaman ASM. Di sini, aku mencoba untuk mengembangkan semua kemampuanku yang sudah kupelajari di bangku akademik dibantu pengalaman serta wawasan dari para GSM. Hasilnya, aku sendiri terkadang merasa takjub akan kolaborasi yang boleh kami lakukan. Langkah terakhir adalah melakukan ujicoba mengajar melalui microteaching di kelas. 
Proses Micro Teaching saat Kelas Persiapan Sekolah Minggu

GSM tiap minggunya ditentukan siapa yang akan maju di depan kelas untuk mempraktekkan cara mengajar. Tujuannya agar para GSM memiliki kesiapan setidaknya 60% menjelang hari minggu besok. Karena kami melakukan persiapan di hari Kamis, tentu para GSM memiliki beberapa hari untuk menyempurnakan bahan, materi, dan metode mengajar mereka secara pribadi sampai tiba waktu mengajar di hari minggu.
Tak ada perlakukan spesial yang kuberikan baik bagi GSM senior maupun GSM yang baru bergabung. Mereka sama-sama diberi kesempatan untuk melakukan microteaching dan saling memberi evaluasi pada temannya yang melakukan microteaching. Evaluasi di sini bukanlah sarana untuk saling menjatuhkan. Tapi, suatu kesempatan untuk saling memperkaya antarguru sekolah minggu. Microteaching dilakukan per kelas, yaitu kelas kecil, tengah, dan besar. Artinya, ada tiga GSM tiap minggunya melakukan microteaching. Ada hal menarik yang kutemukan setelah selama microteaching, yaitu: pertama, GSM senior sekalipun bisa tampil berantakan seperti GSM yang baru bergabung; kedua, terlihat metode para GSM dalam mengajar sangat terbatas dan terkesan asal mengajar saja; terakhir, GSM sering lalai dalam memilih diksi saat bercerita dan metode mengajar apa yang tepat jika memerhatikan usia ASM.
Kembali ke topik awal kita, pertanyaan dari seorang GSM laki-laki yang baru bergabung, “Bang, bagaimana caranya agar dapat menjelaskan cerita sekolah minggu dengan baik pada Anak Sekolah Minggu (ASM)?”. Hasil evaluasi memang menunjukkan kalau ia sangat kacau dalam delivery; baik itu pemilihan diksi, menekan demam panggung, dan mengatur tempo serta dinamika suaranya. Begitu pula, sistematika ceritanya yang sering gagal membangun konstruksi logika berpikir anak-anak dan orang dewasa karena sering menggunakan kalimat yang berulang-ulang dan kalimat tidak efektik. Adapun aku, aku sangat bergumul untuk menjawabnya. Karena, aku merasakan kerinduan untuk memperbaiki diri yang kuat di dalam dirinya yang baru saja gagal di microteaching. Dalam menjawab pertanyaannya, aku menggunakan pengalaman pribadiku karena aku yakin tidak ada cara memberi nasehat pada seseorang sebaik berbagi pengalaman. Aku secara terbuka mengatakan sekalipun sudah 8 tahun memimpin khotbah/mengajar, baik itu di kategorial orang dewasa maupun ibadah anak-anak, aku sendiri masih merasa gugup. Dan, kegugupanku saat ini tidak berbeda dengan pertama kali aku tampil. Jadi, bagiku, kegugupan itu adalah hal yang wajar. Semua orang pasti merasakannya, bahkan mereka yang disebut sebagai profesional sekalipun. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara menekan rasa gugup itu? Bagaimana berkhotbah/mengajar yang baik? Secara pribadi, ada beberapa tipsku untuk menyampaikan berkhotbah/mengajar, baik di kalangan orang dewasa maupun kalangan anak-anak. Dan, tipsku itu kutemukan dari pengalamanku ketika mendekati seorang perempuan yang kucintai. Aku tidak tahu apakah aku keliru dengan menyamakan mengajar/khotbah dengan cara seorang laki-laki menjalin komunikasi dengan perempuan yang dicintainya bahkan mengungkapkan perasaannya.  Ada pun tips dariku yang mungkin terdengar aneh, yaitu:
 Pertama, jika seorang laki-laki hendak mendekati perempuan yang dicintainya, ia harus berjuang mendapatkan sebanyak-banyak informasi tentang perempuan yang dicintainya itu. Entah itu lewat teman dekatnya, atau memata-matainya di jejaring sosial, bagaimana pun carany!. Informasi itu haruslah dapat dipertanggungjawabkan keakurasiannya, karena kalau salah mendapatkan informasi maka peluangnya mendapatkan perempuan yang dicintai besar kemungkinan akan hilang. Begitu pula dalam mengajar dan berkhotbah, informasi di dalam khotbah/mengajar harus dapat dipertanggungjawabkan sumbernya. Sebelumnya, kita perlu juga menyadari bahwa pelayanan firman di kalangan dewasa maupun di kalangan anak-anak merupakan hal yang sama, yaitu memberi suatu bentuk pengajaran di depan umum. Dari kesadaran akan mengajar di depan umum itu, tentu ada hal yang harus dipersiapkan secara serius. Mengapa? Karena, jangan sampai yang mengajar malah sesungguhnya menjadi seorang yang harus belajar dari yang diajari. Untuk itu, pertanggungjawaban materi mengajar/khotbah harus diperhatikan saksama. Bahan yang digunakan untuk materi harus diperhatikan sumbernya. Internet memang banyak menawarkan sumber informasi dan pengetahuan, tapi tak jarang isinya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai seorang yang sering menyampaikan firman Tuhan, baik lewat pengajaran maupun khotbah, aku bukannya tidak sering menggunakan internet. Tapi, internet hanya sebagai sumber sekunder. Materi yang hendak ingin kukembangkan adalah materi yang benar-benar kukuasai dan bahan-bahannya sudah ada dalam buku-buku yang pernah kubaca. Sehingga, internet dijadikan sebagai informasi pembanding dari bahan yang telah kugodok menjadi materi utama. Apakah ada informasi lain yang tidak kudapat atau terlewatkan olehku. Dengan demikian, sebagai seorang pengajar/pengkhotbah, aku memiliki materi yang kukuasai dan dapat dipertanggungjawabkan informasinya.
Kedua, setelah mendapatkan informasi tentang perempuan yang dicintainya, laki-laki itu harus membangun komunikasi dengan perempuan itu. Tentu, tidak semua informasi yang didapatkan dijadikan bahan komunikasi. Mengapa? Karena, perempuan itu bisa menjadi tidak nyawan. Atau, bisa jadi, bahan informasi yang digunakan itu tidak tepat untuk situasi perempuan yang dicintainya saat itu. Misalnya, ada informasi kalau perempuan yang dicintainya itu senang makan es krim, tapi saat ini ia tidak makan es krim karena lagi ikut program diet. Bisa dibayangkan apa yang terjadi kalau laki-laki itu cerita tentang es krim pada perempuan yang dicintainya yang tengah menjalani program diet? Perempuan yang dicintainya itu tentu akan menjadi sangat tidak suka. Dengan demikian, hal yang harus diperhatikan kemudian baik dalam mendekati seorang perempuan dan berkhotbah/mengajar adalah pemilihan materi apa yang sebaiknya disampaikan. Mengapa? Karena, selain penguasaan materi berdasarkan bahan yang dapat dipertanggungjawabkan, kita sebagai pengajar/pengkhotbah juga harus memerhatikan saksama situasi dari pendengar khotbah/pengajaran kita. Kondisi sosial apa yang tengah berkembang di tengah pendengar? Sebagai lanjutan pertanyaan bagaimana latar belakang sosial, antropologis, psikologis dari pendengar khotbah/pengajaran? Pemilihan materi pembicaraan yang tepat akan menarik perhatian orang yang sedang kepadanya kita bercerita. Mereka tidak akan pernah bosan mendengar cerita saat itu.

Salah Seorang GSM Laki-Laki yang Baru di GKPI JKJK
Ketiga, untuk mendukung komunikasi yang  berkualitas dengan perempuan yang dicintainya, laki-laki itu tentu harus memiliki metode pendekatan apa dalam komunikasi, di mana di dalamnya juga berbicara tentang media. Laki-laki itu harus memastikan ia memulai komunikasi dengan media apa? Apakah pesan singkat (SMS)? Twitter? Facebook? BBM? Path? Instagram? Atau, mengajak bertemu langsung berdua? Tentu, perempuan yang dicintainya harus merasa nyaman terlebih dahulu dengan media komunikasi, karena kalau tidak pembicaraan akan segera berakhir dan meninggalkan kesan yang kurang baik. Dan, peluang mendapatkan kesempatan atau perhatian dari perempuan yang dicintai akan semakin mengecil. Begitu pula dalam mengajar/berkhotbah, metode dan media menjadi unsur yang penting. Metode apa yang akan digunakan dalam mengajar/berkhotbah? Story telling? Diskusi? Role Play? atau yang lainnya? Begitu pula medianya. Apakah menggunakan media bercerita dengan menarik? Video clip? Alat peraga? Boneka Panggung? Atau yang lainnya? Penggunaan metode dan media yang tepat menjadi nilai yang sangat krusial bagi seorang pengajar/pengkhotbah. Jika berhasil memilih metode dan media yang tepat, maka pendengar akan dengan mudah terfokus pikirannya pada pengkhotbah/pengajar, yang seolah mengatakan, “Ayo dengarkan aku! Perhatikan aku!”
Terakhir, lakukanlah! Seorang laki-laki tentu pada akhirnya harus berkomunikasi dengan perempuan yang dicintainya. Setiap persiapan dan pendekatan yang telah dilakukan dengan matang dapat digunakan dalam membangun komunikasi.  Persoalan utama dalam tahap terakhir ini adalah mental yang kuat. Contohnya, sebagai seorang laki-laki, aku adalah tipe laki-laki yang buruk dalam berkomunikasi maupun mengungkapkan perasaanku. Aku tidak berani untuk memulai komunikasi dengan perempuan yang kucintai, bahkan menatap matanya saja pun aku tidak berani. Tapi, aku harus memiliki mental yang kuat untuk mengatasinya. Aku tidak akan pernah tahu hasilnya bila tidak mencoba. Ini membuatku menjadi mengubah karakter yang bukan diriku yang sebenarnya. Aku aslinya sangat susah merangkai kata untuk bercerita dengan perempuan yang kucintai. Bahkan, terkesan sangat parah. Tapi, aku mau tidak mau harus melakukannya. Begitu pula saat mengajar/berkhotbah, walaupun kita bukanlah seorang yang suka bercerita, mau tidak mau dalam pengajaran/khotbah, kita harus bercerita. Tidak ada pilihan lain! Memang hal itu akan menjadikan diri kita bukan diri kita yang sebenarnya. Namun, ia tidak bisa dihindari. Aku jadi teringat dengan seorang teolog PAK yang terkenal dengan buku Seri Selamat-nya, Andar Ismail. Aku selalu bertemu dengan beliau tiap hari Rabu dan Jumaat saat aku bekerja sebagai editor di toko buku BPK Gunung Mulia, Jakarta. Ia adalah seorang yang kaku, pendiam, dan cenderung seperti sombong. Sangat berbeda dengan Andar Ismail yang ada di buku Seri Selamat, yang ceria, penuh cerita, lucu, dan tidak jarang menungkapkan hal-hal yang konyol. Aku menjadi sadar mengapa banyak respons yang mengatakan Andar Ismail itu di dunia nyata tidak seperti di dunia tulisannya? Terkadang, ada kalanya kita memang harus menjadi bukan diri kita sendiri . Begitu pula dengan orang yang jatuh cinta, pengkhotbah, dan pengajar, mereka sering menjadi bukan diri mereka sendiri. Hal itu masih dalam tahap wajar jika mereka masih dapat menyadari perbedaan itu. Yang berbahaya adalah saat seseorang tidak menyadari ada kepribadian ganda dalam dirinya.
Dari sedemikian jauh tips yang dibagikan, mungkin ada di antara kita yang berkomentar bahwa aku terlalu gila menyamakan cara berkhotbah/mengajar dengan cara seorang laki-laki berkomunikasi dengan perempuan yang dicintainya. Aku tidak ingin berdebat dengan mereka yang memandangku demikian. Mengapa? Karena, ada kalanya hal spiritual ini didekati dengan cara percintaan. Seperti, kitab Kidung Agung sebagai contohnya. Walaupun kitab itu jarang digunakan dalam berbagai ibadah, tapi bukan berarti kitab itu bukan bagian dari Alkitab/firman Tuhan. Akhirnya, semoga tips ini bermanfaat bagi para GSM laki-laki. Tuhan memberkati!

Selasa, 17 November 2015

Jika Mencintaimu adalah Topik Tesisku!

Olaf

Engkau adalah tesis yang hendak kutulis,
Entah harus dimulai dari huruf apa, kata apa, kalimat bagaimana?
Aku tidak tahu!
Cara terbaik menggambarkan dirimu seutuhnya memerlukan metode khusus,
Mungkin, pendekatan kualitatif agar dapat menjelaskanmu dalam bingkai kata,
Tapi, bagaimana caraku menggumpulkan data lapangan keseharianmu?
Engkau begitu jauh dariku, dan lagi berbicara denganmu saja aku tidak bernyali!
Baiklah, aku mungkin hanya perlu mengubah tesisku ke pendekatan kuantitatif,
Tujuannya ingin memeriksa seberapa kuat hubungan kita dalam sajian angka.
Aku adalah variable bebasnya,
Kamu adalah variable terikatnya,
Dan cinta adalah variable kontrolnya.
Akhirnya, tesisku ada titik terangnya. Tapi, tunggu dulu!
Aku teringat engkau sudah menolak cintaku, relasi apalagi yang perlu kucari?
Aku pun tidak tahu!
Segera aku menyadari aku adalah sarjana yang gagal dalam bidang percintaan,
Dan, engkau adalah tesis yang tidak akan pernah aku selesaikan.

Sabtu, 07 November 2015

Mati Satu Kali Untuk Keselamatan Semua (Ibrani 9 : 24 – 28)


Khotbah di Ibadah Umum GKPI Jem.Khusus Jambi Kota
Minggu, 8 November 2015

 
Ilustrasi : Sumber Internet
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus Sang Kepala Gereja!
Suatu kali, seorang anak ditugaskan orangtuanya untuk mengunci semua pintu dan gerbang rumah karena hari segera malam dan mereka harus beristirahat. Anak ini meminta waktu beberapa saat lagi mengerjakan tugas itu karena sedang asyik menonton TV. Orangtuanya kemudian mengingatkan lagi agar anak itu jangan sampai lupa sehingga mereka  dapat beristirahat dengan aman dari pencuri yang dapat datang tiba-tiba. Entah karena apa, anak ini lupa untuk mengunci pintu dan gerbang rumah sekalipun sudah dua kali diperintahkan orangtuanya. Akibatnya, pada saat malam, pencuri dapat dengan mudah masuk ke rumah. Mereka sekeluarga disekap dan para pencuri mengambil semua benda berharga yang mereka miliki. Setelah peristiwa mengerikan ini berakhir, anak itu menangis sekuat-kuatnya di hadapan orangtuanya memohon agar dimaafkan karena sudah menyesali perbuatannya yang tidak menuruti perintah orangtua. Adapun orangtua dari anak ini adalah seorang pemaaf yang selalu memberikan kesempatan pada anaknya agar menjadi lebih baik lagi di hari yang mendatang. Namun, sepertinya, anak ini kurang memahami apa arti maaf.. Satu kali, saat tengah mati lampu, anak ini kembali ditugaskan orangtuanya agar setelah selesai belajar ia tidak lupa untuk makan malam lalu mematikan lilin yang ada di dapur. Anak ini meyakinkan orangtuanya bahwa ia akan segera mematikan lilin yang ada di dapur setelah ia selesai belajar dan makan malam. Belum selesai belajar dan makan malam, anak ini perhatiannya teralihkan oleh nyamannya tempat tidur. Dalam hati, ia bertekad hanya rebahan sebentar kemudian melanjutkan aktivitas belajar dan makan malamnya sehingga ia tidak perlu meniup lilin di dapur. Tanpa disadari, anak ini ketiduran dan lilin yang ada di dapur sudah habis perlahan membakar meja makan kayu. Perlahan api merambat sampai ke tabung gas sehingga menimbulkan ledakan besar dan kebakaran hebat. Anak itu segera tersadar kalau telah terjadi kebakaran yang sangat hebat di rumah mereka. Ia hanya bisa menyelamatkan dirinya sendiri karena ruangan sudah penuh api. Setelah berhasil menyelamatkan diri, ia baru mengetahui jikalau orangtuanya menjadi korban dalam kebakaran hebat itu. Ia menangis sejadi-jadinya ingin meminta maaf pada orangtuanya tapi apa daya  tidak ada kesempatan lagi baginya untuk minta maaf. Ia hanya akan meratapi nasib seumur hidupnya, berharap dapat memutar waktu, dan mendapatkan kesempatan kembali untuk memperbaiki kesalahannya.

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus Kristus!
Cerita tadi memberikan pesan moral pada kita bahwa kesempatan selalu ada diberikan pada tiap orang, sampai kesempatan itu habis dengan sendirinya karena tidak dimanfaatkan dengan bijak. Demikian juga nas kita pada saat ini ingin mengajak kita, umat percaya, untuk dapat menggunakan kesempatan yang ada di dalam kehidupan ini agar memberi keselamatan bagi hidup kita pada akhirnya. Kitab Ibrani, yang tidak diketahui secara pasti siapa penulisnya, ingin menuturkan bahwa kematian Kristus yang satu kali di kayu salib itu memberikan kesempatan pada kita dalam kehidupan ini. Namun, bagaimana itu bisa terjadi? Dan, bagaimana cara menggunakan kesempatan itu? Inilah firman Tuhan yang akan kita refleksikan pada saat ini.
Hal pertama, bagaimana kematian Yesus dapat menjadi suatu kesempatan bagi kita? Jika merujuk pada garis besar dari kitab Ibrani, isi kitab ini terbagi menjadi empat bagian besar, yaitu: berbicara tentang superioritas firman Allah yang ada pada Yesus itu lebih hebat daripada malaikat dan Musa; penggambaran Yesus sebagai imam besar yang pengurbanan tidak dilakukan dengan upacara kurban binatang melainkan dengan darah-Nya sendiri; pengurbanan Yesus membawa penghapusan dosa melayakkan manusia untuk masuk ke tempat yang dijanjikan itu; serta terakhir serangkaian nasehat penutup.  Dari keempat gambaran garis besar itu, kita dapat memahami bahwa kitab Ibrani pada dasarnya ingin berbicara bahwa Yesus yang adalah Imam besar sesungguhnya juga sekaligus menjadi kurban persembahan yang berfungsi sebagai pengantara ke dalam perjanjian yang baru. Hal ini sangat rumit dipahami dan menyisakan banyak pertanyaan. Yesus bukanlah seorang Lewi yang memiliki hak menjadi seorang imam, bahkan imam besar. Kemudian, seorang imam besar tentu akan membawa kurban persembahan darah binatang sebagai penebusan dosa bukan memberikan darah dan nyawa-Nya sebagai bagian proses dari penebusan dosa. Ritual persembahan kurban juga tidak terjadi hanya sekali seperti yang dilakukan oleh Yesus melainkan setiap tahunnya. Kerumitan ini yang membuat kitab Ibrani dianggap sebagai kitab yang penuh teka-teki dan berkonten teologi yang sangat sukar untuk dipahami.
Akan tetapi, dengan hikmat Roh Kudus, kita tentu dapat mencoba berusaha menguraikan maksud dari kitab ini sehingga kita mendapatkan sesuatu bagi iman kita. Ketika kita perhatikan ayat 24-25, kalimat di situ ingin menunjukkan bahwa Yesus lebih superior dari imam besar, seperti Harun  yang sehari-harinya melakukan ritus persembahan pada hari raya penebusan di ruang maha suci buatan manusia. Tetapi, Yesus dikatakan benar-benar masuk ke dalam ruang suci yang disebut sorga itu. Suatu ruang yang bukan diciptakan oleh manusia dengan rekayasa tata-ruang. Ruang yang sungguh-sungguh tempat Allah hadir. Memercikan darah yang bukan darah kurban binatang, tetapi darah Yesus sendiri sebagai persembahan.

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan!
Tentu, ketika Yesus memberikan darah-Nya sebagai persembahan, hal itu menjelaskan bahwa Yesus merelakan nyawa-Nya guna penebusan dosa manusia. Inilah yang harus kita pahami saksama, karena saat mengurbankan diri-Nya, Yesus saat itu seutuhnya manusia biasa seperti kita. Kemanusiaan Yesus membuat-Nya hanya mati satu kali seperti manusia biasa lainnya. Dengan demikian, kematian Yesus tidak terjadi berulang-ulang, tetapi hanya satu kali saja (ay.26-27). Setelah pengurbanan itu terjadi, maka penebusan dosa manusia sudah tuntas dilakukan Yesus di kayu salib untuk semua orang. Jika sebelumnya hubungan manusia dan Allah rusak karena dosa, kali ini sudah diperbaiki oleh pengurbanan Yesus. Persoalannya kemudian adalah apakah ada jaminan bahwa manusia sudah pasti beroleh keselamatan? Ternyata, jawabannya belum. Di ayat 28 dikatakan, “Sesudah itu (setelah mencurahkan nyawa-Nya), Ia kan menyatakan diri-Nya sekali lagi tanpa menanggung dosa untuk menganugerahkan keselamatan kepada mereka, yang menantikan Dia”. Makna dari ayat ini sudah jelas. Ibarat seorang anak dalam cerita sebelumnya sudah dimaafkan melalui pengorbanan orangtuanya, tidak ada jaminan bagi anak itu tidak melakukan kesalahan lagi. Demikian pula dengan kita manusia berdosa. Ketika, Yesus menebus dosa kita itu berarti ia telah memberikan kita kesempatan untuk tidak mengulangi keberdosaan kita. Dan, bagi siapa yang dapat memanfaatkan kesempatan itu, berarti mereka adalah orang yang menantikan Yesus, sehingga pada mereka dianugerahkan keselamatan. (ay.29). Dan, jika kita tidak memanfaatkan kesempatan itu, tentu kita akan mengalami seperti apa yang terjadi pada anak kecil yang ada di cerita awal tadi. Inilah yang dimaksud dengan pengurbanan Yesus memberikan kita kesempatan.

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan!
Pertanyaan kedua sekaligus yang terakhir adalah bagaimana cara kita memanfaatkan kesempatan itu agar kita dianugerahkan keselamatan? Bukankah dalam ajaran reformasi gereja dikatakan “keselamatan itu bukan karena usaha kita melainkan anugerah semata”? Adalah benar keselamatan bukan atas usaha atau kerja keras manusia untuk mencapainya. Oleh karena itu, umat percaya wajib mensyukuri rancangan keselamatan Ilahi yang dilakukan oleh Yesus melalui kematian dan kebangkitan-Nya. Dengan demikian, cara kita memanfaatkan kesempatan itu adalah dengan mensyukuri pemberian luar biasa yang diberikan oleh Yesus kepada kita, yang ditebus dengan harga mahal melalui darah-Nya, yaitu penebusan dosa. Dengan bersyukur, kita akan bertekad untuk hidup yang lebih baik dari sebelumnya. Jadi, perbuatan baik kita bukan didasarkan pada tujuan ingin segera selamat, melainkan atas rasa syukur kita atas keselamatan yang Tuhan janjikan melalui pengurbanan darah-Nya. Sebagaimana Yesus adalah Imam Besar, dalam ajaran reformasi gereja, kita juga adalah imam yang rajani. Konsep imam yang rajani atau imamat am orang percaya tentu harus lekat di dalam kehidupan umat percaya dalam rangka rasa syukurnya kepada Tuhan. Anwar Tjen, seorang sarjana Biblika asal Indonesia, menjelaskan bahwa titik tolak Luther dalam berbicara tentang imam adalah Kristus sendiri; “Kristus adalah imam besar, ada yang lebih tinggi daripada Dia yang diurapi Allah. Dia telah mengurbankan tubuh-Nya bagi kita. Tidak ada jabatan imam yang lebih tinggi lagi. Sejalan dengan itu, di atas salib Dia berdoa bagi kita. Dia memberitakan Injil dan mengajarkan semua orang untuk mengenal Allah dan diri-Nya. Jadi, karena Dia adalah seorang imam dan kita ini saudara-saudara-Nya, maka semua orang percaya mempunyai kuasa dan mendapat perintah yang harus dilakukan untuk berkhotbah, mendekat kepada Allah, berdoa bagi satu sama lain, dan mempersembahkan diri kita sebagai kurban kepada Allah. Reinterpretasi seperti ini memungkinkan Luther menafsirkan secara radikal nilai pekerjaan sehari-hari. Imamat yang Kristus genapi yang tidak dapat diulangi tetapi menjadi model bagi imamat yang dilakoni umat-Nya. Seperti para imam mempersembahkan kurban dalam Perjanjian Lama, demikianlah orang percaya sebagai imam mempersembahkan kepada Allah segala jenis pekerjaan duniawi, entah sebagai tukang jahit, tukang kayu, tukang masak, ataupun penjaga penginapan.

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus!
Dari sedemikian jauh pembahasan firman Tuhan, maka ada dua hal yang dapat kemudian kita simpulkan sebagai refleksi mendalam guna diaplikasikan ke dalam kehidupan beriman kita, yaitu:
Pertama, sebagai umat beriman, kita diingatkan untuk benar-benar memahami kesempatan yang Tuhan telah berikan pada kita. Pengurbanan-Nya hanya terjadi satu kali untuk selamanya dan bagi semuanya. Sehingga, kita tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Yang menjadi permasalahan adalah jika kita sebagai umat percaya tidak pernah merasakan urgensi dari pengurbanan Yesus di kayu salib sehingga kita kurang memaknai pentingnya memanfaatkan kesempatan yang telah Tuhan berikan. Jika demikian, kita tentu harus lebih banyak mengenal firman Tuhan secara serius. Mungkin, hal itu disebabkan waktu kita untuk berkomunikasi dengan Tuhan sangat kurang, baik itu dalam ibadah maupun berdoa;
Terakhir, jika kita dapat merasakan urgensi dari kesempatan yang Tuhan berikan, tentu kita harus benar-benar memanfaatk kesempatan itu dengan baik. Seperti yang ditekankan oleh Martin Luther bagaimana umat percaya yang juga adalah imam mempersembahkan pekerjaannya kepada Tuhan harus benar-benar memaknai pekerjaannya adalah rasa syukurnya atas pengurbanan darah Yesus. Dengan demikian, umat percaya akan dengan sungguh-sungguh bekerja. Mereka akan menjadi pekerja yang jujur, takut akan Tuhan, serta menaruh pengharapannya kepada Tuhan. Mereka tidak akan menghujat Tuhan jikalau sedang mengalami kondisi yang sulit. Juga tidak segera melupakan Tuhan jika kondisi sedang bersukacita. Mereka menaruh hormat kepada Tuhan seperti pada sesamanya. Mereka menjalin komunikasi yang baik dengan Tuhan melalui doa, ibadah, dan persembahannya. Karena, mereka memaknai bahwa Yesus telah mati satu kali untuk keselamatan manusia. Tuhan memberkati

Senin, 05 Oktober 2015

Bolehkah Umat Kristen Bercerai? (Mrk.10:2-16, Khotbah Kebaktian Sektor 6-7 Oktober 2015 GKPI JKJK)


Ilustrasi Gambar: Sumber Internet
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus!
Dalam berbagai pernikahan, burung merpati sering digunakan sebagai lambang pernikahan. Mengapa demikian? Mungkin, mereka yang menikah itu berharap cinta mereka sedikit banyaknya seperti pasangan burung merpati yang hidup bahagia. Burung merpati sebagaimana yang umumnya kita ketahui merupakan burung yang tidak pernah mendua hati. Di saat musim kawin, burung merpati tinggal di sarang bersama pasangannya. Pasangan burung merpati hanya satu seumur hidupnya. Oleh karena itu, ketika burung merpati harus terbang jauh mencari makanan, ia pasti akan tahu jalan pulang karena ia ingat di mana ia harus tinggal dengan pasangannya yang telah menantinya. Ketika berada di sarang, mereka saling memberikan pujian. Jika yang satu bernyanyi, maka pasangan merpati itu tertunduk malu untuk mendengarkannya. Saat membuat sarang pun mereka bekerja sama dengan sangat baik. Mereka saling bergantian membawa ranting untuk anak-anaknya. Apabila merpati betina sedang mengerami, maka merpati jantan menjaga di luar kandang manatahu ada bahaya. Saat merpati betina kelelahan mengerami, maka merpati jantan gantian mengerami. Mereka tidak pernah saling melempar pekarjaan. Dan, satu hal lagi yang menarik, burung merpati tidak memiliki empedu. Hal itu melambangkan merpati tidak menyimpan hal-hal yang pahit dalam hidupnya, sebagaimana rasa empedu adalah pahit. Inilah yang mungkin membuat mereka menjadi lambang pasangan berbahagia.

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan!
Sebagaimana Tuhan menciptakan pasangan merpati yang berbahagia, tentu sepasang manusia yang bersatu dalam pernikahan kudus diciptakan untuk berbahagia pula. Jikalau demikian, mengapa harus ada perceraian? Adapun faktor-faktor yang menyebabkan perceraian yang sering kita dengar adalah mungkin karena perselingkuhan, tidak memiliki keturunan, tidak mendapatkan anak laki-laki, tidak sejalan, kebosanan, dan alasan lainnya. Oleh karena itu, bagaimana pandangan Kekristenan tentang perceraian? Bolehkah pasangan Kristen yang telah menikah bercerai?
Konsep perceraian dalam Kekristenan muncul ketika Yesus ditanyai oleh orang Farisi tentang hukum cerai dalam konsep Yahudi. Sebagaimana kita mengetahui, orang Farisi merupakan bagian kecil dari kumpulan Yahudi yang menjunjung tinggi Taurat. Kata Farisi sendiri berasal dari bahasa Ibrani, Prushim atau Perush, yang berarti menjelaskan atau bisa juga memisahkan. Orang Farisi menjelaskan Taurat bagi mereka yang tidak mengerti dan orang Farisi memisahkan diri dari komunitas ahli Taurat. Kesehariannya, orang Farisi ini aktif menjadi pengamat Taurat dan penegak hukum yang teliti. Dalam benak orang Farisi, Allah sangat mengasihi mereka yang taat pada hukum Taurat dan menghukum mereka yang tidak mengindahkan Taurat. Merasa memiliki kapasitas memahami Taurat sangat mendalam, orang Farisi ingin mencobai Yesus tentang pemahaman-Nya akan Taurat. Adapun Yesus yang memiliki banyak pengikut yang bersimpatik dengan-Nya membuat orang Farisi kian penasaran. Banyak orang mengganggap Yesus hanya seorang rabbi (guru). Sehingga, intelektualitas Yesus akan Taurat harus diuji. Sekiranya daripada Yesus ditemukan kesalahan, maka mereka tidak segan melabelkan Yesus sebagai penyesat dan tidak layak menjadi guru atas banyak orang. Ketika Yesus mendapat pertanyaan, “Apakah seorang suami boleh menceraikan istrinya?”, adapun jawaban Yesus tidak menyimpang dari sumber Taurat, yaitu Musa. Yesus mengembalikan pertanyaan orang Farisi tentang pengetahuan mereka akan Musa, si pembawa Taurat. Ternyata, tanggapan orang Farisi mengenai Musa dan hukum perceraian sangat tepat, yaitu: “Musa memberi izin untuk menceraikannya (istri) dengan membuat surai cerai”. Tanggapan orang Farisi ini tentunya diharapkan akan memojokkan Yesus, lalu Dia segera memutuskan bahwa perceraian itu “Boleh atau Tidak?”. Di luar dugaan orang Farisi, Yesus ternyata malah menunjuk akar dari persoalan perceraian yang diaturkan Musa, yaitu “ketegaran hati” orang Israel. Ketegaran hati yang dimaksudkan Yesus adalah bagaimana cara hidup bangsa Israel di masa lalu yang sangat buruk, tidak menghargai kudusnya suatu pernikahan. Lalu, Yesus menguraikan konsep pernikahan umat percaya melalui dasar penciptaan, yaitu “seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya, dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia”. Intinya, Yesus ingin menegaskan kalau sepasang manusia telah bersepakat di dalam pernikahan kudus, mereka tidak boleh mengingkarinya melalui perselingkuhan. Dengan demikian, surat cerai tidak diperlukan. Karena, pernikahan adalah sesuatu yang diikatkan oleh Allah yang tidak dapat dilepaskan manusia.

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus!
Para murid sepertinya terlihat masih penasaran dengan jawaban Yesus atas orang Farisi. Oleh karenanya, ketika mereka telah tiba di rumah, para murid Yesus melanjutkan pembahasan tentang perceraian. Hal ini memperlihatkan bagaimana inisiatif seorang murid untuk belajar dari guru-Nya begitu sangat baik. Untuk itulah, Yesus merespons keingintahuan para murid. Yesus menjelaskan bahwa laki-laki pun akan disebut berzina kalau ia menikah dengan perempuan lain. Begitu pula sebaliknya. Maksud dari jawaban Yesus pada para murid sudah jelas bahwa perzinahan tidak hanya dikenakan pada seorang perempuan saja tapi pada laki-laki juga tetap berlaku. Ini berbeda dengan pemahaman hukum yang berlaku pada saat itu di mana hukuman atas berzina hanya dikenakan pada perempuan saja. Bandingkan dengan kisah perempuan yang ketahuan berzina. Ke mana laki-laki yang berzina dengan perempuan itu? Memang hukum pada masa itu sangat tidak adil. Bahkan, seorang perempuan yang baru dicurigai berbuat zina sudah layak diadili. Mereka akan dibawa ke hadapan hakim untuk meminum air pahit. Jika perempuan itu kepahitan atau kesakitan maka ia terbukti bersalah. Lalu, perempuan itu dirazam pakai batu sampai mati. Kalau tidak merasa sakit atau pahit, berarti perempuan itu tidak berzina. Hukum ini menunjukkan bahwa hukum ini sangat diskriminatif terhadap perempuan. Sehingga, Yesus memperjelas bahwa laki-laki juga dapat dikenakan pasal perzinahan. Yesus menggunakan anak kecil yang dibawa kepada-Nya tapi dilarang oleh para murid untuk menggambarkan bagaimana seharusnya umat percaya memperlakukan hukum Taurat. Bagi Yesus, cara menyambut Kerajaan Allah bukan seperti orang Farisi yang merasa paling tahu Taurat dan berupaya menjebak orang-orang yang dianggap tidak memahami Taurat. Karena, sebagaimana telah dijelaskan di bagian sebelumnya, orang Farisi menganggap Allah senang terhadap mereka yang paham dengan hukum Taurat. Namun, Yesus menunjuk Allah senang dengan umat percaya yang menyambut Kerajaan-Nya seperti anak kecil. Mengapa? Karena anak kecil dapat menerima orang lain tanpa syarat. Saat bermain, anak kecil hanya mengetahui bahwa permainan ini untuk bersenang-senang, bukan untuk kompetisi yang mengalahkan, meniadakan, dan menggigit. Begitu pula ketika orang percaya mengimani Allah mereka tentu memperlakukan iman mereka untuk menciptakan sukacita bagi sesama mereka bukan sebaliknya.

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus!  
Dari sedemikian jauh pembahasan firman Tuhan pada saat ini, apa yang dapat kita refleksikan serta aplikasikan di dalam kehidupan beriman kita? Saya mencatat ada dua hal yang dapat kita refleksikan serta aplikasikan, yaitu:
     1.     Keluarga Kristen tidak mengenal perceraian. Perceraian hanya dilakukan mereka yang tegar hati, yaitu mereka yang tidak menghargai arti pernikahan. Jika mereka adalah seorang Kristen, maka mereka menghargai pernikahan itu sebagai suatu janji kudus yang diikatkan oleh Allah. Karenanya, ia tidak dapat diceraikan oleh manusia. Dalam sepanjang usia pernikahan, tentu tidak selalu kebahagiaan datang mengiring. Namun, di situlah indahnya pernikahan. Bersama-sama, sepasang anak manusia  melewati ketidakbahagiaan dengan saling menopang, mendukung, dan mendoakan. Perselisihan pendapat wajar terjadi di dalam pernikahan. Akan tetapi, visi harus tetap sama, yaitu apa tujuan pernikahan mereka? Tujuan pernikahan Kristen adalah mewujudkan visi Allah terhadap manusia di bumi, yaitu membuat keteraturan di dunia ini melalui upaya mereka dalam mengupayakan hasil bumi. Jika ada keluarga Kristen yang tidak teratur, maka visi Allah pada manusia melalui pernikahan gagal. Sehingga, mereka harus bergumul apakah mereka masih dapat melihat peluang untuk membangun keteraturan itu bersama-sama lagi sekalipun harus diawali dari nol? Upaya-upaya mencari peluang itu harus terus dilakukan sehingga perceraian dalam pernikahan Kristen tidak terjadi. Dan, bagi mereka yang sudah ditinggal pasangannya karena kematian, mereka dapat melanjutkan cinta kasih mereka pada pasangan mereka dengan menjaga keturunan mereka. Karena, keturunan adalah bagian dari berkat Allah atas pernikahan manusia.
     2.     Sebagai umat percaya, kita mungkin sangat aktif membaca firman Tuhan. Namun, hal itu tidak boleh kita jadikan sebagai kesombongan rohani. Malahan, semakin kita mengetahui dan memahami firman Tuhan, kita semakin menunduk di hadapan Tuhan dan semakin melayani sesama. Belajar dari apa yang disampaikan Yesus tentang anak-anak sebagai ilustrasi menyambut Kerajaan Allah, kita harus dapat menerima orang lain dengan baik, apa adanya, mendukung, dan mendoakan. Termasuk, di dalam pernikahan, kita dapat menerima pasangan kita dengan kekurangan dan kelebihannya, bukan mencari-cari kesalahan dari pasangan kita.
Kiranya, firman Tuhan saat ini dapat menguatkan iman percaya kita kepada Allah serta memberikan kita hikmat dalam menjalani hidup bersama pasangan kita. Amin!

Sabtu, 03 Oktober 2015

Khotbah Minggu GKPI JKJK, 4 Oktober 2015



Tuhan Menciptakan Penolong yang Sepadan
(Kej.2:18-24)

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus, Sang Kepala Gereja!
Suatu kali, seorang suami menggerutu di dalam hatinya, “ah Tuhan, mengapa Engkau memberikanku istri yang pemalas? Sepulang bekerja keras di kantor, aku malah menemukan istriku hanya menonton TV dan tiduran, bukannya menemani anak kami belajar, atau bukannya merawat suaminya, entah dipijat karena lelah, atau dihidangkan masakan lezat. Padahal, Engkau mengatakan perempuan adalah penolong sepadan untuk laki-laki. Mana buktinya? Aku bekerja keras, ia enak-enakan santai di rumah. Untuk itu, aku ingin mengadakan perhitungan dengannya, ya Tuhan. Ubahlah posisi kami sementara waktu, aku menjadi istriku dan istriku menjadiku. Biar ia tahu betapa beratnya menjadi seorang suami!” Tuhan yang iba mendengar ratapan suami itu pun mengabulkan doanya. Di suatu pagi, suami yang telah berganti posisi menjadi istri itu sudah harus bangun jam setengah lima pagi. Ia harus memasak sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Kemudian, ia menyiapkan pakaian untuk suami dan anak-anaknya. Ternyata, anak yang paling kecil sedang kambuh manjanya, sehingga harus dimandikan, dipakaikan seragam sekolahnya, dan disuapkan nasinya. Setelah suami dan anaknya berangkat, ia mulai mencuci piring bekas sarapan dan kain pakaian semalam. Lalu, ia menjemur pakaian dan berangkat ke pasar untuk belanja makan siang dan makan malam keluarganya. Sepulang belanja, ia memasak lauk-pauk yang baru dibelanjakannya. Namun, ia baru ingat kalau rekening air, telepon, dan listrik akan jatuh tempo. Ia bergegas ke loket pembayaran untuk membayar tagihan rekening itu. Tidak sempat kembali ke rumah, ia kemudian menjemput anak-anak mereka dari sekolah. Sesampai di rumah, ia menemani anaknya makan sembari ia makan pagi+siang. Sehabis makan, suami yang menjadi istri ini mengatur anak-anaknya agar tidur siang. Sehingga, ia memiliki waktu untuk menyapu rumah, mengangkat jemuran, lalu menyetrika pakaian. Sehabis menyetrika pakaian, waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Ia menyuruh anak-anaknya untuk belajar. Di saat itulah ia ada waktu untuk istirahat sejenak. Ia mengunakan waktu istirahat itu rebahan sambil menonton TV. Di saat suaminya pulang, ia harus mendengar celotehan suaminya yang mengeluh lelah bekerja di kantor. Tidak ingin rumah tangga mereka retak, istri yang kelelahan itu pun hanya mendiamkan diri. Sebelum tidur malam, masih ada “pekerjaan kecil” yang harus ia lakukan dengan suaminya di malam hari, barulah ia baru bisa istirahat. Akhirnya, saat hendak tidur, suami yang menjadi istri ini berdoa kepada Tuhan, “Ya Tuhan, maafkanlah aku yang telah berpikir tidak baik atas istriku. Ternyata, pekerjaan seorang istri jauh lebih berat dari suami. Aku telah salah dengan memarahinya. Oleh karena itu, aku mohon kepada-Mu untuk mengembalikan posisi kami seperti semula. Aku tidak kuat lagi untuk menjalani peran ini”. Tuhan pun mendengar doanya, “Anakku yang baik, syukurlah bila engkau sudah sadar betapa beratnya menjadi seorang istri, tetapi aku tidak bisa mengembalikan posisi kalian seperti semula setidaknya sampai 9 bulan ke depan, karena engkau sedang hamil!”
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus!
Sering para suami menganggap menjadi ibu rumah tangga itu bukanlah pekerjaan. Ternyata, pekerjaan ibu rumah tangga jauh lebih berat dari pekerjaan suami di kantor. Namun, istri yang bekerja tidak pernah digaji itu bukannya sering diberi apresiasi/pujian dari suaminya, malah sering ia ditekan. Apalagi, bila ada seorang istri yang harus bekerja di luar rumah, lalu ia masih harus mengurus rumah dan keluarganya. Betapa luar biasanya kekuatan seorang perempuan. Tidak seperti yang dilabelkan oleh dunia di mana perempuan adalah makhluk yang lemah. Walaupun kekuatan ototnya tidak sekuat laki-laki, perempuan terbukti lebih kuat dari laki-laki. Di sinilah perempuan dan laki-laki dapat saling mengisi, tolong-menolong, dan bekerja sama. Laki-laki dan perempuan adalah mitra yang sepadan, seperti yang disaksikan oleh firman Tuhan saat ini, Kej.2:18-24. Kalimat “penolong yang sepadan dengannya” di dalam Kej.2:18 sangat menarik untuk digali apa makna yang sesungguhnya? Dalam Alkitab berbahasa Ibrani, penolong yang sepadan dengannya diterjemahkan dari kalimat hezer kanegdo, di mana jika kita memerhatikan Alkitab berbahasa Inggris dan Indonesia, ada beberapa terjemahan yang menarik dari kalimat tersebut:
King James Version (KJV) menerjemahkan dengan an help meet for him (seorang penolong yang berguna baginya)
New American Bible Version (NABV) menerjemahkan dengan a suitable partner for him (seorang rekan yang sesuai dengannya)
New International Version (NIV) menerjemahkan dengan a helper suitable for him (seorang penolong yang sesuai dengannya)
Revised Standard Version menerjemahkan dengan a helper fit for him (seorang penolong yang cocok dengannya)
Terjemahan Indonesia Sehari-hari (TIS) menerjemahkan dengan teman yang cocok membantunya.
Dari beberapa versi terjemahan yang ada, saya secara pribadi lebih bersepakat dengan NABV dan TIS, yaitu rekan/teman yang cocok/sesuai membantunya. Ada beberapa alasan saya memilih terjemahan itu. Pertama, dari alasan Allah ingin menciptakan perempuan, Allah mengatakan “tidak baik manusia itu seorang diri saja”. Seorang diri atau sendirian tentu membutuhkan teman, bukan pembantu/penolong. Oleh karena itu, teman atau rekan adalah kata yang cocok untuk menerjemahkan hezer. Kedua, untuk kata kanegdo, saya memilih menggunakan terjemahan membantu atau sesuai karena kedua kata ini menyiratkan kesetaraan. Membantu bukan hanya tugas pembantu. Seorang teman yang membantu tentu didasarkan pada rasa kasihan atau empati, bukan karena takut atau ditaklukkan. Begitu pula dengan kata sesuai di mana kata ini menunjukkan ada keseimbangan antara laki-laki dan perempuan. Kalau kata berguna belum tentu sesuai. Tetapi, kalau sesuai sudah pasti ia berguna. Dan alasan terakhir, karena perempuan diciptakan Allah dari rusuk laki-laki (ay.21), dan pengakuan laki-laki di mana perempuan itu adalah tulang dari tulangnya dan daging dari dagingnya (ay.23), sehingga laki-laki dan perempuan itu bukan entitas berbeda, tetapi suatu rekanan yang sama. Lain hal kalau perempuan diciptakan dari bahan di luar laki-laki, maka terjemahan penolong yang berguna dapat digunakan karena mereka adalah entitas yang berbeda.
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan!
Mengapa kita penting dalam memerhatikan komposisi kata yang tepat untuk menggali gambaran perempuan di Alkitab? Tujuannya tidak lain agar kita tidak salah dalam memaknai firman Tuhan tentang perempuan. Salah memahami firman Tuhan untuk penciptaan perempuan ini, tentu kita akan salah memahami perempuan secara teologis. Untuk itu, pemeriksaan komposisi kata menjadi penting. Setidaknya, hal itu dibuktikan dari gambaran jawaban atas survey yang saya lakukan melalui jejaring sosial facebook serta beberapa pesan singkat pada teman. Dari 10 teman yang saya tanyakan tentang konsep perempuan adalah penolong sepadan, 9 orang menjawab setuju dan 1 orang tidak setuju. Dari 9 orang yang saya tanya apakah saat ini posisi perempuan telah dianggap menjadi penolong yang sepadan di tengah kehidupan, 7 orang menjawab sudah dan 2 orang menjawab belum. Namun, ketika digali lagi lebih dalam tentang konsep “penolong sepadan”, masing-masing orang memiliki gambaran yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Lima orang teman menjelaskan penolong sepadan/rekan yang sesuai atau menolong itu dari perlakuan suami-istri di dalam rumah tangga, Satu orang melihat ada dalam tugas suami-istri dalam merawat anak, dan tiga orang teman ada yang melihat dari bagaimana cara mereka melewati bersama-sama kehidupan yang berat. Hasil survey itu sendiri menunjukkan bahwa banyaknya variasi memahami penolong yang sepadan/rekan yang sesuai atau menolong. Dan, darinya kita dapat merekonstruksi pemahaman yang baru tentang penolong yang sepadan itu tidak terbatas sebagai dalam konteks rumah tangga, tetapi lebih luas lagi bagaimana laki-laki melihat perempuan sebagai rekan yang sesuai/membantu. Konteksnya tidak dibatasi oleh pernikahan, tetapi lebih luas lagi. Sehingga, mau tidak mau ini akan berbenturan dengan budaya patriakhi yang hidup di tengah masyarakat, yang melihat adalah warga kelas dua. Kita harus jujur mengakui bahwa banyak budaya yang berkembang di dunia ini, termasuk di Indonesia, yang membuat perempuan menjadi tersubordinasi. Dalam beberapa perkawinan di Indonesia, perempuan dibeli dengan mahar sehingga laki-laki merasa berhak memperlakukannya bagaimana setelah membeli perempuan itu. Konstruksi budaya akan laki-laki terhadap perempuan tidak hanya memengaruhi cara pandang laki-laki pada perempuan dalam pernikahan saja, tetapi juga di dalam tempat kerja. Oleh karena itu, dengan melakukan rekonstruksi makna bahwa perempuan merupakan rekan yang sesuai/membantu laki-laki, masyarakat-khususnya umat percaya-dapat memandang secara setara posisi laki-laki dan perempuan. Tidak ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah. Ingat, posisi rusuk tidak di atas juga tidak di bawah. Ia di tengah-tengah. Begitu pula perempuan dan laki-laki tidak ada yang lebih tinggi mereka bertemu di tengah-tengah. Seorang teolog feminis, Elisabeth Schussler Fiorenza, mengatakan bahwa pandangan terhadap perempuan lebih baik lagi sangat tergantung pada rekonstruksi institusi sosial, karena institusi sosial yang dapat memberikan definisi kembali atas gambaran budaya antara peran laki-laki dan perempuan, sehingga perempuan dapat berdiri sendiri atas dirinya sebagai manusia dan dapat menerima akses kesetaraan dalam ekonomi dan politik. Atau singkatnya, Fiorenza melihat bahwa lembaga-lembaga budaya dapat menarik pemahaman bahwa perempuan tidak lebih rendah dari laki-laki, sehingga di mana pun perempuan berada, terkhusus di tempat pekerjaan, mereka mendapatkan akses yang seharusnya mereka terima.
Memang, kritik Fiorenza ini ada benarnya. Bagaimana tidak, pandangan kebudayaan sedikit-banyaknya memengaruhi posisi laki-laki dan perempuan di gereja. Jika kita lihat, belum ada perempuan yang menjadi pastor di gereja Katolik. Begitu pula dengan gereja-gereja di Indonesia, di mana posisi pelayan perempuan tidak sebesar pelayan laki-laki. Syukur pada Tuhan bahwa gereja di Indonesia sejak akhir tahun 2014 telah memiliki ketua umum PGI dari kalangan perempuan untuk pertama kali. Bahkan, di GMIT, ketua Sinode mereka yang baru adalah perempuan. Hanya di gereja-gereja Sumatera, terkhusus GKPI yang baru saja melakukan periodesasi pimpinan sinode, belum mendapat kesempatan menjadi Bishop. Atau, kita juga melihat dalam ibadah-ibadah sektor yang diselenggarakan oleh GKPI, jamuan makan malam yang pertama kali mengambilnya adalah laki-laki, kemudian perempuan. Rasanya agak tabu kalau perempuan yang pertama mengambil makanan. Sekalipun, saat ini terkenal dengan ungkapan “Lady first”.
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan!
Pentingnya rekonstruksi pemahaman teologis bahwa penolong yang sepadan itu mengartikan bahwa perempuan adalah rekan yang sesuai bagi laki-laki, hal itu membuka peluang bagi mereka untuk bersama-sama menyusun tugas dan tanggung jawab mereka dalam menciptakan keteraturan hidup. Seperti yang dikatakan pada ayat 19-20, bahwa tugas pertama laki-laki telah selesai menamai tiap-tiap makhluk yang hidup. Sekarang saatnya bagi mereka mereka dapat bersama-sama mengusahakan alam semesta beserta segala isinya untuk keteraturan hidup. Kegiatan bersama ini ditekankan pada ayat 24, di mana laki-laki dan perempuan bersatu menjadi satu daging. Apa maksudnya satu daging? Tentu mereka akan bersetubuh, sehingga mereka memiliki keturunan. Mereka menjalani hidup bersama-sama dengan keturunannya, termasuk mengusahakan alam dan segala isinya. Itulah perintah Tuhan Allah pada perempuan dan laki-laki. Dari sedemikian jauh pembahasan firman Tuhan pada saat ini, apa yang dapat kita refleksikan serta aplikasikan di dalam kehidupan beriman kita? Saya mencatat setidaknya ada dua hal yang dapat kita refleksikan serta aplikasikan, yaitu:
a.      Perempuan dan laki-laki adalah rekan yang sesuai. Sehingga, mereka harus saling menghormati, bukan saling menyakiti, apalagi saling menindas. Dari kerekanan yang sesuai ini mereka kemudian membuka peluang untuk saling memahami. Memang bagi laki-laki sangat sulit memahami perempuan. Bahkan, bagi psikolog besar seperti Freud, ia berkata “pertanyaan terbesar yang tidak pernah terjawab dan di mana aku belum bisa menjawabnya sekalipun aku meneliti jiwa perempuan, adalah ‘Apa yang diinginkan oleh seorang perempuan?’” Sering memang konflik perempuan dan laki-laki terjadi karena laki-laki gagal memahami perempuan. Jika seorang laki-laki bertanya, “apakah ada masalah?” perempuan itu pasti menjawab “tidak”. Tapi, kemudian, perempuan itu mengatakan “kamu itu tidak peka ya?”. Lalu, laki-laki itu bertanya lagi, “masalah kamu apa?”. Dan, perempuan itu menjawab, “tidak ada”. Begitu seterusnya. Susah memang memahami perempuan. Namun, sekalipun perempuan itu susah untuk dipahami, bukan berarti ia adalah makhluk yang lemah. Seperti ilustrasi di awal khotbah, kekuatan perempuan itu ada di perasaannya dan bukan di ototnya. Makanya, seorang ibu dapat mengendong anaknya sambil bekerja entah menyetrika ataupun mengepel. Tidak seperti bapak yang baru 15 menit menggendong anaknya sudah kelelahan. Itu terjadi karena ibu menggendong anaknya dengan kekuatan dari perasaan bukan seperti bapak itu yang menggendong dengan ototnya. Di sinilah mereka dapat saling memaknai, menghargai, dan mengerti bahwa mereka sebenarnya adalah rekan yang sesuai.
b.     Hal kedua adalah bagaimana laki-laki dan perempuan dapat membuka peluang untuk menciptakan keteraturan dalam hidup. Hal ini dapat dimaknai dalam contoh sederhana berikut: Seorang ibu baru saja melahirkan. Ibu ini masih dalam keadaan lemah belum dapat bergerak banyak. Sementara ia masih mengurus bayinya. Namun, keadaan rumah menjadi begitu kacau karena selama ini yang bertugas merapikan adalah istri. Anak-anak mereka selama ini tidak peduli dengan keadaan rumah. Begitu pula suaminya yang tidak pernah mengurus rumah. Apa yang harus dilakukan agar kondisi rumah yang kacau balau menjadi teratur? Tentu, si suami tidak perlu malu bertanya pada istri apa saja yang harus dikerjakan agar rumah menjadi teratur. Anak laki-laki yang tidak mau mencuci piring karena menganggap itu pekerjaan perempuan dapat dibuka wawasannya dengan teladan dari bapaknya yang mengambil bagian tugas yang biasa dikerjakan ibunya, misalnya mencuci pakaian. Sehingga, anak laki-lakinya dapat mengerjakan tugas rumah yang dianggap tugas perempuan. Dengan demikian, suasana rumah menjadi teratur. Begitu hendaknya laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka harus membuka peluang untuk saling membantu agar tercipta keteraturan.
Inilah firman Tuhan bagi kita pada saat ini. Biarlah firman Tuhan ini memberi kita kekuatan untuk menciptakan keteraturan hidup sebagai hasil saling menghormati, mendukung, dan membangun antara laki-laki dan perempuan. Tuhan memberkati!