Sabtu, 30 November 2013

Bukan Sitok






entah siapa yang menyetubuhi bumi,
hari ini dia melahirkan saraswatiku,
tepat di kaki merbabu.
bukan sitok si pelaku,
manalah dia mampu!

Selasa, 22 Oktober 2013

Nyamuk dan Ibu

    
    Ada suatu kutipan yang baru-baru ini menarik perhatian saya, “If you think you are too small to make a difference, try sleeping with a mosquito”(Jika kamu mengira kamu terlalu kecil untuk membuat suatu perbedaan, cobalah tidur dengan seekor nyamuk). Itulah yang dikatakan oleh Dalai Lama. Tentu kutipan ini memiliki makna yang mendalam, bahwa seekor nyamuk saja bisa membuat kita tidak tenang untuk tidur. Bagaimana jika jumlah nyamuknya lebih dari satu? Beberapa hari setelah mendengar kutipan itu, saya diperingatkan oleh seorang teman karena ia mendapatkan saya telah membunuh nyamuk yang hinggap di tangan saya, “Biarkan saja dia isap darahmu, lagian umurnya tidak panjang, paling besok sudah mati, khan umur nyamuk hanya satu malam saja?”. Lagi-lagi, saya terusik dengan kata nyamuk. Saya kemudian menjadi penasaran benarkah usia nyamuk hanya satu hari saja? “masak sich?” hati kecil saya bertanya.

    Dari rasa penasaran itu, saya mencoba mencari tahu apakah benar usia nyamuk hanya sehari saja? Saya membuka tablet phone saya, lalu bertanya pada google, “berapa usia nyamuk?”. Saya dihantarkan pada berbagai alamat web dengan ragam informasi tentang nyamuk. Ternyata, nyamuk secara umum hidup antara 10-21 hari, bukan sehari. Yang menarik adalah ternyata asupan utama sebagai makanan nyamuk untuk bertahan hidup bukanlah berasal dari darah yang diisapnya, melainkan dari sari buah. Darah manusia dan binatang yang diisap oleh nyamuk adalah untuk mendapatkan protein agar dapat bereproduksi. Jadi, yang mengisap darah manusia dan binatang adalah nyamuk betina.
Proses nyamuk betina mengisap darah persis seperti operasi yang dilakukan oleh dokter bedah. Nyamuk betina terlebih dahulu mengoyak kulit korban sampai menemukan urat darah, jika sudah ditemukan lalu dihisap. Dalam proses mengisap darah, nyamuk betina mengeluarkan air liur agar darah yang diisapnya tidak membeku. Air liur yang mengandung antikogulan inilah yang menyebabkan pembengkakan dan rasa gatal di kulit.
Membaca informasi itu membuat saya menjadi begitu takjub dan merenungkan akan luar biasanya goresan tangan Sang Pencipta. Usia nyamuk yang tidak panjang dan hal yang paling terkesan adalah nyamuk betina melindungi dan menghidupi anak-anaknya dengan membahayakan dirinya, bertaruh hidup mati untuk mendapatkan protein dari darah manusia maupun binatang. Tidak jarang saya merasa puas melihat nyamuk yang saya pukul di tangan mengeluarkan banyak darah. Padahal, nyamuk itu butuh protein untuk kehidupan generasinya. Dalam hal ini, saya tidak ingin mengatakan kita tidak boleh membunuh nyamuk. Bukan! Saya hanya ingin mengatakan bahwa nyamuk betina mempertaruhkan nyawanya bagi anak-anaknya. Itu hukum alam yang berlaku bagi nyamuk betina. Jika binatang seperti nyamuk betina saja melakukan hal yang sangat luar biasa pada anak-anaknya, lalu saya merenungkan bagaimana dengan manusia?

    Seorang ibu tentu akan mempertaruhkan nyawanya bagi kelahiran anaknya, yang tidak lain adalah buah cintanya. Seorang ibu akan melakukan apapun untuk mempertahankan kehidupan anaknya. Ada banyak cerita tentang kasih sayang seorang ibu pada anak-anaknya. Namun, ada juga realita yang bertolak belakang dari kasih sayang seorang ibu.

    Pada saat saya masih bekerja di daerah Kwitang, Jakarta Pusat, dalam perjalanan pulang kantor, sekitar pukul 18.30 WIB, di persimpangan lampu merah Senen, saya melihat seorang bayi munggil, yang masih dibodong badannya. Bayi tertidur di trotoar jalan raya di antara hiruk pikuk kenderaan. Asap kenderaan dan debu jalanan sudah menjadi temannya sehari-hari. Bayi itu menangis. Mungkin, ia sedang lapar. Seorang anak kecil, pengamen jalanan, mendekatinya lalu ia menggendong bayi itu dan mengajaknya bercanda. Bayi itu tidak peduli, ia terus menangis dan menangis. Saya yang berada persis di samping peristiwa itu tidak tahu harus berbuat apa selain berdoa di dalam hati, “Tuhan, lindungilah bayi yang dibuang oleh ibunya itu”. Lampu lalu lintas berubah dari merah menjadi hijau. Saya melanjutkan perjalanan ke Bekasi dengan hati tersayat merenungkan, “Ibu apakah yang tega membuang anaknya sendiri?”

    Catatan ini adalah perbandingan kecil bahwa nyamuk betina selalu mengorbankan nyawanya untuk anak-anaknya, sedangkan seorang ibu belum tentu mau mengorbankan nyawanya untuk anak-anaknya. Kadang, naluri binatang masih lebih bermoral dibanding manusia. Terlepas dari persoalan sosial atau ekonomi yang melilit, seorang ibu sebagai manusia harus melindungi anak-anaknya.

Senin, 23 September 2013

110 Tahun Injil Masuk Simalungun

 Dokumentasi Pribadi : Gereja Resor tempat Sahabat Saya Bertugas


Tanggal 8 September 2013, saya mendaratkan kembali kaki saya di kota Medan. Bagi saya, inilah permulaan hidup saya yang baru, karena saya memutuskan untuk berhenti berkarya di bidang sekuler dan memilih untuk melanjutkan hidup sebagai seorang teolog yang profesional, yaitu pengerja gereja. Saya dijadwalkan akan mengikuti tes / ujian masuk vikar (vikar adalah calon pendeta) pada tanggal 17-19 September 2013 di Pematangsiantar. Mengapa di Pematangsiantar? Karena kantor pusat dari gereja saya, Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), berada di Pematangsiantar.
 
Pematangsiantar adalah suatu kota yang terletak tepat di tengah Kabupaten Simalungun. Masyarakat di sana mayoritas berlatar belakang budaya Simalungun. Simalungun termasuk bagian dari Batak, tetapi tradisi dan bahasanya berbeda dengan Batak Toba, Angkola, dan lainnya. Masyarakat Simalungun mayoritas memeluk agama Kristen, khususnya Protestan. Gereja yang menopangnya adalah Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).  

Salah seorang teman saya baru saja ditahbiskan menjadi pendeta di GKPS. Saya merasa beruntung ketika selesai mengikuti tes masuk vikar, saya dapat bertemu dengan teman saya yang telah menjadi pendeta di GKPS. Nama teman saya adalah Immanuel Christian Sitio. Selain menjadi teman, dia juga adalah sahabat saya. Kami sama-sama  menjadi mahasiswa Fakulas Teologi di Universitas Kristen Satya Wacana yang berasal dari Medan. Saat di Asrama, kami pernah menjadi teman sekamar. Banyak perkembangan yang saya temukan dari sahabat saya ini. Dulunya, dia tidak bisa berbahasa Simalungun dan buta dengan adat serta budaya Simalungun. Namun saat ini, dia begitu mahir dan sangat memahami budaya Simalungun. Memang ketika kami lulus dari Salatiga, dia langsung memutuskan untuk mengikuti seleksi vikar di GKPS, sedangkan saya memutuskan untuk melanjutkan studi ke Universitas Indonesia. Alhasil, setelah saya menyelesaikan studi, dia telah ditahbiskan menjadi seorang pendeta.

Menarik mengikuti pengalamannya menjadi seorang pendeta. Penempatan pertamanya sebagai pendeta oleh GKPS ditempatkan di pelosok Raya. Sahabat saya ini ditempatkan di salah satu kampung yang berada di Raya, Pematangsiantar. Dari Pematangsiantar menuju Raya membutuhkan waktu sekitar satu jam perjalanan darat. Setiba di Raya, untuk dapat tiba di kampung yang menjadi medan pelayanannya, harus ditempuh sekitar 30 menit. Saya dibonceng olehnya menggunakan sepeda motor jenis bebek dari Pematangsiantar. Suasana jalan langsung berubah ketika kami memasuki area kampung dari jalan utama Raya-Pematangsiantar. Jalanannya rusak berat, mendaki, dan berbatu. Kiri-kanan sepanjang jalan, saya hanya melihat sawah, ladang, pepohonan, sungai, dan kuburan. Saat itu, kami tiba pukul 7 malam. Jalan itu seperti gambaran di film horor, tidak ada ujungnya, di mana kami tetap berusaha menembus kegelapan dan jalanan yang tidak jelas.

 Akhirnya, saya tiba di rumah kerja sahabat saya. Dia mengatakan kalau dia ada pekerjaan untuk memberikan bahan persiapan ibadah minggu pada penatua dan majelis gereja yang ditanganinya. Sebagai informasi, sahabat saya ini adalah pendeta resor. Pendeta resor biasanya menaungi beberapa gereja, yang disebut jemaat. Setidaknya ada enam jemaat yang dipegangnya. Hari itu, kami harus mengunjungi jemaat yang paling jauh dari lingkup resor. Dari rumah, kami harus kembali menempuh jalanan yang ekstrem selama 30 menit untuk dapat mencapai tujuan. Dua kali saya harus jalan kaki sambil memegang senter, karena medan yang begitu berat, sehingga tidak memungkinkan untuk berboncengan. Saya sangat kelelahan berjalan sejauh 100 meter, karena jalanan yang mendaki, berbatu, udara dingin yang menikam, serta kegelapan malam yang membuat resah. 

Akhirnya, kami sampai di rumah ketua jemaat (voorhanger) di sana. Saya kaget, karena ketua majelis di gereja perkotaan biasanya adalah seorang pejabat teras dengan rumah yang super mewah. Kali ini, saya menemukan rumah ketua jemaat terbuat dari papan, dengan menyajikan makanan dan minuman di peralatan jamuan yang terbuat dari kaleng. Dari rumah ketua jemaat itu, kami masih harus berjalan kaki. Ketua jemaat itu menggunakan sarung dan senter, teman saya juga mengeluarkan sarung yang dibawanya. Hanya saya yang tidak memakai sarung. Kami tiba di rumah salah satu penatua. Lumayanlah dalam hatiku berbisik, tidak pakai papan dan sudah terlihat seperti rumah yang semestinya. Lalu, sahabat saya memperkenalkan saya pada acara persiapan pelayanan hari minggu, yang dihadiri sekitar 20 orang. Sahabat saya mengatakan pada peserta acara, bahwa saya tidak dapat berbahasa Simalungun. Mereka semua tertawa. Ada beberapa orang yang mencoba mengajak saya berbicara. Saya merasa bahasa Indonesianya aneh. Berulangkali saya merasa ditertawakan dan dibicarakan dalam bahasa Simalungun. Saya pun tidak tahu artinya.

Acarapun selesai. Waktu di jam tangan saya menunjukkan pukul 23.30 WIB. Saya sudah sangat lelah, karena dari pagi saya mengikuti ujian dan sampai malam harus melakukan perjalanan yang berat. Kami tiba di rumah sekitar pukul 12 malam. Saya bertanya pada sahabat saya, “Apa yang mereka katakan?” “Mengapa mereka tertawa?”. Sahabat saya menjelaskan kepada saya bahwa mereka agak aneh berbahasa Indonesia, karena itu sesuatu yang sangat asing bagi mereka. Jadi, saya diminta untuk tidak langsung berpikir buruk. Keesokan harinya, saya hendak pulang ke kota Medan. Sebelumnya, saya diajak oleh sahabat saya untuk menjumpai sekretaris jemaat di gereja resor-nya. Saya sedikit heran, kalau di Jakarta, sekretaris jemaat biasanya bekerja sebagai pejabat dan memiliki peralatan sekretaris yang memadai. Namun, saya melihat sebaliknya. Sekretaris jemaat di sini adalah seorang petani, yang dokumennya dibundel dengan ikatan karet. 

Dalam perjalanan pulang ke medan, saya merenung bahwa sudah 110 tahun Injil (baca: Kekristenan) masuk ke tanah Simalungun. Ada banyak kemajuan yang dicatatkannya, seperti pendidikan, kesehatan, dan kemapanan bekerja telah dikembangkan melalui gereja. Belum pernah dalam pikiran saya ada jemaat atau warga gereja sampai di pelosok seperti itu, bahkan ada tempat yang belum ada listrik. Gereja di sana sangat besar-besar, sekalipun bukan gereja resor. Berbeda di pulau Jawa, gereja sangat kecil, sampai harus berkebaktian 3-4 kali dalam satu hari minggu. Petugas gereja dan jemaatnya juga dalam status yang sama, yaitu petani. Hal ini menjadi pertanyaan reflektif bagi saya, “Apakah saya siap dengan kondisi seperti ini?” Pendeta di perkampungan tidak hanya sebagai pengajar soal agama, tetapi juga pengajar bagaimana cara bertani yang baik, bergotong royong dengan baik, memberi pelajaran tambahan pada anak-anak di ladang/sawah. Ini adalah suatu tantangan yang besar. Kekristenan bukanlah soal kuantitas (jumlah), melainkan soal kualitas. Meningkatkan taraf hidup masyarakat di perkampungan agar hidup layak dan dapat mengejar ketertinggalan dari masyarakat perkotaan adalah tugas pendeta. Pendeta tidak hanya mengurus soal surga-neraka di hari kelak saja, tapi juga kesejahteraan warga jemaat “saat ini dan di sini”. Menghadirkan wajah kekristenan yang damai diawali dengan pemberdayaan warga gereja untuk mencapai kesejahteraan. Bagi warga Kristen di Simalungun, selamat memperingati 110 tahun Injil masuk di tanah Simalungun.

Rabu, 04 September 2013

Belimbing

Sudah sejak dari kemarin, motorku masuk ke bengkel. "Turun mesin", itu yang sering dikatakan orang banyak ketika oli motor telah masuk ke pembakaran di ruang mesin motor. Dampaknya, aku bepergian dengan berjalan kaki. Termasuk di siang hari ini, saat aku hendak membeli lauk untuk makan siang. Ketika tiba di depan rumah, pulang membeli lauk, aku kaget ada seorang anak kecil dan kakek tua yang sedang mengambil buah belimbing dari pohon depan rumahku. Chiko, anjing kesayanganku, menggonggong keras. Merasa tertangkap basah, kakek tua itu meminta maaf padaku. Ia mengatakan bahwa ia mengidap penyakit darah tinggi, karena ketidakmampuan membeli obat, ia mencoba untuk mengkonsumsi buah-buahan yang dipercaya sebagai obat darah tinggi.

Aku melihat wajah terkejut dari raut mukanya ketika aku mempersilakannya dan cucunya untuk mengambil buah belimbing dari dalam pagar rumah, karena dari sisi dalamlah banyak buah belimbong yang kuning dan segar. Aku mengikat Chiko dengan rantai, lalu mengambil plastik besar untuk tempat buah belimbing. Ia berterima kasih padaku, lalu bertanya "Emangnya hari ino tidak masuk kerja, pak?" Aku pun menjawab kalau aku sudah berhenti bekerja per 30 Agustus. Kakek itu lalu bercerita kalau selama aku bekerja, ada banyak buah belimbing yang jatuh sia-sia, oleh karena itu ia ingin memanfaatkannya. Setelah cucunya selesai mengambil banyak buah belimbing, mereka izin pamit dan mengucapkan kembali rasa terima kasih mereka padaku.

Dalam hati, aku berdebat dengan diriku. Aku juga butuh belimbing itu. Masih jelas dalam ingatan, di hari Minggu (1/9), saat aku hampir pingsan di jalanan karena darah tinggiku kambuh. Sejak seminggu belakangan, aku memang sudah mulai mengkonsumsi belimbing. Hari ini belimbingku habis di pohon karena aku bermurah hati memberikannya pada orang yang tidak kukenal, padahal belimbing itu mendukung obat yang kukonsumsi untuk pemulihan kesehatanku. Tidak lama, aku tersadar bahwa mengapa kita tidak rela dalam membagikan berkat yang ada pada kita untuk orang yang sangat membutuhkan? Tuhan yang memberi dan kitalah yang menyalurkannya. Aku masih dapat mengkonsumsi obat-obatan, sedangkan kakek itu sudah tua dan kondisi ekonominya tidak mendukungnya. Aku merasa saat ini Tuhan mengajarkanku untuk bagaimana memberi dengan ikhlas dan sukacita.

Selasa, 30 April 2013

Fungsi Konseling Pastoral dalam Praktik Pelayanan Kristen



Menurut Aart Martin Van Beek (1987), Konseling Pastoral – Sebuah Buku Pegangan Bagi Para Penolong Di Indonesia.  h.10-12, ada beberapa fungsi dari konseling pastoral, yaitu: 


 
  1. Fungsi Menyembuhkan
Konseli sering mempunyai perasaan yang belum pernah diungkapkan secara lengkap. Barangkali dia pernah mengalami suatu trauma psikis seperti kehilangan seseorang atau pernah menyaksikan sesuatu yang mengerikan seperti perang atau pembunuhan-pembunuhan atau mengalami kecelakaan bis. Atau ia merasa bersalah karena pernah melakukan sesuatu yang tidak etis terhadap teman hidupnya, padahal teman hidup itu sudah tidak ada lagi. Atau dia menyimpan rasa dendam tanpa ada habisnya.
Fungsi menyembuhkan dari konseling pastoral dapat menolong konseli untuk menyembuhkan hatinya. Tidak jarang tekanan batin konseli menimbulkan penyakit psikosomatis seperti colitis atau penyakit jantung, penyakit maag, dan sebagainya. Doa yang singkat sesudah percakapan selesai biasanya juga ikut menolong. 
  1. Fungsi Menopang
Konseli yang menghadapi krisis psikis atau penderita yang diserang oleh rasa sakit yang tajam sekali sulit diajak berbicara melalui percakapan yang mendalam. Pada umumnya konselor dan konseli hanya dapat berfokus pada masalah inti. Tanggapan-tanggapan dari konselor adalah singkat, tepat dan menekankan perasaan konseli. Kehadiran yang baik dan komunikasi non-lisan dari konselor banyak menolong sebab biasanya konseli sangat gelisah.  
  1. Fungsi Membimbing
Para konseli di Indonesia cenderung untuk mengharapkan fungsi ini dari proses pertolongan. Mereka ingin diberi jalan keluar. Sayang sekali para konselor terlalu sering sanggup untuk memberikan nasihat yang setengah matang dan tidak mampu memenuhi harapan itu. Sepatutnya fungsi membimbing ini muncul dalam usaha menolong konseli untuk mengambil keputusan-keputusan mengenai hidupnya sendiri : keputusan mengenai profesi yang dipilih, mengenai teman hidup yang cocok dan seterusnya.
Ternyata kerap kehidupan memaksa kita untuk mengambil keputusan dalam menghadapi dilema yang kompleks sekali. Untuk menghindari saran-saran dari konselor yang belum dipertimbangkan secara mendalam, sebaiknya konselor bersama konseli meneliti semua alternatif secara lengkap.
  1. Memperbaiki Hubungan
Hampir semua persoalan konseli sedikit banyak menyangkut hubungan dengan orang lain. Jikalau hubungan itu tidak diperhatikan oleh konselor pelayanannya dapat menjadi tidak relevan. Oleh sebab itu (khususnya di Indonesia) kita membutuhkan fungsi konseling pastoral yang menjamin konselor ikut berkecimpung dalam menyelesaikan ketegangan yang timbul dalam hubungan itu. Kesulitan komunikasi biasanya merupakan persoalan yang paling mendasar. Sebaiknya, konselor tidak memihak kepada konseli atau sebaliknya anggota-anggota keluarganya atau temannya. Dalam menolong proses komunikasi, semua orang yang terlibat menjadi konseli. Kita menjadi perantara yang netral, perantara yang berkewajiban untuk secara terus menerus membuka jalur komunikasi timbal balik.
Hendaknya konselor minta kepada konseli-konseli yang terlibat dalam permasalahan untuk satu per satu menyampaikan pendapat dan perasaan mereka kepada temannya, BUKAN kepada konselor. Kemudian konseli yang kedua diminta oleh konselor untuk mengulang yang dikatakan oleh konseli pertama. Berikutnya konseli pertama memberitahu apakah maksudnya telah ditangkap dengan baik oleh konseli kedua (andaikata konseli kedua belum mengerti), prosedur ini perlu diteruskan sampai konseli pertama sudah puas. Bilamana pendapat dan perasaan konseli pertama telah dipahami secara memuaskan oleh konseli kedua, konseli kedua dipersilakan oleh konselor untuk mengutarakan pendapat dan perasaannya lalu konseli pertama mengulang. Sebaiknya konselor tidak membiarkan adanya tanggapan langsung dari salah satu konseli terhadap yang dikatakan oleh konseli yang lain sebelum tugas mengulang selesai dulu.
Perbaikan komunikasi ini tentu perlu disesuaikan dengan keadaan dan kebudayaan para konseli. Penting sekali semua konseli menerima konselor sebagai perantara, apalagi sebagai perantara yang harus tegas, walaupun tidak keras. 
  1. Mengasuh/Memelihara
Diharapkan bahwa konseli akan berkembang dan terus menerus menjadi lebih dewasa di dalam menghadapi masalah-masalah hidup. Seharusnya konselor tidak hanya punya tujuan meringankan penderitaan konseli untuk sementara saja dengan risiko besok masalahnya kembali lagi, tetapi konselor perlu memperkuat konseli.
Fungsi ini sebenarnya hampir selalu dapat keluar dalam konseling. Itu alasannya untuk tidak perlu banyak menasehati konseli dan untuk menegaskan tanggung jawab konseli dalam menolong diri sendiri. Apabila konseli tidak membutuhkan kita lagi, kita sudah berhasil. Jangan konselor menciptakan ketergantungan konseli pada diri konselor, sebab itu hanya membuat konseli lebih lemah.

Jumat, 22 Februari 2013

Jeprat-Jepret (Masih Latihan)

Gambar 1. Merah Cerah


Gambar 2. Ungu Makro



Gambar 3. Lalat Singgah