Selasa, 27 Desember 2011

Menggali Makna Natal


Tulisan ini bukanlah perdebatan teologis atas verifikasi fakta di balik kisah Natal, melainkan suatu usaha dalam memahami makna dari suatu peristiwa yang dikeramatkan. Natal secara sederhana dipahami sebagai kisah kelahiran seorang pemuda Yahudi yang bernama Yesus, yang kemudian menjadi seorang tokoh sentral dalam Kekristenan. Sejauh ini, umat Kristen memahami Natal sebagai lawatan Allah dalam inkarnasi Yesus ke dunia untuk menyelamatkan manusia dari jurang dosa. Pertanyaannya adalah apakah itu makna Natal yang sesungguhnya?

Dalam Yohanes 3 : 16, disebutkan: "karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Dia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, sehingga setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal". Dari ayat ini, banyak dari umat Kristen memahami bahwa peristiwa kelahiran Yesus adalah sebagai bentuk kasih Allah terhadap dunia. Secara sederhana, dalam konsep umum iman Kristen mengenai peristiwa Natal adalah sebagai berikut:

ALLAH -> Kasih -> Yesus Kristus -> Penyelamatan Manusia dari Dosa Cemar -> Hidup Kekal

Pertanyaannya kembali, apakah ini makna Natal yang sesungguhnya?

Secara pribadi, saya harus mengakui bahwa saya merasakan kehilangan semangat Natal semenjak memasuki dunia akademis teologi. Ada banyak fakta mengejutkan yang saya dapatkan di seputar peristiwa Natal. Walaupun begitu, sepanjang tahun ketika tiba di hari Natal, saya berusaha untuk merefleksikan apa itu makna Natal yang sesungguhnya. Tahun ini saya mendapatkan suatu pemahaman baru tentang peristiwa Natal. Bagi saya, Natal merupakan suatu peristiwa iman, yang tidak perlu benar secara fakta, tetapi mengandung pesan moral yang mendalam pada muatannya. Kelahiran Yesus di dunia dapat dimulai dari pemahaman bahwa dunia tengah krisis dimensi kemanusiaan. Hal itu terlihat mulai dari penindasan pada masa kolonialisme, diskriminasi berdasarkan kasta sosial, sampai monopoli unsur tokoh agama dalam memperluas pengaruhnya di dalam negara. Ketika Yesus diberitakan lahir di kandang domba, hal yang harus dilihat adalah penekanan unsur kekurangan dari tokoh Yesus. Mengapa Yesus harus lahir di kandang domba di dalam palungan?

Dalam pemahaman teologis, saya melihat bahwa lawatan Tuhan itu dimulai dari menyapa unsur yang terkecil, yang melambangkan kelemahan / kekurangan. Tuhan menyapa manusia lewat kelemahan/kekurangannya untuk mengubah dunia. Ini adalah logika berpikir terbalik secara agama, mengapa Tuhan memilih lokasi yang memprihatinkan atas kunjungan-Nya? Pokok teologisnya tentu ingin mengatakan bahwa Tuhan ada pada orang yang lemah / kekurangan (miskin). Jikalau Tuhan saja peduli kepada mereka, mengapa kita sebagai manusia tidak mempedulikan mereka? Jadi, makna pertama yang kita dapatkan dari kisah Natal ini adalah kepekaan sosial.

Hal kedua, apa makna di balik Yesus lahir tanpa unsur campur tangan manusia, seperti persetubuhan? Laki-laki hanya dapat lahir jika mendapat sumbangan kromosom dari laki-laki saat peristiwa pembuahan terjadi, karena kromosom perempuan hanya mengandung unsur X (wanita) sedangkan pada laki-laki tidak hanya mengandung X, tetapi juga Y (laki-laki). Ketika Yesus sebagai seorang laki-laki yang lahir tanpa campur tangan manusia, sebenarnya ingin mengatakan bahwa Tuhan dapat menunjukkan kuasa-Nya tanpa campur tangan laki-laki sekalipun. Selama ini, stereotype yang berkembang dalam masyarakat, bahwa laki-laki itu superioritas dan wanita hanya warga kelas dua saja. Hal itu juga terlihat dalam kisah Adam-Hawa, bahwa Adam menuduhkan bahwa wanitalah yang telah menyebabkan manusia jatuh ke dalam dosa, dan Tuhan menghukum wanita lebih berat dari laki-laki. Dalam peristiwa kelahiran Yesus ke dunia, secara iman ingin menentang bahwa laki-laki adalah superior dibandingkan wanita. Tanpa ada Maria (wanita), tidak akan ada keselamatan secara iman, karena wanitalah yang mengandung Sang Juruselamat itu. Dengan demikian, makna kedua yang kita dapat adalah Tuhan menggunakan wanita sebagai alat kekuasaan-Nya.

Hal ketiga dan sekaligus yang terakhir adalah apa makna di balik keinginan Herodes ingin membunuh Yesus (bayi)? Tentu ini berbicara soal keadilan. Herodes tidak ingin disaingi mendengar orang Majus yang meramal kehadiran seorang Raja baru telah tiba di dunia. Karena cemburu, Herodes membunuh bayi yang baru saja lahir. Ini sungguh tidak adil, mengapa persoalan psikis dari Herodes dapat menciptakan hal yang buruk kepada bayi beserta keluarganya? Pada akhirnya, Yesus dalam keadaan bayi dapat terselamatkan setelah melarikan diri. Dengan demikian terlihat bahwa kisah kelahiran ini ingin menyatakan bahwa keadilan akan terjadi karena kebenaranlah pada akhirnya yang akan menang. Selamatnya Yesus dari penindasan kejam, menunjukkan bahwa perjuangan keadilan akan dimulai oleh Yesus di tengah-tengah dunia.

Kesimpulannya adalah dalam peristiwa Natal kita melihat ada isu kepekaan sosial, isu kesetaraan gender dan terakhir adalah isu keadilan. Semuanya bermuara oleh lawatan Tuhan ke tengah-tengah dunia, sehingga kita bisa berbicara kesejahteraan, persoalan hukum dan sikap kebajikan di tengah-tengah kehidupan. Jadi, Natal bagi saya bukanlah suatu selebrasi semalam suntuk, ucapan lewat SMS, telepon, jejaring sosial, atau juga rutinitas sekali setahun setiap 25 Desember, melainkan suatu peristiwa iman yang mendorong kita setiap hari untuk menciptakaan kesejahteraan lewat kepekaan sosial, isu gender dalam kaitannya dengan kebajikan di tengah masyarakat serta keadilan yang erat soalnya dengan hukum. Singkatnya, Natal itu adalah aksi nyata bukanlah teori tulisan atau juga perkataan, bukanlah sekali setahun tetapi setiap hari. Memang peristiwa iman masih diragukan objektivitasnya secara ilmiah, tetapi sangat banyak memepengaruhi peristiwa nyata dalam kehidupan sehari-hari. Selamat Natal bagi kita semua. Everyday is Christmas!

Rabu, 30 November 2011

Tarian sebagai Mazmur : Suatu Pandangan Umum Teologis Kristen


Mazmur dalam bahasa Ibrani disebut seher tehelim (dari akar kata ‘h’, ‘l’, ‘l’, bandingkan dengan kata halleluya). Dalam bahasa Yunani disebut dengan psalmoi dari kata psalo yang juga memiliki makna memetik dawai. Isi dari Mazmur sangat beragam, ada pujian, permohonan, pengajaran, meditasi. Mazmur secara umum bisa didefinisikan sebagai respons manusia terhadap karya Allah dalam berbagai situasi, baik lewat bencana, perang, kekalahan, lepas dari marabahaya dan sebagainya.

Pemahaman awam umat Kristen selama ini adalah bahwa Mazmur itu sebuah lantunan pujian berupa lagu sebagai ucapan syukur. Tetapi bila dikaji dengan pendekatan teologis secara mendalam, nyanyian Mazmur juga dapat dilantunkan melalui tarian. Hal itu dapat dilihat dari nas saat ini, Mazmur 30 : 11 - 12.

Dalam Mazmur 30 : 11 – 12, dikatakan bahwa jiwa yang meratap dijadikan Tuhan dengan sukacita lewat tarian. Jadi tarian merupakan nyanyian jiwa atas rasa sukacita oleh kasih Tuhan. Dalam tradisi Yahudi di masa lampau, tarian biasanya dilaksanakan pada kegiatan pesta yang meriah. Dalam kerajaan, tarian biasanya digunakan untuk menghibur raja dalam istirahatnya.

Pemazmur dalam nas ini, ingin menunjukkan bahwa tarian yang dilakukan oleh orang beriman bukan untuk kesenangan manusiawi, tetapi untuk menyukakan hati Tuhan yang telah menggantikan ratapan dengan sukacita. Oleh karena itu, jika seorang beriman sedang bersukacita, dia perlu menari untuk Tuhan.

Tidak semua orang bisa bernyanyi. Tidak semua orang bisa bermain musik. Tidak semua orang bisa menari. Atas dasar itu, pemazmur secara tersirat ingin menyampaikan dalam mazmurnya, yang bisa bernyanyi untuk Tuhan, mari bernyanyi. Siapa yang bisa bermain musik untuk Tuhan, dentangkanlah musik dengan indah. Bagi yang bisa menari untuk Tuhan, menarilah dengan sukacita. Segala kemampuan dan talenta yang diberikan Tuhan, dapat dilakukan untuk memuji-muji Tuhan. Umat percaya harus menyukuri segala berkat yang diberikan Tuhan atas hidupnya, baik lewat nyanyian, alat musik maupun tarian. Untuk itulah Mazmur tercipta sebagai karya besar seni dalam sistem beriman umat percaya.

Pidato Lengkap Soekarno: Lahirnya Pancasila

Tanggal 1 Juni disebut sebagai Hari Kelahiran Pancasila. Menjelang hari penting tersebut, Cakrawala Indonesia hari ini akan mengutip pidato utuh Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno yang menjelaskan prinsip-prinsip dasar Pancasila dengan apik. Pidato Soekarno patut menjadi renungan bagi generasi saat ini dan mendatang yang merasa sebagai warga Indoensia. Inilah pidato Bung Karno;


Pendahuluan
Paduka tuan Ketua yang mulia!
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya.
Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan ketua yang mullia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.
Ma'af, beribu ma'af! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda: "Philosofische grondslag" dari pada Indonesia merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberi tahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan "merdeka". Merdeka buat saya ialah: "political independence", politieke onafhankelijkheid. Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?
Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata:
Tatkala Dokuritu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang - saya katakan didalam bahasa asing, ma'afkan perkataan ini - "zwaarwichtig" akan perkara yang kecil-kecil. "Zwaarwichtig" sampai -kata orang Jawa- "njelimet". Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai njelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu. Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!
Alangkah berbedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai, itu selesai, itu selesai, sampai njelimet!, maka saya bertanya kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu. Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Disitu ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toch Saudi Arabia merdeka! Lihatlah pula - jikalau tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat - Soviet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Soviet, adakah rakyat soviet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia, adalah rakyat Musyik yang lebih dari pada 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Soviet itu. Dan kita sekarang disini mau mendirikan negara Indonesia merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan! Maaf, P. T. Zimukyokutyoo! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai njelimet hal ini dan itu dahulu semuanya!
Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai njelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mesngalami Indonesia merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia merdeka, - sampai dilobang kubur!
Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun '33 saya telah menulis satu risalah, Risalah yang bernama "Mencapai Indonesia Merdeka". Maka di dalam risalah tahun '33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa diseberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.
Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam, - in one night only! -, kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riad dengan 6 orang! Sesudah "jembatan" itu diletakkan oleh Ibn saud, maka diseberang jembatan, artinya kemudian dari pada itu, Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi arabia. Orang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai nomade yaitu orang badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok-tanam. Nomade dirubah oleh Ibn Saud menjadi kaum tani, - semuanya diseberang jembatan.
Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Soviet-Rusia Merdeka, telah mempunyai Djnepprprostoff [1], dam yang maha besar di sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyai radio-station, yang menyundul keangkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia?
Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio- station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan Creche, baru mengadakan Djnepprostoff! Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian, janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini danitu lebih dulu harus selesai dengan njelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannnya tuan-tuan punya semangat, - jikalau tuan-tuan demikian -, dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang!
Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, pada hal semboyan Indonesia merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan "INDONESIA MERDEKA SEKARANG". Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, sekarang!
Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia merdeka, - kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar hati!. Saudara -saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu jembatan! Jangan gentar! Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau umpamanya Butyoo Butyoo diganti dengan orang-orang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence, politieke onafhankelijkheid, - in one night, di dalam satu malam! Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun, semuanya bersemboyan: Indonesia merdeka, sekarang! Jikalau umpamanya Balatentera Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan negara kepada saudara-saudara, apakah saudara-saudara akan menolak, serta berkata: mangke- rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia merdeka?
(Seruan: Tidak! Tidak)
Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menitpun kita tidak akan menolak, sekarangpun kita menerima urusan itu, sekarangpun kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka!
Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan antara Soviet-Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dll. tentang isinya: tetapi ada satu yang sama, yaitu, rakyat Saudi Arabia sanggup mempertahankan negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, saudara-saudara, semua siap-sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk merdeka.
Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian, saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata: Ah saya belum berani kawin, tunggu dulu gajih F.500. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul, sudah mempunyai sendok-garpu perak satu kaset, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah saya berani kawin.
Ada orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu "meja-makan", lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur.
Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat-tidur: kawin. Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, elektrische kookplaat, tempat tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig, belum tentu mana yang lebih bahagia, sang Ndoro dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, saudara-saudara!
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: kita ini berani merdeka atau tidak?? Inilah, saudara-saudara sekalian, Paduka tuan ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian P.T. Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara-saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka!
Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakakan rakyat kita!! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud memerdekakan rakyat Arabia satu persatu. Di dalam Soviet-Rusia Merdeka Stalin memerdeka-kan hati bangsa Soviet-Rusia satu persatu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak dysenterie, banyak penyakit hongerudeem, banyak ini banyak itu. "Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka".
Saya berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan "jembatan". Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.
Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya internationalrecht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-neko, yang menjelimet, tidak!. Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk internationalrecht. Cukup, saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara yang lain, yang merdeka, inilah yang sudah bernama: merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak peduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahnya, - sudahlah ia merdeka.
Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka atau tidak?
Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal "merdeka", maka sekarang saya bicarakan tentang hal dasar.
Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang paduka tuan Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta dasar, minta philosophischegrondslag, atau, jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu "Weltanschauung", diatas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.
Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak diantara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu "Weltanschauung". Hitler mendirikan Jermania di atas "national-sozialistische Weltanschauung", - filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Soviet diatas satu "Weltanschauung", yaitu Marxistische, Historisch- materialistische Weltanschaung. Nippon mendirikan negara negara dai Nippon di atas satu "Weltanschauung", yaitu yang dinamakan "Tennoo Koodoo Seishin". Diatas "Tennoo Koodoo Seishin" inilah negara dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu "Weltanschauung", bahkan diatas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah "Weltanschauung" kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, "Weltanschauung" ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam "Weltanschauung", bekerja mati-matian untuk me"realiteitkan""Weltanschauung" mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikusno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan, Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed: "Soviet-Rusia didirikan didalam 10 hari oleh Lenin c.s.", - John Reed, di dalam kitabnya:"Ten days that shook the world", "sepuluh hari yang menggoncangkan dunia" -, walaupun Lenin mendirikan Soviet-Rusia di dalam 10 hari, tetapi "Weltanschauung"nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu diatas "Weltanschauung" yang sudah ada. Dari 1895 "Weltanschauung" itu telah disusun. Bahkan dalam revolutie 1905, Weltanschauung itu "dicobakan", di "generale-repetitie-kan".
Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri "generale-repetitie" dari pada revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, "Weltanschaung" itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di atas "Weltanschauung" yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?
Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung. Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya "Weltanschauung" itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini, "Weltanschauung" ini, dapat menjelma dengan dia punya "Munschener Putsch", tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau dapat merebut kekuasaan, dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar"Weltanschauung" yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka tuan ketua, timbullah pertanyaan: Apakah "Weltanschauung" kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka diatasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan doktor Sun Yat Sen?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi "Weltanschauung"nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku "The three people"s principles" San Min Chu I, - Mintsu, Minchuan, Min Sheng, - nasionalisme, demokrasi, sosialisme,- telah digambarkan oleh doktor Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru diatas "Weltanschauung" San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.
Kita hendak mendirikan negara Indonesia merdeka di atas "Weltanschauung" apa? Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau "Weltanschauung' apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan, - macam-macam - , tetapi alangkah benarnya perkataan dr Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari persatuan philosophischegrondslag, mencari satu "Weltanschauung" yang kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang sdr. Sanoesi setujui, yang sdr. Abikoesno setujui, yang sdr. Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan compromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita ber-sama-sama setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan?
Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang disini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara "semua buat semua". Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, - tetapi "semua buat semua". Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokurutu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun yang lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.
Prinsip pertama
Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia.
Saya minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkanlah saya memakai perkataan "kebangsaan" ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara- saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nasionalestaat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuanpun adalah orang Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek-moyang tuanpun bangsa Indonesia. Diatas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.
Satu Nationale Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempoh sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?
Menurut Renan syarat bangsa ialah "kehendak akan bersatu". Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa: "le desir d'etre ensemble", yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya "Die Nationalitatenfrage", disitu ditanyakan: "Was ist eine Nation?" dan jawabnya ialah: "Eine Nation ist eine aus chiksals-gemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft". Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).
Tetapi kemarinpun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata: "verouderd", "sudah tua". Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah "verouderd", sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.
Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Moenandar, mengatakan tentang "Persatuan antara orang dan tempat". Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!
Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan "Gemeinschaft"nya dan perasaan orangnya, "l'ame et desir". Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu, Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan dimana"kesatuan-kesatuan" disitu. Seorang anak kecilpun, jukalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan yang besar, lautan Pacific dan lautan Hindia, dan diantara 2 benua, yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil diantaranya, adalah satu kesatuan. Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia sebagai"golfbreker" atau pengadang gelombang lautan Pacific, adalah satu kesatuan.
Anak kecilpun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan. Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai kesatuan pula, Itu ditaruhkan oleh Allah s.w.t. demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan uang ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oeh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup "le desir d'etre ensembles", tidak cukup definisi Otto Bauer "aus schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft" itu. Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau, diantara bangsa di Indonesia, yang paling ada "desir d'entre ensemble", adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2,5 milyun.
Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuaan, melainkan hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan! Penduduk Yogyapun adalah merasa "le desir d"etre ensemble", tetapi Yogyapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan "le desir d'etre ensemble", tetapi Sundapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan "le desir d'etre ensemble" diatas daerah kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh s.w.t., tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatra sampai ke Irian! Seluruhnya!, karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada "le desir d'etre enemble", sudah terjadi "Charaktergemeinschaft"! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu!
Kesinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale staat, diatas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan diatara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan "golongan kebangsaan". Kesinilah kita harus menuju semuanya. Saudara-saudara, jangan orang mengira bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Sakssen adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermanialah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang diutara dibatasi pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segi-tiga Indialah nanti harus menjadi nationale staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka dijaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sri Wijaya dan di zaman Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan persaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoedin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri dijaman Sri Wijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: KebangsaanIndonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan fuku-Kaityoo, Tuan menjawab: "Saya tidak mau akan kebangsaan".
TUAN LIM KOEN HIAN : Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.
TUAN SOEKARNO : Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Lim Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk faham kosmopolitisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya "menschheid", "peri kemanusiaan". Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa a d a kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah H.B.S.diSurabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, - katanya: jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, - ialah Dr SunYat Sen! Di dalam tulisannya "San Min Chu I" atau "The Three People's Principles", saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh "The Three People"s Principles" itu.
Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, - sampai masuk kelobang kubur.
Prinsip Kedua
Saudara-saudara. Tetapi ........ tetapi ........... memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham "Indonesia uber Alles". Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata: "Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan "My nationalism is humanity". Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropah, yang mengatakan"Deutschland uber Alles", tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya, bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata biru, "bangsa Aria", yang dianggapnya tertinggi diatas dunia, sedang bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas azas demikian, Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principe yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan "internasionalime". Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya. Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.
Prinsip Ketiga
Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara "semua buat semua", "satu buat semua, semua buat satu". Saya yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya negara In-donesia ialah permusyawaratan perwakilan.
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah orang Islam, -- maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, -- tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam.
Dan hati Islam Bung karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.
Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam disini agama yang hidup berkobar-kobar didalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar h i d u p di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya diatas bibirsaja. Kita berkata, 90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah didalam sidang ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara islam dan saudara-saudara kristen bekerjalah sehebat- hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar suapaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang kristen, itu adil, - fair play!. Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjoangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah subhanahuwa Ta'ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan beras akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan
Prinsip Keempat
Prinsip No. 4 sekarang saya usulkan, Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan , prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy, sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropah adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democracy. Tetapi tidakkah diEropah justru kaum kapitalis merajalela?
Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan- badan perwakilan rakyat yang diadakan disana itu, sekedar menurut resepnya Franche Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan democratie disana itu hanyalah politie-kedemocratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, -- tak ada keadilan sosial, tidak ada ekonomische democratie sama sekali.
Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang menggambarkan politieke democratie. "Di dalam Parlementaire Democratie, kata Jean Jaures, di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak politiek yang sama, tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam parlement. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?" Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: "Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politiek itu, di dalam Parlement dapat menjatuhkan minister. Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam paberik, - sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa".
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ecomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimakksud dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia-baru yang di dalamnya a d a keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan ma-syarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.
Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama, saudara-saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan kepada negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie "vooronderstelt erfelijkheid", - turun-temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya meng-hendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu'minin, harus dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan automatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarchie itu.
Prinsip Kelima
Apakah prinsip ke-5?
Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
1. Kebangsaan Indonesia.
2. Internasionalisme, - atau peri-kemanusiaan.
3. Mufakat, - atau demukrasi.
4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada "egoisme-agama". Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.
Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Disinilah, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!
Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, disitulah tempatnya kita mempropagandakan idee kita masing-masing dengan cara yang berkebudayaan!
Pancasila
"Dasar-dasar Negara" telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Inderia. Apa lagi yang lima bilangannya?
(Seorang yang hadir: Pendawa lima).
Pendawapun lima oranya. Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi. bilangan lima itu?
Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah "perasan" yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalisme.
Dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek- economische demokratie, yaitu politieke demokrasi dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie. Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini.
Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Gotong Royong
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus men-dukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, - semua buat semua ! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan "gotong-royong". Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!
"Gotong Royong" adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari "kekeluargaan", saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama ! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!
Prinsip Gotong Royong diatara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: trisila, ekasila ataukah pancasila? Is i n y a telah saya katakan kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup didalam masa peperangan, saudara- saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia, - di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wata'ala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat laun menjadi bubur.
Berhubung dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi, barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Panca Sila. Sebagai dikatakan tadi, saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah saudara- saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjoang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam peri-kemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhananan. Panca Sila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh-puluh tahun. Tetapi, saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf- insyafnya, bahwa tidak satu Weltaschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjoangan!
Janganpun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen! "De Mensch", -- manusia! --, harus perjoangkan itu. Zonder perjoangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjoangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjoangan bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder perjoangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit. Janganpun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur'an, zwart op wit (tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjoangan manusia yang dinamakan ummat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis didalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjoangan ummat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Panca Sila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationali- teit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup diatas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ke-Tuhanan yang luas dan sempurna, --janganlah lupa akan syarat untuk menyeleng-garakannya, ialah perjoangan, perjoangan, dan sekali lagi pejoangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjoangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di-dalam Indonesia Merdeka itu perjoangan kita harus berjalan t e r u s, hanya lain sifatnya dengan perjoangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjoang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Panca Sila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bawa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak mengambil risiko, -- tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya.
Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad-mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai keakhir jaman! Kemerdekaan hanya- lah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad "Merdeka, -- merdeka atau mati"!
Catatan:
1. ↑ Yang dimaksud Dnepropetrovsk, suatu kawasan industri di mana terdapat bendungan raksasa di sungai Dnepr, dan di situ dibangun stasiun pembangkit tenaga listrik yang merupakan tulang punggung perindustrian Soviet Rusia (ket. - LSSPI)
(IRIB/AR)
Sumber: http://indonesian.irib.ir

Senin, 10 Oktober 2011

Pandangan Teori Modernisasi Klasik terhadap Perubahan Sosial dalam Kaitannya dengan Kesejahteraan Sosial

Berdasarkan hasil kajian teori modernisasi klasik, suatu perubahan sosial dan pembangunan di suatu negara terkait dengan kebutuhan berprestasi dan ciri manusia modern. Setidaknya itulah dikatakan dua ilmuan dari bidang psikologi dan psiko-sosial, McClelland dan Inkeles. Menurut McClelland, hanya jika seorang berpikir tentang bagaimana meningkatkan situasi ke arah yang lebih baik dan hendak melaksanakan tugas-tugas yang dihadapinya dengan cara lebih baik, maka orang seorang itu bisa disebut memiliki kebutuhan prestasi yang amat kuat. Dalam penelitian yang dilakukannya, McClelland mengajukan pertanyaan yang menantang untuk melihat sejauh mana kebutuhan prestasi ini berkaitan dengan pembangunan ekonomi nasional.

Ternyata hasil yang ditemukannya, bahwa negara yang memiliki derajat yang tinggi kebutuhan berprestasinya, juga memiliki derajat yang tinggi pula pembangunan ekonominya. Hal lain yang dilaporkan McClelland adalah pentingnya peran waktu. Muncul, berkembang dan matinya kebutuhan berprestasi juga berkaitan dengan muncul, berkembang dan matinya pembangunan ekonomi. Baginya, membutuhkan waktu lima puluh tahunan untuk menyamakan kecenderungan antara pembangunan ekonomi negara dengan kecenderungan meningkatnya kebutuhan berprestasi. Terakhir, laporan yang diberikan McClelland terkait dengan cara menaikkan skala kebutuhan berprestasi. Menurutnya, peran keluargalah pertama-tama yang menentukan standar motivasi yang tinggi pada anak-anaknya, misal : orangtua menentukan standar pengharapan prestasi gemilang di sekolah, kemudian menjadi maju, memiliki pekerjaan yang mapan dan dikenal di masyarakat. Lalu kemudian, peran pendidikan sangat menentukan setelahnya. McClelland menunjuk bahwa cara-cara pendidikan Barat dan peran budayanya akan sangat membantu negara Barat untuk menumbuhkembangkan kebutuhan berprestasi di negara-negara dunia ketiga (Suwarsono dan So, 1991, 27-31).

Penelitian lain dari teori modernisasi klasik juga datang dari Inkeles, yang melahirkan ide mengenai “manusia modern”. Dari apa yang ditelitinya, menurut Inkeles, manusia modern memiliki berbagai karakteristik, yaitu: (1991 : 32 – 33)
a. Terbuka terhadap pengalaman baru. Ini berarti, bahwa manusia modern selalu berkeinginan untuk mencari sesuatu yang baru;
b. Manusia modern akan memiliki sikap untuk semakin independen terhadap berbagai bentuk otoritas tradisional, seperti orangtua, kepala suku (etnis) dan raja;
c. Manusia modern percaya terhadap ilmu pengetahuan, termasuk percaya akan kemampuannya untuk menundukkan alam semesta;
d. Manusia modern memiliki orientasi mobilitas dan ambisi hidup yang tinggi. Mereka berkehendak untuk meniti tangga jenjang pekerjaannya;
e. Manusia modern memiliki rencana jangka panjang. Mereka selalu merencanakan sesuatu jauh di depan dan mengetahui apa yang akan mereka capai dalam waktu lima tahu ke depan;
f. Manusia modern aktif dalam percaturan politik. Mereka bergabung dengan berbagai organisasi kekeluargaan dan berpartisipasi aktif dalam urusan masyarakat lokal.

Pokok pikiran mengenai karakateristik itu, menurut Inkeles bahwa pendidikan merupakan faktor yang terpenting yang mencirikan manusia modern. Satu tahun pendidikan mampu menaikkan dua sampai tiga poin skala modernisasi dari nol sampai seratus. Lebih jauh, bahwa kurikulum teknis seperti Matematika, Kimia dan Biologi, bukan faktor yang bertanggungjawab terhadap penyerapan nilai dan pembentukan manusia modern. Bagi Inkeles, justur kurikulum informal juga seperti kecenderungan tenaga pengajar pada nilai-nilai Barat, membantu penyerapan nilai-nilai modern.
Dengan demikian, dari apa yang disampaikan oleh McClelland maupun Inkeles sejauh ini, sebenarnya ingin mengatakan bahwa pendidikan itu sangat penting dalam mendorong kebutuhan berprestasi dari masyarakat, serta menciptakan manusia modern. Pendidikan yang baik akan mendorong suatu perubahan sosial dan pembangunan dari suatu negara. Dari hal ini dapatlah dilihat bagaimana hubungan dari faktor pendidikan terhadap terciptanya masyarakat yang sejahtera dari suatu negara. Oleh karena itu, demi menciptakan kesejahteraan sosial, suatu negara harus bertanggungjawab untuk menciptakan sistem pendidikan yang berkualitas di dalam masyarakatnya. Harapannya tentu tercipta keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan sosial di masyarakat, sehingga menghasilkan apa yang disebut dengan kesejahteraan sosial.

Kesejahteraan Sosial dapat dipahami dalam arti yang sangat luas, yang pada intinya merupakan berbagai tindakan yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik. Taraf kehidupan yang lebih baik ini tidak hanya diukur secara ekonomi dan fisik saja, tetapi juga termasuk aspek sosial, mental dan juga kehidupan spiritual. Menurut Isbandi Rukminto Adi (2008 : 45), secara garis besar Kesejahteraan Sosial dapat dilihat dari empat sudut pandang, yaitu: Kesejahteraan Sosial sebagai suatu keadaan (kondisi), Kesejahteraan Sosial dalam kaitan dengan pembangunan sektoral, Kesejahteraan Sosial sebagai suatu kegiatan dan Kesejahteraan Sosial sebagai suatu ilmu.

Dalam pokok pikirannya Adi menjelaskan, Kesejahteraan Sosial sebagai suatu kondisi dapat diacu pada rumusan Undang-Undang No.6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, pasal 2 ayat 1 :
Kesejahteraan Sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materil maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketenteraman lahir dan bathin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.

Rumusan di atas menggambarkan kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan di mana tercipta tatanan atau kehidupan yang baik (memadai) dalam masyarakat dan bukan sekedar kemakmuran pada kehidupan materil, tetapi juga kehidupan spiritual masyarakat. Adi yang mengutip pandangan Midgley (1975 : 5) mengenai definisi lain dari Kesejahteraan Sosial, yaitu suatu keadaan atau kondisi kehidupan manusia yang tercipta ketika berbagai permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik, ketika kebutuhan manusia dapat terpenuhi dan kesempatan sosial dapat dimaksimalkan.

Kesejahteraan Sosial dalam kaitan dengan pembangunan sektoral dalam arti sempit dapat dilihat sebagai pengertian hanya sektoral saja dari suatu pembangunan. Luas cakupan kesejahteraan sosial dalam pemahaman ini sering dikaitkan dengan kegiatan yang dilakukan oleh Departemen Sosial dari suatu negara, sehingga masalah kesehatan, pendidikan, perumahan dan sebagainya tidak tercakup dari bidang kesejahteraan sosial. Berbeda dengan pemahaman arti luas, di mana pembangunan sektoral yang dimaksud bisa dipahami upaya yang dikembangkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat tidak hanya oleh Departemen Sosial saja, melainkan beberapa Departemen yang terkait dengan urusan kesejahteraan sosial.

Kesejahteraan Sosial sebagai suatu kegiatan, menurut Adi dapat mengacu pada apa yang disampaikan oleh Friedlander (1980), yang mengatakan bahwa Kesejahteraan Sosial merupakan sistem yang terorganisasi dari berbagai institusi dan usaha-usaha kesejahteraan sosial yang dirancang guna membantu individu ataupun kelompok agar dapat mencapai standar hidup dan kesehatan yang lebih memuaskan. Meskipun tidak secara eksplisit menyatakan kesejahteraan sebagai suatu kegiatan, pengertian yang dikemukan Friedlander menurut Adi telah sekurang-kurangnya menggambarkan kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem pelayanan (kegiatan) yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dan walaupun dalam pengertiannya Friedlander secara eksplisit menyatakan target dari kegiatan tersebut adalah individu dan kelompok, tetapi dalam artian luas pengertian Friedlander juga melihat masyarakat sebagai suatu totalitas.

Kesejahteraan Sosial sebagai suatu ilmu dapat dipahami dari beberapa definisi yang berkembang, dua di antaranya dari Adi dan Zastrow. Menurut Adi, Ilmu Kesejahteraan Sosial adalah suatu ilmu yang mencoba mengembangkan pemikiran, strategi dan teknik untuk meningkatkan kesejahteraan suatu masyarakat, baik di tingkat mikro, mezzo, maupun makro (Adi, 2004 : 42). Sedangkan menurut Zastrow, Kesejahteraan Sosial sebagai suatu ilmu adalah suatu studi dari agensi, program, personel dan kebijakan yang berfokus untuk menyampaikan layanan sosial kepada berbagai individu, kelompok dan komunitas. (Zastrow dalam Adi, 2008 : 48). Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa Ilmu Kesejahteraan Sosial merupakan ilmu yang bersifat terapan karena kajiannya sangat terkait dengan intervensi sosial (perubahan sosial terencana) yang dilakukan oleh pelaku perubahan terhadap sasaran perubahan yang terdiri dari individu, keluarga dan kelompok kecil (level mikro), komunitas dan organisasi (level mezzo) dan masyarakat yang lebih luas, baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi, negara serta tingkat global (level makro).

Dari keempat pemahaman mengenai Kesejahteraan Sosial yang telah dipaparkan di atas, terlihat bahwa sebenarnya bahwa Kesejahteraan Sosial sebagai suatu usaha yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bagi manusia sebagai objeknya. Manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yang dinamis, oleh karena itu suatu usaha kesejahteraan pun sifatnya kompleks.

Selasa, 13 September 2011

Memeriksa Narasi tentang Masa Lalu Komunis


(Tulisan ini masih penggalan bagian dari buku "Mematahkan Pewarisan Ingatan", Budiawan, 2004, hal 83-102. Suatu essay yang menjawab mengapa komunisme (PKI) begitu dikhawatirkan bila muncul kembali di bumi Indonesia. Adalah konstruksi peristiwa sejarah yang lengkap disajikan Budiawan bagi kita untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi pada masa jaya komunisme di masa lampau. Tulisan ini merupakan terjemahan tesis doktoral Budiawan di SEASP, NUS)


Meskipun kelompok komunisme dengan agama (Islam) selalu bertentangan, namun kaum Komunis dan kaum Muslim, terutama pada tahun-tahun awal PKI, kedua-duanya menaruh kepedulian nasional yang sama dalam berjuang untuk kemajuan rakyat. Kedua belah pihak sampai batas tertentu saling bercekcok lebih-lebih dalam hal memahami keyakinan agama yang sama, yaitu Islam, ketimbang dalam masalah pendirian ideologi yang berbeda. Perbantahan antara komunisme dengan agama dalam sejarah Indonesia, khususnya dalam zaman pergerakan nasional, harus tidak diartikan sebagai pertentangan yang diametral, tetapi lebih sebagai pertentangan berebut pengakuan mana “muslim sejati”. Jelas ini bertentangan dengan anggapan umum bahwa PKI niscaya anti agama. Akan tetapi karena pembentukan “kebenaran” tidak terpisahkan dari basis material penopangnya, yang menetapkan klaim atas kebenaran yang akhirnya menjadi rezim kebenaran, maka pembentukan “kebenaran” bergantung pada sejauh mana ia ditopang oleh berbagai basis materialnya.

Meskipun disusun secara kronologis, esay ini akan banyak didasarkan pada analisis terhadap nada keagamaan dari pengucapan-pengucapan politik PKI. Dalam konteks ini, “Peristiwa Madiun” September 1948, bisa ditempatkan sebagai titik perubahan arah sejarahnya. Itulah titik waktu ketika PKI secara terbuka menantang kekuasaan pemerintahan Soekarno-Hatta dengan memproklamirklan “Republik Soviet” Indonesia di Madiun, Jawa Timur, karena keyakinan mereka bahwa pemerintah telah berkompromi dengan Belanda yang berusaha mengembalikan kekuasaan kolonialnya. Peristiwa itu bisa diinterpretasikan sebagai titik balik yang gawat, karena selanjutnya masalah agama baik secara positif maupun negatif hampir tidak pernah lagi disebut-sebut dalam artikulasi pimpinan baru PKI. Hal ini berbeda sekali dengan masa-masa awal PKI, sebagaimana akan dibahas, ketika sejumlah tokoh kuncinya berusaha keras “mengatasnamakan” komunisme, dalam pengertian menginterpretasikan komunisme dari perspektif agama



Islamisasi Komunisme dan Pertentangan antara PKI dan Organisasi Islam 1920-an – 1948

Periode historis PKI sebelum terjadinya Peristiwa Madiun tidak begitu banyak diceritakan dalam wacana anti komunisme. Tetapi, ada dua peristiwa yang menjadi perhatian luas. Kejadian pertama ialah lahirnya PKI. Menurut dokumen resmi, sejak awal komunis dianggap cerdik dan tidak bisa dipercaya, karena sebelum partai mereka sendiri terbentuk pada 1920, mereka telah menyusup ke dalam organisasi Islam, yaitu Sarekat Islam (SI). Kejadian kedua adalah pemberontakan 1926-1927, yang diungkapkan tanpa memaparkan latar belakang, proses dan rangkaian kejadiannya yang semestinya. Tujuannya untuk membangun citra bahwa PKI sejak semula berwatak pemberontak, seperti yang dipaparkan oleh “Buku Putih”. Karena penggambaran semacam itu, maka tidak aneh masyarakat tidak mengetahui bahwa sejumlah tokoh penting komunis adalah orang-orang Muslim yang soleh. Begitu juga terhadap kenyataan, bahwa basis utama PKI pada masa-masa awal adalah Banten dan Sumatera Barat, di mana tradisi Islam lebih “puritan” dibandingkan dengan masyarakat Jawa. Sebagaimana akan dibahas, orang-orang Muslim komunis itu tidak hanya simpati pada komunisme. Mereka malah berusaha mengagamakan (meng-Islam-kan) komunisme. Hal ini menimbulkan kritik dari kalangan Muslim yang memandang komunisme sebagai ancaman terhadap Islam. Bagaimana kaum Muslim berusaha meng-Islam-kan komunisme? Bagaimana kaum Muslim anti komunis menentang usaha itu?

Sebagai partai tertua di Indonesia dan sebagai gerakan komunis pertama di Asia, di luar wilayah kekaisaran Rusia, semula PKI merupakan organisasi sosialis Marxis, yaitu Perhimpunan Sosial Demokrat Hindia, yang didirikan di Hindia Belanda beberapa bulan sebelum Perang Dunia 1 pecah. Pada waktu Soviet merebut kekuasaan, Rusia telah dibersihkan dari unsur-unsur non-Bolsyewik dan dalam bulan Mei 1920, secara resmi memproklamirkan dirinya sebagai partai komunis.

Hal yang masih belum dinyatakan dengan tegas di dalam gambaran ringkas semacam itu adalah bahwa kaum komunis bergabung di dalam SI untuk memperluas pengaruh politik mereka dari dalam dan melalui organisasi Muslim itu. Komintern menyebut strategi ini sebagai “di dalam kubu” (bloc within), di mana aktivis komunis harus meluaskan pengaruh komunismenya dengan membangun jaringan sel-sel di dalam organisasi-organisasi non-komunis. Pada waktu itu, keanggotaan rangkap seperti itu masih dimungkinkan, karena tidak adanya disiplin partai, selain karena sifat keorganisasian SI yang desentralistis. Karena itu, dari perspektif hukum sulit untuk mengatakan bahwa hal semacam itu sbeagai “infiltrasi”, karena dalam infiltrasi terkandung anggapan adanya penyamaran oleh para infiltran. Apa yang terjadi bukanlah beberapa orang komunis yang berpura-pura menjadi Muslim supaya diterima dalam SI. Tetapi yang benar, sejumlah orang Muslim mempunyai gagasan komunis bergabung dalam SI, sebelum akhirnya mereka dikeluarkan karena ada maklumat disiplin partai pada Kongres SI tahun 1923. Petumbuhan pesat PKI di Banten dan Sumatera Barat, dan kepemimpinan Haji Muhammad Misbach dalam gerakan komunisme di Surakarta, seperti akan dibahas di bagian berikut:



Kepemimpinan Muslim dalam tubuh PKI di Banten dan Sumatera Barat.


Komunisme Islam, tulis Michael Williams, tampak seperti paradoks. Ini memang benar jika orang beranggapan bahwa barangkali tidak ada agama yang terbukti lebih berani menantang komunisme selain Islam. Akan tetapi, kenyataan bahwa di dalam babak-babak sejarah tertentu di negeri-negeri tertentu, suatu gerakan sosial yang dapat disebut “Komunisme Islam” telah berkembang dan harus diperhatikan. Inilah yang rupanya terjadi di Indonesia pada akhir tahun1920-an.

Banyak pemimpin komunis Indonesia pada masa-masa awal, misalnya Tan Malaka, berpendapat bahwa Islam bisa dipakai untuk tujuan revolusioner. Yang lainnya, seperti Haji Misbach di Surakarta dan pemimpin Banten, Haji Achmad Chatib, bahkan menegaskan bahwa tidak ada ketidaksesuaian yang mendasar antara Islam dengan komunisme. Pendirian seperti itu bukan suatu hal yang unik untuk Indonesia yang terjajah. Pada awal abad kedua puluh, Islam dan nasionalisme dipandang sebagai sangat erat, sementara kekuasaan asing dan kapitalisme dilihat sebagai hal yang satu dan sama. Dengan memberi nama kapatalisme sebagai musuh utama, mereka memberikan dimensi baru dan modern dalam oposisi klasik terhadap dominasi Barat.

Perkembangan mencolok PKI pada 1920-an disebabkan oleh kenyataan bahwa ia tidak menolak tradisi Islam Indonesia. Di Banten, sebagai misal, di mana mayoritas penduduk wilayah ini petani-petani gurem, turun temurun para petani itu telah menemukan kepemimpinan sosial dan politik mereka di dalam diri kaum ulama. Para elite agama ini jauh di luar pemerintahan kolonial, namun tetap memperoleh martabat sosial di kalangan petani itu. Oleh karenanya, mereka menerima PKI yang menawarkan suatu perspektif dan strategi baru dalam menentang pemerintahan kolonial.

Kaum ulama dan para pemimpin Banten lainnya, yang berlatar belakang Islam, bukan sekedar bersimpati tetapi juga sebagai propagandis-propagandis PKI. Tentu saja tidak semua ulama bergabung dengan PKI. Akan tetapi hanya sedikit saja di antara para pemimpin agama di Banten yang suka berbicara menentang PKI. Justru mereka sama-sama berpendirian bahwa pemerintah Belanda itu kafir.

Bagi PKI kebencian para ulama terhadap pemerintah kolonal itu merupakan sumber penting untuk propaganda. Para propagandis partai tidak pernah berhenti menyatakan bahwa Islam tidak mungkin bebas di bawah pemerintahan kafir. Tetapi di bawah komunisme, agama tidak akan menjadi sasaran pelarangan seperti yang dilakukan oleh para penguasa kolonial. Beberapa pemimpin PKI berasal dari latar belakang religius dan pandai membuat kutipan-kutipan dari Al-Quran, ketika mengemukakan pokok-pokok pandangan mereka; oleh karena itu dengan mudah mereka bisa masuk di kalangan para ulama.

Dalam semua rapat-rapat mereka, PKI mengingatkan pada berbagai kesamaan dan keteladanan di dalam sejarah Islam. Ini dimaksudkan untuk membangkitkan perasaan bahwa perjuangan selanjutnya akan berakhir dengan kemenangan karena rahmat Ilahi. Rujukan yang diambil untuk perjuangan saat itu adalah perjuangan rakyat Maroko dalam melawan pemerintahan kafir Spanyol dan Prancis. Lenin dan kaum Bolsyewik bahkan digambarkan sebagai pembela Islam dan pendiri sebuah negara yang luhur dan adil, serta diridhoi oleh Allah. Namun, terlepas dari retorikanya yang religius, PKI tidak pernah mengaku diri sebagai organisasi Islam. Ia hanya berjanji untuk menghargai dan melindungi agama. Ia menawarkan jalan bagi kebebasan beragama dan politik. PKI menarik hati kaum ulama untuk melihat berakhirnya larangan-larangan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap mereka, seperti misalnya kewajiban untuk mendapatkan surat izin mengajar dan keharusan untuk memperlihatkan daftar para santri. Di samping itu, penguasa selalu memantau khotbah-khotbah publik.

Karena jumlah ulama yang bergabung dengan PKI makin bertambah, penggunaan kosakata keagamaan sebagai ganti jargon-jargon komunis dalam gerakan menjadi lebih dominan. Manakala momentum untuk melancarkan pemberontakan semakin dekat, kemenangan lalu dikaitkan dengan pembentukan sebuah negara Islam, kadang dipandang sebagai kesultanan Banten. Di samping itu, kaum ulama tidak pernah lupa mengutip sebuah ayat Al-Quran, “dengan pertolongan Allah segala sesuatu bisa dicapai”. Dalam masa-masa menjelang pemberontakan komunis di Banten, seperti diuraikan di atas, gagasan-gagasan politik diartikulasikan dalam idiom-idiom agama, sementara gerakannya itu sendiri disulut dengan sentimen-sentimen keagamaan. Ini memang para strategi para pimpinan PKI. Tetapi karena banyak di antara mereka telah ditangkap sebelum pemberontakan meletus pada akhir 1926, dan pemimpin partai diserahkan kepada kaum ulama dan para jawara, maka penggunaan idiom-idiom Islam dan pengurasan sentimen keagamaan menjadi lebih intensif. Ini merupakan bagian dari dunia wacana kaum ulama di mana komunisme dipandang sebagai “sumber imajinasi”, alih-alih sebagai ancaman keimanan agama mereka. Dengan demikian, di Banten, komunisme di-Islam-kan ketimbang sebaliknya.

Gejala yang serupa bisa dijumpai di Sumatera Barat. Sebagaimana diteliti oleh Joel Kahn, penyebaran komunisme di wilayah ini tidak dapat dipisahkan dari peranan tokoh seorang guru agama, Haji Datuk Batuah. Ia mengubah bekas sekolah agama Thawalib Sumatera menjadi pusat perumusan komunisme Islam. Di Sumatera Barat, sukses awal komunisme adalah berkat penyebaran ide komunisme Islam di desa-desa pedalaman. Ideologi itu dipakai untuk mengartikulasikan keluh kesah radikal yang semakin meningkat terhadap pemerintah kolonial yang disebabkan oleh keterpurukan ekonomi awal tahun 1920-an. Di sini ide tentang kesengsaraan semakin meningkat bersamaan dengan ide anti kolonialisme berdampak pada peningkatan tajam jumlah anggota Sarekat Rakyat (SR), yang berafiliasi dengan komunis yang sudah berdiri di sana pada 1924.

Seperti di Banten, seruan komunis di Sumatera Barat diletakkan pada identifikasi mereka terhadap penguasa kolonial Belanda dengan kafir (tak beriman)-sebuah istilah yang menusuk perasaan bagi kaum non-Muslim. Di Sawah Lunto, daerah pertambangan batubara, kaum komunis menyatakan bahwa tambang batubara Ombilin milik negara harus diserahkan kepada rakyat. Di tempat-tempat lain, mereka menentang pemberian konsesi kepada perusahaan-perusahaan pertambahan asing. Jadi mereka melihat Islam dan nasionalisme dihalangi langsung oleh kapitalisme dan borjuasi dipahami dalam hubungan etnik. Penyamaan kapitalisme dengan kolonialisasi bukan hal yang kebetulan. Eksploitasi ekonomi di Sumatera Barat semuanya dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada waktu perjuangan melawan Belanda tiba, siapa saja yang bukan komunis dianggap sebagai berada di pihak kafir. Dengan demikian antagonisme kelas menemukan pengucapannya dalam perjuangan agama dan dengan jalan itu mobilisasi massa terbukti efektif.

Artikulasi religius komunisme seperti itu juga dapat diamati dalam gerakan komunisme Haji Muhammad Misbach di Surakarta. Akan tetapi, tidak seperti kawan-kawannya di Banten dan Sumatera Barat, yang tidak mengalami tentangan berarti dari sesama kaum Muslim, Misbach harus menghadapi oposisi serius dari kaum ulama yang anti komunis, terutama para ulama dari organisasi Muslim Muhammadiyah. Komunisme Islam yang dikembangkan Misbach betul-betul gugatan terhadap tatanan kolonial dan sekaligus juga terhadap Islam yang lain. Atas dasar inilah persaingan klaim sebagai Muslim sejati merebak.



Haji Muhammad Misbach dan Komunisme Islam di Surakarta pada awal 1920-an


Haji Muhammad Misbach tidak begitu dikenal dalam pergerakan. Lahir dan besar di Kauman pada 1876, ia menghabiskan sebagian besar pendidikannya di pesantren. Ia mulia terlibat aktif dalam pergerakan pada 1914, ketika ia bergabung dengan Liga Jurnalis Pribumi (Inlandsche Journalisten Bond, IJB) yang dipimpin oleh jurnalis dan novelis Marco Kartodikromo. Marco menggambarkan pertemuannya dengan Misbach sebagai berikut:

“Ketika saya menerbitkan surat kabar mingguan Doenia Bergerak di Solo (1914), saya berkenalan dengan H.M.Misbach, karena dia anggota perkumpulan (IJB) dan pelanggan surat kabar tersebut. Dia seorang Islam yang bercita-cita menyebarkan Islam dengan cara-cara zaman sekarang, menerbitkan surat kabar Islam, membenahi sekolah Islam dan menyelenggarakan rapat-rapat untuk membahas agama Islam dalam kehidupan soial. Pada tahun 1915, H.M.Misbach menerbitkan surat kabar bulanan Medan Moeslim. Pada waktu itulah, dia mengambil langkah pertama masuk pergerakan dan mengibarkan panji Islam. Ia menyebarkan agama Islam di mana-mana dan senang bersahabat dengan semua orang. Misbach punya teman-teman di semua kalangan rakyat yang bisa meneruskan pergerakannya. Tetapi di antara yang mengaku sebagai Muslim (yang baik), ada yang lebih menaruh kepentingan untuk menimbun harta daripada membantu rakyat yang menderita. Misbach tampak bagaikan seekor harimau di antara sekelompok kecil binatang, lantaran dia tidak pernah gentar mencela kelakuan orang-orang yang mengaku diri sebagai Muslim yang baki tetapi terus saja menghisap darah sesama anggota masyarakat.”

Ada dua hak yang layak dicatat dari kenangan Marco di atas. Pertama, Misbach sungguh seorang Muslim ortodoks yang saleh. Akan tetapi, keprihatinannya terhadap orang yang menderita membuat artikulasi keagamaannya menjadi populis. Kedua, artikulasi semacam itu membuatnya tidak hanya berbeda dari, tetapi juga bertentangan dengan kaum Muslim ortodoks yang menyerukan simbol-simbol Islam. Pertentangan semacam itu pada gilirannya menempatkan Misbach dan pengikutnya pada satu pihak dan para pimpinan Muhammadiyah pada pihak lain, dalam perebutan klaim tentang siapa yang benar-benar menjalankan Islam sejati.

Pertarungan ini merupakan refleksi dari perpecahan di tubuh SI itu sendiri, khususnya setelah kongres 1923 yang menghasilkan keputusan tentang disiplin partai. Dengan ada perpecahan itu, CSI (Centraal Sarekat Islam) menjadi sangat identik pada pandangan modernis Muhammadiyah, yang pada 1924 menyatakan bahwa Islam dan komunisme tidak terdamaikan dan karena itu tidak ada Muslim sejati yang menganut PKI. Tetapi pertumbuhan komunisme Islam terus berlanjut. Di Jawa, komunisme Islam kuat di Surakarta. Berikut merupakan contoh uraian, di mana unsur-unsur tradisi lokal, Islam dan Marxisme terlihat jelas:

“Berabad-abad dahulu keadilan dipandang oleh rakyat sebagai kebutuhan yang paling tinggi dan diakui seluruh dunia. Pelaksanaannya ada di tangan raja, yang dalam kapasitasnya sebagai hakim dijunjung di atas segala mahluk dan dimuliakan, serta rakyat menundukkan diri sepenuhnya di hadapannya. Akan tetapi, ketika banyak orang mulai bersaing satu sama lain dalam mengejar kekayaan, keadilan tidak lagi bisa diberikan sebagaimana mestinya, karena orang-orang kaya yang telah berbuat jahat bisa menyogok saksi dan dengan demikian membeli jalan keluar dari penuntutan terhadap diri mereka. Sejak saat itu, raja sudah jarang mampu mengadili secara benar. Budi manusia menjadi tidak jujur lagi dan tersesat dalam liku-liku kepalsuan, sehingga dosa manusia menjadi semakin besar dan dunia pun menjadi penuh dengan kekejaman. Orang kaya bisa mengambil untung dari harta yang Tuhan berikan, melalui pribadi nabi-Nya dan dalam bentuk pengajaran agama, demi maslahat dunia dan umat manusia. Ketika orang kaya mulai menaruh perhatian pada urusan keagamaan, mereka juga memasukkan politik ke dalam pengajaran agama. Dan setelah nabi wafat, mereka bisa menggunakan pengaruh mereka. Para pemimpin agama, ulama dan guru-guru agama dibayar oleh kaum kapitalis. Dengan cara ini, kaum kapitalis bisa mencapai tujuan mereka dalam mengurusi urusan kekayaan di atas urusan rakyat banyak. Kewajiban memberikan zakat dan fitrah membuktikan bahwa kesejahteraan manusia semestinya ditempatkan di atas keselamatan harta benda. Tetapi segera setelah kepemimpinan Islam tidak di tangan para murid nabi, kewajiban-kewajiban itu tidak lagi ditaati. Banyak di antara orang kaya tidak lagi memikirkan tentang zakat, serta banyak barang-barang terlarang diperjualbelikan dengan bagian-bagian lain dunia, sehingga dari sudut pandangan Islam semua harta benda di dunia menjadi najis. Kapitalisme yang penuh dosa telah bangkit. Tetapi belum ada hukum yang menentang kapitalisme selain di Rusia. Sudah saatnya bagi kaum buruh dan tani menyadari betapa jahatnya kapitalisme itu.”

Penjelasan semacam itu jelas merupakan penerjemahan dari kritik Karl Marx terhadap praktik-praktik sosial agama (gereja), yang dikenal umum sebagai “agama adalah candu bagi rakyat”. Banyak pemimpin agama sampai sekarang sering menggunakan kata-kata tersebut untuk mencurigai dan meyakini bahwa komunisme memang pada dasarnya bertentangan dengan agama. Misbach tidak hanya merasa perlu menjelaskan apa yang dimaksud Marx dengan kata-kata itu. Dia bahkan menggunakan penjelasan ini untuk menyerang Muhammadiyah atas nama Islam sejati. Inti pertikaian antara Misbach beserta Muslim komunis dengan Muhammadiyah terletak pada soal, apakah seorang bisa menjadi Muslim sejati tanpa menempatkan Isla dalam suatu gerakan politik. Lebih khusus lagi, apakah Muhammadiyah harus atau tidak harus bergerak dalam politik; dan apakah harus atau tidak harus berjuang menentang pemerintah dan kapitalisme dalam zaman kapital dan di negeri sendiri dijajah oleh kekuasaan non-Muslim. Karena Muhammadiyah merupakan satu-satunya basis organisasi pimpinan CSI, maka pertentangan tersebut menarik perhatian luas dari berbagai surat kabar. Islam Bergerak-nya ala Misbach muncul dalam barisan terdepan dalam gerakan anti Muhammdiyah.

Dalam serangkaian artikel yang terbit pertama kali dalam surat kabar PKI, Sinar Hindia, dan kemudian dimuat ulang dalam Islam Bergerak, seorang penulis dengan nama samaran, “Botja Pakoealaman” membuat penggolongan Islam baru, yaitu Islam sama rasa / Islam komunis, Islam imperialis dan Islam kapitalis. Kategori pertama adalah Islam menurut pemahaman kromo (orang kebanyakan). Yang kedua adalah Islam menurut pemahaman kaum ningrat dan yang ketiga, Islam menurut pemahaman kaum hartawan. Berdasarkan “analisis kelas” Islam Hindia ini, penulis tersebut mengemukakan bahwa Muhammadiyah adalah Islam kapitalis, sedang SI (sayap merah) adalah Islam sama rasa atau Islam komunis. Dengan mengecap Muhammadiyah sebagai Islam kapitalis, Misbach dan kawan-kawannya di dalam PKI menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak sesuai berbuat dengan ajaran Islam, karena melakukan perbuatan haram dengan membungakan uang, menjauh dari politik dan tidak berjuang menentang kepalsuan. Keengganan mereka untuk menyebut Muhammadiyah dengan namanya itu sendiri, dan ketegasan mereka selalu menyebutnya “MD” membuat pertentangan itu semakin jelas. Muhammadiyah berarti pengikut Muhammad, sedangkan MD bisa diartikan Mundur Diri atau Musibat Dunia (bencana dunia).

Melalui kritik semacam itu, Misbach menarik garis tegas antara mukmin (kaum beriman) yang mengorbankan segala-galanya demi perintah Allah dan kaum munafik (hipokrit) yang mendaku diri sebagai mukmin tetapi menggunakan Islam hanya untuk pamer semata. Pembedaan antara mukmin dan munafik ini pada pokoknya sama dengan pembedaan yang dibuat sebelumnya, yaitu Islam sejati dan Islam lamisan (Islam semu).

Untuk menjernihkan penjelasannya tentang Islam sejati, Misbach mengemukakan beberapa butir kesesuaian antara ajaran AlQuran dan ajaran komunisme: “…Quran menyatakan bawha menjadi kewajiban setiap Muslim untuk mengakui hak umat manusia dan hal ini juga teradapat dalam prinsip-prinsip program komunis. Selanjutnya adalah perintah Allah bahwa kita harus menentang penindasan dan penghisapan. Ini juga merupakan salah satu tujuan komunisme. Jadi benarlah jika dikatakan bahwa prinsip barang siapa yang tidak bisa menerima prinsip-prinsip komunisme, dia bukanlah Muslim sejati.”

Sementara itu serangannya terhadap apa yang disebutnya sebagai Islam lamisan sebagai berikut: “..kita mengetahui bahwa Muhammadiyah itu suatu perkumpulan kapitalis dan sangat dalam di bawa pengaruh kapital. Ia tidak peduli dengan politik. Suatu perkumpulan yang tidak bersikap menentanng kapitalisme, dengan sendirinya didukung oleh kapital. Tampaknya sekarang ini menjadi mode bagi setiap orang untuk menyebut diriya Muslim, meskipun mereka tidak memenuhi kewajiban yang diperintahkan oleh Islam. Di mana-mana orang bahakan bisa menemukan Hotel Islam, Toko Islam dan lain-lain. Dengan cara itu orang menyalahgunakan nama Islam, semata-mata supaya bisa memperkaya diri mereka sendiri.”

Misbach sungguh-sungguh merupakan seorang tokoh gabungan antara komunisme dan Islam. Dia melihat Islam dan komunisme sebagai dua hal yang bersesuaian. Namun, hanyalah Islam dalam semangat revolusioner baginya seorang menjadi Muslim sejati karena menentang kapitalisme. Islam adalah suatu agama yang harus membuat bangsa Indonesia sadar terhadap keadaannya yang menyedihkan, dan itulah Islam sejati. Bagi Misbach, ini berarti bahwa Islam yang tidak berpandangan demikian adalah Islam palsu. Pandangan Misbach itu tetnu saja merupakan penghinaan serius kepada Muhammadiyah yang mengambil jalur reformis untuk meningkatkan apa yang mereka nyatakan sebagai kesejahteraan kaum Muslim juga. Akan tetapi, sumber konflik itu tidak terletak dalam strategi perjuangan mereka, melainkan lebih pada soal hak mendefinisikan dan mempertahankan rasa keberagamaan itu sendiri.

Penentangan Muhammadiyah terhadap dalil-dalil Muslim komunis memperlihatkan usahanya dalam merumuskan dan membela rasa keberagamaan mereka. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa Muhammadiyah selalu berada dalam posisi defensif. Obsesi mereka untuk memurnikan Islam dari nilai-nilai lokal dan tradisional, dalam konteks modernisasikan umat Muslim dipandang sebagai sebuah ancaman oleh kaum Muslim yang wawasan budayanya kuat bertumpu pada tradisi lokal. Dengan perspektif ini, tentu tidak ada maksud menaruh konflik tersebut dalam wacana perselisihan kultural antara abangan dan santri, seperti yang dianjurkan dalam pendekatan budaya politik. Justru essay ini bermaksud memperhatikan pada bagaimana praktik-praktik ini menemukan artikulasinya.

Kamis, 08 September 2011

Gagasan Gus Dur tentang Rekonsiliasi Nasional dan Pejabarannya (Budiawan,Mematahkan Pewarisan Ingatan, 2004, hal.46-57)

Sebelum dipilih sebagai Presiden Indonesia yang keempat pada Oktober 1999, Gus Dur telah dikenal sebagai sosok pemimpin Muslim terpandang dan moderat. Ia bukan hanya sebagai tokoh agama terkemuka dalam hal toleransi beragama, yang telah membuatnya diterima oleh berbagai kalangan non-Muslim, melainkan juga pembela gerakana demokratisasi dan hak asasi manusia. Setelah dengan terang-terangan menyatakan keprihatinannya terhadap berbagai konflik dan pelanggaran HAM di Indonesia dalam tahun-tahun terakhir era pemerintahan Soeharto, dia mengangkat isu rekonsiliasi nasional. Akan tetapi seruannya itu tidak mendapat tanggapan, dan ia sendiri juga tidak mengelaborasi pemikirannya lebih jauh. Gus Dur hanya menegaskan soal pentingnya membentuk sebuah forum nasional, di mana para tokoh politik terkemuka Indonesia akan saling merundingkan kepentingan dan agenda mereka satu sama lain. Kendati demikian, Gus Dur tidak berhenti. Setelah terpilih sebagai presiden, dia mengajukan kebijakan yang ditujukan untuk mewujudkan gagasan rekonsiliasi nasional. Apa alasan di balik insiatifnya yang berkenaan dengan ekstapol dan keluarga mereka itu?

Pertama, mengenai keputusannya memberi izin kepada para pengasingan politik Indonesia untuk pulang kembali dan mendapatkan kembali hak kemwarganegaraan apabila mereka sendiri menghendaki, karena Gus Dur mengharapkan terciptanya masyarakat sipil dalam suasana Indonesia yang baru. Satu cara untuk merealisasikan harapan semacam itu adalah dengan membangun wacana demokrasi dan pluralisme, di mana setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam mengembangkan dan menghidupi kemanusiaan mereka, tak peduli apa pun agama, etnis dan afiliasi politik mereka;

Kedua, mengenai keputusannya untuk membubarkan Bakorstanas dan menghentikan praktik-praktik penelitian khusus (litsus), karena dia menganggap Bakorstanas sebagai mata-mata alat politik yang malah memperumit birokrasi. Sebagai juru bicara presiden, Marsilam Simanjuntak, menyatakan bahwa tujuan dikeluarkannya kebijakan ini adalah untuk membangun sebuah asumsi yang lebih baik terhadap setiap orang.

Ketiga, Gus Dur secara pribadi menawarkan pernyataan permintaan maaf kepada para keluarga korban pembantaian massal 1965-1966 dan kepada mereka yang telah dipenjara tanpa proses peradilan. Ini merupakan pernyataan yang mengagetkan. Bagaimanapun Gus Dur sebenarnya tidak bermaksud membuat kejutan, sebagaimana dikatakannya bahwa dia juga pernah menyampaikan maaf semacam itu ketika menjabat sebagai ketua Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai tambahan dari permintaan maafnya terhadap para korban pembantaian massal 1965-1966 itu, Gus Dur menyetujui gagasan peninjauan ulang sejarah seputar “peristiwa 1965”. Dia mengatakan bahwa demi mewujudkan rekonsiliasi nasional, misteri kalem “peristiwa 1965” harus disingkap kembali.

Keempat, Gus Dur mempunyai beberapa alasan dengan usulannya untuk mencabut TAP MPRS No.25/1966, tentang pelarangan PKI dan ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme. Awalnya usulan itu dimaksudkan sebagai tanggapan terhadap isu yang tengah muncul soal pencabutan semua ketentuan hukum yang meminggirkan para eks-tapol dan keluarga mereka yang telah diwariskan oleh rezim Orde Baru. Isu pencabutan TAP MPRS tersebut muncul ke publik ketika seratus eks-tapol yang dipimpin Sri Bintang Pamungkas melakukan demostrasi di hadapan DPR pada 3 November 1999. Mereka mengajukan petisi kepada komisi HAM dalam tubuh lembaga legeslatif tersebut. Salah satu butir dari petisi yang mereka kemukakan menuntut pencabutan TAP MPRS itu dan instrumen hukum lainnya. Ketentuan-ketentuan hukum itu menurut Bintang, merupakan sebentuk diskriminasi sosial dan politik terhadap para eks-tapol dan keturunan mereka. Bintang menggambarkan dua contoh diskriminasi dalam kaitannya dengan hal itu: a) pencantuman label ET (eks-tapol) pada KTP para eks-tapol yang merupakan sebentuk tindakan stigmatisasi secara politik, dan b) pelarangan keturunan, keluarga dan orang-orang terdekat dari para eks-tapol untuk menjadi pegawai negeri atau meniti karier dalam bidang militer atau kepolisian.

Gus Dur menjawab petisi tersebut pada akhir Januari 2000. Dia mengumumkan bahwa demi rekonsiliasi nasional, dia menerima dan sangat menyetujui gagasan pencabutan TAP MPRS No.26/1966. Gus Dur menegaskan bahwa PKI telah dihukum selama bertahun-tahun. Dia mengajukan pertanyaan retoris, “Apakah kita masih harus menghukum mereka?” Pertanyaan Gus Dur menumbulkan protes dari publik, terutama dari organisasi-organisasi Islam. Meskipun timbul protes seperti itu, Gus Dur terus menggulirkan gagasan tersebut. Dia menyatakan dan menyerukan gagasannya itu dalam beberapa kesempatan. Sebagai contoh, ketika Gus Dur berada di Universitas Islam Malang, Jawa Timur, dia mengulangi bahwa TAP MPRS tersebut seharusnya dicabut.

Gus Dur menegaskan bahwa telah banyak orang yang non-komunis turut terbunuh dan terpenjara tanpa proses pengadilan dengan ketentuan tersebut. Dia mengatakan bahwa kalaupun seorang adalah komunis, juga tidak boleh diperlakukan sebagai orang yang tanpa hak-hak sipil. Jadi, demikian ia menegaskan gagasan pencabutan TAP MPRS itu terikat dengan isu HAM.

Tanpa mempedulikan protes yang muncul, Gus Dur kembali melontarkan secara terus menerus gagasan tersebut. Bahkan sebelum melakukan shalat Jumat di Jakarta, Gus Dur mengatakan TAP MPRS itu dibuat oleh seseorang yang tengah berendam dalam nafsu kekuasaan dan takut dituduh sebagai salah satu seorang anggota PKI itu sendiri (tidak jelas apakah Gus Dur hendak mengatakan bahwa “seseorang” yang dimaksudkannya itu telah berteriak seperti maling teriak maling untuk menyelamatkan diri) Untuk meyakinkan khalayak bahwa dia benar-benar ingin menegakkan prinsip HAM, Gus Dur mengaitkannya dengan sepenggal kisah hidupnya sendiri. Dia lahir di dalam sebuah keluarga Non-PKI. Akan tetapi, dia menyaksikan sebuah hubungan pribadi yang sangat erat antara ayahnya, Wahid Hasyim dan seorang tokoh terkemuka komunis, Tan Malaka, yang acap mengunjungi orangtuanya serta diterima dengan sangat terbuka. “Bagaimana mungkin seorang kyiai dan seorang komunis saling berpelukan?” Demikian Gus Dur bertanya untuk memberi penegasan, bahwa berpayung di bawah pandangan ideologi dan ideologi yang berbeda, atau bahkan saling berseberangan, bukan merupakan sebuah aral tak terseberangi bagi terjalinnya persahabatan pribadi yang erat.

Gus Dur mengatakan bahwa orang jarang sekali berniat untuk memahami hukum dan pandangan politik seseorang atau orang lain. Dia menegaskan bahwa menghukum anggota PKI, bahkan seorang yang benar-benar terlibat dalam Peristiwa 1965, tidak berarti anak-anaknya juga harus dihukum oleh masyarakat. Gus Dur mengatakan bahwa anak-anak tersebut barangkali bahkan tidak mengerti sama sekali soal politik atau pandangan politik orangtua mereka. Oleh karena itu, TAP MPRS tersebut harus segera dicabut.

Untuk menekankan niat kuatnya atas usul pencabutan TAP MPRS tersebut, Gus Dur menggunakan argumen keagamaan: “Melanggar hak hukum seseorang karena dia telah menyerang kita tidak mencerminkan pandangan hidup seorang Muslim yang baik. Seorang Muslim yang baik harus mengatakan apa yang salah adalah salah, dan apa yang benar adalah benar, terlepas kita menyukainya atau tidak. Gus Dur menyadari bahwa sejumlah kyiai telah menetang dan mengkritiknya. Namun, dia tetap berpegang teguh pada gagasan tersebut. Gus Dur tidak merasa bermusuhan dengan yang menentang dan mengkritiknya itu. Gus Dur tiada lelahnya melontarkan gagasan itu pada berbagai kesempatan. Pada suatu kesempatan, dalam pertemuan dengan masyarakat Kedungombo, sebagai misal, dia menyatakan TAP MPRS tersebut bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945, alasannya: Konstitusi kita tidak melarang ideologi apapun. Bahkan, kalaupun sebuah ideologi dinyatakan sebagai ideologi terlarang, ideologi tersebut dibiarkan tetap hidup dalam benak para pemeluknya. Jadi, sia-sialah melarang ideologi apapun. Tambahan pula, bahkan kalaupun PKI telah berkali-kali mencoba menghancurkan negara dan bangsa, toch mereka selalu gagal. Mereka gagal total. Jadi, kita tidak perlu panik dalam menghadapi komunisme.

Menanggapi gelombang demonstrasi menentang usulannya untuk mencabut TAP MPRS tersebut, Gus Dur berjanji untuk mengklarifikasinya pada 20 Mei 2000 dan setelah tanggal itu dia akan berhenti mengkampanyekan gagasan itu. Namun, kembali lagi dia tetap merasa perlu mengatakan, proses perumusan TAP MPRS tersebut sangatlah sewenang-wenang. TAP tersebut tidak bisa membedakan antara hak hukum dan hak politik warga negara. Hak hukum seseorang tidak dapat dienyahkan begitu saja, bahkan sekalipun secara politik dia bersalah. Di samping itu, TAP tersebut mengaburkan perbedaan antara partai dan ideologi. Kita bisa saja mencabut sebuah partai, tetapi kita tidak bisa melarang sebuah ideologi.

Protes-protes tersebut kemudian mereda karena adanya janji yang disampaikan. Pada 20 Mei 2000, dalam siaran yang ditayangkan oleh TVRI, Gus Dur pertama-tama mengulangi alasannya. Kemudian dia menambahkan beberapa poin baru berkenaan dengan status hukum TAP MRPS tersebut dan tugasnya sebagai presiden. Meskipun status hukum sebuah TAP MPR lebih tinggi daripada sebuah Undang-Undang, kita tidak dapat memandangnya sebagai sesuatu yang keramat. Produk hukum seperti TAP MPR tidak terlalu relevan sepanjang masa. Sebagai contoh, TAP MPR yang berkaitan dengan jabatan seumur hidup presiden. TAP MPR yang berkenaan dengan pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila (P4). TAP MPR tentang integrasi Timor Timur semuanya telah diganti dan disesuaikan dengan situasi baru. Sesuatu yang kita butuhkan pada satu masa, mungkin saja tidak dibutuhkan pada waktu lain. Berkaitan tugasnya dengan presiden, Gus Dur menegaskan bahwa menjadi kewajibannya untuk menegakkan prinsip-prinsip HAM, sebagaimana yang dinyatakan secara tegas dalam Konstitusi UUD 1945. Dengan demikian, mengajukan gagasan mencabut TAP MPRS No.25/1966, yang menurutnya bertentangan dengan HAM, justu sangat sesuai dengan amanat konstitusi. Gus Dur menambahkan, di samping itu, dia juga hanya mengajukan kepada MPR, dan MPR yang berhak untuk mempertimbangkannya, apakah menerima atau menolak. Jika MPR menolak, maka itu adalah tanggungjawab MPR itu sendiri dan bukan lagi menjadi tanggungjawab Gus Dur. Setelah klarifikasi itu, Gus Dur akan berhenti berbicara gagasan itu. Setelah memberikan klarifikasi, Gus Dur benar-benar berhenti berbicara tentang isu itu. Pada 29 Mei, komite ad hoc Badan Pekerja MPR menolak usulan pencabutan TAP MPRS tersebut. Argumen utama mereka adalah bahwa TAP MRPS itu harus dipertahankan karena justru melindungi HAM. Argumen ini secara implisit mempersalahkan PKI sebagai pelanggar HAM par excellence, dan jika TAP MPRS itu dicabut, PKI kemungkinan besar akan hidup kembali serta mengulangi dosa-dosa lamanya. Ini menggambarkan suara dominan dari publik dalam gelombang demonstrasi menentang gagasan pencabutan TAP MPRS itu.