Senin, 14 Juni 2010

Teori Sosial Klasik





keterangan gambar :

Gambar 1 : Max Weber
Gambar 2 : Emile Durkheim
Gambar 3 : Karl Marx

Karl Marx


Untuk membahas Karl Marx, saya rasa cukup penting untuk mengetahui sekilas mengenai latar belakangnya. Karl Marx lahir di Trier, Prussia, pada tanggal 5 Mei 1818. Ayahnya adalah seorang pengacara yang kerap memberikan nuansa kelas dalam keluarga. Latar belakang kedua orangtuanya adalah keluarga Rabi yang taat, namun karena alasan politis beralih ke Lutheran. Banyak kalangan yang mengatakan, untuk mengerti pemikiran Marx harus terlebih dahulu memahami filsuf Jerman G.W.F. Hegel, terutama gagasan tentang filsafat dialektis. Dalam model dialektis sebenarnya ada lima unsur yang ditekankan, yaitu fakta-nilai; hubungan timbal balik; masa lalu,masa sekarang,masa depan; tidak ada yang tidak dapat dielakan; dan aktor-struktur. Mengenai nilai sosial, dia tidak dapat dipisahkan dari fakta sosial. Oleh sebab itu, dalam keterkaitan antara fakta-fakta dan nilai-nilai, fenomena sosial sarat dengan value laden. Pada hal kedua dalam analisis dialektis, hubungan timbal balik dipahami sebagai suatu faktor yang berpengaruh / turut mempengaruhi faktor yang lain.
Hal ketiga mengenai masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Maksudnya adalah manusia merupakan seseorang yang menciptakan sejarah, yang mempengaruhi kehidupan mereka di saat ini dalam menentukan keadaan mereka di masa depan. Hal keempat, mengenai tidak ada yang tidak dapat dielakan, maksudnya adalah fenomena sosial selalu menghasilkan aksi dan reaksi, oleh karena itu partispasi harus nyata di dalamnya. Hal ini dicontohkan Marx dengan keikutsertaan masyarakat dalam perjuangan kelas lebih baik dan menghasilkan sesuatu daripada menunggu hasil dengan pasif. Mengenai aktor dan struktur, sebenarnya Marx mengelaborasi pendekatan dialektisnya dari masa lalu, masa sekarang dan masa depan ke dalam skala yang besar dalam level analisnya.
Saya merasa perlu mencantumkan metode dialektika yang dikembangkan Marx karena nantinya dalam analisa terhadap kelas-kelas sosial, Marx beranjak dari pendekatan metode ini. Dari hasil pengamatan Marx, struktur-struktur masyarakat kapitalis telah menciptakan alienasi (keterasingan). Dijelaskannya lebih lanjut, bahwa masyarakat tidak lagi bekerja sebagai sebuah ekspresi dari tujuan, karena masyarakat bekerja berdasarkan tujuan kapitalis yang memberi upah. Alienasi juga tidak dirasakan dalam hubungan masyarakat dengan sistem kapitalis, malahan alienasi terjadi dalam sistem hubungan masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena terjadi persaingan yang menyebabkan kesenjangan dalam masyarakat.
Pada masa Marx berada, Eropa tengah mengalami peningkatan industrialisme yang pesat. Analisisnya terhadap alienasi merupakan respons terhadap perubahan ekonomis, sosial, dan politis yang terlihat di sekitarnya. Ini merupakan dampak dari struktur sosial yang diciptakan masyarakat kapitalisme. Menurut Marx, kapitalisme adalah sistem ekonomi dimana sejumlah besar pekerja yang hanya memiliki sedikit hak milik, memproduksi komoditas-komoditas demi keuntungan sejumlah kecil para kapitalis. Paling penting lagi, bagi Marx, kapitalisme adalah sistem kekuasaan. Jadi orang kapitalis merupakan orang yang memiliki alat produksi dan mereka yang memberi upah kepada proletariat. Proletariat atau proletar sendiri adalah para pekerja yang menjual kerja mereka dan mereka yang tidak memiliki alat produksi. Para proletar ini dieksploitasi untuk tujuan produksi, tidak jarang terjadi pemaksaan, dimana menurut Marx hal ini merupakan suatu kekerasan. Para pekerja menjadi buruh-buruh bebas yang membuat kontrak dengan pihak kapitalis. Mereka ini harus menaati peraturan, karena kalau tidak akan digantikan dengan pekerja bebas lainnya (istilah Marx : tentara cadangan).
Karl Marx mengemukakan poin penting lainnya tentang kapital, bahwa kapitalisme selalu didorong oleh kompetisi yang tiada henti. Tendensi konstan kapitalis adalah untuk memaksa ongkos kembali (setidaknya balik modal). Dalam hal inilah Marx melihat terciptanya konflik antar kelas, dimana baginya sebuah kelas benar-benar eksis hanya ketika mereka menyadari sedang berkonflik dengan kelas-kelas lain. Kelas bagi Marx diidentifikasikan sebagai potensi konflik, yang terbagi menjadi dua bagian yaitu borjuis dan proletar (bandingkan pada bagian proletariat). Dalam mengelaborasi teorinya Marx melihat materialisme sebagai hal yang penting dalam relasi produksi dengan wilayah-wilayah kekuatan materialisme produksi.


Emile Durkheim

Emile Durkheim lahir di Epinal, 15 April 1958, Perancis. Walaupun terlahir dari keluarga rabi, tetapi Durkheim memutuskan untuk memilih dunia akademika yang jauh dari nuansa kerabian. Dalam kajian teori sosiologi klasik, Durkheim berusaha melepaskan sosiologi dari dunia filsafat. Alasannya adalah penjelasan filsafat mengenai empirisme dan apriorisme, tidak berlaku karena secara alamiah, manusia yang baru saja lahir dari dunia sama sekali tidak terikat dengan kategori tersebut. Durkheim berpendapat bahwa pengetahuan manusia bukanlah hasil pengalamannya sendiri dan bukan pula karena kategori yang telah dimiliki sejak lahir yang dapat dipakai untuk memilah-milah pengalaman. Sebenarnya kategori-kategori tersebut adalah ciptaan masyarakat, yang merupakan representatif kolektif.
Untuk memisahkan sosiologi dari filsafat dan memberi kejelasan, secara singkat Durkheim menjelaskan mengenai fakta sosial. Fakta sosial terdiri dari struktur sosial, norma budaya dan nilai yang berada di luar dan memaksa para aktor. Lebih jelas diterangkannya, fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri sendiri sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa juga dikatakan fakta sosial adalah cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat dan pda saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi individual. Dari penjelasan ini, sebenarnya Durkheim ingin mengatakan bahwa ada dua definisi untuk fakta sosial yaitu, pertama fakta sosial merupakan pengalaman sebagai sebuah paksaan eksternal dan bukannya dorongan internal; kedua, fakta sosial umum meliputi seluruh masyarakat dan tidak terikat pada individu partikular apapun.
Durkheim membedakan dua ranah fakta sosial, yaitu materil dan non materil. Yang termasuk fakta sosial materil seperti gaya arsitektur, bentuk teknologi, hukum dan perundang-undangan; sedangkan fakta sosial non materil adalah kekuatan moral. Dalam penjabarannya, fakta non materil meliputi moralitas, kesadaran kolektif, representatif kolektif maupun arus sosial. Hal penting yang harus dicatat dari Durkheim adalah mengenai solidaritas mekanis dan organis. Perubahan dalam pembagian kerja memiliki implikasi yang sangat besar bagi struktur masyarakat. Masyarakat yang ditandai dengan solidaritas mekanis menajadi satu dan padu karena seluruh orangnya adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat seperti ini terjadi karena mereka terlibat dalam aktivitas dan tanggungjawab yang sama. Sebaliknya, masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organis bertahan bersama justru dengan perbedaan yang ada di dalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tanggungjawab berbeda-beda.

Durkheim berpendapat bahwa masyarakat dengan solidaritas mekanis dibentuk oleh hukum represif. Sebaliknya bagi masyarakat solidaritas organis dibentuk oleh hukum restitutif. Bergeser mengenai bukunya The Elementary Forms of Religious Life, Durkheim membedakan teori mengenai agama ke dalam sakral dan profan. Yang sakral tercipta melalu ritual-ritual yang mengubah masyarakat menjadi simbol-simbol religius yang mengikat individu dan suatu kelompok, dan segala sesuatu di luar itu disebutnya dengan istilah profan. Di sini memang terlihat tidak ada kaitan antara masyarakat dengan agama, tetapi di sinilah letak kecerdasan Durkheim, dimana dia melihat suatu keterkaitan di dalam semangat kolektif.


Max Weber

Max Weber lahir di Erfurt, 21 April 1864, Jerman. Ayahnya merupakan seorang birokrat dengan posisi politik yang relatif penting. Sedangkan ibunya merupakan seorang Calvinis yang taat dan tidak mau terlibat dengan kepentingan kehidupan di dunia. Konsep Weber dalam mendekati realitas masyarakat adalah Verstehen atau pemahaman. Yang menjadi kunci dalam konsep Verstehen ini adalah apakah konsep ini dapat diterapkan secara pas pada kondisi subjektif aktor individual atau pada aspek subjektif unit analisis skala besar. Dampaknya adalah adanya berbagai penafsiran mengenai Verstehen oleh berbagai kalangan. Hal ini sebenarnya mengindikasikan bahwa kita harus mengidentifikasi pemahaman tindakan dan mengenali konteks yang melingkupinya.
Aspek lain dari metodologi Weber adalah kausalitas, dalam pengertian kemungkinan suatu peristiwa diikuti atau disertai oleh peristiwa lainnya. Weber cukup jelas ketika membicarakan isu keragaman kausalitas dalam studinya tentang hubungan antara Protestanisme dengan semangat Kapitalisme. Yang perlu diingat dalam pemikiran Weber tentang kausalitas adalah keyakinan dia bahwa karena kita dapat memiliki pemahaman khusus tentang kehidupan sosial (verstehen), pengetahuan kausal atas ilmu-ilmu sosial berbeda dengan pengetahuan kausal tentang ilmu-ilmu alam.
Sumbangan berharga Weber terhadap teori klasik adalah mengenai tipe-tipe ideal, dimana merupakan perangkat heuristik yang berguna dan membantu dalam melakukan penelitian empiris dan dalam memahami aspek tertentu dari dunia sosial (bisa dalam pengertian tolak ukur ataupun standar pembanding). Dalam perkembangannya, Max Weber sampai pada pemahaman mengenai tindakan sosial. Teori tindakan sosial ini difokuskan lebih kepada individu dan bukan pada kolektivitas. Tindakan dalam orientasi perilaku yang dapat dipahami secara subjektif hanya hadir sebagai perilaku seorang atau beberapa orang individu.
Weber mengakui bahwa untuk beberapa tujuan kita mungkin harus memperlakukan kolektivitas sebagai individu; namun untuk menafsirkan tindakan subjektif dalam karya sosiologi, kolektivitas ini harus diperlakukan semata-mata sebagai resultan dan mode organisasi dari tindakan individu tertentu, karena semua itu dapat diperlakukan sebagai “agen” dalam tindakan yang dipahami secara subjektif. Dalam pembahasannya mengenai kelas, Weber memulainya dari kelas, dimana Weber berpegang pada konsep orientasi tindakannya dengan menyatakan bahwa kelas bukanlah komunitas; kelas adalah sekelompok orang yang situasi bersama mereka dapat menjadi (kadang-kadang seringkali) basis tindakan kelompok.
Weber bukanlah seorang politisi radikal, meskipun hampir sama kritisnya dengan Karl Marx, ia tetap tidak mendukung revolusi. Weber ingin mengubah masyarakat secara gradual, bukan menghancurkan. Mengenai alternatif lain dalam perubahan masyarakat, menurut Weber tidak ada lagi selain birokrasi atau dilentanisme (pengetahuan yang dangkal tentang suatu bidang administrasi). Yang paling penting dalam sejarah pemikiran Weber adalah kaitan antara agama dan kelahiran kapitalisme. Karya Weber mengenai agama dan kapitalisme mencakup sejarah lintas budaya, yang dapat diringkaskan sebagai berikut :
1. Kekuatan ekonomi mempengaruhi agama Protestan;
2. Kekuatan ekonomi mempengaruhi agama selain Protestan, seperti Hinduisme, Konfusianisme dan Taotisme;
3. Gagasan-gagasan agama mempengaruhi pikiran dan tindakan individu, khususnya pikiran dan tindakan ekonomi;
4. Sistem gagasan agama meninggalkan pengaruh yang tidak sedikit di seluruh dunia;
5. Sistem gagasan agama (khususnya Protestan) melahirkan akibat yang unik di Barat dalam membantu merasionalkan sektor ekonomi dan hampir setiap institusi lain;
Menurut pandangan Weber, semangat kapitalisme tidak dapat didefinisikan begitu saja berdasarkan kerakusan ekonomi, dalam banyak hal justru sebaliknya. Kapitalisme merupakan sistem etika dan etos yang memang menjadi salah satu pendorong terjadinya kesuksesan ekonomi. Semangat kapitalisme juga dapat dipandang sebagai sistem normatif yang berisi sejumlah ide yang saling terkait.

Selasa, 08 Juni 2010

Modal Sosial dan Masyarakat Sipil (suatu tinjauan sosiologi)

PENDAHULUAN
Sumber bacaan / referensi yang digunakan Penulis untuk menjabarkan Modal Sosial adalah dengan menggunakan buku “Kapital Sosial” karangan Robert Lawang. Alasannya tidak lain karena Penulis melihat apa yang disampaikan di dalam buku tersebut, mengenai Modal Sosial sudah cukup memenuhi bahan yang dibutuhkan oleh Penulis. Sedangkan untuk Masyarakat Sipil, Penulis mengacu pada sumber bacaan dari buku “Transnasionalisasi Masyarakat Sipil” karangan dari Andi Widjajanto dkk. Untuk melengkapi refrensi dari Modal Sosial dan Masyarakat Sipil, Penulis juga mengacu beberapa sumber dari internet. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk lebih memperkaya isi dari makalah ini.
PEMBAHASAN
Seperti yang telah disampaikan pada bagian Pendahuluan, di bagian Pembahasan, sistematika penulisan yang digunakan Penulis dimulai dengan penjabaran dari Modal Sosial dan Masyarakat Sipil. Selanjutnya Penulis akan mencoba melihat, mencari serta menguraikan keterhubungan di antara dua hal tersebut dalam tataran konseptual.
Modal Sosial
Modal Sosial berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yakni Social Capital. Ada juga beberapa ahli sosial dan ekonomi menerjemahkan Social Capital sebagai Kapital Sosial. Salah satu contohnya adalah Robert Lawang. Menurut Robert Lawang, alasan untuk menerjemahkan Social Capital ke Kapital Sosial dibanding Modal Sosial adalah karena istilah modal (modalisme) tidak identik dengan kapitalisme. Beliau menerima dapat menerima istilah Modal Sosial hanya jika dengan alasan yang masuk akal. Masuk akal dalam artian bahwa capital memang menunjuk pada modal dan mengindikasikan termasuk di dalam human capital.
Dalam diskusi dalam wacana Teori Sosial dan Pembangunan, sebenarnya tidak ada permasalahan yang begitu berarti dengan terjemahan Modal Sosial maupun Kapital Sosial. Semuanya menunjuk pada arah dan hal yang sama, tinggal tergantung siapa yang memilih untuk menggunakan istilah tersebut. Dari hasil diskusi tersebut, Penulis dalam makalah ini (tanpa mengurangi rasa hormat terhadap Robert Lawang) akan menyamakan persepsi antara Kapital Sosial dengan Modal Sosial. Alasannya, karena baik istilah Kapital Sosial maupun Modal Sosial merupakan sama-sama terjemahan dari istilah asing, yakni Social Capital. Untuk itu menurut hemat Penulis, tidak ada salahnya menyamakan pemahaman mengenai Kapital Sosial dan Modal Sosial, sejauh masih mengarah pada hakikat Social Capital.
Berikut ini, Penulis akan memaparkan beberapa pemahaman tokoh mengenai Modal Sosial (Capital Social) di dalam definisi :
- James Coleman (1998) : berdasarkan fungsinya, modal sosial bukanlah merupakan entitas tunggal, melainkan terdiri dari sejumlah entitas dengan dua elemen yang sama, yaitu : aspek struktur sosial dan tindakan-tindakan yang difasilitasi.
- Robert Putnam (1993) : Modal sosial lebih menunjuk kepada bagian-bagian dari organisasi sosial, seperti : kepercayaaan, norma dan jaringan, yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan tindakan-tindakan yang difasilitasi dan terkoordinasi.
- Francis Fukuyama (1995) : Modal sosial dapat didefinisikan ke dalam dua bentuk berdasarkan dari dua sumber, yaitu :
a. Modal Sosial menunjuk kepada kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian tertentu darinya (Trust, 1993)
b. Modal Sosial merupakan serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjadinya kerjasama di antara mereka. (The Great, 1995)
- Bank Dunia : rumusan dari Bank Dunia ini merupakan hasil dari para ahli yang tergabung di dalam Advisory Council to The Vice Presidency for Environmentally Sustainable Development. Ada dua definisi mengenai Modal Sosial, yaitu :
a. Modal Sosial menunjuk pada norma, institusi dan hubungan sosial yang membentuk kualitas interaksi sosial dalam masyarakat;
b. Modal Sosial menunjuk pada norma, institusi dan hubungan sosial yang memungkinkan orang dapat bekerjasama.
- Jonathan H. Turner (2005) : Modal Sosial menunjuk pada kekuatan-kekuatan yang meningkatkan potensi untuk perkembangan ekonomi dalam masyarakat untuk menciptakan dan mempertahankan hubungan sosial dan pola organisasi sosial.
- Portes (1998) : Modal Sosial merupakan suatu konsep dengan berbagai definisi yang saling terkait yang didasarkan pada nilai jaringan sosial.


Dari serangkaian definisi di atas, terlihat dengan jelas bahwa Modal Sosial memiliki penekanan dalam beberapa hal, yaitu Jaringan, Kepercayaan, Norma dan Tindakan Sosial. Untuk lebih memantapkan pemahaman mengenai Modal Sosial, ada baiknya empat elemen penting dalam Modal Sosial tersebut digali lebih jauh lagi.
a. Jaringan
Robert Lawang membagi pemahaman jaringan terkait Social Capital ke dalam tiga bentuk, yaitu :
- Jaringan Antar Personal : berupa jaringan duaan, jaringan duaan ganda, jaringan duaan ganda berlapis dan jaringan tigaan atau empatan atau limaan.
- Jaringan Antara Individu dan Institusi : dalam hal ini pertanyaan besarnya adalah apakah yang dilakukan institusi untuk individu dan sebaliknya, apa yang dilakukan individu untuk institusi?
- Jaringan Antar Institusi : Masalah yang kerap muncul dalam hubungan jaringan antar institusi adalah pertentangan antara kepentingan kelompok dalam dan kelompok luar.
Dari tiga pembagian jaringan itu, dapat dilihat sifat dan fungsi dari jaringan. Sifat dari jaringan menurut Robert Lawang, jangan hanya terbatas pada negatif atau positif maupun terbuka ataupun tertutup. Akan tetapi yang harus dilihat berdasarkan fungsi dari jaringan, yaitu secara ekonomi dan kesejahteraan sosial.
b. Kepercayaan
Secara ringkas akan Penulis merangkum pemikiran Lawang mengenai kepercayaan. Kepercayaan merupakan terjemahan dari istilah asing juga, yaitu trust. Kepercayaan pada dasarnya terkait dengan hubungan, harapan dan tindakan / interaksi sosial. Mengapa harus ada kepercayaan? Beberapa kemungkinannya menurut Lawang adalah karena berbasis pada pengetahuan, mengetahui data pribadi, saling mengenal, saling memiliki kepentingan, setia akan kewajiban, meningkatkan percaya diri dan kebersamaan, serta untuk melakukan tugas bersama.
Sedangkan bagaimana cara mempercayai, menurut Lawang karena ada pengalaman, penghargaan, asimilasi dan akulturasi. Oleh karena itu, kepercayan bersifat altruistik, simbolik unilateral, partikular serta interpersonal.
c. Norma
Norma tidak dapat dipisahkan dari jaringan dan kepercayaan. Kalau ada struktur jaringan itu terbentuk karena pertukaran sosial yang terjadi antara dua orang. Menurut Fukuyama, Norma itu muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan. Artinya kalau dalam pertukaran itu keuntungan dinikmati oleh satu pihak saja, pertukaran sosial selanjutnya pasti tidak akan terjadi.
Norma juga bersifat resiprokal, artinya isi norma menyangkut hak dan kewajiban kedua belah pihak yang dapat menjamin keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan tertentu.
d. Tindakan Sosial
Biasanya seseorang akan mengambil tindakan sosial, yang merupakan hasil dari keputusan pribadinya untuk melakukan sesuatu. Menurut Weber, keputusan untuk bertindak itu biasanya diambil berdasarkan pertimbangan makna atau nilai yang ada pada seseorang. Dengan demikian, tindakan sosial dipandu oleh norma, nilai dan ide-ide dari kondisi situasional dan diarahkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Kalau ada orang yang tidak bertindak, maka dampak Modal Sosial terhadap pertumbuhan tidak akan terjadi.


Masyarakat Sipil
Seperti halnya Modal Sosial, Masyarakat Sipil juga merupakan terjemahan dari istilah asing, yaitu Civil Society. Penggunaan terjemahan Masyarakat Sipil juga tidak terlepas dari problematika kebahasaan, dimana beberapa ahli ada yang menggunakan istilah masyarakat madani. Dalam beberapa referensi bacaan mengenai masyarakat madani di internet, istilah tersebut dipopulerkan oleh Datuk Anwar Ibrahim (pernah menjabat sebagai wakil Perdana Menteri Malaysia selama pemerintahan Perdana Menteri Dr. Mahatir Mohammad).
Dasar historis dan ideologis menerjemahkan Civil Society ke dalam masyarakat madani adalah perjanjian yang dibuat oleh Muhammad, atas komunitas Yahudi dan Kristen yang ada di Madinah (nantinya menjadi kata madani) ketika mulai berkuasa. Dalam perjanjian ini orang-orang Yahudi dan Kristen dijamin haknya untuk melakukan ibadah agamanya. Dr Nurcholis Madjid mempopulerkan istilah ini di Indonesia. Hal ini sekilas mengenai istilah terjemahan masyarakat madani, akan tetapi dalam makalah ini nantinya Penulis akan konsisten menggunakan istilah Masyarakat Sipil. Alasan Penulis menggunakan istilah Masyarakat Sipil, bukanlah karena tema tugas yang diberikan Pengampu Mata Kuliah. Penulis menggunakan istilah Masyarakat Sipil, karena menurut hemat Penulis di dalam istilah tersebut ada suatu nilai yang umum dan tidak menunjuk kepada satu golongan.
Konsepsi masyarakat sipil telah mengalami evolusi yang panjang. Masyarakat Sipil merupakan sebuah ruang publik dimana penduduk dapat melakukan aktivitas politik dan sosial secara independen terhadap negara. Masyarakat Sipil sendiri terdiri dari beberapa organisasi yang cukup kuat untuk mengimbangi negara dan mencegahnya dominasi aktivitas masyarakat, tanpa menghalangi peran negara sebagai peace keeper dan arbtibrator di antara pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu.
Dilihat dari aspek sejarahnya, gagasan mengenai masyarakat sipil sebenarnya telah muncul pada abad 17, ketika pemikir seperti Thomas Hobbes dan John Locke merumuskan Masyarakat Sipil sebagai suatu abstraksi atas kondisi masyarakat yang dihadapkan dengan konsepsi negara alam. Maksudnya hal tersebut terjadi dalam suatu kondisi hipotesis, dimana kehidupan manusia tidak diatur dan manusia mengejar kepentingannya masing-masing. Dalam kondisi yang seperti itu, dikhawatirkan akan terjadi warre (war of all against all) yang akibatnya akan membahayakan hak-hak fundamental individu. Selanjutnya untuk mengatasi para individu tersebut, diserahkanlah kebebasan alamiah mereka dan sepakat untuk memasuki masyarakat yang terikat peraturan. Konsep Masyarakat Sipil yang dimaksud dengan Hobbes dan Locke cenderung mengarah kepada pengertian masyarakat yang beradab. Menurut Locke, Masyarakat Sipil merupakan bagian dari peradaban yang berada di luar kendali pemerintahan dan pasar, yang termarginalisasi oleh keduanya. Locke melihat pentingnya pergerakan sosial masyarakat yang mampu dilakukan oleh kelompok sipil untuk melindungi publik dari kepentingan komersial dan pemerintah.
Hegel mengatakan Civil Society merupakan bentuk antara dari keluarga kepada negara. Hegel dapat sampai menuju ke arah sana, dilatarbelakangi oleh pemahaman mengenai hidup konkrit dalam 3 tahapan substansi etis, yaitu keluarga, Civil Society dan negara. Menurut Hegel, keluarga menjadi tahap pertama dari substansi etis, karena keluarga merupakan kesatuan moralitas subyektif dan obyektif (moral ada ketika yang lain hadir untuk menggugat tanggung jawab saya). Hal ini jelas sangat berbeda dengan Kant yang berpendapat moral itu bersifat otonom, serta tidak dikaitkan dengan keberadaan orang lain. Dalam kaitannya dengan hal ini, bukan berarti keluarga sebagai transisi. Secara logis hal ini menunjuk bahwa keluarga mendahului masyarakat.
Karena keluarga merupakan universalitas yang pertama dan langsung, oleh karena itu keluaga juga merupakan totalitas perasaan. Sebagai dampaknya, di dalam keluarga terdapat tahap instituisonalitas yang rendah, karena diwarnai oleh hal-hal emosional. Hal ini akan hancur ketika anak menjadi dewasa. Oleh karena itu muncullah tahapan kedua, Civil Society, yaitu adanya pluralitas individu, dimana setiap individu mencari tujuan dan kebutuhannya sendiri-sendiri. Di dalam Masyarakat Sipil seperti itu, individu disatukan oleh bentuk organisasi. Dalam konsep Hegel, Masyarakat Sipil adalah organisasi ekonomi. Pengelompokkan ini melahirkan spesialisasi kerja dan pengembangan kelas-kelas ekonomi dan korporasi. Tujuannya tidak lain untuk menjaga kestabilan ekonomi, untuk itu dituntut adanya pelembagaan hukum dan sanksinya. Masyarakat Sipil mewujudkan salah satu aspek negara.
Jikalau keluarga merupakan universalitas yang tidak terpisahkan, maka Masyarakat Sipil merupakan partikularitas, karena terjadi perpecahan dan konstruksi, yang pemecahannya adalah negara. Di dalam Negara, sebagai tahapan ketiga, ada kesatuan yang universal dan yang partikular. Individu sadar bahwa dirinya merupakan bagian dari totalitas. Meskipun masuk dalam organisasi, si individu diangkat untuk mencapai kepenuhan. Hegel mau mengatakan bahwa negara tidak bersifat abstrak, karena negara ada di dalam dan melalui anggota-anggotanya. Negara merupakan kesatuan organis yang universal tetapi kongkrit. Negara juga substansi etis yang sadar diri dan merupakan ungkapan tertinggi dari roh objektif. Sebagai contoh, hukum-hukum diciptakan dan dijaga karena diciptakan oleh moralitas universal. Menurut Hegel, negara yang baik dan maju adalah yang menghormati kebebasan individu, tetapi negara juga harus mengatasi yang partikular agar tidak terjadi konflik kepentingan.
Sebagai kesimpulan dari sumbangan yang diberikan Hegel terhadap Masyarakat Sipil, dapat dirangkum bahwa Masyarakat Sipil sebagai substanis etis dan harus dimaknai sebagai lingkup hubungan ekonomi dengan aturan-aturan dari luar sesuai dengan prinsip negara liberal. Bagi Hegel, Masyarakat Sipil merupakan tahap sebelum masyarakat politik (pre-political society). Oleh karena itu, Masyarakat Sipil merupakan lingkup antara keluarga dengan negara, dan belum memasukan relasi dan institusi. Negara hanya berperan untuk mewadahi Masyarakat Sipil dan melindunginya.
Hal ini selanjutnya dikomparasikan oleh Marx, yang mempertentangkan antara Masyarakat Sipil dengan negara. Negara disubordinasikan oleh Masyarakat Sipil, karena sebagai hubungan ekonomi, Masyarakat Sipil menjadi unsur penentu. Dalam hal ini, menurut Marx, negara bukan realitas gagasan etika karena masyarakat tidak ditentukan oleh etika. Masyarakat secara historis ditentukan oleh bentuk lembaga-lembaga produksi. Tentu negara menjadi kelas dominan, bukannya ungkapan kebutuhan rasional dan universal menurut Hegel. Malahan menurut Marx, negara merupakan aparat kekerasan, kekerasan masyarakat yang terorganisir dan terkonsentrasi. Akibatnya, negara menjadi lebih lembaga transisi karena negara bergerak ke arah Masyarakat Sipil.
Hubungan Modal Sosial dan Masyarakat Sipil
Dari sekian jauh pembahasan mengenai Modal Sosial dan Masyarakat Sipil, tentu pertanyaannya sekarang adalah apakah ada keterkaitannya? Seandainya ditemukan keterkaitan di antara keduannya, maka pertanyaan selanjutnya adalah keterkaitan yang seperti apa yang terjadi? Inilah yang menjadi inti dari makalah, yaitu hubungan antara Modal Sosial dan Masyarakat Sipil.
Suaru individu tentulah tidak dapat hidup sendiri di dunia ini, oleh karena itu dia membutuhkan orang lain. Dalam proses hidup bersama dengan orang lain, tentunya ada sesuatu yang hendak dituju atau dicapai. Hal inilah yang diistilahkan dengan kepentingan, dimana kepentingan yang satu tidak harus sama dengan kepentingan yang lainnya. Untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan, jelas ada suatu nilai etis berupa norma yang mengatur setiap orang dalam mencapai kepentingannya. Berbagai ragam kepentingan itu, yang paling dominan dibutuhkan adalah kepentingan ekonomi. Untuk menjaga stabilitas ekonomi, tentu harus ada intervensi dari negara untuk memberikan norma-norma dalam mencegah terjadinya konflik.
Mereka yang berkepentingan dan berada di dalam norma yang dikeluarkan oleh negara, disebut dengan Masyarakat Sipil. Di dalam kepentingan yang beranekaragam tersebut, Masyarakat Sipil membagi diri mereka ke dalam suatu kelompok berdasarkan kepentingan mereka. Kelompok inilah yang mengakomodir masing-masing kepentingan mereka, yang disebut dengan organisasi. Hal ini persis seperti apa yang dikatakan oleh Hegel, bahwa Masyarakat Sipil yang terdiri dari individu disatukan di dalam organisasi (ekonomi). Jadi, organisasi merupakan suatu wadah untuk mereka (Masyarakat Sipil) yang memiliki tujuan yang sama dan hendak dicapai bersama.
Suatu organisasi Masyarakat Sipil tidak akan mencapai tujuan, jikalau setiap anggotanya tidak saling percaya. Walaupun di dalam organisasi itu kualitas SDM (sumber daya manusia) tinggi, serta kualitas kerja tinggi, akan tetapi tanpa faktor “X’ tidak akan tercapai tujuan yang diinginkan. Faktor “X” itu adalah trust atau kepercayaan. Oleh karena itu hal yang pertama sekali dilakukan dalam membangun organisasi tentunya ada rasa kepercayaan, karena dari kepercayaanlah jaringan bisa dibangun di antara para personal organisasi. Selain itu, kepercayaan juga dapat menanamkan norma yang baik dalam menentukan tindakan sosialnya. Hal-hal yang dibutuhkan oleh organisasi Masyarakat Sipil ini adalah Modal Sosial. Jadi, salah satu keterkaitan secara konseptual antara Masyarakat Sipil dan Modal Sosial adalah dalam rangka mencapai tujuan bersama dari kelompok / organisasi.
Hal selanjutnya yang dapat dilihat dari hubungan antara Modal Sosial dan Masyarakat Sipil adalah terkait dengan negara. Negara merupakan suatu institusi / lembaga dan tidak sama dengan organisasi. Jikalau organisasi merupakan kumpulan individu yang bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama, maka institusi atau lembaga adalah kumpulan peraturan untuk pemenuhan kebutuhan sosial. Dalam hal ini, negara sebagai lembaga hendak mencapai kebutuhan sosial dari masyarakat luas (gabungan dari berbagai kepentingan organisasi Masyarakat Sipil), contoh yang umum seperti lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan. Berbicara mengenai hubungan antara Masyarakat Sipil dengan negara, maka akan ada kaitannya dengan konsep yang disampaikan oleh John Locke, Hegel dan Karl Marx.
Konsep yang disampaikan John Locke mengenai pentingnya pergerakan sosial masyarakat yang mampu dilakukan oleh kelompok sipil untuk melindungi publik dari kepentingan komersial dan pemerintah, menurut hemat Penulis memang penting. Hanya saja, negara juga di satu sisi berkepentingan untuk mewujudkan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Marx yang mempertentangkan antara Masyarakat Sipil dengan negara, karena negara disubordinasikan oleh Masyarakat Sipil dalam hubungan ekonomi, kelihatannya ada benarnya juga. Dari dua konsep besar di atas, maka dibutuhkanlah Modal Sosial untuk menjawab bagaimana menjembatani antara negara dengan Masyarakat Sipil. Dalam hal ini Modal Sosial yang utama dibutuhkan adalah jaringan, yaitu bagaimana organisasi dari Masyarakat Sipil dalam aktivitasnya dapat mempengaruhi negara. Maksudnya, harus ada suatu pengaruh dari Masyarakat Sipil untuk melindungi publik di dalam negara, seperti yang disampaikan oleh Locke. Jelas organisasi Masyarakat Sipil membutuhkan legitimasi dari kegiatannya, yang secara notabene hal ini terkait dengan lembaga dalam negara. Oleh karena dibutuhkannya lembaga kenegaraan oleh Masyarakat Sipil, maka Modal Sosial berupa jaringan dan kepercayaan bermain. Dalam pelaksanaan nantinya, jelas Masyarakat Sipil juga membutuhkan Modal Sosial berupa norma dan tindakan sosial.
Terkait dengan apa yang dipertentangkan oleh Marx, menurut hemat Penulis hal itu akan terjawab dengan Modal Sosial. Jika ditilik lebih jauh sejarah mengenai Modal Sosial, maka akan ditemukan kedekatan dengan teori sosial dari Max Weber. Menurut Weber, masyarakat memerlukan institusi dalam melakukan perubahan. Dari institusi / lembaga hukum tersebut menghasilkan agen sosial di dalam masyarakat. Untuk itu, suatu komunitas masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan lembaga ataupun institusi, yang menjadi sumber dari aturan-aturan. Hal ini jelas sangat berbeda dengan Marx yang mengatakan bahwa lembaga / institusi yang memuat peraturan, dinilai hanya sebagai sumber kekerasan saja dan alat dari kapitalisme. Dari sekian jauh pemaparan hubungan antara negara dengan Masyarakat Sipil, maka dapat dilihat bahwa Modal Sosial memang diperlukan untuk menjembatani di antara keduanya. Hal ini juga termaktub di dalam pengertian Modal Sosial menurut World Bank, yang mengatakan bahwa Modal Sosial berkaitan dengan institusi / kelembagaan yang memungkinkan terciptanya kerjasama.

KEPUSTAKAAN
Buku :
Lawang, Robert. 2005. “Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologik : Suatu Pengantar”.
FISIP UI Press.
Widjajanto, Andi, Farah Monika dan Harini Dyah K. 2007. “ Transnasionalisasi Masyarakat
Sipil”. Yogyakarta : LKiS – FISIP UI Press.
Internet :
Wikipedia.com. dengan kata kunci “masyarakat sipil”. Diunduh pada tanggal 18 Mei 2010.

Senin, 07 Juni 2010

Apartheid (Catatan Teologi)



Gambar : Stephen Bantu Biko, seorang pejuang Apartheid yang tewas secara misterius di dalam tahanan politik yang tengah dijalaninya.


Akar permasalahan mengenai politik Apartheid yang terjadi di Afrika Selatan lebih karena substansi dari Apartheid itu menyangkut masalah ras dan kelas. Parahnya permasalahan politik Apartheid ini sampai pada masalah kemanusiaan, sehingga perlu perhatian seksama dari dunia internasional. Permasalahan yang terjadi dalam politik Apartheid adalah manusia yang berkulit hitam, berbeda dengan manusia yang berkulit putih. Manusia yang berkulit hitam bernilai rendah dibandingkan manusia yang berkulit putih yang dinilai tinggi. Dampak dari pembedaan ini, muncul kelas-kelas dalam masyarakat Afrika Selatan, yaitu manusia kulit berwarna putih adalah mereka yang berada di kelas satu. Masyarakat ataupun manusia yang berkulit hitam adalah mereka yang berada di kelas dua. Dari permasalahan kelas itulah terjadi sikap yang eksklusivisme dan diskriminatif. Seseorang yang berkulit hitam tidak mendapatkan hak pelayanan publik yang baik dibandingkan mereka yang berkulit putih. Parahnya lagi, mereka yang berkulit hitam dieksploitasi oleh mereka yang berkulit putih dalam memainkan roda produksi dan ekonomi.

Jika dikaitkan dengan tulisan John Cobb, hal ini persis terjadi dengan apa yang terjadi dengan masyarakat yang ada di Amerika. Selain permasalahan suku Indian yang asli penghuni Amerika yang ditindas, permasalahan warna kulit juga menjadi hal yang serius terjadi di negara adi daya ini. Sama seperti politik Apartheid di Afrika Selatan, permasalahan warna kulit di Amerika menganggap bahwa kulit putih lebih tinggi hak dan martabatnya dibandingkan mereka yang berkulit gelap. Dari hal itu muncul persitegangan antara mereka yang Amerika berkulit hitam dengan Amerika yang berkulit putih. Pertanyaan yang dapat ditanyakan bagi mereka yang berkulit hitam adalah Apa yang dimaksudkan dengan masyarakat Amerika; sedangkan bagi mereka yang berkulit putih adalah bagaimana ide tentang ras terbentuk dalam sejarah Amerika?
Menurut Cobb, perkembangan kolonialisme serta imperialisme bangasa Eropa, berdampak pada perbedaan secara fisik atau warna kulit. Selain terkait dengan masalah rasis, masalah yang terjadi di Amerika juga berhubungan dengan masalah kelas. Eksploitasi dalam bidang tenaga kerja terjadi, sehingga yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. John Cobb melihat bahwa pekerja yang dibayar setengah waktu dibayar di bawah upah minimum. Akibatnya mereka ingin dibayar penuh, agar kebutuhan hidup mereka dapat disesuaikan dengan upah minimum yang mereka peroleh. Ini berarti, terjadi konstruksi sosial dalam masyarakat. Namun demikian, ini tidak murni berasal dari konstruksi sosial. Sebagian berasal dari konstruksi ekonomi, yang didasarkan dari ketidakpastian nyata dari kehidupan ekonomi dan politik dalam kehidupan bermasyarakat.

Ada dua kebijakan umum dari pemerintah yang mengakibatkan munculnya kelas bawah, yaitu: pertama, perang terhadap obat terlarang yang sering berputar di sekitar mereka yang kurang mampu; serta kedua, memelihara pengangguran. Hal ini menyebabkan mereka yang tidak memiliki pekerjaan menjadi buruh. Hal ini disadari pemerintah, jadi usaha yang dilakukan pemerintah yaitu memberikan dukungan kepada mereka yang tidak bisa mendapat pekerjaan. Selain itu Federal Reserved Board juga menjaga inflasi dengan cara menaikkan tingkat suku bunga dalam situasi yang dibutuhkan, karena jika tingkat pengangguran turun berpotensi terjadi inflasi.

Mungkin sedikit agak rancu, mengapa ketika Penulis mengangkat permasalahan mengenai politik Apartheid, yang dibahas dalam permasalahan lebih banyak kasus yang terjadi di Amerika? Penulis sebenarnya ingin menunjukkan bahwa, apa yang ditulis oleh John Cobb mengenai permasalahan di Amerika, identik dengan permasalahan Apartheid yang diangkat Penulis yang juga terjadi di Afrika Selatan. Keidentikan tersebut bisa dilihat dalam hal rasisme, serta pembagian kelas yang terjadi dalam masyarakat. Pembagian kelas di Afrika Selatan akibat politik Apartheid, mungkin bisa disejajarkan dengan pembagian kelas menurut Marxis yang dipaparkan Cobb dalam bukunya. Hal ini yang perlu digali dan dianalisa lebih mendalam lagi, untuk melihat apakah pembagian kelas dari Marx dapat digunakan dalam pembagian kelas karena politik Apartheid. Seseorang yang berkulit hitam di Afrika Selatan diidentikan sebagai kaum yang tereksploitasi oleh kaum kulit putih, sehingga perbudakan di Afrika Selatan semakin susah untuk dihilangkan. Hal ini terjadi dalam banyak hal, seperti ekonomi, sosial dan politik. Bahkan lebih ekstrim lagi, Marx mensinyalir bahwa agama juga berperan dalam keterasingan manusia akibat eksploitasi.

Beberapa pendekatan yang perlu kita perhatikan untuk memahami permasalahan politik Apartheid itu dapat kita lihat hal-hal berikut:

- Karl Marx :
Marx melihat bahwa proses pembentukan kelas-kelas dalam masyarakat adalah bagian dari proses sosial dan ekonomi yang berlandaskan pada proses produksi. Menurut Marx, masyarakat feodalistik mengatur proses produksinya, yaitu melalui gilda yang mandiri, disapu bersih oleh sistem kepabrikan yang lengkap dan modern. Tuan-tuan tanah dan pemilik gilda (borjuis) disingkirkan oleh kelas menengah, pedagang, dan mesin-mesin modern. Tersingkirnya cara produksi yang lama sesungguhnya merupakan seleksi alam yang biasa. Mereka yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan akan tersingkir. Marx meyakini bahwa identitas suatu kelas sosial ditentukan oleh hubungan sarana-sarana produksi. Berdasarkan hal tersebut, Marx mendeskripsikan kelas-kelas sosial dalam masyarakat Kapitalis yang terdiri atas, kaum proletar dan borjuis. Kaum proletar merupakan mereka yang menjual tenaga kerja mereka yang tidak memiliki sarana produksi. Sedangkan borjuis merupakan mereka yang memiliki sarana produksi, dan membeli tenaga kerja proletar dan mengeksploitasi mereka.

- Politik Apartheid :
Istilah Apartheid berasal dari serapan bahasa Afrika Selatan, yaitu Apart (terpisah) dan Heid (sistem/hukum). Apartheid juga bisa dipahami sebagai sebuah sistem pemisahan yang dirancangkan oleh pemerintah kulit putih Afrika Selatan, sejak awal abad XX – tahun 1990-an. Tahun 1930-an, hukum Apartheid pertama kali dicanangkan di Afrika Selatan, dimana dikuasai oleh dua bangsa kulit putih. Kedua bangsa kulit putih itu adalah Inggris di Cape Town dan Namibia-Afrikaner Boer yang berlomba untuk menguasai daerah di Pretoria dan Johannesburg. Setelah perang Boer terjadi, dua bangsa ini menjadi kaya. Perdana Menteri Hendrik Verwoerd pada tahun 1950-an mulai mencanangkan sistem pemisahan di antara bangsa berkulit hitam, dan bangsa berkulit putih, yang sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1913 yaitu "Land Act" dimana para bangsa kulit hitam tidak boleh memiliki tanah semeter pun di luar batas "Homeland" mereka, yang sangat kotor dan tidak terawat. Dari banyak sekali Homeland (bahasa Afrikaans: Tuisland) yang dibentuk/ dipisahkan dari Afrika Selatan yang "putih". Empat menyatakan kemerdekaannya; yaitu negara yang diPenuliskan menjadi TBVC (Transkei, Bophutatswana, Venda, dan Ciskei) dari suku bahasanya.

- Teologi Hitam :
Teori ini diperkenalkan oleh Martin Luther King Jr, yang merupakan suatu respon ketidakadilan kulit hitam sebagai kaum yang dieksploitasi dari kaum kulit putih. Faktor pembentuk perspektif teologi hitam didasarkan pengalaman mereka yang berkulit hitam yang sangat direndahkan dan penuh penderitaan. Faktor selanjutnya yang membentuk teologi hitam adalah sejarah kaum kulit hitam yang tidak diperhitungkan secara kemanusiaan.
Martin Luther King Jr melakukan kritik ideologi terhadap persoalan diskriminasi, yang salah satunya adalah rasisme. Tujuannya adalah memperjuangkan kesamaan hak antara orang kulit hitam dengan mereka yang berkulit putih dalam berbagai aspek. Sifat dari teologi hitam ini secara ideologi memiliki ciri yang peyoratif. Dampaknya mereka mulai membangun resistensi identitas sebagai dasar dan bentuk perlawanan, dimana mereka memberi definisi bagi posisi mereka dalam masyarakat. Atau dengan kata lain sebagai bentuk transformasi dari struktur sosial. Intinya dalam teologi hitam adalah kritik sosial yang ditujukkan untuk mengkritik sistem dominasi seperti rasisme dan kemiskinan yang mengakibatkan ketidakadilan.

- Konsep Keadilan menurut Rawls
Asumsi dasar konsep keadilan menurut Rawls dibagi menjadi tiga bagian, yaitu manusia merupakan individu yang rasional dan otonom. Kedua, pandangan Rawls tentang masyarakat didasarkan pada teori kontrak sosial. Dan ketiga, Rawls melihat tentang konsep dasar manusia, yaitu hak-hak dasar manusia seperti berpikir dan hati nurani; kebebasan bergerak dan memilih pekerjaan; kekuasaan dan prerogratif; kebebasan mengenai pendapatan dan kekayaan; kebebasan berbasis harga diri.

Dari beberapa hal pendekatan di atas, kita melihat bahwa paham rasis yang fundamental menimbulkan terbentuknya kelas. Hal ini dapat ditelaah mulai dari hal yang terkecil dahulu, yaitu keluarga sebagai komunitas terkecil dalam masyarakat. Tidak adanya penghargaan terhadap perbedaan, membuat masyarakat hidup dalam karakter alami seperti awalnya terbentuk. Dari hal tersebut, terbentuk sifat keeksklusivan sehingga menjadikan paham persaingan yang menginginkan kekalahan etnis lain. Dalam kasus Apartheid, kulit hitam tidak diperhitungkan nilai kemanusiaannya, seperti yang dipaparkan dalam teologi Hitam. Hal ini memicu adanya konflik kemanusiaan. Apa yang dilakukan para pejuang kulit hitam di Afrika Selatan, merupakan apa yang diilhaminya dari Martin Luther King Jr, yaitu menginginkan persamaan hak dan derajat antara manusia yang berkulit hitam dengan yang berkulit putih. Selama ini mereka yang berkulit hitam yang dijadikan masyarakat kelas dua dalam komunitas di Afrika Selatan. Hal ini disebabkan karena mereka yang berkulit putih berhasil menguasai kegiatan ekonomi di daerah-daerah Afrika Selatan. Akibatnya mereka yang berkulit hitam dieksploitasi. Hal ini identik dengan teori yang dikemukakan oleh pengikut aliran Marx, di mana ada kesenjangan antara kaum borjuis dan proletar. Borjuis dalam konteks Afrika Selatan adalah mereka yang berhasil menguasai perekonomian di Afrika Selatan, sedangkan yang berkulit hitam adalah kaum buruh.

Jika ditinjau lebih dalam lagi dengan pemaparan Marx, maka akan ditemukan bahwa eksplotasi kaum kulit hitam yang diposisikan sebagai proletar, menempatkan mereka pada perbudakan abadi. Dari sini munculah pemerosotan martabat, yang ujung-ujungnya dehumanisasi. Ini ada betulnya, karena politik Apartheid di Afrika Selatan menciptakan kasus kemanusiaan yang serius. Selanjutnya adalah dalam hal diskriminasi, yang tersirat dalam teologi Hitam. Diskriminasi merupakan hal yang paling wajar terjadi dalam kehidupan sosial, karena realita perbedaan sehingga terbentuknya struktur dalam masyarakat. Hal ini berlangsung di dunia kulit hitam, sehingga mendorong munculnya teologi kulit hitam. Namun pertanyaannya adalah apakah teologi hitam dapat menyelesaikan permasalahan politik Apartheid? Apakah kelas-kelas yang terbentuk karena politik Apartheid itu bisa dihilangkan?
Penulis berpendapat bahwa teologi hitam pada dasarnya sangat baik untuk memperjuangkan Penulis kulit hitam yang ada di Afrika Selatan, akan tetapi sisi negatifnya beresiko memunculkan paham eksklusivisme yang radikal. Ini menjadi dua sisi yang bertolak belakang, dimana satu sisi ingin menciptakan kesetaraan, akan tetapi di sisi lain menciptakan suatu komunitas baru yang ekstrem. Hal ini yang dalam bukunya John Cobb dikatakan, suatu komunitas yang baru akan berdiri di atas komunitas-komunitas yang telah ada. Ini akan menyulitkan persatuan di antara komunitas-komunitas tersebut. Dari situ, maka kelas-kelas yang tercipta sebelumnya bukan semakin berkurang, malahan akan menimbulkan kelas-kelas yang baru lagi.
Kematian Biko, seorang tokoh pejuang penentang politik Apartheid di tahun 1977, membakar emosi masyarakat Afrika Selatan secara luas karena tidak ada lagi nilai keadilan yang mereka rasakan.. Konflik terus berlangsung, bahkan sampai tahun 1990-an. Saat ini memang Afrika Selatan sudah tidak menganut polik Apartheid lagi karena sudah menganut paham demokrasi, akan tetapi benturan-benturan kecil karena luka lama masih terbekas. Dari politik Apartheid, kita bisa juga menganalisa nilai keadilan yang ada di dalamnya.

Kita memilih konsep keadilan (menurut Rawls) karena kita melihat bahwa keadilan dari Rawls menyinggung manusia sebagai mahluk yang rasional dan otonom. Oleh karena itu, perlu diadakan kontrak sosial agar ada pengakuan mengenai pentingnya harga diri manusia. Menurut hemat Penulis juga, keadilan dalam konsep Rawls juga terdapat di dalam tujuan teologi hitam, yaitu kesamaan dan kesederajatan. Akan tetapi, permasalahannya adalah teologi hitam tidak mengadakan kontrak sosial tapi datang dalam bentuk kritik. Inilah kelemahan teologi Hitam dibandingkan keadilan menurut Rawls. Dalam konsep keadilan Rawls tidak ada diskriminasi, karena masyarakat Rawls mendapatkan kesederajatan dalam hal politik, berpendapat dan berserikat.
Kontrak sosial menurut Penulis perlu dilakukan di Afrika Selatan agar setiap manusia memperoleh perlindungan dari kebebasan akan segala bentuk penindasan terhadap mereka. Harus dihindari dalam kontrak sosial perlindungan terhadap hak milik perorangan, karena justru menciptakan yang kaya menindas yang miskin dan manusia kehilangan hak kebebasan dan kesederajatan. Karena itu manusia membangun kehidupan bersama berdasarkan kontrak sosial dengan tujuan supaya ada kedamaian (tidak saling bermusuhan), ada perlindungan hukum terhadap hak milik perorangan, akan tetapi setiap orang harus tetap memiliki hak kebebasan dan kesederajatan berdasarkan karena kesepakatan.


Kesimpulan
a. Perbedaan warna kulit yang terjadi di Afrika Selatan yang didukung oleh politik Apartheid menciptakan kelas-kelas dalam masyarakat. Masyarakat dari komunitas kulit putih adalah masyarakat kelas satu dan berhak dengan fasilitas publik yang baik. Sedangkan masyarakat dari komunitas kulit hitam adalah masyarakat kelas dua, yang harus mengalah dengan masyarakat kelas satu. Hal ini dapat terjadi karena politik Apartheid adalah suatu sistem yang diciptakan oleh pemerintah Afrika Selatan yang berkulit putih. Dengan begitu jelaslah, mengapa masyarakat dari komunitas kulit putih berubah tempat menjadi masyarakat kelas satu, dibanding masyarakat dari kulit hitam, yang dianggap sebagai kelas dua. Bisa dikatakan, penyekatan dalam kelas-kelas yang terjadi akibat politik Apartheid adalah kelas yang dimaksudkan Marx dalam kritik sosial ekonominya.
b. Dalam politik Apartheid dikatakan bahwa orang Kristen yang berkulit hitam tidak menyumbangkan kontribusi yang berharga bagi kekristenan. Hal inilah yang mendorong lahirnya teologi hitam, yang merupakan kritik terhadap orang Kristen kulit putih yang berpahaman rasisme. Dari analisa Penulis, kesimpulannya adalah bahwa teologi hitam di satu sisi sangat mendorong kesederajatan antara masyarakat dari masyarakat kulit hitam dengan mereka yang berkulit putih. Akan tetapi hal itu bisa saja menjadi mimpi buruk, karena berpotensi untuk sikap eksklusivis dan fundamental dari masyarakat kulit hitam kepada yang berkulit putih. Hal inilah yang harus dipahami oleh agama dalam memainkan perannya di tengah politik Apartheid, yaitu harus melihat lebih cermat dan bersifat mempersatukan.
c. Jika ditanyakan sistem apa yang cocok untuk menghapuskan pembedaan ras dan kelas di Afrika Selatan adalah Penulis bersepakat bahwa konsep keadilan menurut Rawls dapat menghilangkan kelas-kelas yang terjadi akibat polti apartheid. Intinya dalam keadilan Rawls, manusia itu adalah sama, sederajat, dan yang terpenting adalah otonom. Untuk itu harus ada perlindungan bagi mereka yang diperlakukan secara tidak adil. Sistem ini bisa dijalankan dengan kontrak sosial yang damai, bukan dengan kritik yang provaktif yang membangun permasalahan baru lagi.

Kepustakaan
- Cobb John, Postmodernism and Public Policy, --------, 2002.
- Cone James, A Black Theology of Liberation, New York : J.B Lippincott Company, 1970
- Kusumandaru KenBudha, Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme, Yogyakarta : Resist Book, 2004.
- Messakh Tobias, Konsep Keadilan dalam Pancasila, Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana Press, 2007.

Internet :
- http : wikipedia/ history of development Marxist//
- http : wikipedia/apartheid//

selamat datang

selamat datang di dunia theodorus benyamin sibarani