Berdasarkan hasil kajian teori modernisasi klasik, suatu perubahan sosial dan pembangunan di suatu negara terkait dengan kebutuhan berprestasi dan ciri manusia modern. Setidaknya itulah dikatakan dua ilmuan dari bidang psikologi dan psiko-sosial, McClelland dan Inkeles. Menurut McClelland, hanya jika seorang berpikir tentang bagaimana meningkatkan situasi ke arah yang lebih baik dan hendak melaksanakan tugas-tugas yang dihadapinya dengan cara lebih baik, maka orang seorang itu bisa disebut memiliki kebutuhan prestasi yang amat kuat. Dalam penelitian yang dilakukannya, McClelland mengajukan pertanyaan yang menantang untuk melihat sejauh mana kebutuhan prestasi ini berkaitan dengan pembangunan ekonomi nasional.
Ternyata hasil yang ditemukannya, bahwa negara yang memiliki derajat yang tinggi kebutuhan berprestasinya, juga memiliki derajat yang tinggi pula pembangunan ekonominya. Hal lain yang dilaporkan McClelland adalah pentingnya peran waktu. Muncul, berkembang dan matinya kebutuhan berprestasi juga berkaitan dengan muncul, berkembang dan matinya pembangunan ekonomi. Baginya, membutuhkan waktu lima puluh tahunan untuk menyamakan kecenderungan antara pembangunan ekonomi negara dengan kecenderungan meningkatnya kebutuhan berprestasi. Terakhir, laporan yang diberikan McClelland terkait dengan cara menaikkan skala kebutuhan berprestasi. Menurutnya, peran keluargalah pertama-tama yang menentukan standar motivasi yang tinggi pada anak-anaknya, misal : orangtua menentukan standar pengharapan prestasi gemilang di sekolah, kemudian menjadi maju, memiliki pekerjaan yang mapan dan dikenal di masyarakat. Lalu kemudian, peran pendidikan sangat menentukan setelahnya. McClelland menunjuk bahwa cara-cara pendidikan Barat dan peran budayanya akan sangat membantu negara Barat untuk menumbuhkembangkan kebutuhan berprestasi di negara-negara dunia ketiga (Suwarsono dan So, 1991, 27-31).
Penelitian lain dari teori modernisasi klasik juga datang dari Inkeles, yang melahirkan ide mengenai “manusia modern”. Dari apa yang ditelitinya, menurut Inkeles, manusia modern memiliki berbagai karakteristik, yaitu: (1991 : 32 – 33)
a. Terbuka terhadap pengalaman baru. Ini berarti, bahwa manusia modern selalu berkeinginan untuk mencari sesuatu yang baru;
b. Manusia modern akan memiliki sikap untuk semakin independen terhadap berbagai bentuk otoritas tradisional, seperti orangtua, kepala suku (etnis) dan raja;
c. Manusia modern percaya terhadap ilmu pengetahuan, termasuk percaya akan kemampuannya untuk menundukkan alam semesta;
d. Manusia modern memiliki orientasi mobilitas dan ambisi hidup yang tinggi. Mereka berkehendak untuk meniti tangga jenjang pekerjaannya;
e. Manusia modern memiliki rencana jangka panjang. Mereka selalu merencanakan sesuatu jauh di depan dan mengetahui apa yang akan mereka capai dalam waktu lima tahu ke depan;
f. Manusia modern aktif dalam percaturan politik. Mereka bergabung dengan berbagai organisasi kekeluargaan dan berpartisipasi aktif dalam urusan masyarakat lokal.
Pokok pikiran mengenai karakateristik itu, menurut Inkeles bahwa pendidikan merupakan faktor yang terpenting yang mencirikan manusia modern. Satu tahun pendidikan mampu menaikkan dua sampai tiga poin skala modernisasi dari nol sampai seratus. Lebih jauh, bahwa kurikulum teknis seperti Matematika, Kimia dan Biologi, bukan faktor yang bertanggungjawab terhadap penyerapan nilai dan pembentukan manusia modern. Bagi Inkeles, justur kurikulum informal juga seperti kecenderungan tenaga pengajar pada nilai-nilai Barat, membantu penyerapan nilai-nilai modern.
Dengan demikian, dari apa yang disampaikan oleh McClelland maupun Inkeles sejauh ini, sebenarnya ingin mengatakan bahwa pendidikan itu sangat penting dalam mendorong kebutuhan berprestasi dari masyarakat, serta menciptakan manusia modern. Pendidikan yang baik akan mendorong suatu perubahan sosial dan pembangunan dari suatu negara. Dari hal ini dapatlah dilihat bagaimana hubungan dari faktor pendidikan terhadap terciptanya masyarakat yang sejahtera dari suatu negara. Oleh karena itu, demi menciptakan kesejahteraan sosial, suatu negara harus bertanggungjawab untuk menciptakan sistem pendidikan yang berkualitas di dalam masyarakatnya. Harapannya tentu tercipta keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan sosial di masyarakat, sehingga menghasilkan apa yang disebut dengan kesejahteraan sosial.
Kesejahteraan Sosial dapat dipahami dalam arti yang sangat luas, yang pada intinya merupakan berbagai tindakan yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik. Taraf kehidupan yang lebih baik ini tidak hanya diukur secara ekonomi dan fisik saja, tetapi juga termasuk aspek sosial, mental dan juga kehidupan spiritual. Menurut Isbandi Rukminto Adi (2008 : 45), secara garis besar Kesejahteraan Sosial dapat dilihat dari empat sudut pandang, yaitu: Kesejahteraan Sosial sebagai suatu keadaan (kondisi), Kesejahteraan Sosial dalam kaitan dengan pembangunan sektoral, Kesejahteraan Sosial sebagai suatu kegiatan dan Kesejahteraan Sosial sebagai suatu ilmu.
Dalam pokok pikirannya Adi menjelaskan, Kesejahteraan Sosial sebagai suatu kondisi dapat diacu pada rumusan Undang-Undang No.6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, pasal 2 ayat 1 :
Kesejahteraan Sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materil maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketenteraman lahir dan bathin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.
Rumusan di atas menggambarkan kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan di mana tercipta tatanan atau kehidupan yang baik (memadai) dalam masyarakat dan bukan sekedar kemakmuran pada kehidupan materil, tetapi juga kehidupan spiritual masyarakat. Adi yang mengutip pandangan Midgley (1975 : 5) mengenai definisi lain dari Kesejahteraan Sosial, yaitu suatu keadaan atau kondisi kehidupan manusia yang tercipta ketika berbagai permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik, ketika kebutuhan manusia dapat terpenuhi dan kesempatan sosial dapat dimaksimalkan.
Kesejahteraan Sosial dalam kaitan dengan pembangunan sektoral dalam arti sempit dapat dilihat sebagai pengertian hanya sektoral saja dari suatu pembangunan. Luas cakupan kesejahteraan sosial dalam pemahaman ini sering dikaitkan dengan kegiatan yang dilakukan oleh Departemen Sosial dari suatu negara, sehingga masalah kesehatan, pendidikan, perumahan dan sebagainya tidak tercakup dari bidang kesejahteraan sosial. Berbeda dengan pemahaman arti luas, di mana pembangunan sektoral yang dimaksud bisa dipahami upaya yang dikembangkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat tidak hanya oleh Departemen Sosial saja, melainkan beberapa Departemen yang terkait dengan urusan kesejahteraan sosial.
Kesejahteraan Sosial sebagai suatu kegiatan, menurut Adi dapat mengacu pada apa yang disampaikan oleh Friedlander (1980), yang mengatakan bahwa Kesejahteraan Sosial merupakan sistem yang terorganisasi dari berbagai institusi dan usaha-usaha kesejahteraan sosial yang dirancang guna membantu individu ataupun kelompok agar dapat mencapai standar hidup dan kesehatan yang lebih memuaskan. Meskipun tidak secara eksplisit menyatakan kesejahteraan sebagai suatu kegiatan, pengertian yang dikemukan Friedlander menurut Adi telah sekurang-kurangnya menggambarkan kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem pelayanan (kegiatan) yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dan walaupun dalam pengertiannya Friedlander secara eksplisit menyatakan target dari kegiatan tersebut adalah individu dan kelompok, tetapi dalam artian luas pengertian Friedlander juga melihat masyarakat sebagai suatu totalitas.
Kesejahteraan Sosial sebagai suatu ilmu dapat dipahami dari beberapa definisi yang berkembang, dua di antaranya dari Adi dan Zastrow. Menurut Adi, Ilmu Kesejahteraan Sosial adalah suatu ilmu yang mencoba mengembangkan pemikiran, strategi dan teknik untuk meningkatkan kesejahteraan suatu masyarakat, baik di tingkat mikro, mezzo, maupun makro (Adi, 2004 : 42). Sedangkan menurut Zastrow, Kesejahteraan Sosial sebagai suatu ilmu adalah suatu studi dari agensi, program, personel dan kebijakan yang berfokus untuk menyampaikan layanan sosial kepada berbagai individu, kelompok dan komunitas. (Zastrow dalam Adi, 2008 : 48). Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa Ilmu Kesejahteraan Sosial merupakan ilmu yang bersifat terapan karena kajiannya sangat terkait dengan intervensi sosial (perubahan sosial terencana) yang dilakukan oleh pelaku perubahan terhadap sasaran perubahan yang terdiri dari individu, keluarga dan kelompok kecil (level mikro), komunitas dan organisasi (level mezzo) dan masyarakat yang lebih luas, baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi, negara serta tingkat global (level makro).
Dari keempat pemahaman mengenai Kesejahteraan Sosial yang telah dipaparkan di atas, terlihat bahwa sebenarnya bahwa Kesejahteraan Sosial sebagai suatu usaha yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bagi manusia sebagai objeknya. Manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yang dinamis, oleh karena itu suatu usaha kesejahteraan pun sifatnya kompleks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar