Khotbah di Ibadah Umum GKPI Jem.Khusus Jambi Kota
Minggu, 8 November 2015
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus Sang Kepala
Gereja!
Suatu kali, seorang anak ditugaskan orangtuanya untuk mengunci
semua pintu dan gerbang rumah karena hari segera malam dan mereka harus
beristirahat. Anak ini meminta waktu beberapa saat lagi mengerjakan tugas itu karena sedang asyik menonton TV. Orangtuanya kemudian mengingatkan
lagi agar anak itu jangan sampai lupa sehingga mereka dapat beristirahat dengan aman dari pencuri yang dapat datang tiba-tiba. Entah karena apa,
anak ini lupa untuk mengunci pintu dan gerbang rumah sekalipun sudah dua kali
diperintahkan orangtuanya. Akibatnya, pada saat malam, pencuri dapat dengan
mudah masuk ke rumah. Mereka sekeluarga disekap dan para pencuri mengambil
semua benda berharga yang mereka miliki. Setelah peristiwa mengerikan ini
berakhir, anak itu menangis sekuat-kuatnya di hadapan orangtuanya memohon agar
dimaafkan karena sudah menyesali perbuatannya yang tidak menuruti perintah
orangtua. Adapun orangtua dari anak ini adalah seorang pemaaf yang selalu
memberikan kesempatan pada anaknya agar menjadi lebih baik lagi di hari yang
mendatang. Namun, sepertinya, anak ini kurang memahami apa arti maaf.. Satu kali, saat tengah mati lampu, anak ini kembali ditugaskan orangtuanya agar setelah selesai belajar ia tidak lupa untuk makan
malam lalu mematikan lilin yang ada di dapur. Anak ini meyakinkan orangtuanya
bahwa ia akan segera mematikan lilin yang ada di dapur setelah ia selesai
belajar dan makan malam. Belum selesai belajar dan makan malam, anak ini
perhatiannya teralihkan oleh nyamannya tempat tidur. Dalam hati, ia bertekad
hanya rebahan sebentar kemudian melanjutkan aktivitas belajar dan makan malamnya
sehingga ia tidak perlu meniup lilin di dapur. Tanpa disadari, anak ini
ketiduran dan lilin yang ada di dapur sudah habis perlahan membakar meja makan
kayu. Perlahan api merambat sampai ke tabung gas sehingga menimbulkan ledakan
besar dan kebakaran hebat. Anak itu segera tersadar kalau telah terjadi
kebakaran yang sangat hebat di rumah mereka. Ia hanya bisa menyelamatkan
dirinya sendiri karena ruangan sudah penuh api. Setelah berhasil menyelamatkan
diri, ia baru mengetahui jikalau orangtuanya menjadi korban dalam kebakaran hebat itu. Ia menangis
sejadi-jadinya ingin meminta maaf pada orangtuanya tapi apa daya tidak
ada kesempatan lagi baginya untuk minta maaf. Ia hanya akan meratapi nasib seumur
hidupnya, berharap dapat memutar waktu, dan mendapatkan kesempatan kembali untuk
memperbaiki kesalahannya.
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus
Kristus!
Cerita tadi memberikan pesan moral pada kita bahwa kesempatan
selalu ada diberikan pada tiap orang, sampai kesempatan itu habis dengan
sendirinya karena tidak dimanfaatkan dengan bijak. Demikian juga nas kita pada
saat ini ingin mengajak kita, umat percaya, untuk dapat menggunakan kesempatan
yang ada di dalam kehidupan ini agar memberi keselamatan bagi hidup kita pada
akhirnya. Kitab Ibrani, yang tidak diketahui secara pasti siapa
penulisnya, ingin menuturkan bahwa kematian Kristus yang satu kali di kayu salib itu
memberikan kesempatan pada kita dalam kehidupan ini. Namun, bagaimana itu bisa terjadi?
Dan, bagaimana cara menggunakan kesempatan itu? Inilah firman Tuhan yang akan
kita refleksikan pada saat ini.
Hal pertama, bagaimana kematian Yesus dapat menjadi suatu
kesempatan bagi kita? Jika merujuk pada garis besar dari kitab Ibrani, isi
kitab ini terbagi menjadi empat bagian
besar, yaitu: berbicara tentang superioritas firman Allah yang ada pada Yesus itu lebih hebat daripada malaikat dan Musa; penggambaran Yesus sebagai imam
besar yang pengurbanan tidak dilakukan dengan upacara kurban binatang melainkan dengan
darah-Nya sendiri; pengurbanan Yesus membawa penghapusan dosa melayakkan manusia untuk masuk ke tempat yang dijanjikan itu; serta terakhir serangkaian nasehat
penutup. Dari keempat gambaran garis
besar itu, kita dapat memahami bahwa kitab Ibrani pada dasarnya ingin berbicara
bahwa Yesus yang adalah Imam besar sesungguhnya juga sekaligus menjadi kurban persembahan yang berfungsi sebagai pengantara ke dalam perjanjian yang baru. Hal ini sangat rumit dipahami dan menyisakan banyak
pertanyaan. Yesus bukanlah seorang Lewi yang memiliki hak menjadi
seorang imam, bahkan imam besar. Kemudian, seorang imam besar tentu akan
membawa kurban persembahan darah binatang sebagai penebusan dosa bukan memberikan darah dan
nyawa-Nya sebagai bagian proses dari penebusan dosa. Ritual persembahan kurban juga tidak
terjadi hanya sekali seperti yang dilakukan oleh Yesus melainkan setiap tahunnya. Kerumitan ini yang membuat kitab Ibrani dianggap sebagai kitab
yang penuh teka-teki dan berkonten teologi yang sangat sukar untuk dipahami.
Akan tetapi, dengan hikmat Roh Kudus, kita tentu dapat
mencoba berusaha menguraikan maksud dari kitab ini sehingga kita mendapatkan
sesuatu bagi iman kita. Ketika kita perhatikan ayat 24-25, kalimat di situ
ingin menunjukkan bahwa Yesus lebih superior dari imam besar, seperti Harun yang sehari-harinya melakukan ritus persembahan pada hari raya penebusan
di ruang maha suci buatan manusia. Tetapi, Yesus dikatakan benar-benar masuk ke
dalam ruang suci yang disebut sorga itu. Suatu ruang yang bukan diciptakan oleh
manusia dengan rekayasa tata-ruang. Ruang yang sungguh-sungguh
tempat Allah hadir. Memercikan darah yang bukan darah kurban
binatang, tetapi darah Yesus sendiri sebagai persembahan.
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan!
Tentu, ketika Yesus memberikan darah-Nya sebagai persembahan,
hal itu menjelaskan bahwa Yesus merelakan nyawa-Nya guna penebusan dosa manusia. Inilah yang harus kita pahami saksama, karena saat mengurbankan diri-Nya, Yesus saat itu seutuhnya manusia biasa seperti kita. Kemanusiaan Yesus membuat-Nya hanya mati satu kali seperti manusia biasa lainnya. Dengan demikian,
kematian Yesus tidak terjadi berulang-ulang, tetapi hanya satu kali saja
(ay.26-27). Setelah pengurbanan itu terjadi, maka penebusan dosa manusia sudah
tuntas dilakukan Yesus di kayu salib untuk semua orang. Jika sebelumnya
hubungan manusia dan Allah rusak karena dosa, kali ini sudah diperbaiki oleh pengurbanan Yesus.
Persoalannya kemudian adalah apakah ada jaminan bahwa manusia sudah pasti
beroleh keselamatan? Ternyata, jawabannya belum. Di ayat 28 dikatakan, “Sesudah itu (setelah mencurahkan nyawa-Nya),
Ia kan menyatakan diri-Nya sekali lagi tanpa menanggung dosa untuk
menganugerahkan keselamatan kepada mereka, yang menantikan Dia”. Makna dari
ayat ini sudah jelas. Ibarat seorang anak dalam cerita sebelumnya sudah
dimaafkan melalui pengorbanan orangtuanya, tidak
ada jaminan bagi anak itu tidak melakukan kesalahan lagi. Demikian pula dengan
kita manusia berdosa. Ketika, Yesus menebus dosa kita itu berarti ia telah
memberikan kita kesempatan untuk tidak mengulangi keberdosaan kita. Dan, bagi
siapa yang dapat memanfaatkan kesempatan itu, berarti mereka adalah orang yang
menantikan Yesus, sehingga pada mereka dianugerahkan keselamatan. (ay.29). Dan,
jika kita tidak memanfaatkan kesempatan itu, tentu kita akan mengalami seperti
apa yang terjadi pada anak kecil yang ada di cerita awal tadi. Inilah yang
dimaksud dengan pengurbanan Yesus memberikan kita kesempatan.
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan!
Pertanyaan kedua sekaligus yang terakhir adalah bagaimana
cara kita memanfaatkan kesempatan itu agar kita dianugerahkan keselamatan?
Bukankah dalam ajaran reformasi gereja dikatakan “keselamatan itu bukan karena
usaha kita melainkan anugerah semata”? Adalah benar keselamatan bukan atas
usaha atau kerja keras manusia untuk mencapainya. Oleh karena itu, umat percaya
wajib mensyukuri rancangan keselamatan Ilahi yang dilakukan oleh Yesus melalui
kematian dan kebangkitan-Nya. Dengan demikian, cara kita memanfaatkan
kesempatan itu adalah dengan mensyukuri pemberian luar biasa yang diberikan
oleh Yesus kepada kita, yang ditebus dengan harga mahal melalui darah-Nya,
yaitu penebusan dosa. Dengan bersyukur, kita akan bertekad untuk hidup yang
lebih baik dari sebelumnya. Jadi, perbuatan baik kita bukan didasarkan pada
tujuan ingin segera selamat, melainkan atas rasa syukur kita atas keselamatan
yang Tuhan janjikan melalui pengurbanan darah-Nya. Sebagaimana Yesus adalah
Imam Besar, dalam ajaran reformasi gereja, kita juga adalah imam yang rajani.
Konsep imam yang rajani atau imamat am orang percaya tentu harus lekat di dalam
kehidupan umat percaya dalam rangka rasa syukurnya kepada Tuhan. Anwar Tjen,
seorang sarjana Biblika asal Indonesia, menjelaskan bahwa titik tolak Luther
dalam berbicara tentang imam adalah Kristus sendiri; “Kristus adalah imam
besar, ada yang lebih tinggi daripada Dia yang diurapi Allah. Dia telah
mengurbankan tubuh-Nya bagi kita. Tidak ada jabatan imam yang lebih tinggi
lagi. Sejalan dengan itu, di atas salib Dia berdoa bagi kita. Dia memberitakan
Injil dan mengajarkan semua orang untuk mengenal Allah dan diri-Nya. Jadi,
karena Dia adalah seorang imam dan kita ini saudara-saudara-Nya, maka semua
orang percaya mempunyai kuasa dan mendapat perintah yang harus dilakukan untuk
berkhotbah, mendekat kepada Allah, berdoa bagi satu sama lain, dan
mempersembahkan diri kita sebagai kurban kepada Allah. Reinterpretasi seperti
ini memungkinkan Luther menafsirkan secara radikal nilai pekerjaan sehari-hari.
Imamat yang Kristus genapi yang tidak dapat diulangi tetapi menjadi model bagi
imamat yang dilakoni umat-Nya. Seperti para imam mempersembahkan kurban dalam
Perjanjian Lama, demikianlah orang percaya sebagai imam mempersembahkan kepada
Allah segala jenis pekerjaan duniawi, entah sebagai tukang jahit, tukang kayu,
tukang masak, ataupun penjaga penginapan.
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus!
Dari sedemikian jauh pembahasan firman Tuhan, maka ada dua
hal yang dapat kemudian kita simpulkan sebagai refleksi mendalam guna
diaplikasikan ke dalam kehidupan beriman kita, yaitu:
Pertama, sebagai umat beriman, kita diingatkan untuk
benar-benar memahami kesempatan yang Tuhan telah berikan pada kita. Pengurbanan-Nya
hanya terjadi satu kali untuk selamanya dan bagi semuanya. Sehingga, kita tidak
menyia-nyiakan kesempatan itu. Yang menjadi permasalahan adalah jika kita
sebagai umat percaya tidak pernah merasakan urgensi dari pengurbanan Yesus di
kayu salib sehingga kita kurang memaknai pentingnya memanfaatkan kesempatan
yang telah Tuhan berikan. Jika demikian, kita tentu harus lebih banyak mengenal
firman Tuhan secara serius. Mungkin, hal itu disebabkan waktu kita untuk
berkomunikasi dengan Tuhan sangat kurang, baik itu dalam ibadah maupun berdoa;
Terakhir, jika kita dapat merasakan urgensi dari kesempatan
yang Tuhan berikan, tentu kita harus benar-benar memanfaatk kesempatan itu
dengan baik. Seperti yang ditekankan oleh Martin Luther bagaimana umat percaya
yang juga adalah imam mempersembahkan pekerjaannya kepada Tuhan harus
benar-benar memaknai pekerjaannya adalah rasa syukurnya atas pengurbanan darah
Yesus. Dengan demikian, umat percaya akan dengan sungguh-sungguh bekerja.
Mereka akan menjadi pekerja yang jujur, takut akan Tuhan, serta menaruh
pengharapannya kepada Tuhan. Mereka tidak akan menghujat Tuhan jikalau sedang
mengalami kondisi yang sulit. Juga tidak segera melupakan Tuhan jika kondisi
sedang bersukacita. Mereka menaruh hormat kepada Tuhan seperti pada sesamanya.
Mereka menjalin komunikasi yang baik dengan Tuhan melalui doa, ibadah, dan
persembahannya. Karena, mereka memaknai bahwa Yesus telah mati satu kali untuk
keselamatan manusia. Tuhan memberkati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar