Sabtu, 07 November 2015

Mati Satu Kali Untuk Keselamatan Semua (Ibrani 9 : 24 – 28)


Khotbah di Ibadah Umum GKPI Jem.Khusus Jambi Kota
Minggu, 8 November 2015

 
Ilustrasi : Sumber Internet
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus Sang Kepala Gereja!
Suatu kali, seorang anak ditugaskan orangtuanya untuk mengunci semua pintu dan gerbang rumah karena hari segera malam dan mereka harus beristirahat. Anak ini meminta waktu beberapa saat lagi mengerjakan tugas itu karena sedang asyik menonton TV. Orangtuanya kemudian mengingatkan lagi agar anak itu jangan sampai lupa sehingga mereka  dapat beristirahat dengan aman dari pencuri yang dapat datang tiba-tiba. Entah karena apa, anak ini lupa untuk mengunci pintu dan gerbang rumah sekalipun sudah dua kali diperintahkan orangtuanya. Akibatnya, pada saat malam, pencuri dapat dengan mudah masuk ke rumah. Mereka sekeluarga disekap dan para pencuri mengambil semua benda berharga yang mereka miliki. Setelah peristiwa mengerikan ini berakhir, anak itu menangis sekuat-kuatnya di hadapan orangtuanya memohon agar dimaafkan karena sudah menyesali perbuatannya yang tidak menuruti perintah orangtua. Adapun orangtua dari anak ini adalah seorang pemaaf yang selalu memberikan kesempatan pada anaknya agar menjadi lebih baik lagi di hari yang mendatang. Namun, sepertinya, anak ini kurang memahami apa arti maaf.. Satu kali, saat tengah mati lampu, anak ini kembali ditugaskan orangtuanya agar setelah selesai belajar ia tidak lupa untuk makan malam lalu mematikan lilin yang ada di dapur. Anak ini meyakinkan orangtuanya bahwa ia akan segera mematikan lilin yang ada di dapur setelah ia selesai belajar dan makan malam. Belum selesai belajar dan makan malam, anak ini perhatiannya teralihkan oleh nyamannya tempat tidur. Dalam hati, ia bertekad hanya rebahan sebentar kemudian melanjutkan aktivitas belajar dan makan malamnya sehingga ia tidak perlu meniup lilin di dapur. Tanpa disadari, anak ini ketiduran dan lilin yang ada di dapur sudah habis perlahan membakar meja makan kayu. Perlahan api merambat sampai ke tabung gas sehingga menimbulkan ledakan besar dan kebakaran hebat. Anak itu segera tersadar kalau telah terjadi kebakaran yang sangat hebat di rumah mereka. Ia hanya bisa menyelamatkan dirinya sendiri karena ruangan sudah penuh api. Setelah berhasil menyelamatkan diri, ia baru mengetahui jikalau orangtuanya menjadi korban dalam kebakaran hebat itu. Ia menangis sejadi-jadinya ingin meminta maaf pada orangtuanya tapi apa daya  tidak ada kesempatan lagi baginya untuk minta maaf. Ia hanya akan meratapi nasib seumur hidupnya, berharap dapat memutar waktu, dan mendapatkan kesempatan kembali untuk memperbaiki kesalahannya.

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus Kristus!
Cerita tadi memberikan pesan moral pada kita bahwa kesempatan selalu ada diberikan pada tiap orang, sampai kesempatan itu habis dengan sendirinya karena tidak dimanfaatkan dengan bijak. Demikian juga nas kita pada saat ini ingin mengajak kita, umat percaya, untuk dapat menggunakan kesempatan yang ada di dalam kehidupan ini agar memberi keselamatan bagi hidup kita pada akhirnya. Kitab Ibrani, yang tidak diketahui secara pasti siapa penulisnya, ingin menuturkan bahwa kematian Kristus yang satu kali di kayu salib itu memberikan kesempatan pada kita dalam kehidupan ini. Namun, bagaimana itu bisa terjadi? Dan, bagaimana cara menggunakan kesempatan itu? Inilah firman Tuhan yang akan kita refleksikan pada saat ini.
Hal pertama, bagaimana kematian Yesus dapat menjadi suatu kesempatan bagi kita? Jika merujuk pada garis besar dari kitab Ibrani, isi kitab ini terbagi menjadi empat bagian besar, yaitu: berbicara tentang superioritas firman Allah yang ada pada Yesus itu lebih hebat daripada malaikat dan Musa; penggambaran Yesus sebagai imam besar yang pengurbanan tidak dilakukan dengan upacara kurban binatang melainkan dengan darah-Nya sendiri; pengurbanan Yesus membawa penghapusan dosa melayakkan manusia untuk masuk ke tempat yang dijanjikan itu; serta terakhir serangkaian nasehat penutup.  Dari keempat gambaran garis besar itu, kita dapat memahami bahwa kitab Ibrani pada dasarnya ingin berbicara bahwa Yesus yang adalah Imam besar sesungguhnya juga sekaligus menjadi kurban persembahan yang berfungsi sebagai pengantara ke dalam perjanjian yang baru. Hal ini sangat rumit dipahami dan menyisakan banyak pertanyaan. Yesus bukanlah seorang Lewi yang memiliki hak menjadi seorang imam, bahkan imam besar. Kemudian, seorang imam besar tentu akan membawa kurban persembahan darah binatang sebagai penebusan dosa bukan memberikan darah dan nyawa-Nya sebagai bagian proses dari penebusan dosa. Ritual persembahan kurban juga tidak terjadi hanya sekali seperti yang dilakukan oleh Yesus melainkan setiap tahunnya. Kerumitan ini yang membuat kitab Ibrani dianggap sebagai kitab yang penuh teka-teki dan berkonten teologi yang sangat sukar untuk dipahami.
Akan tetapi, dengan hikmat Roh Kudus, kita tentu dapat mencoba berusaha menguraikan maksud dari kitab ini sehingga kita mendapatkan sesuatu bagi iman kita. Ketika kita perhatikan ayat 24-25, kalimat di situ ingin menunjukkan bahwa Yesus lebih superior dari imam besar, seperti Harun  yang sehari-harinya melakukan ritus persembahan pada hari raya penebusan di ruang maha suci buatan manusia. Tetapi, Yesus dikatakan benar-benar masuk ke dalam ruang suci yang disebut sorga itu. Suatu ruang yang bukan diciptakan oleh manusia dengan rekayasa tata-ruang. Ruang yang sungguh-sungguh tempat Allah hadir. Memercikan darah yang bukan darah kurban binatang, tetapi darah Yesus sendiri sebagai persembahan.

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan!
Tentu, ketika Yesus memberikan darah-Nya sebagai persembahan, hal itu menjelaskan bahwa Yesus merelakan nyawa-Nya guna penebusan dosa manusia. Inilah yang harus kita pahami saksama, karena saat mengurbankan diri-Nya, Yesus saat itu seutuhnya manusia biasa seperti kita. Kemanusiaan Yesus membuat-Nya hanya mati satu kali seperti manusia biasa lainnya. Dengan demikian, kematian Yesus tidak terjadi berulang-ulang, tetapi hanya satu kali saja (ay.26-27). Setelah pengurbanan itu terjadi, maka penebusan dosa manusia sudah tuntas dilakukan Yesus di kayu salib untuk semua orang. Jika sebelumnya hubungan manusia dan Allah rusak karena dosa, kali ini sudah diperbaiki oleh pengurbanan Yesus. Persoalannya kemudian adalah apakah ada jaminan bahwa manusia sudah pasti beroleh keselamatan? Ternyata, jawabannya belum. Di ayat 28 dikatakan, “Sesudah itu (setelah mencurahkan nyawa-Nya), Ia kan menyatakan diri-Nya sekali lagi tanpa menanggung dosa untuk menganugerahkan keselamatan kepada mereka, yang menantikan Dia”. Makna dari ayat ini sudah jelas. Ibarat seorang anak dalam cerita sebelumnya sudah dimaafkan melalui pengorbanan orangtuanya, tidak ada jaminan bagi anak itu tidak melakukan kesalahan lagi. Demikian pula dengan kita manusia berdosa. Ketika, Yesus menebus dosa kita itu berarti ia telah memberikan kita kesempatan untuk tidak mengulangi keberdosaan kita. Dan, bagi siapa yang dapat memanfaatkan kesempatan itu, berarti mereka adalah orang yang menantikan Yesus, sehingga pada mereka dianugerahkan keselamatan. (ay.29). Dan, jika kita tidak memanfaatkan kesempatan itu, tentu kita akan mengalami seperti apa yang terjadi pada anak kecil yang ada di cerita awal tadi. Inilah yang dimaksud dengan pengurbanan Yesus memberikan kita kesempatan.

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan!
Pertanyaan kedua sekaligus yang terakhir adalah bagaimana cara kita memanfaatkan kesempatan itu agar kita dianugerahkan keselamatan? Bukankah dalam ajaran reformasi gereja dikatakan “keselamatan itu bukan karena usaha kita melainkan anugerah semata”? Adalah benar keselamatan bukan atas usaha atau kerja keras manusia untuk mencapainya. Oleh karena itu, umat percaya wajib mensyukuri rancangan keselamatan Ilahi yang dilakukan oleh Yesus melalui kematian dan kebangkitan-Nya. Dengan demikian, cara kita memanfaatkan kesempatan itu adalah dengan mensyukuri pemberian luar biasa yang diberikan oleh Yesus kepada kita, yang ditebus dengan harga mahal melalui darah-Nya, yaitu penebusan dosa. Dengan bersyukur, kita akan bertekad untuk hidup yang lebih baik dari sebelumnya. Jadi, perbuatan baik kita bukan didasarkan pada tujuan ingin segera selamat, melainkan atas rasa syukur kita atas keselamatan yang Tuhan janjikan melalui pengurbanan darah-Nya. Sebagaimana Yesus adalah Imam Besar, dalam ajaran reformasi gereja, kita juga adalah imam yang rajani. Konsep imam yang rajani atau imamat am orang percaya tentu harus lekat di dalam kehidupan umat percaya dalam rangka rasa syukurnya kepada Tuhan. Anwar Tjen, seorang sarjana Biblika asal Indonesia, menjelaskan bahwa titik tolak Luther dalam berbicara tentang imam adalah Kristus sendiri; “Kristus adalah imam besar, ada yang lebih tinggi daripada Dia yang diurapi Allah. Dia telah mengurbankan tubuh-Nya bagi kita. Tidak ada jabatan imam yang lebih tinggi lagi. Sejalan dengan itu, di atas salib Dia berdoa bagi kita. Dia memberitakan Injil dan mengajarkan semua orang untuk mengenal Allah dan diri-Nya. Jadi, karena Dia adalah seorang imam dan kita ini saudara-saudara-Nya, maka semua orang percaya mempunyai kuasa dan mendapat perintah yang harus dilakukan untuk berkhotbah, mendekat kepada Allah, berdoa bagi satu sama lain, dan mempersembahkan diri kita sebagai kurban kepada Allah. Reinterpretasi seperti ini memungkinkan Luther menafsirkan secara radikal nilai pekerjaan sehari-hari. Imamat yang Kristus genapi yang tidak dapat diulangi tetapi menjadi model bagi imamat yang dilakoni umat-Nya. Seperti para imam mempersembahkan kurban dalam Perjanjian Lama, demikianlah orang percaya sebagai imam mempersembahkan kepada Allah segala jenis pekerjaan duniawi, entah sebagai tukang jahit, tukang kayu, tukang masak, ataupun penjaga penginapan.

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus!
Dari sedemikian jauh pembahasan firman Tuhan, maka ada dua hal yang dapat kemudian kita simpulkan sebagai refleksi mendalam guna diaplikasikan ke dalam kehidupan beriman kita, yaitu:
Pertama, sebagai umat beriman, kita diingatkan untuk benar-benar memahami kesempatan yang Tuhan telah berikan pada kita. Pengurbanan-Nya hanya terjadi satu kali untuk selamanya dan bagi semuanya. Sehingga, kita tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Yang menjadi permasalahan adalah jika kita sebagai umat percaya tidak pernah merasakan urgensi dari pengurbanan Yesus di kayu salib sehingga kita kurang memaknai pentingnya memanfaatkan kesempatan yang telah Tuhan berikan. Jika demikian, kita tentu harus lebih banyak mengenal firman Tuhan secara serius. Mungkin, hal itu disebabkan waktu kita untuk berkomunikasi dengan Tuhan sangat kurang, baik itu dalam ibadah maupun berdoa;
Terakhir, jika kita dapat merasakan urgensi dari kesempatan yang Tuhan berikan, tentu kita harus benar-benar memanfaatk kesempatan itu dengan baik. Seperti yang ditekankan oleh Martin Luther bagaimana umat percaya yang juga adalah imam mempersembahkan pekerjaannya kepada Tuhan harus benar-benar memaknai pekerjaannya adalah rasa syukurnya atas pengurbanan darah Yesus. Dengan demikian, umat percaya akan dengan sungguh-sungguh bekerja. Mereka akan menjadi pekerja yang jujur, takut akan Tuhan, serta menaruh pengharapannya kepada Tuhan. Mereka tidak akan menghujat Tuhan jikalau sedang mengalami kondisi yang sulit. Juga tidak segera melupakan Tuhan jika kondisi sedang bersukacita. Mereka menaruh hormat kepada Tuhan seperti pada sesamanya. Mereka menjalin komunikasi yang baik dengan Tuhan melalui doa, ibadah, dan persembahannya. Karena, mereka memaknai bahwa Yesus telah mati satu kali untuk keselamatan manusia. Tuhan memberkati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar