Sabtu, 15 Januari 2011

Membaca Kontroversi Tifatul

Nama Tifatul Sembiring semakin mencuat di bawah payung Partai Keadilan Sejahtera (PKS), ketika dia berhasil memimpin partai tersebut menggantikan presiden PKS sebelumnya, Hidayat Nur Wahid, pada tahun 2004-2009. Pada masa pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2, Tifatul Sembiring ditunjuk menjadi Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo), terhitung tanggal 22 Oktober 2009 sampai dengan sekarang, dimana beliau menggantikan posisi Mohammad Nuh yang bergeser menjadi menteri pendidikan. Pria kelahiran Bukit Tinggi, Sumatera Barat, tanggal 28 September 1961 ini merupakan insinyur komputer dari Sekolah Tinggi Ilmu Manejemen dan Informatika dan Komputer.
Dalam evaluasi kinerja 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2, nama Tifatul Sembiring oleh media-media di Indonesia, termasuk menteri yang memiliki rapor merah di bidangnya. Hal ini sepertinya mendesak pemerintah untuk merombak susunan pemerintahan dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2. Tifatul Sembiring pada saat itu jelas berada di ujung tanduk, karena acap kali menjadi salah satu menteri yang disorot media masa. Alih-alih diturunkan dari kursi Menkominfo, Tifatul saat ini malah menjadi salah satu pejabat pemerintahan yang kontroversial. Lihat saja bagaimana beberapa fenomena yang dihasilkannya seperti, pemberantasan website-website yang dinilai bermuatan pornografi, pernyataan kontroversial terkait video panas Ariel-Luna Maya yang disandingkan dengan nabi Isa-Yesus Kristus, “pemaksaan” jabat tangan oleh Michelle Obama (padahal Tifatul sendiri yang jelas-jelas menyodorkan tangannya dalam rekaman oleh media-media) , dan baru saja usulan pemblokiran BlackBerry.
Masyarakat Indonesia pun bergejolak reaksinya menanggapi fenomena kontroversial yang dilakukan oleh Tifatul, ada yang pro dan ada juga yang kontra. Alhasil pembicaraan mengenai Tifatul pun semakin marak, baik di media masa, jejaring sosial bahkan oleh anak-anak sekolahan sekalipun. Tulisan ini mencoba untuk membaca kontroversi yang dilakukan oleh Tifatul, dengan asumsi budaya politik sebagai pisau bedahnya. Dalam ilmu politik, menurut Jacobsen dan Lipman, kegiatan politik pada dasarnya berisi tentang hubungan individu dengan negara dalam koridor hukum serta hubungan individu dengan individu atau komunitas lainnya. Terkait pemahaman akan ilmu politik tersebut, Samuel Beer melihat bahwa dalam hubungan yang dibangun individu tersebut terdapat sebuah kelakuan politik, di mana setidaknya ada empat unsur variabel yang terkandung di dalamnya yaitu: budaya politik (sistem kepercayaan, nilai politik dan sikap emosional), kekuasaan (alat mencapai sesuatu), kepentingan (kehendak yang ingin dicapai) dan kebijakan (konsekuensi dan akibat dari proses). Dari pemaparan sejauh ini, kesimpulan mengenai budaya politik yang akan digunakan dalam tulisan ini adalah terkait dengan tujuan dan cara, serta kemungkinan dan kebutuhan yang dihasilkan dari suatu situasi yang diharapakan.
Kontroversi yang dilakukan oleh Tifatul, menurut hemat saya, pada dasarnya hendak mencerminkan citranya sebagai sebagai seorang politisi sejati. Seorang politisi harus mampu menciptakan karakter yang khas, sehingga mudah ditandai oleh masyarakat banyak. Dalam pencitraan yang ingin dicapai, harus ada suatu cara untuk membangun hubungan citra diri dengan lingkungan yang ada di sekitarnya (baik negara, komunitas, maupun individu). Setali tiga uang, tentunya bukan hanya pencitraan saja hal yang ingin dicapai dari kontroversi yang diciptakan, tetapi juga ada hal lain yang dapat dimanfaatkan dari konterversi tersebut. Mengacu pada Beer, ada pengaruh kekuasaan dan kepentingan yang berada dibalik kontroversi Tifatul. Kekuasaan yang dimaksud datang elit pemerintah yang tengah berkuasa. Permasalahan yang kerap menerpa pemerintahan membuat sorotan publik kepada pemerintah kian tajam, terkhusus dalam kasus KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang tengah marak di badan pemerintahan. Sebut saja kasus Bank Century, rekening gendut Polri, mafia perpajakan yang konon katanya menyeret petinggi-petinggi partai sampai berimbas pada penguasa Indonesia saat ini. Untuk mengaburkan sorotan tajam publik tersebut, maka dimunculkan suatu isu yang dapat mengalihkan perhatian masyarakat. Cara-cara kontroversial seperti memanfaatkan isu dari kasus video panas artis maupun pemblokiran website porno dan Blackberry menjadi alternatif solusi yang paling tepat. Alasannya adalah isu ini sangat melekat dan tengah berkembang di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Itulah mengapa saya katakan setali tiga uang, selain keuntungan pencitraan diri sebagai politisi, kepentingan penguasa pun dapat terwujud untuk mengalihkan perhatian masyarakat.
Sebagai seorang politisi, cara apa saja tentu dilakukan agar menciptakan karakter yang khas. Benar-benar mempraktikan filosofi Machiavelli (baca : menghalalkan cara untuk mencapai tindakan). Sulit untuk mengatakan ini merupakan praktik politik yang kurang baik, karena tidak ada indikator yang tepat (menurut hemat saya) untuk menggambarkan aktivitas politik yang baik. Namun menurut saya, kegiatan politik seperti ini adalah tindakan kekanakan, karena tidak dapat melihat kepentingan masyarakat banyak. Sebagai seorang politisi dari partai yang sarat dengan nilai keagamaan, Tifatul memainkan perannya dengan cukup baik. Isu mengenai agama dikendarainya untuk mengendalikan motor politik yang sedang dipacu. Kasus kebijakan yang sarat kontroversial merupakan bahan bakar motor politik yang tengah dikendarainnya. Sejauh ini hal-hal kontroversi tersebut tidak akan dapat menghentikannya, karena Tifatul tengah ditopang kepentingan kekuasaan yang besar pula. Walaupun ada yang mengatakan Tifatul tengah menjatuhkan kredibelitas PKS, namun menurut saya tidak sepenuhnya benar. Alasan logisnya adalah ketika nama suatu partai terdengar berulang-ulang dalam pemberitaan di media-media, maka semakin mudah pula diingat oleh masyarakat. Sama halnya dengan apa yang terjadi partai-partai yang lain, seperti Demokrat, Golkar, PDI-Perjuangan, PPP, PKB maupun PAN. Kontroversi ini sebenarnya juga ingin menggambarkan bahwa PKS adalah partai politik yang besar dan layak disandingkan dengan partai politik yang telah saya sebut sebelumnya.
Dengan demikian, kesimpulannya adalah Tifatul merupakan seorang politisi yang handal. Semua kontroversi yang dilakukannya lebih dalam rangkat proses pencitraan diri, sekaligus membantu penguasa saat ini untuk mengatur isu politik dalam negeri. Jadi menurut hemat saya, tidak perlu repot apalagi pusing dengan isu kontroversial yang dilontarkan oleh Tifatul ataupun politisi lainnya (seperti : Ruhut Sitompul, Marzuki Alie, Andi Malarangeng, dll), karena kontroversi tersebut adalah hasil dari budaya politik yang berkembang dengan normal di Indonesia. Indikasi lainnya yang dapat dilihat dari hal ini adalah bahwa pemahaman dan pendidikan politik masyarakat di Indonesia masih sangat lemah, dan rentan untuk dilakukan propaganda.