Kamis, 31 Mei 2012

Negara, Agama-Agama dan Hak Asasi Manusia: Mengkaji Ulang Eksklusivisme Agama (John Titaley)

Rev. Prof. Drs. John A. Titaley, Th.D(Pengajar di Fakultas Teologi & Program Pascasarjana Sosiologi Agama, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga)

Pengantar

Topik ini dibicarakan untuk memikirkan kembali permasalahan hubungan negara dan agama di Indonesia. Secara normatif masalah hubungan negara dan agama di Indonesia sudah dituntaskan letila Pancasila ditetapkan sebagai Dasar dan Ideologi NKRI. Namun demikian, pengalaman kita berbangsa-bernegara belakangan ini makin menegaskan betapa sebenarnya masalah itu masih hidup dan muncul dalam wacana dan bentuk yang berbeda dari pengalaman di tahun 1945. Polemik sekitar pengesahan RUU Sisdiknas tanhun 2003 adalah contoh kasus terbaru. Sekarang ini masyarakat juga mulai resah oleh adanya RUU KUB (meski keberadaan RUU KUB sudah dibantah oleh Kalitbang Depag RI).
Terdapat beberapa alasan penting dan mendesak bagi kita untuk membahas masalah ini, yaitu: makin menguatnya fungsi kritik agama-agama di tengah pergumulan kontekstual Indonesia sekarang dan masa yang akan datang; realitas obyektif pluralisme agama dan kebudayaan Indonesia, serta pentingnya jaminan perlindungan hukum yang sesuai dengan Hak Asasi Manusia; konteks Otonomi Daerah yang melahirkan Perda-Perda “bermasalah” yaitu pelaksanaan “syariat/hukum” agama tertentu dalam masyarakat.

Acuan seperti ini merupakan suatu refleksi realistik atas kenyataan yang terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia akhir-akhir ini. Masalahnya adalah, apakah panitia masih akan membuat refleksi seperti itu kalau Kekristenan ternyata adalah agama dengan penganut sebesar 60% dari seluruh rakyat Indonesia? Acuan seperti ini menurut hemat saya baru boleh dibuat panitia apabila Kekristenan sendiri tidak akan melakukan hal serupa kalau dia berada dalam posisi seperti yang saya sebutkan di atas.
Yang saya maksudkan adalah bahwa kita masih mewarisi sikap beragama yang eksklusif juga. Selama eksklusivisme ini masih kental dalam kehidupan beragama kita, maka selama itu pula masalah seperti yang digambarkan di atas akan selalu terjadi. Karena itu, masalahnya bukanlah pada pelanggaran atas hukum yang sudah dijamin oleh konstitusi dan kegagalan pemerintah untuk menegakkan hukum itu. Masalah kita adalah, apakah kita dapat mengatasi eksklusivisme itu.

Ekslusivisme agama ini adalah masalah yang harus diatasi oleh manusia apabila manusia ingin hidup berdamai dengan sesamanya yang lainnya. Selama eksklusivisme ini belum dihilangkan, maka selama itulah pula masalah ini selalu menghantui umat manusia. Apa yang sangat dibanggakan sebagai “Souvenir abad 20” yaitu Hak Asasi Manusia (HAM) akan kehilangan maknanya, karena tidak dapat dipenuhi. HAM yang telah disepakati lewat Universal Declaration of Human Rights di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1948 memberi jaminan kebebasan seorang individu untuk mengekspresikan dirinya secara utuh, dalam bidang keagamaan, politik, ekonomi dan sosial adalah tonggak bersejarah dalam sejarah umat manusia. Namun demikian, dalam pelaksanaannya dia selalu dapat dikalahkan oleh asumsi bahwa deklarasi tersebut adalah karya manusia sehingga tak bisa melebihi wahyu Tuhan sebagaimana yang selalu diklaim oleh agama-agama. Ketika berhadapan dengan eksklusivisme agama seperti disebutkan di atas, perwujudan deklarasi tersebut juga mengalami hambatan. Akibatnya, negara sebagai alat yang seharusnya mendapat wewenang penuh untuk melindungi perwujudan HAM itu tidak dapat pula melaksanakan kewajibannya berhadapan dengan klaim kemutlakan wahyu Tuhan ini.

Dalam kerangka itulah, saya akan membahas pokok ini dengan pertama-tama melakukan analisis teoritik terhadap permasalahan hubungan negara dan agama termasuk pembahasan tentang kehidupan negara demokratik. Kemudian saya akan menyimak akar eksklusivisme agama, terutama bagi agama-agama Abrahamik, dan pada akhirnya saya mengajak kita sebagai komponen bangsa Indonesia ini untuk belajar lebih jauh lagi dari apa yang sudah dirumuskan para pendiri bangsa Indonesia ini ketika mereka mendirikan negara ini tahun 1945. Dengan bahasan ini, saya harapkan kita dapat menempatkan diri kita secara tepat dalam kehidupan berbangsa ini sesuai dengan maksud didirikannya negara ini.

Hubungan Negara dan Agama dalam Perspektif Teoritik
J. Philip Wogaman, membedakan paling tidak empat tipe hubungan negara dan agama.[2] Keempat tipe tersebut adalah:
1. Teokrasi: yaitu suatu kehidupan bernegara yang di dalamnya pemimpin agama atau lembaga keagamaan tertentu mengendalikan kehidupan bernegera lewat berbagai kebijakan kenegaraan dan undang-undang untuk tujuan-tujuan agama tersebut. Wogaman memberikan contoh terhadap teokrasi ini a.l. dalam kehidupan bangsa Ibrani kuno, tradisionalitas Tibet, kehidupan Puritanisme jaman kolonialisme Amerika, periode awal Mormonisme di Utah, dalam batas-batas tertentu terjadi sekarang di Iran, Katolik abad pertengahan, juga jaman modern sebelum Vatican II dan Zionis Israel.
2. Erastianisme: yaitu suatu kehidupan bernegara yang di dalamnya para pemimpin politik telah mengeksploitasi agama untuk tujuan-tujuan negara. Tipe ini merupakan kebalikan dari tipe pertama. Disebut Erastinsime mengikuti pandangan Thomas Erastus, teolog protestan Swiss Jerman abad XVI. Bentuk kehidupan Negara seperti ini menurut Wogaman terdapat terutama di Jepang dengan Shintoismenya. Hal serupa juga dapat dilihat ketika Stalin pada awal PD I merangkul Gereja Orthodox Russia. Yang paling nyata bentuk ini dapat dilihat dalam kehidupan Gereja Anglikan di Inggris.
3. Pemisahan Gereja-Negara Yang Rusuh: yaitu suatu kehidupan bernegara yang di dalamnya terjadi pemisahan yang sangat keras antara gereja dan negara. Dalam kasus-kasus tertentu, kehidupan keagamaan bahkan tidak diakui, atau tidak diperbolehkan. Wogaman memberi contoh kasus antiklerikalisme abad XIX di Perancis. Di negara-negara Marxists, bahkan lebih ekstrim lagi, seperti yang terjadi di Albania sebelum berahirnya Perang Dingin antara Barat dan Uni Soviet. Dalam konstitusinya, Albania tidak mengakui keberadaan agama, dan mempropagandakan ateisme.
4. Pemisahan Gereja-Negara Yang Ramah: yaitu suatu kehidupan bernegara yang di dalamnya ada pemisahan yang tegas secara legal antara kehidupan beragama dan kehidupan beragama. Amerika Serikat oleh Wogaman disebut sebagai contoh yang sangat jelas akan tipe ini. Tipe ini telah dijamin dalam konstitusi Amerika Serikat juga dengan maksud untuk menjaga integritas dan independensi lembaga-lembaga keagamaan itu sendiri.

Tentu keempat tipe ini adalah keadaan ideal yang dapat digambarkan. Dalam prakteknya sering terjadi campuran antara beberapa tipe. Terhadap tipe teokarasi, Wogaman sangat tegas menolaknya. Bahkan disebutnya sebagai suatu ilusi (khayalan), karena ketika agama berkeinginan untuk menguasasi negara, yang terjadi pada akhirnya adalah agamalah yang diperalat negara untuk tujuan-tujuan politik tertentu.[3] Jadi batas antara teokrasi dan erastianisme sangat tipis. Ilusi lainnya adalah sulitnya membedakan mereka yang benar-benar taat beragama atau hanya memperalat agama untuk tujuan-tujuan mereka sendiri demi karier atau keuntungan diri sendiri. Masalah lebih dalam lagi baginya adalah masalah teologik. Akibat dari teokrasi ini akan tercipta dua kelompok manusia dalam masyarakat, yaitu mereka yang merasa memiliki kebenaran Tuhan itu dan yang tidak.
Yang merasa memiliki kebenaran itulah yang memimpin yang tidak. Merekalah yang berhak menjadi presiden, menjadi anggota DPR, menteri, gubernur, jenderal penuh dan sebagainya. Yang lain itu tidak boleh karena tidak memiliki kebenaran (kafir). Keadaan ini bisa mengakibatkan kelompok yang merasa diri benar itu bisa mencari keuntugan dari yang tidak memiliki kebenaran. Yang menyedihkan lagi mereka berbuat demikian atas nama Tuhan. Masalahnya, siapakah manusia yang dapat memahami Tuhan itu secara sempurna, sehingga berani mengklaim bahwa dia memiliki kebenaran itu? Tuhan itu tidak akan pernah dipahami seorang manusia pun secara penuh. Karenanya, mengatasnamakan Tuhan dalam kehidupan keagamaan, sosial atau politik merupakan sikap yang berlebihan.

Sudah tentu tipe ini juga akan menghasilkan diskriminasi berat suatu negara atas warganya. Mendukung penuh pendidikan warga negaranya yang agamanya sesuai dengan agama resmi mulai dari sekolah-sekolah agama pada tingkat pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi sementara warga negara lain yang tidak sama agamanya dengan agama resmi tidak didukung dengan biaya negara adalah wujud diskriminasi negara. Suatu negara yang dengan sadar melakukan diskriminasi dengan jalan merendahkan hakikat kemanusiaan warganya sendiri karena latar belakang agamanya yang tidak sama dengan agama resmi yang didukung negara itu, bukanlah negara yang besar.

Sehubungan dengan pelaksanaan HAM, maka sudah tentu tipe pertama, kedua dan ketiga bukanlah bentuk hubungan negara dan agama yang baik. Ketiganya dapat mengakibatkan pelanggaran HAM berat karena mengabaikan ekspresi beragama manusia yang beragam. Padahal, keragaman ekspresi keagamaan itu merupakan hakikat manusia.
Ketiga tipe itu juga bukanlah tipe yang dapat menghasilkan suatu kehidupan bernegara yang demokratik, karena mengingkari kesamaan hak politik warga negaranya.
Dalam masyarakat yang pluralistik, masalahnya menjadi semakin pelik, karena ada banyak orang yang mengakui mengenal dengan baik kehendak Tuhan, sehingga berani bertindak atas nama kehendak atau wahyu Tuhan. Kalau semua sama-sama benar, lalu yang mana yang harus diacu? Dalam kerangka itulah selain keempat tipe seperti yang digambarkan Wogaman, Rosseau pada abad XVIII memperkenalkan tipe yang lain, yaitu yang disebutnya agama sipil.[4]
Agama sipil adalah suatu kesetiaan warga suatu masyarakat yang terikat pada kontrak sosial yang mereka bangun sendiri untuk mencapai bersama-sama kehendak umum mereka (general will), yaitu keadilan dan kesejahteraan bersama. Kalau kehendak umum tersebut dipahami baik dan memiliki nilai transendental, maka adalah tugas setiap warga negara untuk melakukan tugasnya dengan baik sehingga berguna bagi sesamanya. Terhadap pemahaman imaniah seperti inilah, pemerintah perlu mengaturnya dalam berbagai aturan, bukan sebagai dogma, tetapi sebagai suatu tuntutan sosial yang tanpanya, seseorang tidak bisa menjadi warga negara yang baik atau rakyat yang setia. Pemahaman imaniah seperti itu tidak sama dengan agama seseorang. Menurut Rousseau, terhadap agama seseorang tersebut pemerintah sebaiknya tidak perlu ikut campur tangan mengurusnya.
Apa yang semula merupakan gagasan Rousseau itu kemudian dikembangkan Robert N. Bellah dari Amerika Serikat (AS). Bellah mencoba memperkenalkan istilah ini dalam tahun 1950an. Dia menyebutnya sebagai agama sipil, sekalipun pengertiannya berbeda sedikit dengan pengertian Rousseau. Baginya, agama sipil Amerika itu adalah ketundukan bangsa Amerika pada prinsip-prinsip ethis yang transendental dan terhadap prinsip-prinsip ethis tersebut bangsa itu dinilai.[5] Pemikiran ini dikembangkannya dengan latar belakang Amerika Serikat yang baru saja keluar dari PD II sebagai pemenang perang dan khawatir bahwa perasaan tersebut dapat membawa AS ke suatu kehidupan yang berbahaya bagi bangsa-bangsa lain. Karenanya, dia mengatakan bahwa agama sipil AS tersebut haruslah ditempatkan dalam perspektif agama sipil dunia supaya mendapatkan maknanya.[6] Kelihatannya, kekhawatiran Bellah tersebut mulai mengkristal dalam diri AS di bawah pemerintahan George W. Bush saat ini.

Yang menarik dari perkembangan gagasan Bellah ini adalah adanya tantangan yang sangat keras terhadap pandangannya itu, terutama dari lembaga-lembaga keagamaan, sehingga Bellah memutuskan untuk tidak mengembangkan gagasan tersebut lebih lanjut. Keberatan terutama datang dari pandangan keagamaan gereja-gereja di AS yang eksklusif. John A. Coleman meneruskan pemikiran Bellah tentang agama sipil itu dengan rumusan “seperangkat bentuk dan tindakan simbolik yang menghubungkan manusia sebagai warga negara dan masyarakatnya dalam sejarah dunia dengan kondisi-kondisi akhir keberadaanya (ultimate).”[7] Selanjutnya ia membedakan tiga tipe jenis agama sipil.[8]
1. Kejumbuhan berkelanjutan: yaitu bentuk agama sipil yang jatuh sama dengan institusi dalam masyarakatnya. Terhadap tipe ini ada dua model yang terjadi, yaitu
(a) Agama sipil yang disponsori oleh gereja (lembaga keagamaan).
Dalam tipe ini agama yang merupakan agama mayoritas merasa dapat mengembangkan simbol-simbol dan nilai-nilai keagamaannya sebagai kebutuhan dan tujuan kehidupan negara, sehingga agama tersebut bisa menjadi petunjuk juga bagi kehidupan sipil. Masalah yang dapat muncul dengan tipe ini adalah kesulitan kebebasan beragama dan sipil dari warga yang tidak sama agamanya. Ia juga dapat menimbulkan masalah loyalitas warga yang agamanya tidak sama dengan agama resmi. Dan terakhir, bila agama resmi tesebut adalah agama yang sangat tradisional, maka perkembangan masyarakatnya akan sangat lambat. Tipe ini mirip dengan tipe teokrasi seperti yang digambarkan Wogaman.
Contoh yang dikemukakannya untuk tipe ini adalah Spanyol dan Srilangka.
(b) Agama sipil yang disponsori oleh negara.
Dalam tipe ini negaralah yang memaksakan bentuk keagamaan dalam kehidupan bernegaranya. Masalah yang muncul dengan tipe ini adalah penolakan dari agama-agama yang sudah ada. Contoh yang dikemukakannya adalah Penyembahan Kaisar di kekaisaran Romawi dan Shintoisme di Jepang. Penolakan datang dari Keyahudian dari Kekristenan di Romawi, sedangkan di Jepang penolakan datang dari agama Buddha dan agama-agama lainnya.
2. Nasionalisme Sekular: yaitu bentuk agama sipil yang muncul karena agama-agama yang ada terlalu tradisional atau terlalu dekat hubungannya dengan suatu rejim yang digantikan oleh rejim baru. Nasionalisme itu berfungsi sebagai “agama” bagi kehidupan negara tersebut dengan cara memberi arah (destiny) dan nilai. Masalahnya dengan agama sipil tipe ini adalah dia hanya merupakan agama bagi segelintir elite ngara, seperti yang terjadi di Turki sesudah revolusi Ataturk dan Perancis pada masa revolusi Perancis yang menjadikan akal sebagai “agama”nya. Selain itu juga penolakan dari agama yang ada terlalu besar, terutama ketika agama-agama memiliki jaringan internasional yang kuat.
3. Agama Sipil- Pemisahan: seperti yang terjadi AS. Hal ini dimungkinkan karena adanya prinsip pemisahan yang tajam antara gereja dan negara yang ada dalam konstitusi AS. Agama sipil itu tidaklah sama dan juga tidak menggantikan Kristen Protestan atau Katolik dan juga Keyahudian.
Jadi, agama sipil yang dapat dilihat sebagai suatu terobosan atas hubungan agama dan politik juga dibatasi oleh adanya eksklusivisme agama.

Karena itu, suatu negara yang memiliki pluralitas agama hanya akan bisa bertahan dan berlaku adil bagi setiap warganya, apabila dia merupakan suatu negara demokratik yang dijalankan berdasarkan suatu konstitusi yang diterima bersama oleh rakyatnya yang latar belakang keagamaannya beragam. Pertanyaan yang patut dikemukakan dalam situasi seperti itu adalah, apakah agama sejalan dengan demokrasi? Apakah agama memang dapat menjamin kehidupan manusia yang demokratik? Apakah agama dan demokrasi dua hal yang dapat berlangsung bersamaan atau sebaliknya? Untuk membahasnya, pertama-tama akan dibahas terlebih dahulu pengertian demokrasi.

Demokrasi dan Masyarakat Sipil: Bentuk Kehidupan Negara Yang Menjamin HAM

Demokrasi berasal dari dua kata Yunani, yaitu demos dan kratein. Demos berarti orang banyak dan kratein berarti memerintah. Jadi demokrasi adalah suatu sistem politik yang di dalamnya orang (-orang) dari suatu negara memerintah melalui bentuk pemerintah yang mereka pilih. Dalam sejarahnya, demokrasi pertama-tama muncul di Yunani terutama dalam kehidupan di negara-kota. Dalam bentuk awalnya, demokrasi terjadi secara langsung. Rakyat yang memiliki hak politik, terlibat langsung dalam pertemuan-pertemuan publik dan memberikan suaranya yang turut menentukan kehidupan bersama negara-kota itu. Ini bisa terjadi karena jumlah penduduk dalam suatu negara-kota tidaklah banyak. Dalam perkembangannya kemudian, kehidupan demokrasi berlangsung lewat perwakilan, melalui wakil-wakil yang dipilih rakyat banyak.
Dalam bentuk awalnya, demokrasi bukanlah hak semua rakyat, akan tetapi terbatas pada orang-orang tertentu saja. Para budak dan perempuan, tidak termasuk yang memiliki hak politik itu. Karena pengaruh agama Yahudi dan Kekristenan yang memberi perhatian kepada orang-orang tersisih dan kesamaan semua manusia di hadapan Tuhan, maka hak-hak politik itu diberikan pula kepada semua orang, termasuk perempuan.
Demokrasi Yunani yang terbatas seperti di atas berkembang sampai runtuhnya Romawi. Pada masa Abad Pertengahan sebelum terjadinya Renaissance dan Reformasi, demokrasi pada dasarnya tidak berkembang, terutama ketika terjadinya era Kekristenan. Pada era tersebut, agama Kristen berhasil mendominasi berbagai aspek kehidupan masyarakat, sehingga kebebasan manusia tidak bisa berkembang seluas-luasnya. Gereja, terutama para pemimpinnya sangat berpengaruh dalam menentukan arah kehidupan bermasyarakat. Teologi sebagai suatu disiplin keilmuan lalu ditempatkan sebagai ratu dari Ilmu Pengetahuan. Era ini dalam sejarah gereja disebut sebagai Era Konstantin (Constantinian Era).[9] Pada tahap itu, demokrasi tidaklah berkembang. Kehidupan bermasyarakat lebih berbentuk monarki-teoktratik. Monarki karena para rajalah yang berkuasa atas kehidupan banyak orang. Teokratik, dalam pengertian bahwa para raja yang berkuasa itu dikuasai oleh para pemimpin agama (Gereja), sehingga mereka harus menjalankan ajaran-ajaran agama (gereja) dalam kehidupan bermasyarakat. Pada tahap itulah demokrasi tidak terwujud.
Perubahan baru terjadi ketika kewenangan mutlak para pemimpin gereja dipersoalkan oleh Reformasi yang dilakukan oleh Marthin Luther di Jerman tahun 1517. Ketika kewenangan mutlak para pemimpin agama itu sudah diruntuhkan dan diimbangi dengan masa Renaissance, yaitu masa perkembangan seni yang mencerminkan kebebasan berekspresi manusia, maka dominasi agama (gereja) terhadap kehidupan manusia mulai menyusut. Hal ini semakin diperkuat dengan munculnya masa pencerahan, ketika manusia mulai menghargai kemampuan akal (reason), ilmu pengetahuan dan penghargaan terhadap kemanusiaan. Masa ini dipahami sebagai masa baru setelah mereka melewati berabad-abad masa kegelapan dan ketidaktahun (ignorance). Pencerahan ini mendominasi abad 18 dan memuncak dengan Revolusi Perancis. Pada abad 19 dan 20, pencerahan mewariskan sekularisme yang menghasilkan liberalisme dan sosialisme. Berakhirnya dominasi agama (gereja) itu menandai berakhirnya era konstantin, dan mulainya era demokrasi.
Perkembangan demokrasi ini di Eropa juga terjadi sehubungan dengan semakin kuatnya kekuatan ekonomi warga masyarakat akibat revolusi industri. Sebelumnya yang menjadi orang kaya di Eropa terutama adalah para raja dan keluarga raja. Dengan revolusi industri, maka orang kaya sudah tidak dapat dibatasi hanya pada para raja dan keluarga mereka saja, melainkan juga pada pengusaha yang sukses, terutama pengusaha wool di Inggris.
Akibat dari semakin kuatnya posisi ekonomi warga masyarakat itu, lalu mereka meminta keterlibatan mereka dalam mengatur kehidupan bersama, dan tidak bisa hanya menerima kekuasaan raja saja sebagai satu-satunya penguasa dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam menetapkan pajak. Lahirlah parlemen sebagai badan yang patut didengar oleh raja sebelum membuat kebijakan baru bagi rakyatnya. Perjuangan melawan pemerintahan otokratik para raja ini di Inggris untuk pertama kalinya terjadi melalui pemberontakan rakyat terhadap kekuasaan raja dalam proses demokratik ini tahun 1642 ketika raja Charles I menentang wewenang parlemen dan akhirnya dia harus dieksekusi (dihukum gatung) oleh parlemen, karena dianggap menentang rakyat.
Pada pertengahan abad 20, hampir semua negara di dunia telah menganut sistem demokrasi ini, kecuali beberapa yang masih tinggal dalam bentuk pemerintahan yang lama. Sekalipun prakteknya belum terjadi seperti yang diharapkan, akan tetapi secara prinsip mereka menyetujui sistem demokrasi ini. Persetujuan ini terjadi karena demokrasi memiliki beberapa prinsip dasar yang disukai, yaitu kebebasan individu, yang memberikan kepada individu suatu kebebasan dan tanggungjawab dalam mengembangkan karier dan kehidupan mereka sendiri; kesetaraan di depan hukum dan hak memilih dan mendapat pendidikan secara universal. Hak-hak seperti itu sudah dicantumkan dalam dokumen-dokumen besar seperti The Declaration of Independence AS, The French Declaration of the Rights of Man and of the Citizen, dan Atlantic Charter.[10]

Demokrasi ini bisa berkembang dengan cepat selain didukung oleh kekuatan ekonomi rakyat, terutama oleh pemikiran-pemikiran para filosof terhadap kehidupan manusia, terutama pemikir dari Perancis seperti Montesquieu dan Rosseau, dan Jefferson dan Madison di Amerika Serikat. Karenanya, untuk memahami dengan baik pemikiran mereka tentang demokrasi, ada baiknya kita simak pemikiran mereka, terutama Rosseau yang sangat cocok bagi konteks Negara seperti Indonesia. Rosseau mengatakan suatu kehidupan bersama manusia dapat terjadi dalam dua wujud, yaitu wujud state of the nature (kehidupan secara alami) dan civil state/society (kehidupan secara sipil, tidak alami akan tetapi disepakati bersama-sama oleh manusia cara hidup bersama itu).[11] Dalam tahapan state of the nature, kecenderungan yang terjadi adalah munculnya orang-orang kuat tertentu yang berhasil menundukkan dan menguasai sesama manusia lainnya dan memerintah sebagai raja atas sesamanya. Inilah yang menghasilkan monarki yang berkepanjang dalam sejarah umat manusia. Raja ini adalah raja yang dipahami berkuasa atas manusia dan segala harta bendanya, sehingga ia menjadi penguasa tunggal atas rakyatnya. Akibatnya, sesama manusianya hanya bisa tunduk dan taat kepada sang raja itu dan manusia itu kehilangan kebebasan individu dan hak atas harta bendanya. Manusia-manusia ini hanya bisa jadi budak yang tak berdaya bagi sang raja. Dalam situasi seperti ini, jaminan kebebasan individu dan hak individualnya hilang sama sekali. Hukum rimba yang berlaku dalam situasi seperti ini.

Civil state (society) sebaliknya, adalah bentuk kehidupan bersama manusia yang tidak didasarkan atas kekuatan satu orang atau satu kelompok orang tertentu, tetapi didasarkan pada penghargaan terhadap hak-hak individu untuk mendapatkan kebebasan individunya dan kehidupan yang layak. Kehendak untuk mendapat kehidupan yang layak itu disebutnya sebagai general will (kehendak umum). General will inilah yang harus menjadi acuan kehidupan bersama itu. Untuk menjamin tercapainya general will itu, manusia membuat kontrak sosial di antara mereka sendiri untuk menyerahkan sebagian wewenang mereka kepada suatu pemerintahan untuk mengatur dan menjamin kehidupan bersama itu. Pemberian sebagian wewenang itu dilakukan lewat suatu proses demokratik, yaitu melalui pemberian suara kepada orang-orang tertentu yang dipercayai masyarakat. Dalam pemberian suara itu (proses demokratik) itu ada kemungkinan terjadi suara yang terbanyak. Suara terbanyak ini oleh Rosseau disebut sebagai the will of all (kehendak kebanyakan).[12] The will of all ini sesuatu yang wajar saja dalam suatu proses demokratik. Yang tidak boleh terjadi adalah bahwa the will of all ini dianggap mewakili semua masyarakat, sehingga dinilai dapat menggantikan the general will itu. The will of all tidak sama dengan general will, karena tidak meliputi keinginan semua. Kalau ini yang terjadi, maka yang tercipta bukan lagi civil state, tetapi state of the nature. Ini hukum rimba dalam bentuk kelompok, bukan lagi individu seperti jaman monarki dulu. Kalau sudah terjadi hukum rimba, maka proses dan bentuk kehidupan seperti itu tidak dapat lagi disebut demokratik. Karena itu, demokrasi bukanlah bentuk kehidupan berdasarkan suara mayoritas saja. Demokrasi adalah bentuk kehidupan bersama yang menjamin kebebasan dan hak setiap individu, entah dia berada dalam kelompok mayoritas, atau pun dalam kelompok minoritas.
Demokrasi dengan demikian merupakan bentuk kehidupan bersama yang menolak kesewenangan, entah yang muncul dalam diri individu (raja) atau pun juga kelompok. Demokrasi dengan demikian bukanlah suatu majorocracy, pemerintahan yang dijalankan sekedar berdasarkan perolehan suara mayoritas saja. Karenanya, setiap bentuk mayoritas tidak selalu berarti baik dalam kehidupan demokrasi. Melalui kehidupan yang demokratik hak asasi manusia dijamin, karena tertuang dalam general will. Masalahnya, apakah general will ini bisa bertahan apabila suatu will of all itu didasarkan pada suatu agama yang mengklaim kebenaran itu?

Di situlah terletak ancaman kehidupan suatu negara demokratik. Fareed Zakaria, editor majalan Newsweek, sangat mengkhawatirkan terciptanya otokratik dari suatu proses demokrasi yang tidak sejalan dengan hakikat demokrasi seperti yang digambarkan Rousseau. Keraguannya muncul sehubungan dengan kuatnya legitimasi agama yang eksklusif itu atas kehidupan manusia, sehingga melalui suatu proses demokratik yang terlalu mengandalkan the will of all, yang disebutnya sebagai tirani mayoritas, akan tercipta otokrat-otokrat agama.[13] Dalam kasus Indonesia pada awal reformasi ia mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia tidak berkembang dengan baik karena ketidaksiapannya.[14] Tiga hal disebutkan sebagai alasan utama. Pertama, ketergantungan yang terlalu tinggi atas sumber daya alam. Kedua, tidak adanya lembaga politik yang legitimate. Dan ketiga, PDB masih rendah, yaitu $ 2,650. Akibatnya yang terjadi adalah wacana agama. Padahal untuk menjadi suatu negara demokratik yang stabil dibutuhkan PDB antara $3000 - $ 6000.[15]

Jadi demokrasi pun terancam oleh eksklusivisme agama ini. Hal ini wajar saja, menurut Philip E. Hammond, karena setiap orang cenderung berusaha untuk memberi makna dalam tindakan politiknya, terutama dalam situasi pluralistik, sehingga kehidupan politik pun tidak dapat dihindari dari pengaruh agama.[16]
Satu konsep terbaru yang dikembangkan dalam diskursus demokrasi dan keragaman tuntutan HAM ini adalah multikulturalisme yang dikemukakan oleh Charles Taylor.[17] Dalam uraiannya Taylor mengedepankan perlunya penghargaan (recognition) terhadap keragaman budaya yang ada dalam suatu masyarakat kalau kelangsungan masyarakat itu ingin dipertahankan. Namun pada bagian akhir uraiannya, ia juga sadar bahwa tantangan yang harus dihadapi dalam upaya ini adalah sikap agama-agama yang ada terhadapnya.
Jadi, persoalan keadilan dan penghargaan atas keberadaan seorang manusia akhirya terpulang pada pemahaman manusia oleh agama. Sekalipun sudah dijamin lewat konstitusi suatu negara (negara konstitusional), praktek dalam kehidupan bersama selalu dipengaruhui oleh pandangan agama itu. Karenanya, pandangan agama yang sangat eksklusif itu harus dibedah. Maksud pembedahan ini untuk mengetahui benarkah pandangan agama seperti itu berasal dari Tuhan atau lebih merupakan pandangan manusia dalam lingkungan agama itu. Kalau hal ini dapat dijawab, maka terbuka pintu bagi peninjauan kembali eksklusivisme agama itu. Dengan demikian dapat dijawab pertyanyaan mendasar, benarkah Tuhan telah dengan sengaja melalukan diskriminasi di antara manusia, baik antara manusia-manusia dengan agama yang berbeda yang mempercayai Tuhan yang sama, maupun antara manusia-manusia yang beragama yang percaya kepada Tuhan dengan manusia yang tidak percaya kepada Tuhan?
Untuk itu, eksklusivisme Kekristenan yang berasal dari agama Yahudi sebagai agama-agama Abrahamik perlu dikaji, terutama sebagaimana disaksikan dalam kitab suci mereka, yaitu Alkitab Ibrani.

Eksklusivisme Agama-Abrahamik
Pengaruh Keyahudian ini bukan hanya terdapat dalam Kekristenan. Thomas Cahill memasukkan bangsa-bangsa Barat dan non-Barat yang telah dipengaruhi oleh Keyahudian ini sebagai the gifts of the Jews, hadiah bangsa Yahudi.[18] Ini tidak sepenuhnya salah karena ada benarnya juga. Sayangnya, termasuk dalam hadiah itu adalah eksklusivisme ini.
Alat analisis yang baik untuk hal ini adalah analisis sosio-historis.[19] Asumsi di balik analisis ini adalah bahwa segala sesuatu yang historik, pasti ada asal-usulnya. Dia tidak jatuh begitu saja dari langit. Melalui pendekatan ini diusahakan mendekatkan teks ke konteks sejarahnya untuk mengkaji dinamika sosial, politik dan ekonomi yang terjadi di seputar teks itu.

Ada dua konsep dalam Keyahudian yang menyebabkan mereka menjadi eksklusif menurut hemat saya.[20] Dua konsep tersebut yaitu (1) Israel Alkitab, adalah bangsa pilihan yang diberkati, dan (2) Israel Alkitab adalah bangsa kudus. Konsep keterpilihan dan diberkati ini terdapat dalam cerita Abraham (Kej 12), yang berlanjut dengan keturunannya. Sejalan dengan konsep terpilih, juga berkembang konsep diberkati. Melalui Abraham semua bangsa diberkati (Kej 12: 3). Tentang kudus, terdapat dalam rumusan karena TUHAN mereka kudus (Im. 19: 2; 20: 2, 8, dsbnya) mereka juga harus kudus.

a. Umat Pilihan dan Yang Diberkati.
Konsep ini untuk pertama kali nampak dalam pemilihan Abraham leluhur Israel, yang diikuti dengan cerita tentang Ishak dan Yakub. Masalahnya, apakah cerita para leluhur ini suatu yang historik? Bagi Gottwald, tradisi para leluhur termasuk dalam tradisi yang ditulis dengan tema “seperti sejarah” (history-like themes), karena kesejarahan cerita itu perlu dikaji lagi.[21] Yang diduga ada sejak semula hanya dua tradisi, yaitu tradisi tentang
Perbudakan dan Pembebasan dari Mesir: Musa
Penaklukan tanah perjanjian: Josua.
Dari dua tradisi pokok ini barulah dikembangkan tema-tema tentang Yakub yang merupakan leluhur dari suku-suku di Utara, dan Abraham dan Ishak yang merupakan leluhur dari suku-suku di Selatan. Perkembangannya lalu menjadi Para Leluhur:
Janji kepada Abraham

Janji kepada Ishak

Janji kepada Yakub

Perbudakan dan Pembebasan dari Mesir: Musa

Penaklukan tanah perjanjian: Josua.

Sesudah itu tradisinya berkembang dengan sebab-sebab mereka tiba di Mesir, sehingga tradisinya lalu menjadi Para Leluhur:
Janji kepada Abraham

Janji kepada Ishak

Janji kepada Yakub

Turun ke Mesir: Yusuf

Perbudakan dan Pembebasan dari Mesir: Musa

Penaklukan tanah perjanjian: Josua.

Perkembangan tradisinya bertambah dengan tema perjalanan di pandang gurun, sehingga tradisinya lalu menjadi Para Leluhur:
Janji kepada Abraham

Janji kepada Ishak

Janji kepada Yakub

Turun ke Mesir: Yusuf

Perbudakan dan Pembebasan dari Mesir: Musa

Bimbingan di padang belantara: Musa (dari Mesir ke Sinai)

Bimbingan di padanggurun: Musa (dari Sinai ke Moab)

Penaklukan tanah perjanjian: Josua.


Penambahan terakhir adalah mengenai pemberian hukum di Sinai, sejarah awal kemanusiaan, dan konsolidasi penaklukan. Dengan proses perkembangan tradisi seperti itu, akhirnya tersusunlah suatu tradisi yang utuh sebagai berikut:
Awal Sejarah: Dari Penciptaan sampai Abraham
Para Leluhur:

Janji kepada Abraham

Janji kepada Ishak

Janji kepada Yakub

Turun ke Mesir: Yusuf

Perbudakan dan Pembebasan dari Mesir: Musa

Bimbingan di padang belantara: Musa (dari Mesir ke Sinai)

Hukum dan Perjanjian di Sinai/Horeb: Musa

Bimbingan di padang gurun: Musa (dari Sinai ke Moab)

Penaklukan tanah perjanjian: Yoshua

Konsolidasi penaklukan: Hakim-Hakim.


Jadi, kalau kesejarahan tokoh Abraham adalah sesuatu yang harus kita pikirkan ulang, lalu apa fungsi cerita itu, terutama yang berhubungan dengan keterpilihan dan yang diberkati itu? Untuk memahaminya, maka teks tentang Abraham itu harus dicari sumbernya.
Berdasarkan analisis para ahli, bagian cerita itu berasal dari sumber Y, yaitu suatu sejarah pertama kerajaan Israel yang ditulis ketika Daud menjadi raja di Kerajaan Israel (Bersatu).[22] Cerita ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 980an szb (sebelum jaman bersama). Tulisan itu sekarang tersebar dalam kitab-kitab Kejadian, Keluaran, Imamat dan Bilangan. Tulisan ini dimulai dengan cerita penciptaan dalam Kejadian 2: 4b dan berakhir dengan Bilangan 24 ketika Bileam memberkati Israel, dan bukannya mengutuki seperti yang dimintakan darinya oleh Balak.

Coote dan Ord mengatakan bahwa Mesir sebagai negara adi-kuasa pada waktu itu adalah ancaman yang serius bagi kerajaan Daud yang masih baru itu.[23] Karenanya, Daud harus mengambil langkah-langkah untuk meyakinkan rakyatnya (suku-suku), terutama para pemimpin mereka (syeikhs), agar tidak khawatir terhadap ancaman tersebut. Untuk itulah dikembangkan cerita seperti ini sedemikian rupa, sehingga Mesir harus berada dalam posisi yang dikutuk sedangkan Israel berada pada pihak yang diberkati. Hal itu dimulai sejak cerita Kain dan Habel. Itulah sebabnya mengapa Kain harus menjadi orang yang dikutuk, sedangkan Habel adalah orang yang diberkati. Dari kedua orang ini tersusunlah silsilah para leluhur sampai ke Israelnya Daud. Dalam silsilah itu Mesir berada di jalur silsilah Kain yang dikutuki, sedangkan Abraham, Ishak dan Yakub dan terakhir Israel berada di jalur silsilah yang diberkati.[24] Hal ini dimaksudkan agar rakyatnya, terutama para elitnya tidak perlu takut dengan Mesir yang menjadi ancaman itu. Ancaman itu kemudian terbukti dengan dipakainya Jerobeam oleh Mesir untuk menghancurkan kerajaan Israel itu setelah matinya Salomo. Dengan demikian tema terpilih dan diberkati adalah upaya yang dibuat Daud lewat para penulis sejarahnya untuk membesarkan hati rakyatnya agar tetap berada dalam kerajaan Daud yang masih baru itu.
Demikianlah akar sejarah dan sosial dari konsep umat pilihan yang diberkati.


b. Konsep Bangsa yang Kudus.

Karena banyaknya ayat-ayat yang berhubungan dengan konsep kekudusan ini terdapat dalam kitab Imamat, termasuk yang disebut para ahli sebagai Holiness Code, yaitu kumpulan konsep tentang kekudusan dan Imamat 17–25, dapat diduga dengan segera bahwa konsep ini berasal dari sumber P.[25] Sumber ini ditulis setelah orang-orang Yahudi dibawa kembali oleh raja Koresy dari Persia dan diijinkan untuk memerintah sendiri secara terbatas (otonomi terbatas) sebagai propinsi, karena sudah tidak bisa lagi menjadi kerajaan setelah jatuhnya Jerusalem tahun 586 szb. Pemerintahan sendiri ini dimaksudkan agar tercipta suatu ketertiban di wilayah tersebut, karena luasnya daerah kekuasaan Persia yang terbentang mulai dari Yunani sekarang sampai ke sungai Indus di India.[26]
Untuk maksud itulah, mereka diijinkan pula membangun Bait Allah lagi (Bait Allah II). Melalui kegiatan ibadah yang dihidupkan kembali dan yang berpusat di Bait Allah II, ketertiban diharapkan dapat tercipta. Karenanya, dapat dipahami kalau kehidupan orang-orang Yahudi pada waktu itu “diperintah” oleh para imam. Yang dilakukan oleh para imam dalam rangka terciptanya ketertiban itu adalah dibakukannya suatu kumpulan tulisan yang merupakan sejarah dan hukum bagi bangsa Yahudi, yang dalam prosesnya kemudian menjadi Torah (hukum). Bagi orang-orang Yahudi hukum itu menjamin terciptanya pemurnian kembali orang-orang Yahudi dalam kepercayaan mereka terhadap TUHAN, sedangkan bagi Persia, tegaknya hukum di Jerusalem mengakibatkan terciptanya ketertiban dalam kehidupan masyarakat, sehingga Persia tidak repot mengurus wilayah kekuasaannya yang maha luas itu. Itulah proses yang kita temukan dalam kitab Ezra dan Nehemya. Dengan demikian lahirnya Torah sedikit banyaknya juga adalah jasa Raja Koresy. Tindakan mengkompilasi Torah itulah yang menjadi cikal bakal terjadi Alkitab Ibrani.[27] Torah dengan demikian bukanlah kitab yang turun dari langit. Kumpulan tulisan yang menjadi Torah ini yang bersama kitab-kitab para nabi dan mazmur serta karya lainnya, yang kemudian dikanonkan tahun 90 CE di Jamnia oleh para rabi (orang Parisi) yang selamat dari penghancuran Bait Allah II tahun 70 zb oleh kekaisaran Romawi, dalam bentuk Torah, Neviim dan Kethuvim (TaNaK) atau Alkitab Ibrani.

Dalam melakukan kanonisasi hukum (Torah) itulah, konsep kekudusan masuk di dalamnya yang sekarang ditemukan terutama dalam kitab Imamat, dan juga kitab-kitab Kejadian, Keluaran dan Bilangan. Proses penetapan konsep kudus ini berhubungan dengan dikembangkannya konsep eskatologi sebagai cara orang-orang Yahudi menyikapi kenyataan terjajahnya mereka setelah kehancuran Jerusalem dan pembuangan, serta ketidakmampuan mereka mengusir para penjajah itu. Melalui konsep eskatologi, TUHAN diharapkan melakukan intervensi dan menghukum para penjajah dan mengukuhkan kembali kemuliaannya di Zion serta memulihkan umatnya lagi.[28] Dalam eskatologi jaman penjajahan ini, bangsa-bangsa penjajah akan dihukum TUHAN, sedangkan orang-orang Yahudi bisa selamat, apabila mereka menjaga kekudusan mereka. Untuk menjaga kekudusan orang Yahudi, dibakukanlah diantaranya kewajiban bagi setiap orang Yahudi: diwajibkan makan makanan yang halal, bersunat dan memelihara Sabbath.[29] Kalau ini dilakukan, maka orang-orang Yahudi nantinya tidak sama dengan bangsa penjajah mereka. Untuk itulah para imam memberikan dasar “teologis” dari kewajiban yang menjadi hukum (Torah) ini. Dasar teologis untuk makan makanan halal adalah perjanjian TUHAN dengan Nuh yang ditandai oleh busur (pelangi) sebagai peringatan agar orang Yahudi tidak lagi menumpahkan darah. Busur adalah alat untuk menumpahkan darah. Karena sudah terjadi banyak pertumpahan darah, maka bumi harus dibersihkan. Banjir besar jaman Nuh itu adalah pembersihannya. Sesudah banjir, TUHAN mengadakan perjanjian dengan Nuh agar orang-orang Yahudi diingatkan untuk tidak lagi menumpahkan darah, termasuk makan makanan yang masih berdarah, sesuatui yang haram. Dari situlah timbulnya berbagai aturan yang menjaga kekudusan orang Yahudi dengan makan makanan yang halal saja.[30] Sunat ditetapkan juga sebagai cara untuk menjaga kekudusan orang Yahudi, karena sunat merupakan cara menjamin loyalitas seseorang terhadap klennya. Dalam kondisi ketika orang Yahudi sedang dijajah, maka hal seperti ini sangatlah penting dijaga agar orang Yahudi tetap dapat menjaga loyalitas dan identitas mereka sebagai orang Yahudi.[31] Hal ini disisipkan ke dalam cerita sumber Y tentang perjanjian yang dilakukan TUHAN dengan Abaraham. Sedangkan untuk Sabbath, dasarnya dilakukan dengan perjanjian TUHAN dengan Musa di Sinai setelah hukum itu diberikan. Semua konsep kekudusan ini oleh Sumber P sebenarnya sudah dimulai dalam cerita penciptaan seperti yang terdapat dalam Kej. 1: 1–2: 4a. Dalam cerita itu, TUHAN dikatakan menciptakan dunia dan isinya dalam waktu enam hari dan pada hari ketujuh Ia berhenti dan menguduskannya. Yang hendak dikatakan adalah pentingnya hari ketujuh itu, agar Sabbath bisa ditegakkan. Kalau TUHAN saja menguduskannya, apalagi orang Yahudi.[32]
Ini semua yang termasuk dalam konsep kekudusan yang dikembangkan oleh para imam pasca-pembuangan. Hubungannya dengan konsep eskatologi jelas, yaitu ketika hari TUHAN tiba dan TUHAN mengadakan penghakiman, mereka yang melaksanakan konsep kekudusan ini akan diselamatkan (Yer 46:27-28; Yes 52:1-12), sedangkan yang tidak melakukannya, yaitu para penjajah itu akan di hancurkan (yes 63:1-6). Karena itulah orang-orang Yahudi sangatlah ketat dengan konsep kekudusan ini. Hal ini terjadi bukannya karena memang mereka adalah bangsa yang kudus, akan tetapi di balik semua ketetapan itu adalah latar belakang sejarah dan sosialnya, yaitu merupakan upaya untuk mengatasi ketidakberdayaan mereka menghadapi para penjajahnya. Harapan tentang hari TUHAN itu masih berlangsung terus sampai ketika negara Israel modern dibentuk tahun 1948 zb, yang sekarang masih penuh dengan pergumulan.[33]

Dengan demikian menjadi jelas bahwa eksklusivisme Israel (Yahudi) yang telah kita warisi sampai sekarang dalam perilaku beragama kita ada latar belakang sosial dan historiknya, karena ditulis dan digumuli oleh manusia dalam suatu situasi tertentu. Situasi itu adalah situasi kekhawatiran Daud dan keinginan para imam Yahudi dalam suatu kerangka pergumulan tertentu. Sayangnya, kita sering melupakan hal ini, dan lebih melihat bentuk spiritualnya sebagai yang diperintahkan oleh TUHAN, padahal sebenarnya hal-hal itu dibuat manusia. Itulah yang Gottwald sebut sebagai “dual-causality principle” dalam Alkitab.[34] Akibat dari kecenderungan kita membaca Alkitab yang melihat hanya sisi TUHAN saja, dan mengabaikan sisi manusianya, menyebabkan kita memproyeksikan suatu kehidupan beragama yang tidak realistik. Tentu sebagai suatu yang ideal, hal-hal itu baik saja.[35] Akan tetapi ketika yang ideal itu sudah dimutlakkan, karena dianggap paling benar, paling kudus, paling diberkati dan paling diselamatkan sedangkan yang lainnya tidak benar, tidak kudus, tidak diberkati dan tidak diselamatkan, sehingga mengakibatkan diskriminasi, maka di situ ada masalah. Sayangnya, tidak kita sadari bahwa akibat dari sikap pemutlakkan yang demikian itu, kita telah menghancurkan kemanusiaan sesama kita, karena atas nama pemutlakkan itu sering kita merasa berwenang untuk bertindak sewenang-wenang terhadap sesama kita, termasuk meniadakan keberadaan mereka, melalui pemusnahan, pembunuhan, pencekalan, dsbnya. Kita telah melanggar HAM seseorang atas nama kemutlakan Tuhan itu. Dengan mengetahui sebab lain yang bersifat kemanusiaan, saya merasa kita memperoleh suatu pintu yang terbuka untuk mengembangkan pemahaman tentang keberadaan kita secara bebas. Kalau TUHAN oleh orang-orang Yahudi itu dianggap bisa berbuat seperti itu bagi mereka, mengapa kita tidak bisa juga beranggapan bahwa Tuhan bisa berbuat demikian juga bagi kita sebagai bangsa Indonesia? Kita sendiri sajalah yang telah memenjarakan diri kita ke dalam ideal orang Yahudi itu, sehingga tidak bebas untuk berteologi secara mandiri lagi. Padahal, kalau hal itu bisa kita capai, maka dalam sejarah kehidupan kita, kita dapat juga melihat bagaimana Tuhan itu juga telah berkarya dan menyatakan kehendakNya kepada kita sebagai bangsa.

Jadi, kalau Cahill menyebutnya sebagai the gift of the Jews, dalam hal ini menurut hemat saya itu adalah the trap of the Jews (perangkap Yahudi). Bangsa ini juga memiliki sejarah yang penting yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan pengalaman bangsa Yahudi sebagaimana digambarkan di atas. Mungkin pengalaman bangsa kita itulah yang perlu kita kaji lebih lanjut dalam kehidupan berbangsa, agar tidak terperangkap terus dengan pengalaman bangsa Yahudi.


Keberagamaan Indonesia: Tonggak Penting dalam sejarah Agama-Agama.

Dalam sejarah suatu bangsa baru yang bernama Indonesia yang singkat itu karena baru 59 tahun, sudah ada satu peristiwa penting yang memiliki dampak luas terhadap hubungan antar agama. Peristwa itu telah tertuang secara tegas dalam konstitusi bangsa baru itu yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Sayangnya peristiwa penting itu mulai diabaikan generasi penerusnya, sehingga terancam hilang dengan dampak yang sangat besar terhadap kelanjutan kehidupan bangsa ini.
Yang saya maksudkan adalah perasaan keberagamaan yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan implikasinya terhadap batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu dapat dilihat dari perubahan yang terjadi tanggal 18 Agustus 1945 ketika tujuh kata dari Piagam Jakarta dihilangkan dengan perubahan-perubahan yang dibuat para pendiri bangsa ini. Ini semua terjadi dalam Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indoensia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, sehari sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia.[36]
Perubahan-perubahan tersebut adalah:

1. Kata Mukadimah bagi preambul Undang-Undang diganti dengan kata Pembukaan.
2. Rumusan dalam alinea keempat “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…” diganti dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa….”
3. Perubahan rumusan pasal 6 “Presiden ialah orang Indonesia asli beragama Islam,” diubah menjadi “Presiden ialah orang Indonesia asli.”
4. Rumusan pasal 29 ayat 1 yang berbunyi “Negara berdasarkan ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…” diganti menjadi “Negara Berdasarkan Ketuhanan yang maha esa….”
5. Rumusan alinea ketiga pembukaan “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa” diganti menjadi “Atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa….”

Yang menarik untuk dibahas disini adalah pergantian kata Allah dengan kata Tuhan. Hal ini dilakukan atas usul anggota PPKII Gusti Ktut Pudja dari Bali yang beragama Hindu.[37] Perubahan itu menyebabkan kalimat lengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Pertanyaan yang patut dikemukakan disini adalah, apa maknanya? Pertama, bahwa kemerdekaan itu oleh rakyat Indonesia dipahami karena rahmat dan berkat Tuhan yang Maha Kuasa. Ini refleksi imaniah, bukan pernyataan berdasarkan sejarah, karena dalam sejarahnya bangsa Indonesia berjuang keras untuk memperoleh kemerdekaan. Kedua, yang membuat pernyataan ini adalah rakyat Indonesia seluruhnya sebagaimana disebutkan dalam kalimat di atas, bukan hanya Sukarno-Hatta saja sebagaimana diproklamasikan sehari sebelumnya.
Pertanyaan yang patut dikemukakan kini adalah siapa rakyat Indonesia itu dan apa agama mereka? Jawabannya, adalah rakyat Indonesia adalah mereka yang tersebar dari Sabang sampai ke Maluku dengan agama mereka masing-masing, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, juga Kaharingan, Aluk ta dolo, Perbegu, Marapu, dsbnya. Dalam refleksi imaniah mereka itu, yang Maha Kuasa dipahami sebagai Tuhan saja. Refleksi itu tidak persoalkan makna kata Tuhan bagi masing-masing pemeluk agama itu. Akan tetapi bersama-sama dengan bahasa nasional mereka, yaitu Bahasa Indonesia, mereka mengakui bahwa ada suatu kekuatan yang melampaui keberadaan mereka (transendental) dan bersama-sama mereka menyapa Dia sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa, itulah yang telah memungkinkan mereka memproklamsikan kemerdekaan mereka. Tuhan ini adalah nama bangsa Indonesia untuk yang ilahi itu. Ini sah saja seperti yang dikatakan John Hick.[38] Bahwa dalam persepsi keberagamaan Yahudi Dia disebut Yahweh, dan Islam disebut Allah s.w.t, Kristen disebut Allah Tritunggal, dan Konghucu disebut Thian, dan Aluk ta dolo dari Toraja disebut Puang Matua, itu semua menurut Hick adalah pemahaman secara budayawi. Sudah tentu Yang Maha Kuasa (Yang Mutlak) itu sendiri tidak bernama seperti yang dipahami oleh orang dengan latar belakang budaya yang beragam itu. Nama-nama itu adalah nama-nama yang dibuat oleh orang-orang tersebut karena latar belakang budayanya masing-masing. Karenanya, dapat dipahami kalau penamaan itu lalu menghasilkan berbagai bentuk eksklusivisme agama. Kalau dapat digambarkan penamaan tersebut dengan eksklusvisme mereka dapat dilihat pada lampiran 1, 2, 3. Sedangkan penamaan Yang Maha Kuasa (Yang Mutlak) itu sebagai Tuhan menurut bangsa Indonesia dapat dilihat pada lampiran 4. Kalau dalam lampiran 1, 2 dan 3 masih terasa adanya eksklusivisme dalam pengertian penamaan dari agama yang dominan dalam suatu bangsa mengakibatkan kedudukan sesama bangsanya yang lain agamanya lebih rendah dari agama yang dominan, maka penamaan Tuhan oleh bangsa Indonesia sebagaimana terdapat pada lampiran 4 tidak terdapat eksklusivisme itu.

Penamaan Tuhan dalam refleksi ini adalah karya bangsa Indonesia yang sangat egalitarian. Tidak dibedakan-bedakan satu dengan yang lainnya entah karena masalah suku atau agama atau ras atau golongan. Semua rakyat Indonesia dalam refleksi ini sama di hadapan Tuhan itu. Tidak ada satu yang secara khusus lebih istimewa dari pada yang lainnya, sehingga siapa pun boleh menjadi presiden. Inilah religiositas bangsa Indonesia yang patut mendapat perhatian kita semua, terutama gereja-gereja di Indonesia. Kalau warisan yang kita terima dari Keyahudian adalah eksklusivisme, maka dengan hadirnya kenyataan bangsa dan negara Indonesia tahun 1945 dengan religiositasnya itu, hadir suatu bentuk keberagamaan yang tidak eksklusif. Keberagamaan Indonesia ini membuka kesempatan untuk melepaskan diri dari eksklusivisme agama. Kalau orang-orang Yahudi boleh memiliki pemahaman keagamaan mereka sendiri, mengapa orang-orang Indonesia tak boleh memiliki pemahaman keagamaan mereka sendiri? Siapakah manusia yang dapat bertindak atas nama Tuhan untuk mengatakan bahwa pemahaman keagamaan Indonesia itu salah? Kasus Pondok Nabi tahun lalu, menjadi jelas bahwa tidak seorang manusia pun yang dapat memahami kehendak Tuhan dengan penuh dan karenanya dapat bertindak atas nama Tuhan.

Pernyataan reflektif bangsa Indonesia seperti ini akan membuat gereja-gereja di Indonesia bisa lebih bebas berteologi dalam kehidupan berbangsanya dan melepaskan dirinya dari ikatan intelektual serta emosional yang terlalu kuat dengan perangkap Yahudi tadi. Hanya ketika hal itu terjadi barulah ada peluang dihilangkannya eksklsusivisme agama yang pada gilirannya dapat menghasilkan penghargaan terhadap HAM dalam kehidupan bernegara, apalagi kalau pemahaman ini sudah terumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Karenanya, yang dibutuhkan hanyalah kesetiaan untuk mengimplementasikan kesepakatan para pendiri bangsa itu.

Sayangnya, generasi penerus bangsa ini sudah mulai melupakan apa yang dirumuskan para pendiri bangsa ini sehingga berbagai amandemen telah dilakukan terhadap undang-undang dasar itu, bahkan ada yang ingin sekali menggantikan kesepkatan tanggal 18 Agustus 1945 itu dan membawa kembali ke adaan sebelum tanggal tersebut. Dalam kenyatan memang harus diakui bahwa kesepakatan itu sudah diingkari. Ketika naskah Undang-Undang Dasar 1945 itu diundangkan dalam Berita Repoeblik Indonesia tanggal 15 Febroeari tahun 1946, kabinet yang mengundangkannya telah melakukan pengingkaran terhadap kesepakatan para pendiri bangsa, yaitu dengan tetap menggunakan kata Allah dalam alinea ketiga pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.[39] Ini bukan sekedar pengingkaran terhadap kesepakatan para pendiri bangsa, akan tetapi sekaligus menghilangkan warisan nilai yang terindah bangsa Indonesia, yaitu penghargaan kemanusiaan yang luhur, yang tidak eksklusif. Ini berarti telah meruntuhkan hakikat Keindonesiaan itu sendiri. Dasar yang indah dan kokoh bagi bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah dikhianati oleh Kabinet Febroeari 1946 itu.
Bagi gereja-gerejka di Indonesia, nilai luhur seperti ini haruslah menjadi bahan pertimbangan yang serius bagi teologi mereka ditengah-tengah bangsa dan negara ini. Dengan mengatakan ini berarti memang tidak bisa tidak, kita harus masuk dalam teologi politik. Kalau teologi politik itu dipahami sebagai suatu upaya kritik untuk mengkaji secara teologik kenyataan kehidupan bernegara dan bermasyarakat kita yang cenderung menghasilkan penindasan dan penghancuran kemanusiaan, maka adalah panggilan kita sebagai Gereja juga untuk mengkaji secara kritik kesepakatan para pendiri bangsa itu.[40] Kalau itu terjadi, barulah gereja-gereja di Indonesia berteologi secara real dan kontekstual. Tentu hal ini tidaklah berarti bahwa teologi politik adalah teologi satu-satunya di Indonesia, tetapi karena manusia adalah juga mahluk social yang langsung atau pun tidak terkait dengan kegiatan politik, maka dalam berteologi, realitas politik in tidak dapat diabaikan. Sayangnya, hal-hal seperti ini masih diabaikan oleh gereja-gereja di Indonesia, karena hal-hal seperti ini masih dianggap jauh dari kehidupan bergereja mereka. Mereka masih berada dalam “perangkap Yahudi” tadi. Hal ini dapat dilihat dari struktur gereja-gereja di Indonesia saat ini bahwa kenyataan nasional (Indonesia) itu masih belum menjadi bagian dari keberadaan mereka, sehingga selalu saja terbaikan hal-hal yang baik dari kenyataan nasional ini. Kalau itu dibiarkan terus menerus, maka gereja-gereja akan kehilangan pijakan yang kokoh dalam semua upaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akibatnya, gereja tidak dapat bersuara dengan lantang dalam membela HAM dalam suatu negara yang pluralistik seperti Indonesia.


Penutup
Setelah menganalisis secara kritik kenyataan eksklusivisme agama, terutama agama Abrahamik, bahwa kenyataan itu merupakan rumusan pergumulan manusia dalam perspektif pemahaman mereka terhadap pekerjaan Tuhan dalam kehidupan mereka, dan bukan merupakan wahyu Tuhan secara langsung yang menghendaki adanya eksklusivisme seperti itu, maka hambatan eksklusvisme agama itu harusnya sudah dapat diatasi.
Sementara itu para pendiri bangsa Indonesia di tahun 1945 berhasil merumuskan suatu posisi hubungan antar agama yang tidak eksklusif, yang berbeda sekali dengan posisi hubungan antar agama yang eksklusif sebagaimana dimiliki agama-agama dunia, terutama agama Abrahamik, sehingga berpeluang sebagai alternatif penghayatan keberagamaan yang dibutuhkan di masa depan kemanusiaan yang semakin menuntut penghargaan lewat konsep HAM.
Pada abad ke 21 ini kita sudah hidup dalam suatu jaman teknologi informasi yang sangat maju, sehingga sekat-sekat kebudayaan dan batas antar bangsa mulai luntur. Peradaban baru yang muncul bersamanya menuntut kita untuk berpikir secara baru. Asumsi-asumsi lama yang kita miliki lahir dari suatu situasi ketika hubungan antar manusia masih jauh sati dengan yang lainnya akibat isolasi komunikasi. Agama-agama besar dunia pada umumnya lahir dalam situasi seperti itu, khususnya situasi masyarakat agraris.
Pertanyaan yang patut dikemukakan adalah, apakah agama-agama yang lahir dari pangkuan peradaban agraris itu masih penad bagi peradaban teknologi informasi yang maju seperti ini? Bisakah pemutlakan-pemutlakan masa itu dipertahankan dalam era seperti ini? Kalau masih tetap mau dipertahankan, apakah itu realistik? Tidakkah sikap seperti itu hanya akan menimbulkan ketegangan yang besar dalam kehidupan manusia yang pada gilirannya akan menghancurkan kemanusiaan itu sendiri?
Kemanusiaan butuh keberagamaan yang penad bagi keberlangsungan eksistensialnya.


Acuan Kepustakaan

Bahar, Saafroedin, Ananda B. Kusuma dan Nannie Hudawati (Tim Penyunting). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, dengan Kata Pengantar oleh Taufik Abdullah (Jakarta: Sekretariat Negara R.I., 1995.

Berger, Peter L. (ed), The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics. Washington DC-Grand Rapids Michigan: Ethics and Public Policy Center-William B. Eerdmans Publishing Company, 1999.

Bellah, Robert N. Beyond Belief: Essays on Religion in A Post-Traditional World. New York: Harper and Row, 1970.

Bellah, Robert N. and Phillip E. Hammond, Varieties of Civil Religion. San Francisco: Harper and Row, 1980.

Bright, John. A History of Israel. Third Edition. Philadelphia: Westminster Press, 1981.

Cahill, Thomas. The Gifts of the Jews: How a Tribe of Desert Nomads Changed the Way Everyone Thinks and Feels. Oxford: Lion Publishing, 1998.

Cobb, John B. Jr. Process Theology as Political Theology. Manchester-Philadelphia: Manchester University Press-Wstmimster Press, 1982.

Coleman, John A. ‘Civil Reigion,’ Sociological Analysis, 31. Summer 1970.

Coote, Robert B. and David Robert Ord. In The Beginning: Creation and the Priestly History. Minneapolis: Fortress Press, 1991.

_________, The Bible’s First History: From Eden to the Court of David with the Yahwist (Philadelphia: Fortress Press, 1989).

Gottwald, Norman K. The Hebrew Bible: A Socio-Literary Introduction. Philadelphia: Fortress Press, 1985.

_________. The Politics of Ancient Israel. Louisville-Kentucky: Westminster John Knox Press, 2001.

_________. TheTribes of Yahweh: A Sociology of the Religion of Liberated Israel, 1250-1050 B.C. E. Maryknoll-New York: Orbis Books, 1979.

Hick, John. God Has Many Names. Philadelphia: Westminster Press, 1982.

Lang, Bernhard, Monotheism and the Prophetic Minority: An Essay in Biblical History and Sociology. The Social World of Biblical Antiquity Series 1. Shefield: The Almond Press, 1983.

Microsoft® Encarta® Encyclopedia 2003. © 1993-2002 Microsoft Corporation. All rights reserved.

Ricouer, Paul. Lectures on Ideology and Utopia. Edited by George H. Taylor. New York: Columbia University Press, 1986.

Rousseau, Jean Jacques. ‘The Social Contract,’ Book IV dari Robert Maynard Hutchins (ed), The Great Books of the Western World Volume 38. Chicago: William Benton, 1952.

Shaked, Shaul. ‘Zoroastrianism and Judaism,’ dalam Pheroza J. Godrej & Firoza Punthakey Mistree (ed), A Zoroastrian Tapestry: Art Religion & Culture. Ahmedabad: Mapin Publishing, 2002.

Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidkkan Nasional. Jakarta: Gramedia, 2004.

Wogaman, J. Philip. Christian Perspectives on Politics: Revised and Expanded. Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press 2000.

Zakaria, Fareed. Masa Depan Kebebasan: Penyimpangan Demokrasi di Amerika dan Negara Lain. Jakarta: Ina Publikatama, 2003.

Rabu, 09 Mei 2012

Peran Agama dalam Kesejahteraan NKRI

Ketika berbicara peran agama dalam makalah ini, maka kata “agama” yang dimaksud oleh Penulis adalah agama dalam pengertian lembaga, dan bukan agama dalam pengertian doktrinis maupun dogmatis. Hal ini menjadi sangat penting, untuk menghindari kesubjektivitasan dalam pembahasan. Saat ini bangsa Indonesia mengakui adanya enam agama, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha, Hindu dan Kong Hu Chu. Keenam Agama ini dalam kehidupan berbangsa dikatrol dalam kelembagaan masing-masing, yaitu : Islam dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kristen Protestan dengan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Kristen Katolik dengan Konfrensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Budha dengan Perwakilan Umat Budha Indonesia (WALUBI), Hindu dengan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Konghuchu dengan Majelis Tinggi Agama Kong Hu Chu Indonesia (MATAKIN). Di samping organisasi keagamaan yang besar di Indonesia, seperti PP. Muhammadiyah, PB. Nadahtur Ulama, dan lain-lainnya.
Kaitan antara Kesejahteraan Sosial dengan Agama memang akan susah untuk dilihat, tetapi tetap harus diangkat ke permukaan karena memiliki nilai yang sangat penting, karena salah satu unsur dalam kesejahteraan sosial adalah kebutuhan spiritual (di samping kebutuhan materil dan kebutuhan fungsi sebagai warga sosial). Untuk melihat kaitan antara agama dengan kesejahteraan Sosial, menurut hemat Penulis, harus dilihat dari berbagai sudut pandang, termasuk karakteristik kesejahteraan sosial. Salah satu karakteristik kesejahteraan sosial adalah manusia itu penting. Mengapa manusia menjadi penting? Manusia dianggap penting karena dalam usaha kesejahteraan sosial, dilakukannya pembangunan yang melibatkan manusia sebagai subjek maupun objek. Untuk itu, pembangunan yang diharapkan adalah pembangunan yang mendorong nilai-nilai kemanusiaan, bukannya pembangunan yang sifatnya malah menghancurkan. Pembangunan pada dasarnya dirancang dan dijalankan oleh manusia, untuk kepentingan manusia juga. Inilah yang disebut manusia sebagai subjek dan objek dalam pembangunan. Manusia merupakan mahluk yang memiliki nilai-nilai moral, di mana nilai-nilai moral dalam diri manusia itu didapatkannya dari ajaran agama.
Secara umum, agama tidak mungkin mengajarkan hal-hal yang menjadikan manusia berlaku tidak baik terhadap manusia lainnya. Nilai-nilai moral dari agama inilah yang akan mendukung pembangunan berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan menuju kesejahteraan sosial. Permasalahannya, manusia menjadi kehilangan nilai-nilai moral, pada saat ada kepentingan untuk keuntunga pribadi dari diri manusia. Ini menjadi permasalahan, karena manusia merupakan subjek dan objek dalam usaha kesejahteraan sosial (pembangunan). Hal inilah yang menurut hemat Penulis menjadi alasan mengapa kebutuhan spiritual dalam kesejahteraan sosial tidak terpenuhi.
Setidaknya ada dua alasan menurut Penulis, mengapa kebutuhan spiritual menjadi tidak terpenuhi, yaitu :

Pengaruh luar negeri
Isu baru di awal abad 21, yang hampir satu dasawarsa berlalu namun tidak berhenti menjadi isu dunia internasional adalah 9/11 (baca : tanggal 11 September 2001), yang menjadi angka yang keramat di dunia saat ini. Pada hari itu, gedung kembar World Trade Center (WTC) dihancurkan atas nama terorisme di bawah organisasi Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden. Organisasi Al-Qaeda merupakan organisasi keagamaan Muslim garis keras, sehingga sontak seluruh warga Amerika Serikat memberi label teroris kepada umat Muslim. Serangan pun balasan yang dilakukan Amerika Serikat ke Afganisthan. Bagi beberapa kelompok, hal ini diibaratkan dengan pembantaian umat Muslim secara besar-besaran. Seluruh umat Muslim dunia bersatu hati dalam dukacita yang mendalam, dan menilai tindakan yang dilakukan oleh Amerika Serikat itu merupakan hal yang berlebihan dan tidak memiliki unsur kemanusiaan.
Sebagai negara dengan umat Muslim terbesar di dunia, Indonesia merupakan salah satu negara yang merasakan dampak 9/11. Hal ini menyulutkan amarah beberapa kelompok Muslim garis keras di Indonesia, mulai dari serangan bom Bali 1 dan serangan bom Bali 2. Tidak cukup hanya sampai di situ, berulangkali bom meledak di berbagai hotel serta di sekitar Dubes Amerika dan sekutunya. Hal ini sangat mempengaruhi pertumbuhan pembangunan di Indonesia, baik dari sektor ekonomi, pariwisata, maupun keagamaan. Tidak adanya lagi kepercayaan investor menanamkan sahamnya di Indonesia mengoncang sektor finansial negara, di samping takutnya para turis mancanegara berkunjung ke Indonesia yang berdampak sepinya industri pariwisata nasional.
Yang ingin dikatakan Penulis dari pemaparan di atas adalah pencitraan agama menjadi buruk ketika agama dijadikan motor politik. Inti dari 9/11 sebenarnya ingin mengatakan, bahwa Amerika Serikat dengan kekuatan ekonomi kapitalisnya harus segera diruntuhkan. Akan tetapi karena pelaku dan korban 9/11 berasal dari latar belakang agama yang berbeda, langsung diasumsikan bahwa teror yang dilakukan atas teror agama. Kini, baik umat Muslim yang ada di Amerika maupun umat Kristiani yang ada di Indonesia, menjadi dampak kepentingan politik luar negeri tersebut. Pencitraan saling curiga dan negatif antar kedua agama besar ini, membuat polemik besar dan berdampak sistemik dalam kehidupan masyarakat secara global. Apabila sudah ada pencitraan yang negatif antar agama di dalam bangsa Indonesia, apakah kebutuhan spiritual dapat ditempuh bersama?

Pengaruh dari dalam
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang taat beragama, selain juga karena faktor populasi umat Islam terbesar di dunia. Walaupun begitu, bangsa Indonesia bukanlah negara yang berlandaskan agama. Ini merupakan suatu hal yang sangat hebat bahkan luar biasa, di mana sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia dapat menampung aspirasi agama yang bukan mayoritas. Tenggang rasa dan toleransi dari setiap masyarakat Indonesia juga sangat tinggi terhadap perbedaan yang ada. Pertanyaan kritisnya menurut Penulis adalah cukupkah gambaran di atas mengatakan bahwa kebutuhan spiritual bangsa Indonesia dapat terpenuhi? Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan beranekaragam budaya, yang saling mencirikan khas daerah masing-masing. Setiap daerah memiliki suku bangsa tersendiri dengan adat istiadat yang saling berbeda dengan daerah lainnya. Mereka ini juga memiliki kepercayaan terhadap yang suci menurut ritual masing-masing, sebelum bergabung menjadi Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dilema besar terjadi ketika dalam negara Indonesia hanya diakui 6 agama besar, di luar itu dianggap adalah penganut dinamisme dan animisme (yang dianggap aliran sesat). Hal ini dilakukan pemerintah agar dapat dilakukan pendataan masyarakat berdasarkan wilayah dan agamanya, melalui kartu tanda pengenal (KTP). Hal inilah menurut hemat Penulis yang menjadikan masyarakat Indonesia belum mencapai kesejahteraan sosial, karena ada pembatasan dalam kebutuhan spiritual.
Agama asli masyarakat Indonesia bukanlah agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, maupun Kong Hu Chu. Islam merupakan agama asli masyarakat Arab, Kristen Protestan dan agama Kristen Katolik merupakan agama asli masyarakat Eropa, agama Budha dan Kong Hu Chu juga merupakan agama asli masyarakat Asia Timur, sama seperti Hindu yang merupakan agama asli masyarakat India. Sedangkan agama asli masyarakat Indonesia adalah Kejawen dari masyarakat Jawa, Ugamo Malim atau Parmalim agama asli masyarakat Batak Toba, dan seterusnya. Jikalau agama impor datang ke Indonesia, seharusnya dapat menghormati agama lokal. Akan tetapi yang terjadi malahan kebalikannya, agama lokal tersisihkan dengan agama impor. Agar tetap bertahan, agama-agama lokal ini menyesuaikan diri dengan kebudayaan daerah, yang kemudian meleburkan diri ke dalam agama-agama impor. Sehingga wajar, jikalau sering terjadi salah penginterpretasian agama di Indonesia. Jika tidak ada pendekatan kritis dari pemerintah kepada setiap agama, maka kebutuhan spiritual yang tidak kunjung terpenuhi oleh sebagian masyarakat Indonesia. Beranjak dari pemikiran itu, menurut hemat Penulis, pemerintah bisa menyikapi dengan :
a. Memberi tempat kepada agama-agama lokal. Caranya bisa dengan meniadakan keterangan agama di KTP, karena hanya membuat pengelompokan dalam masyarakat. Jikalau pun cara itu dianggap kurang tepat, dapat dengan menambahkan pilihan ketujuh, yaitu aliran kepercayaan. Dengan demikian, kebutuhan spiritual yang menjadi salah satu unsur pembentuk kesejahteraan sosial dapat terpenuhi oleh masyarakat Indonesia;
b. Pemerintah harus mendorong peran lembaga keagamaan yang ada untuk kritis dan lebih peka. Agama-agama besar di Indonesia sangat kental dengan kebudayaan asal dia berkembang, kadang ada beberapa hal yang tidak kontekstual dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk itu, harus ada pendekatan agama secara kritis dan kontekstual terhadap kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kedua faktor di atas adalah gambaran realita yang tengah terjadi di masyarakat Indonesia saat ini. Akan tidak jujur kita jika mengatakan hal itu hanyalah sebuah provokasi, karena memang beginilah kenyataan yang ada. Rumitnya permasalahan yang disebabkan oleh faktor dari luar, ditambah permasalahan dari dalam yang masih menjadi polemik, sebenarnya mengisyaratkan bahwa kebutuhan spiritual belum terpenuhi. Artinya, kesejahteraan sosial belum tercapai di Indonesia.