Jumat, 21 September 2012

Jokowi-Ahok : Menuju Jakarta (Indonesia) Baru?


Beberapa waktu lalu, saya memprediksi Jokowi-Ahok menang di angka 60-63%, ternyata melenceng, di mana beberapa lembaga survey menunjukkan kemenangan Jokowi-Ahok ada pada angka 53-55%. Saya sangat meyakini melencengnya prediksi saya karena berbagai upaya yang dilakukan oleh Foke-Nara beberapa hari jelang putaran kedua. Keganjilan di putaran kedua juga dirasakan oleh tim sukses Jokowi-Ahok, tetapi kemudian tidak dipersoalkan karena posisi kemenangan sudah dikunci atas Foke-Nara. Faktor yang sangat membahayakan untuk kemenangan Jokowi-Ahok sebenarnya ada pada Ketua Panwaslu DKI Jakarta, di mana dari awal sudah terilihat terang-terangan mendukung pasangan Foke-Nara. Tetapi seperti kata pepatah lama, "walau di mana pun emas ditempatkan, dia tetap akan menjadi emas". Congratulation to Jokowi-Ahok!

Pertanyaan yang harus diajukan kemudian adalah bagaimana sepak terjang Jokowi-Ahok dalam pemerintahan kota Jakarta selama tahun 2012-2017? Kalau hitung-hitungan kekuatan di parlemen daerah DKI Jakarta, PDI-P dan Gerindra tidak sebanyak parlemen yang diwakili partai politik pengusung Foke-Nara, di mana ada partai-partai besar seperti PKS, PAN, Demokrat dan Golkar. Ini mengindikasikan sebagus apa pun upaya Jokowi-Ahok lewat program-programnya, jika parlemen menjegal mereka, maka Jakarta akan begitu-begitu saja. Slogan Jokowi-Ahok "Jakarta Baru" harus didukung oleh anggota parlemen DKI Jakarta, sehingga program-program kreatif yang efektif dan efisien dapat berdampak bagi kesejahteraan masyarakat kota Jakarta. Permasalahan Jakarta yang harus dibenahi tentu tidak hanya persoalan pembangunan ekonomi dan infrastruktur kota saja, akan tetapi bagaimana membangun peradaban yang wajar untuk ditempati. Persoalan sosial yang terjadi di Jakarta tentu tidak lepas dari terdistorsinya pembangunan ekonomi, sehingga persoalan sosial kemudian menjadi luput dari perhatian. Inilah yang menjadi salah satu pemaparan pasangan Jokowi-Ahok dalam kampanyenya. Semoga saja pemaparan ini tidak hanya menjadi isu dalam kampanye namun dapat ditindaklanjuti kemudian.

Jika pasangan Jokowi-Ahok dinilai sukses pada sentuhan awalnya dalam membangun Jakarta Baru, bukan hal yang mustahil Jokowi diproyeksikan menjadi RI-1 saat 2014 nanti. Tentu terlalu jauh jika berbicara sampai ke sana, tetapi wacana ini bukan lagi menjadi rahasia di kalangan masyarakat Jakarta. Yang pasti pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta  2012 pada beberapa waktu lalu telah menjadi pelajaran politik yang baik bagi masyarakat, terkhususnya mengenai kehidupan demokrasi dalam berbangsa dan bernegara.

Jumat, 14 September 2012

Prediksi Pilgub Jakarta



Pasangan Foke-Nara tentu tidak bisa tenang jelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) putaran kedua pada tanggal 20 September 2012 nanti. Bagaimana tidak, di putaran pertama, pasangan Foke-Nara kalah pamor dari pasangan Jokowi-Ahok. Dampak dari kekalahan di putaran pertama, kubu Foke-Nara ganti strategi jelas putaran kedua. Hal tersebut diakui oleh pasangan Foke-Nara kepada berbagai media, bahwa hal-hal yang baik dari kampanye putaran pertama yang dilakukan pasangan Jokowi-Ahok bisa ditiru. Jadilah Bang Foke berada di tengah-tengah masyarakat kumuh dan miskin untuk menggalang suara yang tidak dilakukannya pada kampanye putaran pertama. Strategi selanjutnya adalah pendekatan ke partai-partai politik untuk menggalang kekuatan penuh jelang putaran kedua nanti. Ada Partai Demokrat, Golkar, PAN, serta juga PKS ada di sana. Sangat mengejutkan ketika PKS (Partai Keadilan Sejahtera) akhirnya berbalik mendukung pasangan Foke-Nara setelah sebelumnya terlibat persitegangan pada putaran pertama yang lalu. PKS tentu suatu kekuatan tersendiri, di mana partai ini terkenal dengan basis masa yang kuat pada akar rumput. PKS yang kental dengan nuansa agamisnya akan berusaha dimanfaatkan oleh pasangan Foke-Nara untuk menggempur pasangan Jokowi-Ahok yang kurang disukai oleh sekelompok orang yang fundamental dalam beragama. Terbukti serangan secara tidak langsung dilakukan dengan memanfaatkan isu agama oleh seorang mega bintang dangdut Indonesia kepada pasangan Jokowi-Ahok, yang di mana Ahok bukanlah seorang muslim. Pada akhirnya, kasus bernuansa agama itu pun selesai setelah tidak terbukti secara meyakinkan oleh Panwaslu Pilkada DKI, Rhoma Irama menyerang Ahok. Belum selesai sampai di situ saja, tiba-tiba Jakarta marak dilanda peristiwa kebakaran. Anehnya, kejadian ini terjadi pada daerah yang saat Pilkada putaran pertama lalu merupakan wilayah kemenangan pasangan Jokowi-Ahok. Sekali lagi, tidak ada bukti untuk menyatakan ini adalah serangan kepada pihak Jokowi-Ahok.

Pasangan Jokowi-Ahok yang hanya didukung oleh PDI-P dan Gerindra berusaha kalem. Ketua umum PDI-P, Megawati Seokarno Putri dalam keterangan jumpa pers menyampaikan tidak ada kaitannya antara kebakaran yang tiba-tiba banyak melanda daerah kantong suara Jokowi-Ahok dengan jelang Pilkada putaran kedua, di mana semua peristiwa itu seperti yang diterangkan pihak kepolisian adalah faktor arus pendek.Saat berkunjung ke daerah yang terkena bencana dan juga beberapa daerah kumuh dan miskin, Foke sang incumbent malah mengeluarkan pernyataan sinis, bahwa kalau masih mau di Jakarta harus tahu pilih siapa yang harus dipilih kalau tidak silakan pulang ke Jawa. Tentu pernyataan yang sifatnya kampanye seperti itu tidak etis disampaikan kepada orang yang sedang tengah dilanda bencana. 

Lantas bagaimana semua rentetan cerita jelang putaran kedua Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta akan banyak mempengaruhi hasil pemilihan? Secara terbuka, sebagai penulis di blog ini, saya mendukung pasangan Jokowi-Ahok. Bukan karena saya adalah seorang Kristen dan Ahok juga Kristen. Bukan! Tetapi karena rakyat Jakarta butuh pemimpin yang punya sifat rendah hati dan jiwa mengabdi untuk rakyat bukannya mengabdi pada partai politik. Saya lebih menggagumi sosok Jokowi karena dia adalah tipikal seorang pemimpin. Selalu terbuka dan apa adanya kepada rakyat., di mana hal itu jarang  terjadi di Indonesia. Hanya Soekarno yang pemimpin pertama dan terakhir yang dicintai rakyat Indonesia, setelah itu harus menunggu sampai 67 tahun kemudian untuk melahirkan seorang Jokowi. 

Kalau Jakarta ingin ada perubahan, tentu syarat pertama Jokowi-Ahok harus memenangi putaran kedua Pilkada DKI Jakarta. Syarat selanjutnya, presentase kemenangan pasangan ini harus di atas 70%, karena mengindikasikan dukungan penuh dari warga Jakarta. Karena apabila pasangan Jokowi-Ahok hanya menang 51% saja, maka Jakarta tidak akan ada perubahan apa pun. Terlalu optimis dan berlebihan jika mengharapkan presentase di atas 70%. Saya secara realistis akan mengunggulkan pasangan Jokowi-Ahok menang dengan presentase suara 60-63%. 

Jika prediksi saya nantinya benar, maka Pilkada DKI Jakarta akan menjadi suatu laboratorium politik masyarakat Indonesia menuju Pemilu 2014. Bukan partai politik lagi yang menentukan jalannya kekuasaan seorang pemimpin, melainkan masyarakat sendirilah yang menentukannya. Partai politik selama ini hanya sibuk mengurus koalisi untuk kehidupan partai politiknya, serta bagi hasil atas keuntungan koalisinya. Wakil masyarakat di gedung rakyat di Senayan, sudah tidak lagi dipercayai oleh masyarakat. Terlalu banyak kasus korupsi, nepotisme, kasus asusila yang melibatkan wakil rakyat dari partai politik. Partai politik selama ini hanya memanfaatkan rakyat untuk melanggengkan kepentingan mereka saja. Rakyat sudah lelah untuk dipermainkan seperti itu, apalagi dengan membawa-bawa isu SARA seperti yang dilakukan oleh pasangan Foke-Nara. Saatnya rakyat Jakarta bicara, saatnya rakyat Indonesia belajar. Kemenangan Jokowi-Ahok adalah proses pembelajaran politik yang baik untuk masyarakat Indonesia.

Sabtu, 01 September 2012

Hujan yang (Selalu) Sendiri



Bila nanti hujan datang,
bilang aku sedang enggan!

Bila nanti hujan mencariku,
suruh pergi ke balik kilat!

Bila nanti hujan tidak menemukanku,
katakan aku telah mati bersama angin!

Kuburanku adalah udara bebas,
di sanalah kita akan bertemu!