Sabtu, 07 Juni 2014

Pagi


Pagi,
suatu mukjizat kecil yang tidak disadari,
menyambut hidup ditemani matahari,
bukan pada jiwa yang mati.

Pagi,
tidak mengenal hari,
selalu datang dengan pasti,
seperti menanti soal mati.

Pagi,
boleh kau buka dengan secangkir kopi,
semangat mencari rezeki,
demi sesuap nasi.

Jumat, 09 Mei 2014

Menyatakan Kesalahan


Apabila saudaramu berbuat dosa, tegurlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatkannya kembali. (Mat.18:15)

Abraham Maslow, psikolog besar, membuat lima peringkat kebutuhan manusia. Peringkat keempat dari lima peringkat itu (tertinggi kedua) adalah kebutuhan penghargaan (esteem need). Kebutuhan penghargaan merupakan kebutuhan manusia untuk dihargai, dihormati, dan dipercayai oleh orang lain. Jika melihat realitas yang terjadi dalam masyarakat, kita menemukan setiap orang menggunakan berbagai cara agar ia mendapatkan pengakuan, penghormatan, dan kepercayaan dari orang lain. Lantas, apabila penghargaan merupakan salah satu kebutuhan terbesar manusia, apa yang terjadi jika ada orang lain yang memarahi kita di depan banyak orang? Tentu saja kita akan menjadi sangat marah, geram, dan sakit hati pada orang yang melakukan hal itu. Rasa yang menyakitkan itu terjadi tidak lain karena martabat kita menjadi jatuh di hadapan banyak orang.
Dari nas bacaan  ini, kita melihat bahwa Yesus memahami kebutuhan manusia, yaitu sangat ingin dihargai dan dihormati. Untuk itulah Yesus mengajarkan kita supaya menyatakan kesalahan orang lain secara pribadi, tidak perlu di tempat umum yang dilihat oleh banyak orang. Ketika Yesus mengatakan “tegurlah”, Yesus menggunakan kata elegxon, yang berarti menyatakan kesalahan seseorang dengan cara memberi bukti dan meyakinkan. Hal itu berarti, Yesus ingin memberitahu ketika kita harus menegur orang lain, maka kita harus dalam posisi benar dan lepas dari kesalahan. Dengan demikian, kita memiliki dasar yang kuat sebagai bukti dan dasar yang benar untuk meyakinkan orang yang kita tegur. Sehingga, orang yang kita tegur itu tidak marah dan tersinggung. Bayangkan, jika kita dalam posisi yang tidak lebih baik dari orang yang kita tegur, apakah orang yang kita tegur itu mau mendengarkan teguran kita? Untuk itu, Yesus melanjutkan perkataan-Nya, “jika ia mendengarkan nasihatmu, engkau telah mendapatkannya kembali”. Ini berarti tolak ukur dari teguran yang berhasil menurut Yesus adalah teguran kita didengar sebagai tanda kita diterima oleh orang yang kita tegur.

Melalui renungan saat ini, kita kembali merefleksikan bahwa pentingnya memiliki etika dalam berelasi dengan sesama. Ketika harus menegur orang lain, kita dapat melakukannya secara pribadi. Selain itu, kita kembali diingatkan untuk memeriksa kehidupan pribadi kita, apakah kita sudah dalam posisi yang benar sehingga kita layak menegur orang lain. Dengan demikian, orang yang kita tegur dapat mengerti maksud baik di dalam ucapan yang kita sampaikan, sehingga ia dapat memperbaiki kesalahannya.

Jumat, 28 Maret 2014

Iman Pada Kubur yang Kosong


“Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu” ~ Paulus (1.Kor.15:17)

Perempuan di Kubur Yesus yang Kosong
(Sumber: Pencarian Google)
Kesaksian Paulus 
Kekristenan merupakan suatu agama yang mendasarkan kepercayaannya pada pengajaran Yesus. Banyak orang yang kemudian memercayai Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat karena Yesus telah menggenapi nubuat yang telah disampaikan oleh para nabi dalam Perjanjian Lama melalui kelahiran, kematian, dan kebangkitan-Nya. Perihal kelahiran, kematian, dan kebangkitan Yesus dapat kita ketahui dari Injil Sinoptik (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes). Namun, kita sering melewatkan kisah kebangkitan Yesus yang disaksikan oleh Paulus.
 Markus sebagai tradisi paling tua dalam Injil Sinoptik baru ditulis tahun 60 ZB (Zaman Bersama; saya menggunakan istilah “Zaman Bersama” bukan “Masehi” untuk universalitas waktu penanggalan di mana istilah itu merupakan terjemahan dari Common Era/CE). Sedangkan dalam penggalian arkeologi kitab suci, Paulus diyakini telah eksis pada tahun 3 ZB. Inilah menjadi dasar betapa pentingnya kesaksian Paulus mengenai Yesus, yaitu karena Paulus hidup dalam satu rentang waktu yang sama dengan Yesus.
Hal yang menarik saat kita membaca surat-surat yang dituliskan oleh Paulus adalah kita tidak pernah menemukan Paulus menyinggung tentang peristiwa kelahiran Yesus. Dalam surat pengembalaannya ke jemaat-jemaat, Paulus lebih banyak menyaksikan sosok Yesus yang bangkit dan mengalahkan maut. Hal ini berbeda dengan apa yang menjadi perhatian gereja saat ini, di mana gereja lebih berfokus tentang berita kelahiran Yesus. Hal itu terlihat dalam tradisi gereja masa kini yang terkesan sangat luar biasa untuk merayakan Natal dari pada merayakan Kebangkitan Yesus. Padahal, menurut Paulus, iman percaya kita akan menjadi sia-sia apabila Yesus tidak bangkit mengalahkan maut. Kebangkitan Yesus menandakan bahwa kematian sebagai konsekuensi dari sengat dosa telah dikalahkan oleh Yesus. Dengan demikian, melalui kebangkitan Yesus, kita beroleh pengampunan dosa dan janji hidup yang kekal.

Menggali Kisah di Seputar Kebangkitan Yesus
            Berpegang pada pertimbangan pentingnya memerhatikan kisah kebangkitan Yesus yang disaksikan oleh Paulus, maka kita harus melihat kisah kebangkitan itu secara lebih dekat di dalam Injil Sinopsis. Injil Matius menceritakan bahwa Maria dan Maria Magdalena tidak menemukan Yesus di dalam kubur. Mereka bertemu dengan malaikat Tuhan yang meminta mereka pergi menceritakan kabar kebangkitan Yesus (Mat.28:1-10). Dalam Injil Markus dikatakan bahwa ketika Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus, serta Salome ingin meminyaki Yesus dengan rempah-rempah, mereka tidak menemukan Yesus di kubur. Malah mereka melihat seorang muda memakai jubah putih yang meminta mereka untuk memberitakan kebangkitan Yesus kepada Petrus dan murid-murid Yesus lainnya (Mar.16:1-8). Injil Lukas menceritakan bahwa Maria dari Magdala, Maria ibu Yakobus, dan Yohana tidak menemukan Yesus di dalam kubur. Mereka bertemu dengan dua orang utusan Tuhan yang meminta mereka memberitahukannya pada para rasul (Luk.21:1-12). Terakhir, Injil Yohanes memberi kesaksian agak lain dari ketiga Injil Sinopsis lainnya di mana Injil Yohanes menceritakan bahwa perempuan datang kepada Petrus dan mengatakan mayat Yesus dicuri. Lalu, berita kebangkitan itu pertama kali disaksikan oleh Petrus (Yoh.20:1-10). Namun, Injil Yohanes mengelaborasi kisah Kebangkitan Yesus ini dengan kisah penampakan Yesus. Untuk pertama kalinya, Yesus menampakan diri kepada Maria Magdalena sebagai bukit bahwa Yesus benar-benar bangkit, baru berikutnya pada para murid-murid-Nya (Yoh.20:11-23).
            Dari penjabaran tentang kisah kebangkitan Yesus yang ada dalam Injil Sinopsis, kita menemukan keempat Injil Sinopsis sepakat bahwa perempuan adalah orang yang pertama kali menyaksikan kubur Yesus kosong dan memberitahukan pada dunia bahwa Yesus telah bangkit. Bisakah kita bayangkan apabila perempuan yang bertemu dengan malaikat/utusan Tuhan di kubur tidak menceritakan seperti apa yang mereka lihat dan dikatakan oleh utusan/malaikat Tuhan? Mungkin, kita tidak akan percaya Yesus telah bangkit sampai pada saat ini. Sehingga, seperti yang dikatakan oleh Paulus, kepercayaan kita pada Yesus akan sia-sia karena Yesus tidak pernah bangkit.  Mungkin, gereja-gereja tidak akan merayakan kelahiran Yesus karena Yesus bukanlah Juruselamat. Mungkin juga, tulisan-tulisan tentang karya mukjizat Yesus di dunia hanya tinggal tulisan biasa. Namun, berita kebangkitan Yesus membuat segalanya berubah. Melalui kebangkitan Yesus, kita percaya bahwa Dia adalah Mesias yang dinubuatkan para nabi. Melalui kebangkitan-Nya, kita mengimani bahwa Yesus sudah menebus dosa-dosa kita melalui pengorbanan-Nya di kayu salib. Dan, Tuhan memakai perempuan untuk menyampaikan berita kebangkitan-Nya.

Refleksi Kristen
            Lantas, apa yang dapat kita refleksikan dari berita kebangkitan Yesus itu? Saya mencatat setidaknya ada dua hal pokok yang dapat kita refleksikan, yaitu: pertama, berita pengampunan dosa telah berlaku. Sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa, sejak saat itu pula maut berkuasa atas manusia. Namun, kedatangan Yesus ke dunia adalah sebagai kunjungan untuk memberikan pengampunan dosa. Sehingga, apa yang disebut sebagai dosa warisan sudah tidak ada lagi bagi mereka yang memercayai pengorbanan Yesus di kayu salib. Oleh karena itu, menurut Paulus, tugas kita sebagai orang percaya adalah untuk tetap hidup di dalam Yesus dengan cara menjaga tubuh kita yang fana ini dari segala kuasa dosa (Rom.6:11-12). Kemudian, Paulus menjelaskan bahwa esensi dari hidup di dalam Yesus bukan soal baptisan ataupun soal teknis kehidupan beragama lainnya, tetapi soal memberitakan kabar sukacita pengampunan dosa agar pemberitaan salib Kristus jangan menjadi sia-sia (1.Kor.1:17)
            Hal kedua yang dapat kita refleksikan adalah meninjau kembali peran perempuan dalam hidup beriman. Mengacu pada kisah kebangkitan Yesus, kita melihat bagaimana perempuan memiliki peran penting dalam Kekristenan. Namun, perempuan Kristen pada masa kini justru tidak lagi memiliki peran penting dalam pemberitaan Kabar Baik. Banyak stigma yang membuat peran perempuan menjadi terbatas di ruang publik, khususnya di gereja. Saya memberi contoh beberapa stigma yang memojokkan perempuan dalam Kekristenan, seperti pandangan bahwa dosa disebabkan oleh perempuan, seorang imam harus laki-laki, dan pandangan bias gender lainnya terhadap perempuan. Namun, kisah kebangkitan Yesus memberikan cerita lain tentang peran serta perempuan dalam Kekristenan. Perempuan adalah pihak yang dipercayai oleh Tuhan, melampaui murid Kristus laki-laki, untuk menyampaikan kebangkitan Yesus. Mengapa harus perempuan? Tentu pertanyaan ini dapat kita sejajarkan dengan pertanyaan: mengapa harus perempuan yang digoda oleh ular dalam Kisah Penciptaan? Tentu jawaban dari pertanyaan itu adalah karena perempuan memiliki peran yang penting dan strategis dalam kehidupan beriman. Tuhan memercayakan peristiwa iman terjadi melalui diri perempuan. Oleh karena itu, gereja harus memberikan ruang untuk perempuan memberikan kesaksian imannya pada dunia di ruang publik. Gereja Protestan telah melakukan kemajuan yang luar biasa ketika perempuan diberikan kesempatan untuk menjadi ambil bagian dalam pemberitaan firman Tuhan di gereja. Hal seperti ini tidak kita temukan di gereja Katolik. Namun, hal itu belum menyatakan bahwa gereja Protestan lebih baik dari gereja Katolik sepenuhnya, karena hampir seluruh pimpinan gereja Protestan didominasi oleh laki-laki. Tentu hal ini bukan sekadar persoalan gender belaka, tetapi juga bagaimana kebangkitan Yesus dapat menjadi berita sukacita bagi seluruh ciptaan, termasuk perempuan.

Catatan Akhir
Dalam memperingati hari kematian dan kebangkitan Yesus, kita diajak kembali merenungkan apa yang menjadi hakikat dari peristiwa sakral itu. Kesaksian Paulus dapat menjadi bahan renungan bagi kita dalam merenungkan esensi kematian dan kebangkitan Yesus. Suatu perenungan yang menyadarkan kita akan berita pengampunan dosa sebagai Kabar Baik dari Tuhan pada dunia. Suatu perenungan yang mengingatkan kita bahwa dasar kepercayaan kita muncul dari kesaksian perempuan akan Yesus yang bangkit. Serta, suatu perenungan iman yang didasarkan pada Kubur yang Kosong.

Masa Prapaska, Pematangsiantar


Senin, 17 Februari 2014

Konsep Dasar Politik, Demokrasi, dan Pemilu dalam Konteks Indonesia

  
            Banyak orang memahami politik sekadar sebagai cara untuk memenangkan suatu kekuasaan atau melawan kelompok politik lainnya. Adalah terlalu sempit makna dari politik itu bila demikian kita memahaminya. Berikut merupakan esai tentang konsep dasar politik secara ilmu, serta penjabaran politik dalam demokrasi serta pemilihan umum di Indonesia.
              Seorang pakar ilmu politik dari Universitas Indonesia, Miriam Budiardjo, memaparkan bahwa kita dapat menggunakan definisi politik yang ditawarkan oleh Rod Hague dan Andrew Heywood. Rod Hague mendefinisikan politik sebagai kegiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan di tengah para anggotanya. Sedangkan Andrew Heywood mendefinisikan politik sebagai kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemenkan peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerjasama.
            Dari kedua definisi itu, kita dapat menemukan konsep-konsep pokok politik terdiri dari lima hal utama, yaitu negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan, dan pembagian/alokasi. Roger F.Soltau mengatakan bahwa ilmu politik mempelajari negara serta tujuan-tujuan negara. Begitu pula dengan J.Barents yang menjelaskan bahwa ilmu politik merupakan ilmu yang mempelajari tentang masyarakat dengan negara sebagai bagiannya, sehingga dapat diketahui bagaimana negara menjalankan tugasnya. Itulah mengapa ilmu politik juga harus mempelajari kekuasaan dalam masyarakat. Hal tersebut juga ditekankan oleh Deliar Noer bahwa ilmu politik memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama masyarakat. Terkait dengan pengambilan keputusan, Karl W.Deustch berpendapat bahwa pengambilan keputusan dalam politik berbeda dengan pengambilan keputusan secara pribadi. Keputusan yang harus diambil dalam pendekatan politik harus terkait tindakan umum atau nilai-nilai (public goods), atau secara sederhana pengambilan keputusan terkait dengan apa yang dilakukan dan siapa mendapat apa. Sedangkan kebijakan dalam pendekatan politik merupakan kumpulan keputusan yang diambil oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan dan mencapai tujuan. Dan terakhir, pembagian/alokasi menyangkut penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat. Dalam ilmu sosial, nilai adalah sesuatu yang dianggap baik dan benar, sesuatu yang diinginkan, sesuatu yang memiliki harga. Oleh karena itu, Harold D.Laswell dalam bukunya Who Gets What, When, How, mengatakan sistem politik adalah keseluruhan dari interaksi-interaksi yang mengatur pembagian nilai secara autotitaif untuk dan atas nama masyarakat. Inilah konsep-konsep dasar tentang politik. Ketika hendak berbicara mengenai politik, kita harus berbicara tentang cakupan kelima konsep tersebut. Jika tidak, kita hanya berbicara omong kosong mengenai politik.
            Sebagai suatu negara, Indonesia tentu memiliki tujuan yang ingin dicapai bersama para warganya. Tujuan negara Indonesia termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yang menyatakan tujuan dari kehidupan berbangsa ini adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut, para pendiri bangsa ini telah memikirkan konsep negara seperti apa yang cocok untuk Indonesia. Sangat menarik sekali untuk diperhatikan bahwa para pendiri negara ini memilih konsep negara Indonesia adalah demokrasi, di tengah tuntutan dari banyak pihak untuk menjadikan Indonesia sebagai negara agama. Wajar apabila ada tuntutan agar Indonesia menjadi negara agama karena tuntutan itu datang dari agama yang mayoritas di Indonesia, yang secara kuantitas mencapai 80%. Namun, sekuat apa pun tuntutannya saat itu, nyatanya Indonesia adalah negara demokrasi dan bukan negara agama. Jadi, Indonesia merupakan suatu negara yang hendak mencapai tujuannya dengan pendekatan demokrasi. Ada bermacam-macam istilah demokrasi, seperti demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi termpimpin, demokrasi rakyat, dsb. Namun, demokrasi yang dianut oleh negara Indonesia adalah demokrasi Pancasila, di mana pelaksanaannya masih dalam taraf perkembangan dan sifat serta cirinya terdapat pelbagai tafsiran serta pandangan. Dalam menggerakan partisipasi masyarakat pada sistem demokrasi, maka kenderaan yang dipakai adalah partai politik. Sejarah perkembangan partai politik pertama kali lahir di negara-negara Eropa Barat dengan gagasan pada awalnya bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik. Keikutsertaan masyarakat dalam proses politik tidak lain dalam rangka meningkatkan pembangunan nasional sebagai tujuan dari suatu negara.
            Berbicara partai politik di negara demokrasi, tentu kita harus memahami fungsinya bagi masyarakat demokrasi. Miriam Budiardjo menyebutkan setidaknya ada empat fungsi partai politik bagi negara demokrasi, yaitu pertama, sebagai sarana komunikasi politik. Hal ini merujuk pada kehidupan masyarakat modern yang luas dan kompleks, banyak beragam pendapat dan aspirasi yang berkembang. Pendapat atau aspirasi seseorang atau kelompok akan hilang tidak berbekas seperti suara di padang pasir apabila tidak ditampung dan digabung dengan aspirasi orang lain yang senada. Kedua, sebagai sarana sosialisasi politik. Maksudnya, sosialisasi politik harus diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Ketiga, sebagai sarana rekrutmen politik. Fungsi ini sangat erat dengan seleksi kepemimpinan, baik internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas. Terakhir, sebagai sarana manajemen konflik. Potensi konflik selalu ada di setiap masyarakat yang heterogen, apakah dari segi etnis, sosial-ekonomi, atau pun agama. Setiap perbedaan tersebut menyimpan potensi konflik. Untuk itu, peran partai politik tidak lain untuk mengatasi atau sekurang-kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga efek negatifnya dapat ditekan seminimal mungkin. Untuk konteks Indonesia, perkembangan partai politik terjadi di berbagai fase. Namun, hal itu tidak terlalu mendesak untuk kita bahas di sini. Hal utama yang ingin disampaikan tidak lain soal sistem pemilihan umum (Pemilu). 
Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolak ukur dari demokrasi. Dalam ilmu politik, sistem Pemilu ada banyak variantnya, tapi tetap mengacu pada dua prinsip pokok, yaitu sistem distrik dan sistem proporsional. Masing-masing sistem ada kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan sistem distrik adalah tiap partai terdorong untuk bekerja sama, kecenderungan membentuk partai baru kecil, wakil yang terpilih akan akuntabel dengan konstituen, dan stabilitas politik terjaga. Namun, kekurangan sistem distrik adalah terciptanya persentase suara karena distorsi partai besar, kurang mengakomodasi kepentingan kelompok masyarakat heterogen, dan wakil rakyat cenderung memerhatikan wilayah pemilihannya. Contoh negara yang memakai sistem Pemilu Distrik seperti India, Malaysia, dan Amerika Serikat. Sistem pemilu proporsional memiliki kelebihan dianggap lebih representatif dan mengakomodasi partai kecil. Sedangkan kekurangannya tidak mendorong partai-partai untuk berintegrasi, wakil rakyat tidak kuat dengan konstituennya, serta kerap menghasilkan partai-partai baru. Contoh negara yang menggunakan sistem Pemilu Proporsional seperti Belgia, Swedia, Italia, Belanda, dan Indonesia.