Ketika berbicara peran agama dalam makalah ini, maka kata “agama” yang dimaksud oleh Penulis adalah agama dalam pengertian lembaga, dan bukan agama dalam pengertian doktrinis maupun dogmatis. Hal ini menjadi sangat penting, untuk menghindari kesubjektivitasan dalam pembahasan.
Saat ini bangsa Indonesia mengakui adanya enam agama, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha, Hindu dan Kong Hu Chu. Keenam Agama ini dalam kehidupan berbangsa dikatrol dalam kelembagaan masing-masing, yaitu : Islam dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kristen Protestan dengan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Kristen Katolik dengan Konfrensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Budha dengan Perwakilan Umat Budha Indonesia (WALUBI), Hindu dengan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Konghuchu dengan Majelis Tinggi Agama Kong Hu Chu Indonesia (MATAKIN). Di samping organisasi keagamaan yang besar di Indonesia, seperti PP. Muhammadiyah, PB. Nadahtur Ulama, dan lain-lainnya.
Kaitan antara Kesejahteraan Sosial dengan Agama memang akan susah untuk dilihat, tetapi tetap harus diangkat ke permukaan karena memiliki nilai yang sangat penting, karena salah satu unsur dalam kesejahteraan sosial adalah kebutuhan spiritual (di samping kebutuhan materil dan kebutuhan fungsi sebagai warga sosial). Untuk melihat kaitan antara agama dengan kesejahteraan Sosial, menurut hemat Penulis, harus dilihat dari berbagai sudut pandang, termasuk karakteristik kesejahteraan sosial.
Salah satu karakteristik kesejahteraan sosial adalah manusia itu penting. Mengapa manusia menjadi penting? Manusia dianggap penting karena dalam usaha kesejahteraan sosial, dilakukannya pembangunan yang melibatkan manusia sebagai subjek maupun objek. Untuk itu, pembangunan yang diharapkan adalah pembangunan yang mendorong nilai-nilai kemanusiaan, bukannya pembangunan yang sifatnya malah menghancurkan. Pembangunan pada dasarnya dirancang dan dijalankan oleh manusia, untuk kepentingan manusia juga. Inilah yang disebut manusia sebagai subjek dan objek dalam pembangunan. Manusia merupakan mahluk yang memiliki nilai-nilai moral, di mana nilai-nilai moral dalam diri manusia itu didapatkannya dari ajaran agama.
Secara umum, agama tidak mungkin mengajarkan hal-hal yang menjadikan manusia berlaku tidak baik terhadap manusia lainnya. Nilai-nilai moral dari agama inilah yang akan mendukung pembangunan berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan menuju kesejahteraan sosial. Permasalahannya, manusia menjadi kehilangan nilai-nilai moral, pada saat ada kepentingan untuk keuntunga pribadi dari diri manusia. Ini menjadi permasalahan, karena manusia merupakan subjek dan objek dalam usaha kesejahteraan sosial (pembangunan). Hal inilah yang menurut hemat Penulis menjadi alasan mengapa kebutuhan spiritual dalam kesejahteraan sosial tidak terpenuhi.
Setidaknya ada dua alasan menurut Penulis, mengapa kebutuhan spiritual menjadi tidak terpenuhi, yaitu :
Pengaruh luar negeri
Isu baru di awal abad 21, yang hampir satu dasawarsa berlalu namun tidak berhenti menjadi isu dunia internasional adalah 9/11 (baca : tanggal 11 September 2001), yang menjadi angka yang keramat di dunia saat ini. Pada hari itu, gedung kembar World Trade Center (WTC) dihancurkan atas nama terorisme di bawah organisasi Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden. Organisasi Al-Qaeda merupakan organisasi keagamaan Muslim garis keras, sehingga sontak seluruh warga Amerika Serikat memberi label teroris kepada umat Muslim.
Serangan pun balasan yang dilakukan Amerika Serikat ke Afganisthan. Bagi beberapa kelompok, hal ini diibaratkan dengan pembantaian umat Muslim secara besar-besaran. Seluruh umat Muslim dunia bersatu hati dalam dukacita yang mendalam, dan menilai tindakan yang dilakukan oleh Amerika Serikat itu merupakan hal yang berlebihan dan tidak memiliki unsur kemanusiaan.
Sebagai negara dengan umat Muslim terbesar di dunia, Indonesia merupakan salah satu negara yang merasakan dampak 9/11. Hal ini menyulutkan amarah beberapa kelompok Muslim garis keras di Indonesia, mulai dari serangan bom Bali 1 dan serangan bom Bali 2. Tidak cukup hanya sampai di situ, berulangkali bom meledak di berbagai hotel serta di sekitar Dubes Amerika dan sekutunya.
Hal ini sangat mempengaruhi pertumbuhan pembangunan di Indonesia, baik dari sektor ekonomi, pariwisata, maupun keagamaan. Tidak adanya lagi kepercayaan investor menanamkan sahamnya di Indonesia mengoncang sektor finansial negara, di samping takutnya para turis mancanegara berkunjung ke Indonesia yang berdampak sepinya industri pariwisata nasional.
Yang ingin dikatakan Penulis dari pemaparan di atas adalah pencitraan agama menjadi buruk ketika agama dijadikan motor politik. Inti dari 9/11 sebenarnya ingin mengatakan, bahwa Amerika Serikat dengan kekuatan ekonomi kapitalisnya harus segera diruntuhkan. Akan tetapi karena pelaku dan korban 9/11 berasal dari latar belakang agama yang berbeda, langsung diasumsikan bahwa teror yang dilakukan atas teror agama. Kini, baik umat Muslim yang ada di Amerika maupun umat Kristiani yang ada di Indonesia, menjadi dampak kepentingan politik luar negeri tersebut. Pencitraan saling curiga dan negatif antar kedua agama besar ini, membuat polemik besar dan berdampak sistemik dalam kehidupan masyarakat secara global. Apabila sudah ada pencitraan yang negatif antar agama di dalam bangsa Indonesia, apakah kebutuhan spiritual dapat ditempuh bersama?
Pengaruh dari dalam
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang taat beragama, selain juga karena faktor populasi umat Islam terbesar di dunia. Walaupun begitu, bangsa Indonesia bukanlah negara yang berlandaskan agama. Ini merupakan suatu hal yang sangat hebat bahkan luar biasa, di mana sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia dapat menampung aspirasi agama yang bukan mayoritas. Tenggang rasa dan toleransi dari setiap masyarakat Indonesia juga sangat tinggi terhadap perbedaan yang ada. Pertanyaan kritisnya menurut Penulis adalah cukupkah gambaran di atas mengatakan bahwa kebutuhan spiritual bangsa Indonesia dapat terpenuhi?
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan beranekaragam budaya, yang saling mencirikan khas daerah masing-masing. Setiap daerah memiliki suku bangsa tersendiri dengan adat istiadat yang saling berbeda dengan daerah lainnya. Mereka ini juga memiliki kepercayaan terhadap yang suci menurut ritual masing-masing, sebelum bergabung menjadi Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dilema besar terjadi ketika dalam negara Indonesia hanya diakui 6 agama besar, di luar itu dianggap adalah penganut dinamisme dan animisme (yang dianggap aliran sesat). Hal ini dilakukan pemerintah agar dapat dilakukan pendataan masyarakat berdasarkan wilayah dan agamanya, melalui kartu tanda pengenal (KTP). Hal inilah menurut hemat Penulis yang menjadikan masyarakat Indonesia belum mencapai kesejahteraan sosial, karena ada pembatasan dalam kebutuhan spiritual.
Agama asli masyarakat Indonesia bukanlah agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, maupun Kong Hu Chu. Islam merupakan agama asli masyarakat Arab, Kristen Protestan dan agama Kristen Katolik merupakan agama asli masyarakat Eropa, agama Budha dan Kong Hu Chu juga merupakan agama asli masyarakat Asia Timur, sama seperti Hindu yang merupakan agama asli masyarakat India. Sedangkan agama asli masyarakat Indonesia adalah Kejawen dari masyarakat Jawa, Ugamo Malim atau Parmalim agama asli masyarakat Batak Toba, dan seterusnya. Jikalau agama impor datang ke Indonesia, seharusnya dapat menghormati agama lokal. Akan tetapi yang terjadi malahan kebalikannya, agama lokal tersisihkan dengan agama impor.
Agar tetap bertahan, agama-agama lokal ini menyesuaikan diri dengan kebudayaan daerah, yang kemudian meleburkan diri ke dalam agama-agama impor. Sehingga wajar, jikalau sering terjadi salah penginterpretasian agama di Indonesia. Jika tidak ada pendekatan kritis dari pemerintah kepada setiap agama, maka kebutuhan spiritual yang tidak kunjung terpenuhi oleh sebagian masyarakat Indonesia. Beranjak dari pemikiran itu, menurut hemat Penulis, pemerintah bisa menyikapi dengan :
a. Memberi tempat kepada agama-agama lokal. Caranya bisa dengan meniadakan keterangan agama di KTP, karena hanya membuat pengelompokan dalam masyarakat. Jikalau pun cara itu dianggap kurang tepat, dapat dengan menambahkan pilihan ketujuh, yaitu aliran kepercayaan. Dengan demikian, kebutuhan spiritual yang menjadi salah satu unsur pembentuk kesejahteraan sosial dapat terpenuhi oleh masyarakat Indonesia;
b. Pemerintah harus mendorong peran lembaga keagamaan yang ada untuk kritis dan lebih peka. Agama-agama besar di Indonesia sangat kental dengan kebudayaan asal dia berkembang, kadang ada beberapa hal yang tidak kontekstual dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk itu, harus ada pendekatan agama secara kritis dan kontekstual terhadap kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua faktor di atas adalah gambaran realita yang tengah terjadi di masyarakat Indonesia saat ini. Akan tidak jujur kita jika mengatakan hal itu hanyalah sebuah provokasi, karena memang beginilah kenyataan yang ada. Rumitnya permasalahan yang disebabkan oleh faktor dari luar, ditambah permasalahan dari dalam yang masih menjadi polemik, sebenarnya mengisyaratkan bahwa kebutuhan spiritual belum terpenuhi. Artinya, kesejahteraan sosial belum tercapai di Indonesia.
salam sejahtera, salam kenal, mas.
BalasHapusseharusnya saya bisa membagikan tulisan anda ini :D
silakan bapak/ibu :-)
Hapus