Senin, 05 Oktober 2015

Bolehkah Umat Kristen Bercerai? (Mrk.10:2-16, Khotbah Kebaktian Sektor 6-7 Oktober 2015 GKPI JKJK)


Ilustrasi Gambar: Sumber Internet
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus!
Dalam berbagai pernikahan, burung merpati sering digunakan sebagai lambang pernikahan. Mengapa demikian? Mungkin, mereka yang menikah itu berharap cinta mereka sedikit banyaknya seperti pasangan burung merpati yang hidup bahagia. Burung merpati sebagaimana yang umumnya kita ketahui merupakan burung yang tidak pernah mendua hati. Di saat musim kawin, burung merpati tinggal di sarang bersama pasangannya. Pasangan burung merpati hanya satu seumur hidupnya. Oleh karena itu, ketika burung merpati harus terbang jauh mencari makanan, ia pasti akan tahu jalan pulang karena ia ingat di mana ia harus tinggal dengan pasangannya yang telah menantinya. Ketika berada di sarang, mereka saling memberikan pujian. Jika yang satu bernyanyi, maka pasangan merpati itu tertunduk malu untuk mendengarkannya. Saat membuat sarang pun mereka bekerja sama dengan sangat baik. Mereka saling bergantian membawa ranting untuk anak-anaknya. Apabila merpati betina sedang mengerami, maka merpati jantan menjaga di luar kandang manatahu ada bahaya. Saat merpati betina kelelahan mengerami, maka merpati jantan gantian mengerami. Mereka tidak pernah saling melempar pekarjaan. Dan, satu hal lagi yang menarik, burung merpati tidak memiliki empedu. Hal itu melambangkan merpati tidak menyimpan hal-hal yang pahit dalam hidupnya, sebagaimana rasa empedu adalah pahit. Inilah yang mungkin membuat mereka menjadi lambang pasangan berbahagia.

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan!
Sebagaimana Tuhan menciptakan pasangan merpati yang berbahagia, tentu sepasang manusia yang bersatu dalam pernikahan kudus diciptakan untuk berbahagia pula. Jikalau demikian, mengapa harus ada perceraian? Adapun faktor-faktor yang menyebabkan perceraian yang sering kita dengar adalah mungkin karena perselingkuhan, tidak memiliki keturunan, tidak mendapatkan anak laki-laki, tidak sejalan, kebosanan, dan alasan lainnya. Oleh karena itu, bagaimana pandangan Kekristenan tentang perceraian? Bolehkah pasangan Kristen yang telah menikah bercerai?
Konsep perceraian dalam Kekristenan muncul ketika Yesus ditanyai oleh orang Farisi tentang hukum cerai dalam konsep Yahudi. Sebagaimana kita mengetahui, orang Farisi merupakan bagian kecil dari kumpulan Yahudi yang menjunjung tinggi Taurat. Kata Farisi sendiri berasal dari bahasa Ibrani, Prushim atau Perush, yang berarti menjelaskan atau bisa juga memisahkan. Orang Farisi menjelaskan Taurat bagi mereka yang tidak mengerti dan orang Farisi memisahkan diri dari komunitas ahli Taurat. Kesehariannya, orang Farisi ini aktif menjadi pengamat Taurat dan penegak hukum yang teliti. Dalam benak orang Farisi, Allah sangat mengasihi mereka yang taat pada hukum Taurat dan menghukum mereka yang tidak mengindahkan Taurat. Merasa memiliki kapasitas memahami Taurat sangat mendalam, orang Farisi ingin mencobai Yesus tentang pemahaman-Nya akan Taurat. Adapun Yesus yang memiliki banyak pengikut yang bersimpatik dengan-Nya membuat orang Farisi kian penasaran. Banyak orang mengganggap Yesus hanya seorang rabbi (guru). Sehingga, intelektualitas Yesus akan Taurat harus diuji. Sekiranya daripada Yesus ditemukan kesalahan, maka mereka tidak segan melabelkan Yesus sebagai penyesat dan tidak layak menjadi guru atas banyak orang. Ketika Yesus mendapat pertanyaan, “Apakah seorang suami boleh menceraikan istrinya?”, adapun jawaban Yesus tidak menyimpang dari sumber Taurat, yaitu Musa. Yesus mengembalikan pertanyaan orang Farisi tentang pengetahuan mereka akan Musa, si pembawa Taurat. Ternyata, tanggapan orang Farisi mengenai Musa dan hukum perceraian sangat tepat, yaitu: “Musa memberi izin untuk menceraikannya (istri) dengan membuat surai cerai”. Tanggapan orang Farisi ini tentunya diharapkan akan memojokkan Yesus, lalu Dia segera memutuskan bahwa perceraian itu “Boleh atau Tidak?”. Di luar dugaan orang Farisi, Yesus ternyata malah menunjuk akar dari persoalan perceraian yang diaturkan Musa, yaitu “ketegaran hati” orang Israel. Ketegaran hati yang dimaksudkan Yesus adalah bagaimana cara hidup bangsa Israel di masa lalu yang sangat buruk, tidak menghargai kudusnya suatu pernikahan. Lalu, Yesus menguraikan konsep pernikahan umat percaya melalui dasar penciptaan, yaitu “seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya, dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia”. Intinya, Yesus ingin menegaskan kalau sepasang manusia telah bersepakat di dalam pernikahan kudus, mereka tidak boleh mengingkarinya melalui perselingkuhan. Dengan demikian, surat cerai tidak diperlukan. Karena, pernikahan adalah sesuatu yang diikatkan oleh Allah yang tidak dapat dilepaskan manusia.

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus!
Para murid sepertinya terlihat masih penasaran dengan jawaban Yesus atas orang Farisi. Oleh karenanya, ketika mereka telah tiba di rumah, para murid Yesus melanjutkan pembahasan tentang perceraian. Hal ini memperlihatkan bagaimana inisiatif seorang murid untuk belajar dari guru-Nya begitu sangat baik. Untuk itulah, Yesus merespons keingintahuan para murid. Yesus menjelaskan bahwa laki-laki pun akan disebut berzina kalau ia menikah dengan perempuan lain. Begitu pula sebaliknya. Maksud dari jawaban Yesus pada para murid sudah jelas bahwa perzinahan tidak hanya dikenakan pada seorang perempuan saja tapi pada laki-laki juga tetap berlaku. Ini berbeda dengan pemahaman hukum yang berlaku pada saat itu di mana hukuman atas berzina hanya dikenakan pada perempuan saja. Bandingkan dengan kisah perempuan yang ketahuan berzina. Ke mana laki-laki yang berzina dengan perempuan itu? Memang hukum pada masa itu sangat tidak adil. Bahkan, seorang perempuan yang baru dicurigai berbuat zina sudah layak diadili. Mereka akan dibawa ke hadapan hakim untuk meminum air pahit. Jika perempuan itu kepahitan atau kesakitan maka ia terbukti bersalah. Lalu, perempuan itu dirazam pakai batu sampai mati. Kalau tidak merasa sakit atau pahit, berarti perempuan itu tidak berzina. Hukum ini menunjukkan bahwa hukum ini sangat diskriminatif terhadap perempuan. Sehingga, Yesus memperjelas bahwa laki-laki juga dapat dikenakan pasal perzinahan. Yesus menggunakan anak kecil yang dibawa kepada-Nya tapi dilarang oleh para murid untuk menggambarkan bagaimana seharusnya umat percaya memperlakukan hukum Taurat. Bagi Yesus, cara menyambut Kerajaan Allah bukan seperti orang Farisi yang merasa paling tahu Taurat dan berupaya menjebak orang-orang yang dianggap tidak memahami Taurat. Karena, sebagaimana telah dijelaskan di bagian sebelumnya, orang Farisi menganggap Allah senang terhadap mereka yang paham dengan hukum Taurat. Namun, Yesus menunjuk Allah senang dengan umat percaya yang menyambut Kerajaan-Nya seperti anak kecil. Mengapa? Karena anak kecil dapat menerima orang lain tanpa syarat. Saat bermain, anak kecil hanya mengetahui bahwa permainan ini untuk bersenang-senang, bukan untuk kompetisi yang mengalahkan, meniadakan, dan menggigit. Begitu pula ketika orang percaya mengimani Allah mereka tentu memperlakukan iman mereka untuk menciptakan sukacita bagi sesama mereka bukan sebaliknya.

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus!  
Dari sedemikian jauh pembahasan firman Tuhan pada saat ini, apa yang dapat kita refleksikan serta aplikasikan di dalam kehidupan beriman kita? Saya mencatat ada dua hal yang dapat kita refleksikan serta aplikasikan, yaitu:
     1.     Keluarga Kristen tidak mengenal perceraian. Perceraian hanya dilakukan mereka yang tegar hati, yaitu mereka yang tidak menghargai arti pernikahan. Jika mereka adalah seorang Kristen, maka mereka menghargai pernikahan itu sebagai suatu janji kudus yang diikatkan oleh Allah. Karenanya, ia tidak dapat diceraikan oleh manusia. Dalam sepanjang usia pernikahan, tentu tidak selalu kebahagiaan datang mengiring. Namun, di situlah indahnya pernikahan. Bersama-sama, sepasang anak manusia  melewati ketidakbahagiaan dengan saling menopang, mendukung, dan mendoakan. Perselisihan pendapat wajar terjadi di dalam pernikahan. Akan tetapi, visi harus tetap sama, yaitu apa tujuan pernikahan mereka? Tujuan pernikahan Kristen adalah mewujudkan visi Allah terhadap manusia di bumi, yaitu membuat keteraturan di dunia ini melalui upaya mereka dalam mengupayakan hasil bumi. Jika ada keluarga Kristen yang tidak teratur, maka visi Allah pada manusia melalui pernikahan gagal. Sehingga, mereka harus bergumul apakah mereka masih dapat melihat peluang untuk membangun keteraturan itu bersama-sama lagi sekalipun harus diawali dari nol? Upaya-upaya mencari peluang itu harus terus dilakukan sehingga perceraian dalam pernikahan Kristen tidak terjadi. Dan, bagi mereka yang sudah ditinggal pasangannya karena kematian, mereka dapat melanjutkan cinta kasih mereka pada pasangan mereka dengan menjaga keturunan mereka. Karena, keturunan adalah bagian dari berkat Allah atas pernikahan manusia.
     2.     Sebagai umat percaya, kita mungkin sangat aktif membaca firman Tuhan. Namun, hal itu tidak boleh kita jadikan sebagai kesombongan rohani. Malahan, semakin kita mengetahui dan memahami firman Tuhan, kita semakin menunduk di hadapan Tuhan dan semakin melayani sesama. Belajar dari apa yang disampaikan Yesus tentang anak-anak sebagai ilustrasi menyambut Kerajaan Allah, kita harus dapat menerima orang lain dengan baik, apa adanya, mendukung, dan mendoakan. Termasuk, di dalam pernikahan, kita dapat menerima pasangan kita dengan kekurangan dan kelebihannya, bukan mencari-cari kesalahan dari pasangan kita.
Kiranya, firman Tuhan saat ini dapat menguatkan iman percaya kita kepada Allah serta memberikan kita hikmat dalam menjalani hidup bersama pasangan kita. Amin!

Sabtu, 03 Oktober 2015

Khotbah Minggu GKPI JKJK, 4 Oktober 2015



Tuhan Menciptakan Penolong yang Sepadan
(Kej.2:18-24)

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus, Sang Kepala Gereja!
Suatu kali, seorang suami menggerutu di dalam hatinya, “ah Tuhan, mengapa Engkau memberikanku istri yang pemalas? Sepulang bekerja keras di kantor, aku malah menemukan istriku hanya menonton TV dan tiduran, bukannya menemani anak kami belajar, atau bukannya merawat suaminya, entah dipijat karena lelah, atau dihidangkan masakan lezat. Padahal, Engkau mengatakan perempuan adalah penolong sepadan untuk laki-laki. Mana buktinya? Aku bekerja keras, ia enak-enakan santai di rumah. Untuk itu, aku ingin mengadakan perhitungan dengannya, ya Tuhan. Ubahlah posisi kami sementara waktu, aku menjadi istriku dan istriku menjadiku. Biar ia tahu betapa beratnya menjadi seorang suami!” Tuhan yang iba mendengar ratapan suami itu pun mengabulkan doanya. Di suatu pagi, suami yang telah berganti posisi menjadi istri itu sudah harus bangun jam setengah lima pagi. Ia harus memasak sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Kemudian, ia menyiapkan pakaian untuk suami dan anak-anaknya. Ternyata, anak yang paling kecil sedang kambuh manjanya, sehingga harus dimandikan, dipakaikan seragam sekolahnya, dan disuapkan nasinya. Setelah suami dan anaknya berangkat, ia mulai mencuci piring bekas sarapan dan kain pakaian semalam. Lalu, ia menjemur pakaian dan berangkat ke pasar untuk belanja makan siang dan makan malam keluarganya. Sepulang belanja, ia memasak lauk-pauk yang baru dibelanjakannya. Namun, ia baru ingat kalau rekening air, telepon, dan listrik akan jatuh tempo. Ia bergegas ke loket pembayaran untuk membayar tagihan rekening itu. Tidak sempat kembali ke rumah, ia kemudian menjemput anak-anak mereka dari sekolah. Sesampai di rumah, ia menemani anaknya makan sembari ia makan pagi+siang. Sehabis makan, suami yang menjadi istri ini mengatur anak-anaknya agar tidur siang. Sehingga, ia memiliki waktu untuk menyapu rumah, mengangkat jemuran, lalu menyetrika pakaian. Sehabis menyetrika pakaian, waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Ia menyuruh anak-anaknya untuk belajar. Di saat itulah ia ada waktu untuk istirahat sejenak. Ia mengunakan waktu istirahat itu rebahan sambil menonton TV. Di saat suaminya pulang, ia harus mendengar celotehan suaminya yang mengeluh lelah bekerja di kantor. Tidak ingin rumah tangga mereka retak, istri yang kelelahan itu pun hanya mendiamkan diri. Sebelum tidur malam, masih ada “pekerjaan kecil” yang harus ia lakukan dengan suaminya di malam hari, barulah ia baru bisa istirahat. Akhirnya, saat hendak tidur, suami yang menjadi istri ini berdoa kepada Tuhan, “Ya Tuhan, maafkanlah aku yang telah berpikir tidak baik atas istriku. Ternyata, pekerjaan seorang istri jauh lebih berat dari suami. Aku telah salah dengan memarahinya. Oleh karena itu, aku mohon kepada-Mu untuk mengembalikan posisi kami seperti semula. Aku tidak kuat lagi untuk menjalani peran ini”. Tuhan pun mendengar doanya, “Anakku yang baik, syukurlah bila engkau sudah sadar betapa beratnya menjadi seorang istri, tetapi aku tidak bisa mengembalikan posisi kalian seperti semula setidaknya sampai 9 bulan ke depan, karena engkau sedang hamil!”
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus!
Sering para suami menganggap menjadi ibu rumah tangga itu bukanlah pekerjaan. Ternyata, pekerjaan ibu rumah tangga jauh lebih berat dari pekerjaan suami di kantor. Namun, istri yang bekerja tidak pernah digaji itu bukannya sering diberi apresiasi/pujian dari suaminya, malah sering ia ditekan. Apalagi, bila ada seorang istri yang harus bekerja di luar rumah, lalu ia masih harus mengurus rumah dan keluarganya. Betapa luar biasanya kekuatan seorang perempuan. Tidak seperti yang dilabelkan oleh dunia di mana perempuan adalah makhluk yang lemah. Walaupun kekuatan ototnya tidak sekuat laki-laki, perempuan terbukti lebih kuat dari laki-laki. Di sinilah perempuan dan laki-laki dapat saling mengisi, tolong-menolong, dan bekerja sama. Laki-laki dan perempuan adalah mitra yang sepadan, seperti yang disaksikan oleh firman Tuhan saat ini, Kej.2:18-24. Kalimat “penolong yang sepadan dengannya” di dalam Kej.2:18 sangat menarik untuk digali apa makna yang sesungguhnya? Dalam Alkitab berbahasa Ibrani, penolong yang sepadan dengannya diterjemahkan dari kalimat hezer kanegdo, di mana jika kita memerhatikan Alkitab berbahasa Inggris dan Indonesia, ada beberapa terjemahan yang menarik dari kalimat tersebut:
King James Version (KJV) menerjemahkan dengan an help meet for him (seorang penolong yang berguna baginya)
New American Bible Version (NABV) menerjemahkan dengan a suitable partner for him (seorang rekan yang sesuai dengannya)
New International Version (NIV) menerjemahkan dengan a helper suitable for him (seorang penolong yang sesuai dengannya)
Revised Standard Version menerjemahkan dengan a helper fit for him (seorang penolong yang cocok dengannya)
Terjemahan Indonesia Sehari-hari (TIS) menerjemahkan dengan teman yang cocok membantunya.
Dari beberapa versi terjemahan yang ada, saya secara pribadi lebih bersepakat dengan NABV dan TIS, yaitu rekan/teman yang cocok/sesuai membantunya. Ada beberapa alasan saya memilih terjemahan itu. Pertama, dari alasan Allah ingin menciptakan perempuan, Allah mengatakan “tidak baik manusia itu seorang diri saja”. Seorang diri atau sendirian tentu membutuhkan teman, bukan pembantu/penolong. Oleh karena itu, teman atau rekan adalah kata yang cocok untuk menerjemahkan hezer. Kedua, untuk kata kanegdo, saya memilih menggunakan terjemahan membantu atau sesuai karena kedua kata ini menyiratkan kesetaraan. Membantu bukan hanya tugas pembantu. Seorang teman yang membantu tentu didasarkan pada rasa kasihan atau empati, bukan karena takut atau ditaklukkan. Begitu pula dengan kata sesuai di mana kata ini menunjukkan ada keseimbangan antara laki-laki dan perempuan. Kalau kata berguna belum tentu sesuai. Tetapi, kalau sesuai sudah pasti ia berguna. Dan alasan terakhir, karena perempuan diciptakan Allah dari rusuk laki-laki (ay.21), dan pengakuan laki-laki di mana perempuan itu adalah tulang dari tulangnya dan daging dari dagingnya (ay.23), sehingga laki-laki dan perempuan itu bukan entitas berbeda, tetapi suatu rekanan yang sama. Lain hal kalau perempuan diciptakan dari bahan di luar laki-laki, maka terjemahan penolong yang berguna dapat digunakan karena mereka adalah entitas yang berbeda.
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan!
Mengapa kita penting dalam memerhatikan komposisi kata yang tepat untuk menggali gambaran perempuan di Alkitab? Tujuannya tidak lain agar kita tidak salah dalam memaknai firman Tuhan tentang perempuan. Salah memahami firman Tuhan untuk penciptaan perempuan ini, tentu kita akan salah memahami perempuan secara teologis. Untuk itu, pemeriksaan komposisi kata menjadi penting. Setidaknya, hal itu dibuktikan dari gambaran jawaban atas survey yang saya lakukan melalui jejaring sosial facebook serta beberapa pesan singkat pada teman. Dari 10 teman yang saya tanyakan tentang konsep perempuan adalah penolong sepadan, 9 orang menjawab setuju dan 1 orang tidak setuju. Dari 9 orang yang saya tanya apakah saat ini posisi perempuan telah dianggap menjadi penolong yang sepadan di tengah kehidupan, 7 orang menjawab sudah dan 2 orang menjawab belum. Namun, ketika digali lagi lebih dalam tentang konsep “penolong sepadan”, masing-masing orang memiliki gambaran yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Lima orang teman menjelaskan penolong sepadan/rekan yang sesuai atau menolong itu dari perlakuan suami-istri di dalam rumah tangga, Satu orang melihat ada dalam tugas suami-istri dalam merawat anak, dan tiga orang teman ada yang melihat dari bagaimana cara mereka melewati bersama-sama kehidupan yang berat. Hasil survey itu sendiri menunjukkan bahwa banyaknya variasi memahami penolong yang sepadan/rekan yang sesuai atau menolong. Dan, darinya kita dapat merekonstruksi pemahaman yang baru tentang penolong yang sepadan itu tidak terbatas sebagai dalam konteks rumah tangga, tetapi lebih luas lagi bagaimana laki-laki melihat perempuan sebagai rekan yang sesuai/membantu. Konteksnya tidak dibatasi oleh pernikahan, tetapi lebih luas lagi. Sehingga, mau tidak mau ini akan berbenturan dengan budaya patriakhi yang hidup di tengah masyarakat, yang melihat adalah warga kelas dua. Kita harus jujur mengakui bahwa banyak budaya yang berkembang di dunia ini, termasuk di Indonesia, yang membuat perempuan menjadi tersubordinasi. Dalam beberapa perkawinan di Indonesia, perempuan dibeli dengan mahar sehingga laki-laki merasa berhak memperlakukannya bagaimana setelah membeli perempuan itu. Konstruksi budaya akan laki-laki terhadap perempuan tidak hanya memengaruhi cara pandang laki-laki pada perempuan dalam pernikahan saja, tetapi juga di dalam tempat kerja. Oleh karena itu, dengan melakukan rekonstruksi makna bahwa perempuan merupakan rekan yang sesuai/membantu laki-laki, masyarakat-khususnya umat percaya-dapat memandang secara setara posisi laki-laki dan perempuan. Tidak ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah. Ingat, posisi rusuk tidak di atas juga tidak di bawah. Ia di tengah-tengah. Begitu pula perempuan dan laki-laki tidak ada yang lebih tinggi mereka bertemu di tengah-tengah. Seorang teolog feminis, Elisabeth Schussler Fiorenza, mengatakan bahwa pandangan terhadap perempuan lebih baik lagi sangat tergantung pada rekonstruksi institusi sosial, karena institusi sosial yang dapat memberikan definisi kembali atas gambaran budaya antara peran laki-laki dan perempuan, sehingga perempuan dapat berdiri sendiri atas dirinya sebagai manusia dan dapat menerima akses kesetaraan dalam ekonomi dan politik. Atau singkatnya, Fiorenza melihat bahwa lembaga-lembaga budaya dapat menarik pemahaman bahwa perempuan tidak lebih rendah dari laki-laki, sehingga di mana pun perempuan berada, terkhusus di tempat pekerjaan, mereka mendapatkan akses yang seharusnya mereka terima.
Memang, kritik Fiorenza ini ada benarnya. Bagaimana tidak, pandangan kebudayaan sedikit-banyaknya memengaruhi posisi laki-laki dan perempuan di gereja. Jika kita lihat, belum ada perempuan yang menjadi pastor di gereja Katolik. Begitu pula dengan gereja-gereja di Indonesia, di mana posisi pelayan perempuan tidak sebesar pelayan laki-laki. Syukur pada Tuhan bahwa gereja di Indonesia sejak akhir tahun 2014 telah memiliki ketua umum PGI dari kalangan perempuan untuk pertama kali. Bahkan, di GMIT, ketua Sinode mereka yang baru adalah perempuan. Hanya di gereja-gereja Sumatera, terkhusus GKPI yang baru saja melakukan periodesasi pimpinan sinode, belum mendapat kesempatan menjadi Bishop. Atau, kita juga melihat dalam ibadah-ibadah sektor yang diselenggarakan oleh GKPI, jamuan makan malam yang pertama kali mengambilnya adalah laki-laki, kemudian perempuan. Rasanya agak tabu kalau perempuan yang pertama mengambil makanan. Sekalipun, saat ini terkenal dengan ungkapan “Lady first”.
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan!
Pentingnya rekonstruksi pemahaman teologis bahwa penolong yang sepadan itu mengartikan bahwa perempuan adalah rekan yang sesuai bagi laki-laki, hal itu membuka peluang bagi mereka untuk bersama-sama menyusun tugas dan tanggung jawab mereka dalam menciptakan keteraturan hidup. Seperti yang dikatakan pada ayat 19-20, bahwa tugas pertama laki-laki telah selesai menamai tiap-tiap makhluk yang hidup. Sekarang saatnya bagi mereka mereka dapat bersama-sama mengusahakan alam semesta beserta segala isinya untuk keteraturan hidup. Kegiatan bersama ini ditekankan pada ayat 24, di mana laki-laki dan perempuan bersatu menjadi satu daging. Apa maksudnya satu daging? Tentu mereka akan bersetubuh, sehingga mereka memiliki keturunan. Mereka menjalani hidup bersama-sama dengan keturunannya, termasuk mengusahakan alam dan segala isinya. Itulah perintah Tuhan Allah pada perempuan dan laki-laki. Dari sedemikian jauh pembahasan firman Tuhan pada saat ini, apa yang dapat kita refleksikan serta aplikasikan di dalam kehidupan beriman kita? Saya mencatat setidaknya ada dua hal yang dapat kita refleksikan serta aplikasikan, yaitu:
a.      Perempuan dan laki-laki adalah rekan yang sesuai. Sehingga, mereka harus saling menghormati, bukan saling menyakiti, apalagi saling menindas. Dari kerekanan yang sesuai ini mereka kemudian membuka peluang untuk saling memahami. Memang bagi laki-laki sangat sulit memahami perempuan. Bahkan, bagi psikolog besar seperti Freud, ia berkata “pertanyaan terbesar yang tidak pernah terjawab dan di mana aku belum bisa menjawabnya sekalipun aku meneliti jiwa perempuan, adalah ‘Apa yang diinginkan oleh seorang perempuan?’” Sering memang konflik perempuan dan laki-laki terjadi karena laki-laki gagal memahami perempuan. Jika seorang laki-laki bertanya, “apakah ada masalah?” perempuan itu pasti menjawab “tidak”. Tapi, kemudian, perempuan itu mengatakan “kamu itu tidak peka ya?”. Lalu, laki-laki itu bertanya lagi, “masalah kamu apa?”. Dan, perempuan itu menjawab, “tidak ada”. Begitu seterusnya. Susah memang memahami perempuan. Namun, sekalipun perempuan itu susah untuk dipahami, bukan berarti ia adalah makhluk yang lemah. Seperti ilustrasi di awal khotbah, kekuatan perempuan itu ada di perasaannya dan bukan di ototnya. Makanya, seorang ibu dapat mengendong anaknya sambil bekerja entah menyetrika ataupun mengepel. Tidak seperti bapak yang baru 15 menit menggendong anaknya sudah kelelahan. Itu terjadi karena ibu menggendong anaknya dengan kekuatan dari perasaan bukan seperti bapak itu yang menggendong dengan ototnya. Di sinilah mereka dapat saling memaknai, menghargai, dan mengerti bahwa mereka sebenarnya adalah rekan yang sesuai.
b.     Hal kedua adalah bagaimana laki-laki dan perempuan dapat membuka peluang untuk menciptakan keteraturan dalam hidup. Hal ini dapat dimaknai dalam contoh sederhana berikut: Seorang ibu baru saja melahirkan. Ibu ini masih dalam keadaan lemah belum dapat bergerak banyak. Sementara ia masih mengurus bayinya. Namun, keadaan rumah menjadi begitu kacau karena selama ini yang bertugas merapikan adalah istri. Anak-anak mereka selama ini tidak peduli dengan keadaan rumah. Begitu pula suaminya yang tidak pernah mengurus rumah. Apa yang harus dilakukan agar kondisi rumah yang kacau balau menjadi teratur? Tentu, si suami tidak perlu malu bertanya pada istri apa saja yang harus dikerjakan agar rumah menjadi teratur. Anak laki-laki yang tidak mau mencuci piring karena menganggap itu pekerjaan perempuan dapat dibuka wawasannya dengan teladan dari bapaknya yang mengambil bagian tugas yang biasa dikerjakan ibunya, misalnya mencuci pakaian. Sehingga, anak laki-lakinya dapat mengerjakan tugas rumah yang dianggap tugas perempuan. Dengan demikian, suasana rumah menjadi teratur. Begitu hendaknya laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka harus membuka peluang untuk saling membantu agar tercipta keteraturan.
Inilah firman Tuhan bagi kita pada saat ini. Biarlah firman Tuhan ini memberi kita kekuatan untuk menciptakan keteraturan hidup sebagai hasil saling menghormati, mendukung, dan membangun antara laki-laki dan perempuan. Tuhan memberkati!