Selasa, 24 Mei 2022

Bernyanyilah bagi Tuhan (Why.4:8-11, Khotbah Epistel Minggu Kantate)


 

 

4:8 Dan keempat makhluk itu masing-masing bersayap enam, sekelilingnya dan di sebelah dalamnya penuh dengan mata, dan dengan tidak berhenti-hentinya mereka berseru siang dan malam: "Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang." 4:9 Dan setiap kali makhluk-makhluk itu mempersembahkan puji-pujian, dan hormat dan ucapan syukur kepada Dia, yang duduk di atas takhta itu dan yang hidup sampai selama-lamanya, 4:10 maka tersungkurlah kedua puluh empat tua-tua itu di hadapan Dia yang duduk di atas takhta itu, dan mereka menyembah Dia yang hidup sampai selama-lamanya. Dan mereka melemparkan mahkotanya di hadapan takhta itu, sambil berkata: 4:11 "Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan."

 

Pendahuluan

Wahyu Yohanes sejatinya dialamatkan pada ketujuh jemaat Kristen di Asia (Why.1:4). Saat itu, umat Tuhan berada di bawah kolonialisme Romawi, termasuk Yohanes berada di pulau Patmos oleh karena pengasingan akibat dicurigai sebagai pemberontak. Kekristenan kala itu dianggap sebagai potensi bahaya, sebab Kristus yang menjadi pusat beriman umat percaya dipuja sebagai Mesias yang diutus oleh Allah. Kita tahu kalau Mesias itu merupakan jabatan politis di bangsa Israel yang memiliki tugas untuk membebaskan umat-Nya dari belenggu penjajahan, seperti dari perbudakan Mesir dan pembuangan Babel. Penindasan Kaisar Romawi yang begitu beringas membuat umat Tuhan menjadi sangat menderita. Untuk itu, Yohanes harus tetap memberikan motivasi dan semangat untuk mereka yang dirundung ketakutan dan ketidakpastian. Apabila menulis secara terbuka, surat Yohanes dari pulau Patmos pasti akan dihanguskan oleh pemerintah kolonial Romawi. Untuk itu, Yohanes mencoba menuliskan sebuah surat dari pembuangannya di Patmos dengan gaya kesusastraan di masa itu. Sehingga, kolonial Romawi melihat surat Yohanes ini sebagai karya seni sastra yang indah.

Kesulitan kita sebagai umat percaya di masa kini dalam membaca surat Yohanes dari Patmos tentu dilatarbelakangi konteks yang berkembang sesuai zamannya. Misalnya saja, anak di masa kini tidak tahu bagaimana berjuangnya untuk berkomunikasi di era masa lampau, ketika handphone dan internet tidak sepesat saat ini. Mengirim uang dengan menggunakan wesel pos. Memberikan kabar untuk kerabat di luar kota melalui sepucuk surat yang sampainya berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Mereka pasti bingung ketika kita menceritakan perihal “antrean di Wartel” atau “perangko pos untuk luar kota”. Demikian juga dengan konteks metafora yang digunakan dalam surat Wahyu ini, kita sangat terbatas pemahaman tentang istilah yang berkembang kala itu. Ada jarak waktu yang sangat jauh yang menjadi jurang antara pembaca di saat itu dengan kita di masa kini. Akan tetapi, tafsiran kitab Wahyu pada saat ini sudah sangat berkembang. Setidaknya ada enam pendekatan yang diketahui dan diakui dalam kajian teologis terhadap teks Wahyu ini, yaitu : Praeter, Historis, Futuris, Triumfalis, Idealis, dan Perspektif. Tafsiran teks saat ini merupakan kolaborasi dari pendekatan Prater (peristiwa masa lalu), Futuris (peristiwa masa depan), dan Triumfalis (peristiwa masa lalu yang akan terjadi di masa depan)

 

Pembahasan

4:8 Dan keempat makhluk itu masing-masing bersayap enam, sekelilingnya dan di sebelah dalamnya penuh dengan mata, dan dengan tidak berhenti-hentinya mereka berseru siang dan malam: "Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang." 4:9 Dan setiap kali makhluk-makhluk itu mempersembahkan puji-pujian, dan hormat dan ucapan syukur kepada Dia, yang duduk di atas takhta itu dan yang hidup sampai selama-lamanya

Persoalan dalam bagian ini adalah siapa keempat makhluk yang masing-masing bersayap enam itu? Sebelumnya, Yohanes menggambarkan bagaimana rupa keempat makhluk itu, “Adapun makhluk yang pertama sama seperti singa, dan makhluk yang kedua sama seperti anak lembu, dan makhluk yang ketiga mempunyai muka seperti muka manusia, dan makhluk yang keempat sama seperti burung nasar yang sedang terbang.” (ay.7). Apabila kita membaca kitab Yehezkiel (1:5, 6, 7, 8, 10; 10:1-21), penglihatan itu sama dengan yang ada di teks Wahyu. Sekalipun demikian, para ahli PB berbeda pandangan tentang siapa mereka. Ada yang mengatakan keempat makhluk itu merupakan empat penjuru alam dan perbintangan utama di dalam zodiak, dan keenam sayapnya masing-masing menjelaskan akan kecepatan, kekuatan, dan kercerdasannya. Ahli PB lain menjelaskan keempat makhluk itu melambangkan tatanan malaikat di surga di mana ada yang punya kekuatan seperti singa, ada juga yang punya pelayanan sebagaimana anak lembu melayani tuannya, ada juga yang memiliki kecerdasan dan kemampuan seperti manusia, serta ada juga yang punya ketajaman penglihatan seperti burng nazar.

Setidaknya dari penjelasan ahli PB tadi, kita dapat mengambil suatu gambaran umum kalau keempat makhluk itu merupakan representasi makhluk dari atas/surga di dalam memuji-muji Tuhan di dalam kekudusan-Nya. Mereka ini ciptaan juga sebagaimana manusia yang diciptakan-Nya. Nyanyian mereka ini dikenal dalam bahasa Yunani dengan nama trihagion atau di dalam bahasa Latin disebut dengan sanctus. Suatu pujian yang sangat kuat sekali menegaskan kekudusan Allah yang berbeda dari manusia ciptaan, sampai diulangi sebanyak tiga kali, yang dapat juga kita pahami sebagai persekutuan Allah, Yesus, dan Roh Kudus.

Pokok Teologis : Makhluk di Surga Memuji-muji Kekudusan Allah yang Kekal

 

4:10 maka tersungkurlah kedua puluh empat tua-tua itu di hadapan Dia yang duduk di atas takhta itu, dan mereka menyembah Dia yang hidup sampai selama-lamanya. Dan mereka melemparkan mahkotanya di hadapan takhta itu, sambil berkata: 4:11 "Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan."

Di sini persoalan yang harus dipecahkan adalah siapa kedua puluh empat tua-tua yang ada pada teks kita. Di ayat sebelumnya, ada disinggung tentang kedua puluh empat tua-tua itu. “Dan sekeliling takhta itu ada dua puluh empat takhta, dan di takhta-takhta itu duduk dua puluh empat tua-tua, yang memakai pakaian putih dan mahkota emas di kepala mereka. Dan dari takhta itu keluar kilat dan bunyi guruh” (ay.4-5a). Para penafsir teks PB juga beragam menafsirkan ke dua puluh empat tua-tua ini. Ada yang mengatakan bahwa ini merupakan metafora untuk pembagian imam dalam tradisi Perjanjian Lama (PL) yang dibagikan ke dalam 24 rombongan/kelompok. Kita mengetahui di dalam Alkitab kalau ayah dari Yohanes Pembaptis merupakan seorang imam yang mewakili bangsa Israel untuk mempersembahkan kurban persembahan di Bait Allah (Luk.1:8). Mereka dirotasi dalam melakukan tugasnya. Jadi, kita patut mempertimbangkan ke-24 tua-tua ini merupakan representasi dari para imam yang memberikan persembahan kepada Allah. Ada ahli lain yang menafsirkan mereka ini merupakan represntasi malaikan surgawi untuk memberikan persembahan kepada Tuhan. Tetapi, tafsiran ini sangat lemah sekali. Ada tafsiran lain yang layak dipertimbangkan yaitu kedua puluh empat tua-tua ini merupakan orang kudus  yang telah memenangkan pertandingan iman di PL dan PB. Ini bisa jadi hal yang sangat dekat bila kita merujuk pada mahkota emas yang ada di kepala. Mahkota emas bukanlah tanda pemegang kerajaan, tetapi tanda yang sering diberikan pada mereka yang memenangkan suatu pertandingan olahraga.

Dari pendekatan tafsiran yang ada ini, kita dapat mengambil gambaran umum untuk teks di ayat 10-11 ini bahwa segala ciptaan yang ada di bumi pun turut memuji-muji Tuhan dan memberikan persembahan kepada-Nya.

Pokok Teologis : Mahkluk di Bumi Memuji-muji Kebesaran Allah Pencipta

 

Refleksi-Aplikasi

1.       Makhluk di surga memuji-muji kekudusan Allah yang kekal

Turut sertanya makhluk surga memuji kekudusan Allah menggambarkan bagaimana kekuasaan Allah sangat nyata di surga. Dia adalah Allah yang kekal yang tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Apabila kita pernah membaca laporan berita astrofisika tentang alam semesta, kita akan dibuat takjub betapa waktu itu sangat relatif di luar angkasa. Untuk itu, ruang pun menjadi sangat subjektif. Teori Big Bang menjelaskan kalau alam semesta kita ini dikatakan mengembang dari sejak ledakan dahysat terjadi. Dalam keyakinan iman Kristen, kita tahu bahwa sebelum Big Bang itu terjadi Allah telah ada. Karenanya, Allah itu dari kekekalan sampai pada kekekalan. Hukum energi dalam bahasa fisika sederhananya dipahami sebagai sesuatu yang tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Energi hanya mengkonversi bentuknya saja. Demikian juga Allah yang kita imani, Dia tidak diciptakan dan Dia tidak akan berakhir. Dia dapat datang di dalam diri Yesus Kristus dan Roh Kudus sepanjangan pengenalan kita melalui Alkitab. Kekaguman ini juga dirasakan oleh makhluk surga yang mengakui bagaimana kekekalan Allah.  Oleh karenanya, kita sebagai umat percaya yang hidup di bumi harus semakin mengasihi Allah di dalam kekekalan-Nya. Sebab, Allah dengan segala kekuasaan-Nya yang kudus dapat mengatasi langit dan bumi.

 

2.       Makhluk di bumi memuji-muji kebesaran Allah Pencipta

Dalam konteks Yohanes menuliskan surat ini, Kaisar Romawi diperlakukan bak dewa. Tetapi, surat Yohanes ini mengajak kalau pusat penyembahan kita selaku umat percaya hanya diarahkan kepada Allah yang kita kenal di dalam Yesus Kristus saja. Mengapa? Yohanes menegaskan karena Dia adalah Allah Pencipta. Umat percaya karenanya diajak untuk tidak takluk pada kuasa di dunia yang mungkin dapat mencelakakan tubuh dan menghilangkan nyawa. Kita hanya takluk kepada Tuhan Allah saja sebagai Pencipta kita. Di dalam rasa takut dan hormat, tanda kita takluk kepada Allah, kita sesungguhnya sedang memuji-muji kebesaran Allah, Sang Pencipta itu. Kita tidak akan terpisah dari kasih Allah Pencipta. Sebab, kita telah diikat oleh Perjanjian Agung oleh Kristus. Perjanjian ini ditandai dengan pengurbanan Kristus. Oleh darah-Nya, kita diselamatkan-Nya. Untuk itu, kita harus memiliki keberanian di dalam menjalani kehidupan sebagai umat tebusan. Karena, Allah Pencipta akan senantiasa memelihara kehidupan umat -Nya. Inilah yang kita puji di dalam iman kita.

Jangan Duduk Diam, Tetapi Bangunlah (Yoh.5:1-9, Catatan Khotbah POUK Kelapa Gading, 22 Mei 2022)

 

 


Pemecatan Letjen TNI Prof.Dr. dr.Terawan Agus Putranto, Sp.Rad atau lebih dikenal dengan nama dr.Terawan, dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), menjadi berita yang sangat menarik simpatik masyarakat kita. Sepertinya, masyarakat tidak menolak penanganan medis Digital Subtraction Angiography (DSA) atau familiar disebut dengan cuci otak oleh dr.Terawan. Namun, IDI bersikeras bahwa pekerjaan dr.Terawan dinilai tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sehingga, praktek ini dianggap bahaya karena mengabaikan kode etik dunia kedokteran. Lantas, mengapa masyarakat kita malah dominan melawan IDI? Bukannya, masyarakat kita seharusnya bersyukur ketika IDI berusaha mencegah terjadinya malpraktek dokter di Indonesia? Anehnya lagi, bagaimana mungkin masyarakat malah mendukung didirikannya organisasi ikatan profesi dokter tandingan sebagai pesaing IDI? Apabila memerhatikan suara masyarakat yang mendukung dr.Terawan, kita menemukan ada kebulatan sikap yang menyuarakan akan adanya pengharapan dari tindakan dr.Terawan selama ini. Masyarakat secara umum menilai bahwa sekalipun praktek itu berbahaya dan tidak berbasis ilmiah, tetapi ada harapan kesembuhan yang murah, efektif, dan efisien yang sesuai kantong masyarakat. Selama ini, pengobatan yang berhubungan dengan penyumbatan di pembuluh darah sangat mahal dan tidak semua dapat mengaksesnya. Isunya kemudian digiring pada kapitalisasi kesehatan di Indonesia. Fenomena dr.Terawan ini membawa kita kemudian pada dua pilihan, “membangkitkan harapan” atau “menegakkan kode etik ilmiah”?

Fenomena dr.Terawan ini dapat menjadi jalan masuk bagi kita untuk memahami bagaimana pekerjaan Tuhan Yesus yang fenomenal juga yang ada di perikop ini. Teks kita berbicara tentang ada banyaknya orang  sakit, seperti orang buta, timpang/pincang, lumpuh, dan sakit lainnya, sedang berada di pinggir kolam (ay.3). Mereka percaya akan sebuah kolam di dekat pintu gerbang Anak Domba, Yerusalem, yang sering disebut Bethesda, di mana ketika airnya berguncang pertanda malaikat Tuhan datang. Sehingga, siapapun yang masuk di dalamnya bisa menjadi pulih (ay.2,4). Dalam bahasa Aram, Bethesda berarti house of mercy (rumah belas kasih). Yesus bertepatan hadir di sana untuk melihat perjuangan orang sakit yang mengharapkan kesembuhannya. Kehadiran Yesus diceritakan Injil Yohanes awalnya untuk menghadiri hari raya orang Yahudi. Sekalipun tidak dijelaskan hari raya apa, kemungkinan besar hari raya pesta panen tujuh minggu atau Pentakosta Yahudi (ay.1).  Kehadiran Yesus sungguh memberikan makna bagi orang yang telah terbaring sakit 38 tahun lamanya (ay.5). Orang itu hadir di sana tapi tidak tahu bagaimana caranya supaya dapat masuk ke kolam. Ia sendiri tidak dapat mengangkat tubuhnya dan masuk ke kolam. Terlebih, ada banyak orang yang sudah menanti-nantikan kapan guncangan air itu datang. Ia sudah pasti kalah, sebab tidak akan ada orang yang mau membantunya (ay.7). Mengapa tidak ada orang yang mau membantu untuk mengangkatnya? Sebab, hari itu adalah hari Sabat, di mana tidak boleh ada yang bekerja, termasuk mengangkat tilam (ay.9). Sehingga, Yesus merasa perlu memberikannya harapan, “Maukah engkau sembuh?” (ay.6). Yesus tahu kalau kesembuhan seorang yang sedang sakit dimulai dari membangun pengharapannya terlebih dahulu. Melihat semangat seorang yang sakit itu, Yesus memerintahkan, “Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah” (ay.8). Bagi kita sebagai pembaca di masa kini, perintah Yesus itu sederhana. Tapi, hal ini tidak bagi mereka yang hidup di masa itu. Orang yang sakit selama 38 tahun itu diberikan pilihan yang sangat berat, “Ia mau sembuh?” atau “Ia mau mengamalkan Hukum Taurat?”. Bila memilih kesembuhan, ia sudah pasti melanggar Taurat. Tetapi, bila mengamalkan Taurat, ia akan melewatkan kesembuhan setelah menantikan 38 tahun lamanya. Karena Yesus diceritakan tidak membantunya untuk turun ke kolam, tentu ia yang harus memilih sendiri. Ini ibarat pengantar kita di awal tadi dalam kasus Terawan, “membangkitkan pengharapan” atau “menegakkan kode etik ilmiah”? Dan, orang yang sakit 38 tahun itu memilih untuk mengikuti perintah Yesus. Ia pun sembuh karena kuasa firman-Nya, bukan karena air kolam Bethesda itu.

Hal yang dapat kita refleksikan dari firman Tuhan pada saat ini bagaimana kuasa firman-Nya bekerja menerobos sekat-sekat yang dibangun oleh manusia. Memang perintah Tuhan dalam bentuk Taurat itu diturunkan Allah kepada bangsa Israel melalui Musa. Namun, Taurat itu kemudian telah dikonstruksi sedemikan rupa sebagai alat legitimasi mengukur seseorang itu baik atau tidak di tengah masyarakat. Inilah yang dikritik oleh Yesus dari para tokoh agama yang menggunakan Taurat sebagai pencitraan diri mereka. Taurat tidak lagi sebagai alat untuk menuntun kehidupan umat Tuhan di dalam keadaan yang tertib, tetapi sudah terjebak di dalam kemunafikan. Injil Yohanes ketika mencatatkan kesaksian tentang Tuhan Yesus yang memberikan perintah kepada orang yang sudah 38 tahun lamanya terbaring sakit, sesungguhnya juga tengah memberitahukan pembacanya,  apakah kita sungguh mau turut kepada perintah Tuhan Yesus? Karena, apabila kita mau menuruti perintah Tuhan Yesus, hal itu berarti kita dengan sungguh mau mengakui keilahian dari Yesus Kristus. Sebagaimana kesaksian Injil Yohanes, bahwa Yesus Kristus itu datang dari Bapa-Nya dan memberitahukan kita tentang pekerjaan Allah yang di surga di tengah dunia. Kita pun diajak seperti orang yang sakit selama 38 tahun itu untuk menolak sistem beriman yang sangat destruktif dan menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan. Secara tidak langsung, orang yang sakit selama 38 tahun itu mengakui bahwa Yesus itu datang-Nya dari Allah. Untuk itu, baiklah kita meneladani iman orang yang sakit selama 38 tahun itu, dengan mau menuruti perintah Tuhan Yesus. Marilah kita semua umat percaya, jangan duduk diam, tapi bangunlah!

 

Pdt.Theodorus Benyamin Sibarani, S.Si (Teol), M.Kesos

GKPI Ressort Jakarta Raya-1

Hidup dalam Roh (Roma 8 : 8-11, Pentakosta, 5 Juni 2022)



Pendahuluan

Surat Roma merupakan surat Paulus terpanjang yang ditulisnya dan sangat berpengaruh bagi para pembacanya. Letak surat ini berada di depan surat lainnya. Paulus sepertinya menulis surat ini bukan dalam rangka melayani jemaat dengan latar belakang Yahudi, mengingat sebagian besar jemaat Tuhan di kota Roma bukanlah orang Yahudi. Di dalam suratnya ini, Paulus ingin meyakinkan pembacanya di Roma kalau rencana pekabaran Injil di kota Roma sudah sejak lama direncanakannya. Namun, ia selalu mendapatkan hambatan (bnd.Rm.1:10-13, Rm.15:22). Paulus tetap merencanakan kunjungannya segera (bnd.Rm.15:22-23) sebagaimana kerinduannya yang ditegaskan dalam surat Roma.

Ketika menulis surat Roma, Paulus berada di Korintus, tepatnya di rumah Gayus (bnd.Rm.16:23, 1.Kor.1:14). Paulus juga menatap pelayanan ke Spanyol (bnd.Rm.15:24+28), sehingga Roma bukan menjadi tujuan akhirnya. Paulus berkomitmen untuk menyebarkan Injil Kristus di seluruh wilayah Kekaisaran Romawi. Karena itu, ketika melihat surat Roma yang ditulis Paulus, kita harus melihat subjek lain yang penting di dalam surat ini, seperti unsur masyarakat yang membentuk komunitas Roma dan memberikan makna atasnya. Pemikiran Karl Barth tentang etika Kristen dapat diperhatikan, ketika ia menempatkan perintah Allah di dalam unsur kedua, sedangkan anugerah Allah berada di unsur pertama. Ini berdasarkan apa yang dikatakan oleh Paulus tentang titik tolak umat Kristen yang tidak mengacu pada realitas diri sendiri maupun realitas dunia, tetapi realitas Allah yang menyatakan diri-Nya melalui Yesus Kristus. Karenanya, Paulus memang menyadari betul kalau prakarsa Ilahi itu sebagai anugerah.

 

Pembahasan

Ayat 8 : Mereka yang hidup dalam daging, tidak mungkin berkenan kepada Allah

Apa yang diikthiarkan daging adalah maut (bnd.Rm.8:6). Maut itu ajalnya karena keinginan daging itu memusuhi Allah. Kalimat “dalam daging” di sini dapat diartikan juga merujuk pada  Galatia 2:20 dan 1 Korintus 10:3. Dalam kedua nas itu, hal daging merupakan tabiat manusia  yang memang lemah dan fana karena masih terlepas dari berkuasa tidaknya dosa. Bahwa kita tidak berkenan kepada Allah bukan karena nasib, tetapi lantaran kita bersifat bendawi. Dan, kata “tidak mungkin berkenan kepada Allah” dapat ditafsirkan dengan memerhatikan Roma 15:1-3, di mana mencari kesenangan sendiri merupakan lawan dari menyangkal diri. Begitu juga dalam 1 Tesalonika 2:4 dan Galatia 1:10, di mana mencari kesukaan manusia merupakan lawan dari menjadi hamba Kristus. Maka, kalimat “berkenan kepada Allah” dapat didefinisikan sebagai bertindak sesuai dengan kehendak Allah, melayani Tuhan.

Pokok Teologis : Ketika melayani Tuhan, kita tidak boleh bersifat bendawi

 

Ayat 9 : Tetapi kamu tidak hidup dalam daging, melainkan dalam Roh, jika memang Roh Allah diam di dalam kamu.  Tetapi jika orang tidak memiliki Roh Kristus, ia bukan milik Kristus.

Untuk kalimat “tetapi kamu tidak hidup dalam daging, melainkan dalam Roh” menunjukkan kita harus keluar dari lingkungan yang merusak, dalam hal ini lingkunan yang penuh dengan racun rohani. Sebaliknya, kita pindah tempat tinggal ke lingkungan Roh yang menyehatkan rohani kita. Untuk kalimat, “jika memang Roh diam di dalam kamu” dapat diperhatikan terlebih dahulu pada kata diam di dalam. Di sana, penggunaan kata diam di dalam termasuk ke dalam rumpun oikos (rumah). Karenanya, kehadiran Roh di dalam diri kita tidak berlangsung sebentar, tetapi terus-menerus sebagaimana kita mendiami rumah. Tindakan Roh di dalam kita seperti halnya kita mengatur apa yang pantas dan cocok di dalam rumah kita. Demikian, Roh akan mengatur hidup kita. Kehadiran dosa sebagaimana jadinya tabiat manusia akan menjadi penyerobot rumah kita. Untuk itu, kehadiran Roh Kristus menjadi patokan kehidupan apakah ia seorang Kristen, sebagaimana dituliskan Paulus ,”tetapi jika orang tidak memiliki Kristus, ia bukan milik Kristus”. Roh Kristus yang ada di dalam diri seorang Kristen itu tidak membawa sesuatu yang baru di luar karya Kristus. Akan tetapi, Roh Kristus akan menjabarkan di hati umat percaya.

Pokok Teologis : Roh Kristus harus berkuasa dan berkarya dalam kehidupan umat-Nya

 

Ayat 10 : Tetapi jika Kristus ada di dalam kamu, maka tubuh memang mati karena dosa, tetapi roh adalah kehidupan oleh karena kebenaran

Kalimat tubuh memang mati karena dosa bukan merujuk pada tubuh jasmani yang akan mati kelak. Namun, tubuh memang mati karena dosa yang dimaksud di sini berarti keadaan kita yang lama, manusia lama yang disalibkan bersama dengan Kritus. Kita mengingat Yesus disalibkan karena dosa kita. Untuk kalimat tetapi roh adalah kehidupan oleh karena kebenaran dapat kita lihat di dalam diri Kristus yang bangkit dari kematian karena dosa tadi. Di sini, Roh Kristus senantiasa memberikan kehidupan yang tidak dapat ditaklukkan oleh apapun, termasuk sengat dosa sekalipun. Roh Kristus yang hidup itu senantiasa mengerjakan karya Tuhan yang benar di dalam umat percaya sebagai tanda ia telah hidup baru di dalam Kristus. Sebab, rumah kita telah dikuasai-Nya sehingga kita pun dapat melakukan yang benar di dalam hidup baru itu.

Pokok Teologis : Roh Kristus memberikan kita hidup baru untuk melakukan kebenaran

 

Ayat 11 : Dan jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya, yang diam di dalam kamu.

Di sini telah terjadi pergeseran makna tentang tubuh yang mati. Dalam ayat ini kalimat tubuhmu yang fana itu merupakan kehidupan kita yang sudah dipenuhi oleh Roh Kristus. Secara sederhana, kita dapat memaknai bahwa seorang hidup yang baru sekalipun pada suatu saat nanti akan merasakan kematian badaniah. Kehidupan baru di dalam Roh Kristus tidak serta merta membuat kematian tidak menyentuh kita. Namun, ada jaminan tentang Roh Kristus yang diam di dalam rumah kita menjadi kunci bagaimana kita akan dibangkitkan. Sebab, Allah telah membangkitkan Kristus dari kerajaan maut, dan Roh Kristus yang bangkit itu tinggal di dalam kita. Secara korelasional, Allah pun akan membangkitkan kita karena Roh Kristus itu. Itu mengapa sangat penting menjaga Roh Kristus tetap tinggal diam di dalam rumah kita.

Pokok Teologis : Allah membangkitkan tubuh fana kita oleh karena Roh Kristus di dalamnya

 

 

Refleksi-Aplikasi

1.    Ketika melayani Tuhan, kita tidak boleh bersifat bendawi. Roh Kristus harus berkuasa dan berkarya dalam kehidupan umat-Nya.

Di minggu Pentakosta ini, kita dapat merefleksikan pertama-tama bagaimana kehidupan Kekristenan kita di dalam melayani Tuhan? Apakah kita sebagai umat-Nya telah melayani Dia dengan sepenuh hati berdasarkan perintah-Nya? Terkadang, kita di tengah kehidupan ini mengalami penderitaan karena Tuhan tidak menjadi Tuan atas diri kita. Keinginan daging yang bendawi mengekang kita dengan segala manifestasi kenikmatannya. Akibatnya, kita menjadi sangat lemah di dalam mengambil keputusan etis berdasarkan iman kepada Kristus. Kita di satu sisi yang sangat tekun beribadah dan beriman, tapi di sisi lain kita bisa menjadi sangat menjadi lentur untuk berkompromi dengan dosa. Paradoks tersebut membuat dosa menjadi penyerobot di dalam rumah kita. Pada akhirnya, kita pun tetap tinggal di dalam dosa. Oleh karena itu, kita harus menghidupkan kembali Roh Kristus di dalam diri sehingga Roh itu berkuasa penuh. Dampaknya, kehidupan kita akan menjadi tertib sebab karya Roh Kristus sangat nyata. Walaupun hidup kita secara dunia mungkin tidak diuntungkan, tetapi hidup kita selalu berjalan sesuai koridor moral dan etika Kristen yang berlaku. Dengan demikian, damai sejahtera menjadi milik kita yang tidak dapat ditawarkan oleh dunia dengan segala gemerlapnya.

 

2.    Roh Kristus memberikan kita hidup baru untuk melakukan kebenaran

Dalam Minggu Pentakosta kita juga merefleksikan bagaimana Roh Kristus memberikan kita pandangan untuk menimbang putusan moral etis berdasarkan kehidupan baru di dalam Kristus. Cara kita memutuskan suatu hal ketika hidup baru di dalam Roh Kristus tentu akan sangat berbeda ketika kita hidup lama di dalam keinginan daging. Jika kita di dalam kehidupan lama selalu mencari keuntungan pribadi atau kelompok, maka kita di dalam kehidupan baru akan selalu mencari kebenaran di dalam tuntunan Roh Kristus. Sebab, kekuatan kita sendiri tidak akan sanggup melawan muslihat dosa. Kita membutuhkan Roh-Nya agar kita dapat melakukan apa yang benar dan baik.

 

3.    Allah membangkitkan tubuh fana kita oleh karena Roh Kristus di dalamnya

Dalam Minggu Pentakosta ini kita pun diajak merefleksikan bahwa kehidupan baru di dalam Roh Kristus memang tidak menjadi jaminan kita akan lepas dari kematian di dunia. Setelah mati di dalam penebusan hidup manusia lama, kita akan mengalami kematian lagi di dalam tubuh fana. Tetapi, kematian ini juga tidak akan berkuasa selamanya atas hidup kita. Karena, kita nanti akan bangkit bersama kebangkitan Kristus, oleh karena Roh-Nya di dalam kita. Sehingga, kita jangan mati sebelum mati. Terkadang, ketakutan akan kematian membuat kita tidak dapat berbuat apa-apa. Malahan, kita harus menunjukkan bagaimana karya Roh Kristus ada di dalam hidup kita selagi kita diberikan kesempatan untuk hidup di dunia ini.

 

Kepustakaan :

 

Drane, John. Memahami Perjanjian Baru. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996

Groenen, C. Pengantar ke dalam Perjanjian Baru. Yogyakarta : Kanisius, 2006

Roetzel, Calvin J. The Letters of Paul – Conversation in Context, London: SCM Press, 1983

End, Van Den, Th.Dr. Tafsiran Alkitab Surat Roma, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2008.

 

 

Pdt.Theodorus Benyamin Sibarani, S.Si (Teol), M.Kesos

GKPI Ressort Jakarta Raya-1

 

BERNYANYILAH BAGI TUHAN (KHOTBAH MINGGU KANTATE)


Nyanyian Miryam yang menjadi saksi pembebasan bangsa Israel dari perbudakan Mesir

Ketika kuda Firaun dengan keretanya dan orangnya yang berkuda telah masuk ke laut, maka TUHAN membuat air laut berbalik meliputi mereka, tetapi orang Israel berjalan di tempat kering dari tengah-tengah laut. (Ay.19)

Apabila berbicara tentang puji-pujian di Alkitab, kita langsung merujuk pada malak malaikat dengan sangkakalanya, Daud dengan mazmurnya, Maria dengan doa pujian Magnificatnya, serta penulis kitab Mazmur lainnya seperti Musa dan Asaf. Namun, teks evanggelium kita saat ini berbicara tentang nyanyian yang dilantunkan oleh Miryam. Siapakah Miryam itu? Miryam merupakan saudara dari Musa dan Harun, anak Amran (1.Taw.6:3a). Ia turut menjadi saksi sejarah bangsa Israel yang baru saja keluar dari perbudakan Mesir, ditandai dengan dikuburkannya tentara Firaun bersama kereta perangnya di tengah laut. Puji-pujian Miryam terjadi di sela-sela pujian yang dilantunkan oleh Musa.


Miryam, seorang nabiah, larut di dalam lantunan pujian “orang tertebus” Musa

Lalu Miryam, nabiah itu, saudara perempuan Harun, mengambil rebana di tangannya, dan tampillah semua perempuan mengikutinya memukul rebana serta menari-nari. (Ay.20)

Kidung yang dinyanyikan Musa ini pastinya sangat indah bentuknya, baik itu lirik maupun komposisi nadanya. Dalam iman, kita yakin bahwa Musa menggubah mazmur “orang tertebus ini” ini di dalam tuntunan Roh Tuhan. Sehingga, mazmur Musa ini menyentuh kedalaman jiwa para pendengarnya. Tidak salah kalau mazmur Musa ini dijadikan bangsa Israel sebagai pujian atau himne ritus yang wajib dinyanyikan ketika hendak memasuki Bait Allah yang kudus.

Miryam pun larut secara emosional di dalam lagu itu. Secara spontan, ia meraih tamborine/rebana untuk mengiringi mazmur Musa, lalu diikuti tari-tarian. Ekspresi penghayatan Miryam ini ternyata berhasil ditularkan pada perempuan yang ada di rombongan keluaran itu. Secara psikologis, musik memang dapat memengaruhi tubuh dengan sangat kuat.  Prof.Rolf Inge Godoy, dkk (University of Oslo) mengeksplor teori mengenai hubungan antara suara musik dan gerakan tubuh. Penelitian ini dipublikasikan di Journal of New Music Research. Berdasarkan teori, kita bisa memahami sesuatu bila secara aktif menirukan gerakan yang terkait dengan gerak sensorik yang sedang coba diproses. Jadi, ketika kita mendengarkan musik, kita cenderung secara mental mensimulasikan gerakan tubuh. Ini bisa dianggap sebagai semacam representasi bentuk.

Miryam seorang pemimpin perempuan karismatik yang berhasil mentransferkan spirit pembebasannya pada para perempuan yang berbeban berat

Dan menyanyilah Miryam memimpin mereka: ”Menyanyilah bagi TUHAN, sebab Ia tinggi luhur; kuda dan penunggangnya dilemparkan-Nya ke dalam laut.” (Ay.21)

Tidak hanya berhasil mengajak para perempuan berekspresi dan menari, Miryam juga berhasil mengajak perempuan di sana untuk menyanyi. Tidak mudah untuk mengajak perempuan di sana bernyanyi, sebab mereka adalah sosok yang mungkin paling menderita. Budaya patriakhi bangsa Yahudi, membuat para perempuan sebagai warga kelas dua. Belum lagi status perbudakan Mesir, yang banyak sekali memberikan penderitaan pada mereka, salah satunya adalah kehilangan anak laki-laki mereka ketika Firaun memerintahkan untuk membunuh bayi-bayi laki-laki bangsa Israel yang lahir. Ada dua hal secara teoritis yang membuat Miryam berhasil masuk ke sisi emosional terdalam para perempuan, yaitu:

1.    Visi suara kenabian yang kuat dari Miryam

Miryam disebut dengan nabiah. Ini suatu jabatan kepemimpinan yang besar dicatatkan Alkitab atas seorang perempuan. Jabatan yang diemban oleh Miryam bukan tanpa sebab. Catatan Keyahudian, Sotah 12a menceritakan, suara kenabian Miryam sudah terlihat sejak ia kecil. Miryam mendesak ayahnya tidak menceraikan ibunya karena dalam visinya ia melihat ibunya akan melahirkan seorang anak yang akan menjadi pembebas atas Israel. Ketika ada perintah dari Firaun untuk membunuh bayi laki-laki Israel, ayahnya memarahi dan mempertanyakan visi yang ada di dalam diri Miryam. Sekalipun demikian, ia tetap teguh dalam visinya yang ia tahu berasal dari Tuhan. Ia pun memberontak dari perintah Firaun.

 

2.    Semangat “pemberontakan” Miryam yang memotivasi para perempuan

Chana Weisberg, seorang tokoh gerakan feminis Yahudi, mencoba untuk membantu kita mengerti fenomena keberhasilan Miryam memengaruhi perempuan Israel yang ada di dalam rombongan Keluaran dari perbudakan Mesir. Ia melihat bahwa perempuan di sana merasakan solidaritas “pemberontakan” yang dilakukan oleh Miryam. Secara etimologis, nama Miryam tidak hanya berarti pahit/berbeban berat (akar kata “Mar”), tapi juga pemberontak (akar kata “Mir”). Memang, Alkitab dalam beberapa episode pernah menyorot kehidupan Miryam yang tidak jarang terlihat berani sekali melawan arus utama. Ia memberontak atas putusan Firaun yang memerintahkan agar seluruh rakyatnya membuang bayi laki-laki Israel ke sungai Nil (Kel.1:22, Kel.2:4-9). Kuatnya prinsip Miryam ini menjadikannya sebagai pemimpin perempuan yang direkomendasikan Allah di tengah bangsa Israel kala itu (Mi.6:4). Sayangnya,  pemberontakan Miryam ini dianggap kelewat batas sehingga Allah menghukumnya. Miryam mempertanyakan putusan Musa yang mengambil perempuan Kush. Bagi Miryam, posisi Musa bukan tanpa kritik karena Harun dan dirinya juga merupakan sarana Tuhan menyampaikan firman-Nya. Hal ini di mata Tuhan bukan sesuatu yang baik. Ia pun ditimpakan penyakit kusta (Bil.12). Walaupun begitu, terlepas dari paradoks pemberontakannya, Miryam tetap mengambil posisi kepemimpinan spiritualitas yang sangat baik di tengah-tengah perempuan bangsa Israel.

Refleksi Aplikasi:

Sekian jauh pembahasan kita tentang Miryam dan keberhasilannya memengaruhi perempuan di sana untuk bernyanyi, berdendang, dan menari, apa yang dapat kita refleksikan dan aplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari?

Ternyata, kita mendapatkan suatu makna baru di dalam “Bernyanyi bagi Tuhan” berkaca pada apa yang dilakukan oleh Miryam di Keluaran 15 ini. Bernyanyi bagi Tuhan di teks firman Tuhan saat ini adalah upaya Miryam untuk mengangkat semangat para perempuan di sana. Sekalipun perempuan Yahudi secara budaya adalah pihak yang termarjinalkan, dan secara luka batin adalah mereka yang berduka karena kehilangan darah daging yang keluar dari rahimnya, tapi semua itu tidak dapat merebut kuasa Allah yang luar biasa di tengah kehidupan, termasuk membebaskan mereka dari perbudakan Mesir.

Sehingga, kita yang menjadi umat percaya di masa kini dapat menghayati bagaimana cara kita memuliakan Tuhan dengan puji-pujian setiap harinya, maupun setiap minggunya di dalam ibadah. Bahwa, ketika kita bernyanyi memuji Tuhan, sesungguhnya, kita tidak hanya memuji kebesaran nama Tuhan melalui lantunan lagu itu, tetapi juga kita solider pada mereka yang diliputi perasaan sedih dan dukacita, yang butuh dikuatkan melalui karya Allah yang diceritakan dalam lagu itu.

Kita dapat mengambil contoh sebagai bagian penutup di dalam ibadah ini :

1.       KJ.388, “S’lamat di Tangan Yesus”

S’lamat di tangan Yesus, aman pelukan-Nya; dalam teduh kasih-Nya aku bahagia. Lagu merdu malaikat olehku terdengar dari neg’ri mulia: damai sejahtera. S’lamat di tangan Yesus, aman pelukan-Nya; dalam teduh kasih-Nya aku bahagia.

Bagaimana suasana lagu itu? Bahagia? Senang? Secara lirik dan komposisi nada, Ya betul. Tetapi, secara kisah di balik lagu, itu merupakan lagu sedih. Fanny Crossby menikah tahun 1858 dengan Alexander van Alstynem seorang tuna netra dan juga pemusik. Tahun 1859, putrinya lahir namun meninggal dalam tidur setelah lahir. Kematian putrinya tersebut menginspirasi Fanny menulis syair lagu” Safe in the Arms of Jesus”

2.       KJ.392, “Ku Berbahagia Yakin Teguh”

‘Ku berbahagia, yakin teguh: Yesus abadi kepunyaanku! Aku waris-Nya, ‘ku ditebus, ciptaan baru Rohul kudus. Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus selamanya. Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus selamanya.

Bagaimana suasana di dalam lagu ini? Ya, lagu ini menceritakan tentang kebahagiaan bila bersama dengan Yesus. Tetapi, lagu ini juga adalah lagu kesedihan dari seorang yang dunianya diliputi kegelapan.  Fanny Crosby adalah seorang bayi perempuan lahir di desa Brewster, daerah bagian utara kota New York. Hari itu tepat tanggal 24 Maret 1820. Saat usianya baru 6 minggu, dia mengalami demam. Namun karena salah penanganan dokter, kedua matanya menjadi buta. Di tahun itu juga, ayahnya, meninggal dunia hingga bayi kecil itu hanya diasuh ibu dan neneknya.Saat usianya 5 tahun,melalui pemeriksaan dokter diketahui matanya tidak bisa dioperasi dan kebutaannya bersifat permanen.Sejak itu gadis kecil itu menjalani hidupnya dalam kegelapan. Bertumbuh besar dan dewasa menikah dengan pria tunanetra juga, tetapi anak mereka pada saat itu langsung meninggal dunia. Suatu kisah tragis dari seseorang yang dunianya diliputi kegelapan. Tetapi, Fanny Crosby tetap kuat di dalam imannya kepada Kristus. Ia bersaksi, “This is my story, this is my song. Praising my Savior all the day long

Demikian juga dengan banyak lagu lainnya di antaranya Pass Me Not, O Gentle Savior (KJ No. 26, Mampirlah Dengar Doaku), All The Way My Savior Leads Me (KJ 408 Di Jalanku Ku Diiring), I Must Have The Savior With Me (KJ 402 Kuperlukan Juru’Slamat), Jesus, Keep Me Near The Cross (KJ 368 Pada Kaki Salimu), dll.

Ketika menyanyikan himne ini kita diajak untuk solider kepada kisah Fanny Crosby sebagai disabilitas yang dirundung kemalangan, sembari kita menguatkan mereka yang sedang di dalam kesulitan hidup yang membutuhkan lawatan kuasa Allah yang luar biasa hebat yang diceritakan di dalam lagu itu.

Sehingga, minggu Kantante pada saat ini mengajak kita, “Bernyanyilah Bagi Tuhan”. Amin.

 

Khotbah di GKPI Menteng, Ressort Jakarta Raya-2

15 Mei 2022