Senin, 25 Oktober 2010

Sejarah Sekolah Minggu


Robert Raikes adalah orang sibuk. Ia pemilik dan penerbit The Gloucester Journal, koran paling besar di wilayah Glouscester, Inggris. Sering kali ia sendiri harus turun tangan mencari berita, menyunting laporan, memeriksa salah cetak atau lainnya.
Oleh karena kesibukannya, Raikes sering bekerja pada hari Minggu untuk menyiapkan koran yang harus terbit keesokan harinya. Ia merasa aneh karena justru pada hari Minggu, ia terganggu oleh suara gaduh dari luar. Ternyata di luar kantornya ada banyak anak yang bermain dan membuat keributan di jalan. Usia mereka sekitar sepuluh tahun. Pakaian mereka lusuh. Muka mereka kotor. Kelakuan mereka kasar. Kata-kata mereka jorok.
Raikes mencari tahu mengapa anak-anak ini bermain di jalan pada hari Minggu. Ternyata mereka tidak bersekolah. Mereka bekerja di pabrik sepanjang pekan. Ini abad 18, dimana Inggris sedang demam industrialisasi. Muncul banyak pabrik yang membutuhkan tenaga murah. Akibatnya banyak anak berhenti sekolah dan bekerja di pabrik dari pagi hingga petang. Mereka diperlakukan dengan keras. Satu-satunya kesempatan mereka untuk bebas adalah pada hari Minggu. Oleh karena itu mereka berkeliaran di jalan pada hari Minggu, bermain dan berbuat onar.
Sebagai wartawan yang menulis berita kriminal dan berkunjung ke penjara, Raikes menyadari bahwa anak-anak ini mudah terseret di dunia kriminal. Sebab itu ia berpikir dan mencari jalan keluar untuk menolong anak-anak ini. Bersama dengan seorang tokoh agama (pendeta) di gerejanya, yaitu Pdt. Thomas Stock, Raikes menyewa rumah kosong untuk membuka sekolah pada hari Minggu bagi anak-anak ini. Pada bulan Juli 1780, sekolah itu dimulai dengan nama Sekolah Minggu. Ketika itu Raikes berusia 45 tahun. Anak-anak yang tidak bersepatu diberinya sepatu. Untuk anak-anak yang belum makan, ia menyediakan roti. Disuruhnya anak-anak ini mandi. Setiap hari Minggu, Raikes memanggil dan menuntun tangan anak-anak ini, “Mari ikut Sekolah Minggu!” Ia menjemput mereka, teringatlah Raikes akan ucapan Yesus, “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku”
Pelajaran yang diberikan di Sekolah Minggu yang pertama ini adalah membaca, menulis, berhitung, mendengar cerita Alkitab, mempelajari katekismus, bermain dan beribadah. Buku utamanya adalah Alkitab. Pelajaran berlangsung setiap hari Minggu mulai pukul 10.00 - 12.00 dan dilanjutkan lagi pukul 13.00 – 17.30. Pada pukul 18.00 Raikes mengajak anak-anak ini beribadah di gereja.
Janganlah dikira bahwa Sekolah Minggu yang pertama ini berjalan mudah. Di kelas sering terjadi keributan. Pernah seorang murid diam-diam membawa seekor tikus, lalu melepaskannya ketika mereka sedang berdoa. Langsung saja kelas itu menjadi kacau balau. Sering kali juga terjadi perkelahian karena seorang anak mencuri permen temannya. Pernah Raikes memukul seorang murid dengan tongkat karena murid itu mendorong dan menjatuhkan seorang nenek yang lewat.
Walaupun banyak kendala, namun Sekolah Minggu pertama di Gloucester ini berkembang. Semakin banyak anak yang tertarik dan semakin banyak orangtua yang melihat faedahnya. Seorang ayah berkata, “Sejak anak saya ikut Sekolah Minggu, perilakunya menjadi baik, dan saya juga berhenti mabuk-mabukan serta mulai teratur ke gereja.” Juga anak-anak perempuan datang dan ikut Sekolah Minggu.
Setelah berlangsung tiga tahun, Raikes mulai menceritakan pelaksanaan Sekolah Minggu ini ke kota-kota lain. Di koran yang terbit tanggal 3 November 1783, ia menguraikan tentang gagasan dan pengalaman Sekolah Minggu-nya. Tanggapan positif muncul di seluruh Inggris. Di sana-sini lahir Sekolah Minggu yang baru.
Sepuluh tahun setelah Sekolah Minggu pertama berdiri di Glouscester, menyebarlah gagasan ini ke Amerika dan negara-negara lain. Yang tampak berbeda adalah bahwa kebanyakan Sekolah Minggu di negara lain mengkhususkan diri dalam pelajaran cerita-cerita Alkitab. Tradisi lain bertumbuh di Sekolah Minggu Amerika Serikat, dimana pelajaran untuk pelbagai golongan usia. Sampai sekarang tradisi itu tetap kuat di Amerika Serikat. Hampir semua gereja dari denominasi apapun mempunyai Sekolah Minggu untuk pelbagai usia; ada ruangan dimana anak kecil sedang menggunting gambar kapal Nuh, sedangkan di ruang lain orang-orang dewasa serius membicarakan hubungan iman Kristen dengan persoalan lingkungan hidup.
Kini tidak terbilang lagi jumlah anak dan orang dewasa yang setiap hari Minggu pagi dengan setia belajar dan mengajar suatu bagian Alkitab di Sekolah Minggu. Sekolah Minggu ada dimana-mana : ada di sebuah rumah makan di Situbondo, di garasi Kairo, di suatu peternakan Meksiko, di bawah pohon pedalaman Kongo, di suatu gedung gereja di Orlando. Di mana-mana tiap hari Minggu ada Sekolah Minggu.
Semua berawal dari prakarsa Robert Raikes di sebuah rumah tua di Gloucester, atau lebih tepat lagi semua berawal dari kegaduhan anak-anak yang bermain di tepi jalan kantor Raikes. Prakarsa Raikes telah menjadi berkat. Pada batu pualam tempat Robert Raikes dimakamkan di gereja Saint Mary di Gloucester terukir kata-kata dari ayat Alkitab Ayub 29 : 11 – 13, yaitu :
“Apabila telingga mendengar tentang aku,
maka aku disebut berbahagia,
apabila mau melihat,
maka aku dipuji.
Karena aku telah menyelamatkan orang sengsara,
yang berteriak minta tolong,
juga anak piatu yang tidak ada penolongnya,
aku mendapatkan ucapan berkat,
dari orang yang nyaris binasa,
dan hati seorang janda kubuat bersukaria".

(Dikutip dari buku Andar Ismail, Selamat Menabur, dengan judul tulisan “Sekolah Minggu”, halaman 28 – 31. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2005)

My Poem - Lembaran Baru

Inginku bertanya kepada-Nya,
tentang apa arti hidup.
Hatiku bergumam,asa pun membara.
Di tengah ketidakpastian,
suara hatiku berbisik :
DARI MANAKAH ASALNYA KEHIDUPAN?

Jam dinding berdetak,
namun tak secepat jantungku.
Ketika sang waktu menjadi raja,
Lantas Tuhan menjadi apa?
Ini gila dan tidak logika!

Gelapnya suasana nan merasuk kalbuku.
Ada cinta yang berasal daripada-Nya,
telah menerangi pelita hati yang telah padam.
Walau cintanya tak sebesar cinta-Nya,
namun cintaku padanya sebesar doaku kepadaNya.

Ganas amuk mereka,
tidak akan meluluhlantahkan hatiku.
Cintanya tentangku, mencerminkan cinta-Nya kepadaku.
Lantas, apa lagi galauku?
Tidak ada alasan bagiku,
untuk tidak membuka suatu lembaran.
Ya, Lembaran yang baru dalam hidup



Theodorus Benyamin Sibarani
Salatiga, 18 Januari 2009

Askarseba with Love
Just for Hasian...

Luv u so much...