Jumat, 25 September 2020

Kepedulian terhadap Disabilitas (2.Sam.9:1-8)

 


Konteks firman Tuhan saat ini berbicara tentang Daud yang menggenapi janjinya kepada sahabatnya, Yonathan. Ketika Saul mengejar Daud, Yonatan (anak Saul) menunjukkan kedekatan pada Daud. Keakraban antara Daud dengan Yonatan tentu diakui Saul. Itulah sebabnya, Saul tidak menceritakan niatnya menghabisi Daud kepada anaknya, Yonatan (1.Sam.20:12). Di dalam pelariannya pun, Daud mencari sahabatnya, Yonatan. Daud meminta tolong agar ia memastikan tentang niatan Saul, ayahnya, yang mencoba membunuhnya. Daud, ketika memohon bantuan dari Yonatan, memosisikan dirinya sebagai hamba (1.Sam.20:8). Ketika Saul mengetahui Yonatan membantu Daud, Saul sangat murka terhadap Yonatan. Bahkan, Saul memaki Yonatan dengan kalimat yang sangat kasar, “Anak sundal yang kurang ajar”. Makian itu membuat Yonatan semakin bulat menolong Daud. Sebelumnya, Daud dan Yonatan sudah membuat perjanjian bahwa mereka akan saling menjaga agar keturunan mereka tetap hidup (1.Sam.20:14-17). Perjanjian itu pun dipertegas ketika Daud diberikan tiket keluar oleh Yonatan, “Pergilah dengan selamat ... bukankah kita telah bersumpah demi nama TUHAN.” (1.Sam.20:20).

Roda kehidupan berputar. Daud tampil menjadi raja dan Saul berganti menjadi rakyat jelata. Secara politis, inilah kesempatan trah Daud untuk membalas trah Saul sampai ke akarnya. Akan tetapi, Daud mencari keturunan Saul bukan untuk memusnahkannya, tetapi untuk menunjukkan belas kasihnya. Dengan bantuan Ziba, hamba keluarga Saul, Daud menemukan seorang dari keturunan Saul. Namanya Mefiboset, anak Yonatan, cucu Saul. Ia berada di rumah Makhir anak Amiel dari Lodebar. Kondisinya dalam keadaan cacat kaki (ay.1-5). Mengapa Ziba perlu memberitahukan Daud kondisi Mefiboset adalah seorang cacat? Ini karena konstruksi sosial pada masa itu yang menganggap orang cacat merupakan sosok yang tidak dianggap dan berada di pinggiran, baik secara keagamaan maupun pergaulan di tengah masyarakat. Secara keagamaan, misalnya, ada perintah dari Harun supaya mereka yang cacat jangan mendekat untuk mempersembahkan santapannya kepada Allah (Im.21:17). Pandangan keagamaan ini sepertinya terbawa sampai ke urusan pergaulan sehari-hari. Itulah mengapa Yesus ditanya, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (Yoh.9:2). Jadi, orang cacat menjadi teralienasi demikian jauh di masa itu karena dianggap seorang berdosa atau dari keturunan berdosa. Dengan demikian, mereka yang hidup dengan bawaan cacat sebenarnya mereka seperti orang yang tidak hidup lagi. Status mereka yang tidak disamakan dengan manusia lain. Ini sebabnya, Mefiboset mengatakan, “Apakah hambamu ini, sehingga engkau menghiraukan anjing mati seperti aku?”. Bisa kita perhatikan saksama, Mefiboset menyamakan dirinya dengan anjing, lebih buruk lagi, anjing yang sudah mati. Kalau anjing hidup, mungkin masih ada gunanya. Tetapi, apa kegunaan dari anjing yang mati? Akan tetapi, perjanjian tetap perjanjian. Daud tidak memandang kondisi fisik Mefaboset. Ia tetap melihat Yonatan sebagai pihak yang dikasihinya. Bukankah saat itu Daud, ketika dikejar Saul, sudah seperti anjing mati? Daud menyatakannya dengan terang,”hanya satu langkah jaraknya antara aku dan maut” (1.Sam.20:3). Tanpa ragu lagi, Daud menyerahkan harta milik Saul kepadanya sehingga mereka secara tidak langsung menjadi semeja untuk makan bersama karena mengerjakan tanah yang sama (ay.6-8).

        Refleksi yang dapat kita renungkan dari firman Tuhan di minggu ini adalah kita dapat belajar dari iman Daud yang tetap menggenapi janjinya. Daud bukan seorang yang ingkar. Daud menghargai hak hidup seorang yang cacat. Tidak ada niatan dari Daud sedikit pun untuk merendahkan anak dari sahabatnya, Mefaboset. Cinta Daud kepada Yonatan turun pada anaknya, Mefaboset. Cinta itu juga yang ditekankan oleh Yesus pada murid-Nya, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh.15:13). Yesus seketika memosisikan kasih sahabat (filia) lebih besar dari kasih sejati (agape). Dan, atas dasar itu, Yesus menjawab pertanyaan murid tentang apakah dosa yang menyebabkan seseorang itu cacat dengan jawaban yang sangat luar biasa, “...Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” (Yoh.9:3).  Kita mengasihi orang disabilitas karena mereka adalah sesama dan sahabat kita. Mereka mengalami disabilitas karena pekerjaan Allah yang harus dinyatakan di dalam mereka. Marilah kita menghapus stigma buruk dan negatif pada sesama dan sahabat kita yang disabilitas. Kira rangkul mereka di dalam kasih yang diberikan Tuhan pada kita, selaku sahabat-Nya. (ThBS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar