Sistem perbudakan sejak zaman purbakala sudah mengambil tempat di dalam masyarakat. Di zaman Alkitab Perjanjian Lama, sistem perbudakan juga diceritakan telah eksis. Dari beberapa bacaan di Perjanjian Lama, kita bisa melihat bagaimana perbudakan bisa terjadi, misalnya akibat tawanan perang, dibeli, lahir di rumah tuannya, alat ganti rugi, kemauan sendiri, dan tidak bisa melunasi utangnya. Konteks budak di dalam nas kita di minggu ini adalah menjadi budak karena tidak bisa melunasi utang. Karenanya, budak itu bersama keluarganya wajib mengabdi selama 6 tahun, setelah itu tahun ke-7 baru mereka dibebaskan sebagai orang merdeka (ay.12). Aturan dalam kehidupan Israel kala itu, tiap budak yang sudah dilepaskan wajib diberikan bekal dan modal kebutuhan hidup mereka sampai mendapatkan pekerjaan yang layak nantinya (ay.13-14). Hal ini didasarkan pada ingatan bangsa Israel ketika mereka menjadi budak di Mesir (ay.15). Namun, hal yang menarik, ada ruang yang diberikan pada mereka yang masih betah menjadi budak, mungkin karena kebaikan tuan dan keluarganya (ay.16). Mereka yang masih betah menjadi budak harus diberikan tanda, yaitu tindik telinga yang dilakukan di pintu (ay.17). Yang harus disikapi secara hati-hati adalah jangan pernah ada seorang pun tuan yang berat melepaskan budak yang menjual dirinya. Karena, mereka bekerja dengan jasa dua kali lebih berat/banyak dari upah pekerja harian. Sehingga, para tuan bisa diberkati Tuhan (ay.18).
Apa yang dapat kita
refleksikan dari gambaran di atas, khususnya di dalam rangka tema kita pada
minggu ini? Kita dapat mengambil satu dari sekian sudut pandang teks ini, yaitu
perbudakan dapat terjadi karena
ketidaksanggupan mengembalikan utang. Dalam konteks iman Kristen, kita
berada di dalam perbudakan dosa, karena kita tidak berdaya di dalam melawan
segala perbuatan daging dan tunduk kepada kehendak Allah, sehingga kita menjual
diri kita kepada perhambaan dosa. Namun, syukur kepada Allah, Yesus telah
membeli kita dengan darah-Nya yang kudus. Sehingga, kita tidak tunduk pada
perhambaan dosa, tetapi saat ini tunduk pada Tuan kita yang baik, yaitu Kristus
di dalam Allah. Dia memberikan kita kebebasan dengan cara yang sangat tiada
terhitung, mati di kayu salib, sehingga utang dosa kita lunas dibayar-Nya.
Saat ini, kita telah
bebas dan merdeka. Allah telah memberikan kita “modal” yang cukup untuk kita
dapat hidup layak merdeka di dalam keselamatan yang diberikan-Nya. Tinggal kita
mau memanfaatkannya atau malah ingin kembali tunduk pada perhambaan dosa? Sama
dengan kemerdekaan yang diperoleh Indonesia yang kita rayakan tiap 17 Agustus,
di mana saat ini telah memasuki tahun ke-75. Kita sudah merdeka dengan rahmat
Tuhan kita, melalui perjuangan para pahlawan. Tinggal bagaimana kita mau
mengisi kemerdekaan negara yang kita cintai ini? Apakah kita dapat
mengembangkan dan mengisi kemerdekaan bangsa ini dengan pembangunan yang
bermanfaat untuk masyarakat luas? Misalnya saja, pengembangan sumber daya
manusia berbasis sains, tetapi tidak meninggalkan nilai Ketuhanan? Sehingga,
pembangunan kita tidak terdistorsi karena ada gap antara ekonomi, sosial, dan
spritual?
Melihat realitas yang
terjadi, kita mungkin pesimis. Bagaimana mungkin masyarakat kita menjadi
terbelah karena perbedaan kepercayaan? Bagaimana kapitalisasi ekonomi yang
sangat liberal membuat jurang kaya dan miskin kian terjal? Lebih lucunya, logo
75 tahun kemerdekaan Indonesia menjadi keributan nasional karena dianggap mirip
dengan salib?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar