Sabtu, 12 September 2020

BEKERJA UNTUK TUHAN (Kolose 3: 22-25)

 


Di dalam studi postkolonial, ada beberapa sarjana teolog, melihat bagaimana Paulus seolah memberikan dukungan bagi praktek perhambaan/perbudakan di dalam teks kita pada minggu ini. Tapi, beberapa lain melihat, kalau sekalipun seolah Paulus mendukung praktek perhambaan/perbudakan di dalam teks ini, tetapi untuk konteks di zaman ia hidup, Paulus sudah sangat maju di dalam memperjuangkan nilai kemanusiaan. Hal itu terlihat dari bagaimana ia menempatkan seorang perempuan / istri mendapatkan peran yang penting di dalam rumah tangga Kristen. Sedangkan, umat manusia merumuskan Universal Declaration of Human Rights baru di tahun 1948. Bahkan, Amerika Serikat yang selalu menyuarakan pentingnya demokrasi di dalam meningkatkan harkat, martabat, dan derajat kemanusiaan, malah baru-baru ini terpukul dengan perilaku rasial oknum petugas keamanannya. Black Lives Matter menjadi suara yang menggema di seluruh dunia sebagai dampak yang terjadi di negara kemanusiaan itu.

Paulus tentu menggunakan gambaran hubungan Tuan-Hamba di teks kita saat ini tentu di dalam kepentingan untuk mengilustrasikan bagaimana seharusnya hubungan manusia kepada Tuhan. Tentu sekali, di zaman Paulus, hal itu sangat kontekstual dan relevan. Dengan demikian, orang beriman pada masa itu bisa dengan mudah memahami bagaimana seharusnya sikap manusia memosisikan dirinya di hadapan Tuhannya. Konteks firman Tuhan bagi kita di minggu ini, masih di dalam korelasinya dengan bagaimana seorang umat beriman yang telah memutuskan komitmen untuk kehidupan baru di dalam Tuhan, khususnya di dalam kaitannya di rumah tangga.

Hamba pada masa itu dihitung sebagai bagian dari rumah tangga, karena mereka tinggal di tengah keluarga tuannya. Karena mereka hidup dari pemberian tuannya, maka Paulus mengingatkan para hamba untuk tidak melawan, bahkan lari dari tuannya. Malahan, para hamba harus menaati tuannya. Tujuannya, bagi Paulus, bukan hanya sekadar untuk menyenangkan hati tuannya, tetapi juga sebagai bakti mereka di dalam rasa takut akan Tuhan (ay.22).

Perbuatan taat itu menurut Paulus merupakan totalitas dari kehidupan umat percaya sebagaimana mereka memberikan persembahan-penyembahan kepada Tuhan (ay.23). Mengapa demikian? Paulus menjelaskan pada bagian berikutnya karena Tuan yang sejati adalah Kristus (ay.24). Sebagai Tuan, Kristus akan memberikan upah bagi hamba-Nya yang setia. Tetapi, bagi hamba yang berbuat kesalahan, maka Tuhan akan menuntut hamba itu agar menanggung kesalahannya, siapapun ia orangnya (ay.25).

Menggumuli “tesis” Paulus bahwa “apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia”, hal itu dapat kita hadapkan dengan pemikiran James Fowler mengenai Tahapan Perkembangan Iman (Faith Development). Fowler mengkonstruksikan bahwa ada 6 tahapan perkembangan iman, sesuai dengan aspek pertumbuhannya, seperti logika (logic), perspektif sosial (social perspective), penilaian moral (moral judgement), kesadaran sosial (social awareness), tempat kekuasaan (locus of authority), dunia koherensi (world cohorence), fungsi simbol (symbolic function). Pada akhirnya, Fowler menempatkan tahapan tertinggi dari pertumbuhan iman adalah Universalisasi Keimanan (Universalizing Faith), di mana seluruh aspek di dalam hidup manusia termaktub di dalamnya. Artinya, seorang percaya dapat melihat kesehari-harian di sekitar hidupnya sangat dekat dengan tindakan beriman. Ia tidak sekadar percaya, tetapi ia mengerjakan apa yang diimaninya itu di dalam seluruh kesadaran, dan perbuatannya.

Bagi kita, umat percaya di masa kini, khususnya warga jemaat GKPI Jelambar, kita dapat merefleksikan bahwa puncak dari kehidupan beriman kita adalah kemampuan kita mengkorelasikan kehidupan sehari-hari kita di dalam iman percaya kita kepada Tuhan Yesus Kristus. Misalnya saja, di dalam masa sulit Pandemi Covid-19 ini, kita melakukan protokoler kesehatan sebagai adaptasi kehidupan baru di masa kini sesungguhnya kita melakukannya tidak hanya untuk diri kita sendiri saja, tetapi juga untuk Tuhan yang kepadanya kita menyembah-bersembah. Kita mengenakan masker, menjaga jarak, dan rajin mencuci tangan, karena di dalam kesadaran kita bahwa Tuhan menghendaki kita hidup di dalam kedisiplinan, terutama di dalam menjaga kondusifitas sekeliling kita. Singkatnya, adalah tugas umat percaya di dalam menekan laju infeksi Covid-19 sehingga masa sulit Pandemi Covid-19 ini segera berlalu. Marilah kita bekerja untuk Tuhan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar