Kitab Kejadian merupakan salah
satu bagian dlam kitab suci bangsa Israel, atau yang lebih sering disebut
dengan TaNaKh (Torah, Neviim dan Ketuvim). Dalam pandangan teologi Perjanjian
Lama tradisional, kitab Kejadian merupakan satu di antara lima tulisan yang
disusun oleh Musa (Pentateukh).
Pandangan ini bertahan sangat lama. Bahkan, pandangan ini di zaman sekarang ini
masih ada yang tetap memegangnya secara kokoh. Dalam perkembangan ilmu teologi
memang, ada pendekatan teori Sumber yang awalnya dirumuskan oleh Julius
Wellhausen (1844-1918) bahwa penulisan kelima gulungan/kitab ini memiliki
sumber dan rentan waktu penyusunan. Terkait
dengan pandangan tradisional dan teori Sumber, kita tidak akan membahasnya
mendalam di dalam renungan kita pada minggu ini. Karena, ia harus memiliki
ruang tersendiri dalam pembahasannya. Yang ingin disampaikan dari informasi
tentang penulisan kelima gulungan/kitab itu, di mana Kejadian salah satu bagian
di dalamnya, adalah baik pendekatan tradisional dan pendekatan teori sumber
sama-sama memberikan pemahaman bahwa gulungan/kitab yang menjadi lima bagian
Alkitab memiliki tujuan menjelaskan sejarah perjalanan bangsa Israel, termasuk
dari awal mereka eksis sampai menjadi bangsa yang besar dan diberikan janji
berkat kepada keturunannya. Hal ini sangat penting kita perhatikan agar fokus
kita di dalam membaca kelima kitab ini, termasuk nas kita saat ini, jangan
terlepas dari konteks. Setiap teks pasti memiliki konteks. Dalam perikop kita
saat ini, konteksnya adalah menjelaskan kisah awal bagaimana umat Tuhan
(Israel) hadir di tengah-tengah dunia. Inilah menjadi awal dari perjalanan
panjang bangsa Israel di kemudian harinya.
Pada perikop kita di Minggu ini,
ia mau menjelaskan tentang konsep Tuhan Allah tentang manusia yang berpasangan.
Ayat 18 menjadi bagian yang sangat penting untuk kita perhatikan bersama, “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri
saja. Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia”. Dari
bagian ini, kita melihat ternyata manusia pertama, laki-laki, tidak bisa
dipungkiri merupakan sosok yang lemah sehingga membutuhkan penolong. Tetapi,
Tuhan Allah menghadirkan penolong bagi manusia itu bukan sembarang penolong. Di
ayat 18, ada tertulis jelas keterangan dari penolong yang dihadirkan Tuhan
Allah pada laki-laki, yaitu sosok yang sepadan dengan laki-laki. Kata sepadan di sana berasal dari kata Ibrani
nehged yang berarti berdiri di depan/berhadapan. Padanan
kata ini sangat menarik, karena sekalipun laki-laki diciptakan pertama-tama,
tidak langsung berarti mereka berada di depan. Tetapi, perempuan yang
diciptakan belakangan, selalu berada di hadapan atau di depan laki-laki. Dengan
demikian, Alkitab mencatatkan bahwa kesetaraan gender sebetulnya telah ada sejak penciptaan manusia pertama kali
itu terjadi. Laki-laki diciptakan Tuhan pertama-tama. Namun, soal kemampuan
menjalani kehidupan sehari-hari, perempuan berada di depan laki-laki untuk
menolongnya. Kata penolong yang
digunakan di sana juga menggunakan kata Ibrani Ezer yang berarti pertolongan yang diberikan Allah, dan bukan dari
manusia.
Sebelum menciptakan perempuan,
Allah terlebih dahulu diceritakan membentuk dari tanah segala binatang hutan
dan segala burung di udara untuk dibawa pada manusia. Lalu, manusia (laki-laki)
itulah yang memberikan nama untuk semua binatang yang diciptakan oleh Tuhan
Allah (ay.19-20). Setelah itu, barulah Tuhan Allah menciptakan perempuan.
Teknisnya sangat unik, yaitu bahan utamanya harus dari laki-laki itu sendiri.
Sehingga, Tuhan Allah membuat manusia
itu tidur nyenyak. Hal ini rada mirip dengan operasi bedah yang dilakukan oleh
para dokter dan medis di rumah sakit. Dengan rusuk manusia (laki-laki) itu,
Tuhan Allah menciptakan perempuan dan diantarkan kepada laki-laki itu. Respons
laki-laki saat itu, “inilah dia, tulang
dari tulangku dan daging dari dagingku”. Respons ini menggambarkan adanya
pengakuan dari laki-laki bahwa perempuan adalah bagian dari dirinya sendiri
(ay.23). Pengakuan ini sangat penting di dalam berbicara tentang kesetaraan gender. Sebab, ketimpangan gender ini merupakan konstruksi sosial
yang dibentuk oleh sistem keagamaan, ideologi, maupun adat-budaya. Dengan
adanya kesaksian dari Alkitab bahwa hakikatnya perempuan adalah yang diambil
dari laki-laki menjadi entry point di
dalam membahas kesetaraan di dalam ruang yang lebih luas lagi, seperti
kemampuan mengakses kesempatan guna pemenuhan hak.
Perintah firman Tuhan bagi
laki-laki dan perempuan adalah agar mereka bersatu dan menjadi satu daging. Hal
ini diawali dari laki-laki yang akan meninggalkan ayahnya dan ibunya.
Pertanyaannya, mengapa perintah ini hanya diberikan pada pihak laki-laki saja? Perintah
ini dapat kita mengerti bila konteks sosial bangsa Yahudi kita lihat secara
dekat. Anak laki-laki merupakan sosok yang sangat dihargai dalam nilai
patriakhi di Yahudi, sehingga mereka mendapat hak yang lebih dari anak
perempuan. Ketika mereka akan menikah, anak laki-laki harus melepaskan semua
hak yang istimewa itu dari keluarganya. Hal ini tidak mudah, seperti seseorang
yang meninggalkan zona nyamannya selama ini. Karenanya, firman Tuhan
memerintahkan agar laki-laki harus berani meninggalkan zona nyamannya selama
ini dan memulai hidup yang baru sebagai kepala keluarga di rumah tangga yang
baru (ay.24). Di ayat 25, fakta tentang
rumah tangga umat percaya digambarkan dengan bersatunya menjadi satu daging
antara perempuan dan laki-laki menjadikan mereka telanjang, tetapi tidak malu. Mengapa
mereka tidak malu? Karena, mereka belum mengenal dosa. Perasaan malu disebabkan
oleh ada hal tidak benar yang sedang terjadi. Gambaran firman Tuhan bagi rumah
tangga umat percaya agar mereka menjauhi dosa, sehingga jangan menanggung rasa
malu oleh sebab terjadinya hal yang tidak benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar