Kamis, 01 Oktober 2020

Setara di Hadapan Tuhan (Kejadian 2 : 18-25)

 


Kitab Kejadian merupakan salah satu bagian dlam kitab suci bangsa Israel, atau yang lebih sering disebut dengan TaNaKh (Torah, Neviim dan Ketuvim). Dalam pandangan teologi Perjanjian Lama tradisional, kitab Kejadian merupakan satu di antara lima tulisan yang disusun oleh Musa (Pentateukh). Pandangan ini bertahan sangat lama. Bahkan, pandangan ini di zaman sekarang ini masih ada yang tetap memegangnya secara kokoh. Dalam perkembangan ilmu teologi memang, ada pendekatan teori Sumber yang awalnya dirumuskan oleh Julius Wellhausen (1844-1918) bahwa penulisan kelima gulungan/kitab ini memiliki sumber dan rentan waktu penyusunan.  Terkait dengan pandangan tradisional dan teori Sumber, kita tidak akan membahasnya mendalam di dalam renungan kita pada minggu ini. Karena, ia harus memiliki ruang tersendiri dalam pembahasannya. Yang ingin disampaikan dari informasi tentang penulisan kelima gulungan/kitab itu, di mana Kejadian salah satu bagian di dalamnya, adalah baik pendekatan tradisional dan pendekatan teori sumber sama-sama memberikan pemahaman bahwa gulungan/kitab yang menjadi lima bagian Alkitab memiliki tujuan menjelaskan sejarah perjalanan bangsa Israel, termasuk dari awal mereka eksis sampai menjadi bangsa yang besar dan diberikan janji berkat kepada keturunannya. Hal ini sangat penting kita perhatikan agar fokus kita di dalam membaca kelima kitab ini, termasuk nas kita saat ini, jangan terlepas dari konteks. Setiap teks pasti memiliki konteks. Dalam perikop kita saat ini, konteksnya adalah menjelaskan kisah awal bagaimana umat Tuhan (Israel) hadir di tengah-tengah dunia. Inilah menjadi awal dari perjalanan panjang bangsa Israel di kemudian harinya.

Pada perikop kita di Minggu ini, ia mau menjelaskan tentang konsep Tuhan Allah tentang manusia yang berpasangan. Ayat 18 menjadi bagian yang sangat penting untuk kita perhatikan bersama, “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia”. Dari bagian ini, kita melihat ternyata manusia pertama, laki-laki, tidak bisa dipungkiri merupakan sosok yang lemah sehingga membutuhkan penolong. Tetapi, Tuhan Allah menghadirkan penolong bagi manusia itu bukan sembarang penolong. Di ayat 18, ada tertulis jelas keterangan dari penolong yang dihadirkan Tuhan Allah pada laki-laki, yaitu sosok yang sepadan dengan laki-laki. Kata sepadan di sana berasal dari kata Ibrani nehged yang berarti berdiri di depan/berhadapan. Padanan kata ini sangat menarik, karena sekalipun laki-laki diciptakan pertama-tama, tidak langsung berarti mereka berada di depan. Tetapi, perempuan yang diciptakan belakangan, selalu berada di hadapan atau di depan laki-laki. Dengan demikian, Alkitab mencatatkan bahwa kesetaraan gender sebetulnya telah ada sejak penciptaan manusia pertama kali itu terjadi. Laki-laki diciptakan Tuhan pertama-tama. Namun, soal kemampuan menjalani kehidupan sehari-hari, perempuan berada di depan laki-laki untuk menolongnya. Kata penolong yang digunakan di sana juga menggunakan kata Ibrani Ezer yang berarti pertolongan yang diberikan Allah, dan bukan dari manusia.

Sebelum menciptakan perempuan, Allah terlebih dahulu diceritakan membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara untuk dibawa pada manusia. Lalu, manusia (laki-laki) itulah yang memberikan nama untuk semua binatang yang diciptakan oleh Tuhan Allah (ay.19-20). Setelah itu, barulah Tuhan Allah menciptakan perempuan. Teknisnya sangat unik, yaitu bahan utamanya harus dari laki-laki itu sendiri. Sehingga, Tuhan Allah  membuat manusia itu tidur nyenyak. Hal ini rada mirip dengan operasi bedah yang dilakukan oleh para dokter dan medis di rumah sakit. Dengan rusuk manusia (laki-laki) itu, Tuhan Allah menciptakan perempuan dan diantarkan kepada laki-laki itu. Respons laki-laki saat itu, “inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku”. Respons ini menggambarkan adanya pengakuan dari laki-laki bahwa perempuan adalah bagian dari dirinya sendiri (ay.23). Pengakuan ini sangat penting di dalam berbicara tentang kesetaraan gender. Sebab, ketimpangan gender ini merupakan konstruksi sosial yang dibentuk oleh sistem keagamaan, ideologi, maupun adat-budaya. Dengan adanya kesaksian dari Alkitab bahwa hakikatnya perempuan adalah yang diambil dari laki-laki menjadi entry point di dalam membahas kesetaraan di dalam ruang yang lebih luas lagi, seperti kemampuan mengakses kesempatan guna pemenuhan hak.

Perintah firman Tuhan bagi laki-laki dan perempuan adalah agar mereka bersatu dan menjadi satu daging. Hal ini diawali dari laki-laki yang akan meninggalkan ayahnya dan ibunya. Pertanyaannya, mengapa perintah ini hanya diberikan pada pihak laki-laki saja? Perintah ini dapat kita mengerti bila konteks sosial bangsa Yahudi kita lihat secara dekat. Anak laki-laki merupakan sosok yang sangat dihargai dalam nilai patriakhi di Yahudi, sehingga mereka mendapat hak yang lebih dari anak perempuan. Ketika mereka akan menikah, anak laki-laki harus melepaskan semua hak yang istimewa itu dari keluarganya. Hal ini tidak mudah, seperti seseorang yang meninggalkan zona nyamannya selama ini. Karenanya, firman Tuhan memerintahkan agar laki-laki harus berani meninggalkan zona nyamannya selama ini dan memulai hidup yang baru sebagai kepala keluarga di rumah tangga yang baru (ay.24).  Di ayat 25, fakta tentang rumah tangga umat percaya digambarkan dengan bersatunya menjadi satu daging antara perempuan dan laki-laki menjadikan mereka telanjang, tetapi tidak malu. Mengapa mereka tidak malu? Karena, mereka belum mengenal dosa. Perasaan malu disebabkan oleh ada hal tidak benar yang sedang terjadi. Gambaran firman Tuhan bagi rumah tangga umat percaya agar mereka menjauhi dosa, sehingga jangan menanggung rasa malu oleh sebab terjadinya hal yang tidak benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar