Dalam Piramida Kebutuhan yang
disusun oleh Abraham Maslow, ia menempatkan Aktualisasi Diri sebagai susunan
paling puncak dari kebutuhan manusia. Setingkat di atas
Penghargaan/Penghormatan. Penempatan Aktualisasi Diri sebagai kebutuhan tertinggi
oleh manusia versi Maslow ini tentu bukan tanpa alasan. Ia tentu menyadari
bahwa nama baik, penghormatan, kekayaan, dan semua yang mahsyur dimiliki
manusia tiada guna apabila pada akhirnya manusia itu tidak dapat berbuat
apa-apa pada sesamanya.
Demikian pula, Kohelet-Penulis
dari kitab Pengkhotbah, yang menyaksikan tentang pengalaman dirinya. Sebagai
seorang dari anak Raja dan yang berwejang/berkhotbah di kumpulan, ia tentu
seorang yang sangat mahsyur dan sangat dihormati. Ia memberikan kesaksikan
kalau ia sudah melakukan pekerjaan-pekerjaan besar. Ia punya rumah megah, kebun
anggur (ay.4-5). Lebih hebatnya, ia telah berbuat bagi sesama dan lingkungannya
dengan membangun waduk irigasi* untuk perkebunan di wilayahnya (ay.6). Budak,
hewan ternak, perhiasan indah ia pemecah rekor akan jumlah kepemilikannya
(ay.7-9). Semua itu hasil kerja keras yang dilakukannya selama ia hidup
(ay.10). Namun, entah mengapa Kohelet tiba pada kesadaran kalau itu semua
sia-sia layaknya menjaring angin. Tidak ada keuntungan di bawah matahari
(ay.11).
Pernyataan Kohelet ini seperti
memutarbalikkan kajian akademik dari Abraham Maslow akan piramida kebutuhan
manusia. Kohelet sudah tiba pada posisi tertinggi dari piramida, tapi ia tetap
merasa tidak puas. Mengapa? Kita dapat melakukan komparasi dengan pandangan
para filsuf eksistensialis, di mana salah satu pandang yang mirip dengan nas
kita adalah keputusasaan. Dalam kajian filsafat eksistensialis, keputusasaan di
sini berbeda dengan keputusasaan yang umum dipikirkan. Karena, keputusasaan itu
hadir di saat semua tidak dalam kondisi berputusasa atau juga kondisi runtuhnya
nilai yang padanya mereka bergantung. Misalnya, secara umum, seorang akan
merasa hidupnya tiada berguna apabila ia sudah sakit-sakitan, serta
ditinggalkan banyak orang. Keputusasaan yang dimaksud adalah ketika seseorang
merasa tiada lagi asa padahal ia sedang baik-baik saja. Perasaan putus asa ini
bisa muncul karena adanya absurdisme, di mana kegagalan seseorang memberikan
nilai pada keyakinannya. Banyak yang menghubungkannya kemudian kepada sikap
ateisme, bahwa pemaknaan hidup itu sangat tergantung dari cara manusia sendiri
yang memberikannya. Tetapi, Kohelet sekali lagi memutarbalikkan pandangan sikap
ateistme itu. Kohelet merumuskan sikap keputusasaan itu terjadi karena tiada
semua prestasi hidup apabila kita tidak mengenal Allah, sehingga tidak takut
akan Dia. Padahal, Allah adalah Kekekalan (Pkh.3:14-15).
Pada akhirnya, firman Tuhan pada
minggu ini membuka ruang untuk kita memberi makna pada hidup, bahwa segala
penilaian dunia akan diri manusia, termasuk kenikmatan yang ada di dalam
keberhasilan hidupnya, semua adalah sia-sia. Semua akan berlalu yang ada di
bawah matahari, sebagaimana pun kita berusaha menjaring angin
sebanyak-banyaknya. Takutlah akan Allah, maka hati kita akan tenang, serta
hidup kita memiliki makna yang baru. Mendefinisikan arti takut akan Tuhan Allah
akan membuat hidup kita menjadi semakin bermakna, jauh lebih nikmat yang
ditawarkan oleh dunia ini. (ThBS)
*) kata Berakot Mayim
diterjemahkan menjadi kolam oleh LAI.
Akan tetapi, ada beberapa arti lain dari kata Ibrani itu.
Salah satunya
adalah waduk irigasi, yang dalam konteks nas kita menjadi sangat sesuai dan
tepat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar