Sabtu, 12 September 2020

Kenikmatan Dunia adalah Kesia-siaan (Pengkhotbah 2 : 4-11)


 

Dalam Piramida Kebutuhan yang disusun oleh Abraham Maslow, ia menempatkan Aktualisasi Diri sebagai susunan paling puncak dari kebutuhan manusia. Setingkat di atas Penghargaan/Penghormatan. Penempatan Aktualisasi Diri sebagai kebutuhan tertinggi oleh manusia versi Maslow ini tentu bukan tanpa alasan. Ia tentu menyadari bahwa nama baik, penghormatan, kekayaan, dan semua yang mahsyur dimiliki manusia tiada guna apabila pada akhirnya manusia itu tidak dapat berbuat apa-apa pada sesamanya.

Demikian pula, Kohelet-Penulis dari kitab Pengkhotbah, yang menyaksikan tentang pengalaman dirinya. Sebagai seorang dari anak Raja dan yang berwejang/berkhotbah di kumpulan, ia tentu seorang yang sangat mahsyur dan sangat dihormati. Ia memberikan kesaksikan kalau ia sudah melakukan pekerjaan-pekerjaan besar. Ia punya rumah megah, kebun anggur (ay.4-5). Lebih hebatnya, ia telah berbuat bagi sesama dan lingkungannya dengan membangun waduk irigasi* untuk perkebunan di wilayahnya (ay.6). Budak, hewan ternak, perhiasan indah ia pemecah rekor akan jumlah kepemilikannya (ay.7-9). Semua itu hasil kerja keras yang dilakukannya selama ia hidup (ay.10). Namun, entah mengapa Kohelet tiba pada kesadaran kalau itu semua sia-sia layaknya menjaring angin. Tidak ada keuntungan di bawah matahari (ay.11).

Pernyataan Kohelet ini seperti memutarbalikkan kajian akademik dari Abraham Maslow akan piramida kebutuhan manusia. Kohelet sudah tiba pada posisi tertinggi dari piramida, tapi ia tetap merasa tidak puas. Mengapa? Kita dapat melakukan komparasi dengan pandangan para filsuf eksistensialis, di mana salah satu pandang yang mirip dengan nas kita adalah keputusasaan. Dalam kajian filsafat eksistensialis, keputusasaan di sini berbeda dengan keputusasaan yang umum dipikirkan. Karena, keputusasaan itu hadir di saat semua tidak dalam kondisi berputusasa atau juga kondisi runtuhnya nilai yang padanya mereka bergantung. Misalnya, secara umum, seorang akan merasa hidupnya tiada berguna apabila ia sudah sakit-sakitan, serta ditinggalkan banyak orang. Keputusasaan yang dimaksud adalah ketika seseorang merasa tiada lagi asa padahal ia sedang baik-baik saja. Perasaan putus asa ini bisa muncul karena adanya absurdisme, di mana kegagalan seseorang memberikan nilai pada keyakinannya. Banyak yang menghubungkannya kemudian kepada sikap ateisme, bahwa pemaknaan hidup itu sangat tergantung dari cara manusia sendiri yang memberikannya. Tetapi, Kohelet sekali lagi memutarbalikkan pandangan sikap ateistme itu. Kohelet merumuskan sikap keputusasaan itu terjadi karena tiada semua prestasi hidup apabila kita tidak mengenal Allah, sehingga tidak takut akan Dia. Padahal, Allah adalah Kekekalan (Pkh.3:14-15).

Pada akhirnya, firman Tuhan pada minggu ini membuka ruang untuk kita memberi makna pada hidup, bahwa segala penilaian dunia akan diri manusia, termasuk kenikmatan yang ada di dalam keberhasilan hidupnya, semua adalah sia-sia. Semua akan berlalu yang ada di bawah matahari, sebagaimana pun kita berusaha menjaring angin sebanyak-banyaknya. Takutlah akan Allah, maka hati kita akan tenang, serta hidup kita memiliki makna yang baru. Mendefinisikan arti takut akan Tuhan Allah akan membuat hidup kita menjadi semakin bermakna, jauh lebih nikmat yang ditawarkan oleh dunia ini.  (ThBS)

 

*) kata Berakot Mayim  diterjemahkan menjadi kolam oleh LAI. Akan tetapi, ada beberapa arti lain dari kata Ibrani itu.

    Salah satunya adalah waduk irigasi, yang dalam konteks nas kita menjadi sangat sesuai dan tepat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar