Konteks firman Tuhan saat
ini berbicara tentang Daud yang menggenapi janjinya kepada sahabatnya,
Yonathan. Ketika Saul mengejar Daud, Yonatan (anak Saul) menunjukkan kedekatan
pada Daud. Keakraban antara Daud dengan Yonatan tentu diakui Saul. Itulah
sebabnya, Saul tidak menceritakan niatnya menghabisi Daud kepada anaknya,
Yonatan (1.Sam.20:12). Di dalam pelariannya pun, Daud mencari sahabatnya,
Yonatan. Daud meminta tolong agar ia memastikan tentang niatan Saul, ayahnya,
yang mencoba membunuhnya. Daud, ketika memohon bantuan dari Yonatan,
memosisikan dirinya sebagai hamba (1.Sam.20:8). Ketika Saul mengetahui Yonatan
membantu Daud, Saul sangat murka terhadap Yonatan. Bahkan, Saul memaki Yonatan
dengan kalimat yang sangat kasar, “Anak
sundal yang kurang ajar”. Makian itu membuat Yonatan semakin bulat menolong
Daud. Sebelumnya, Daud dan Yonatan sudah membuat perjanjian bahwa mereka akan
saling menjaga agar keturunan mereka tetap hidup (1.Sam.20:14-17). Perjanjian
itu pun dipertegas ketika Daud diberikan tiket keluar oleh Yonatan, “Pergilah dengan selamat ... bukankah kita telah bersumpah demi nama
TUHAN.” (1.Sam.20:20).
Roda kehidupan berputar.
Daud tampil menjadi raja dan Saul berganti menjadi rakyat jelata. Secara politis,
inilah kesempatan trah Daud untuk membalas trah Saul sampai ke akarnya. Akan
tetapi, Daud mencari keturunan Saul bukan untuk memusnahkannya, tetapi untuk
menunjukkan belas kasihnya. Dengan bantuan Ziba, hamba keluarga Saul, Daud
menemukan seorang dari keturunan Saul. Namanya Mefiboset, anak Yonatan, cucu
Saul. Ia berada di rumah Makhir anak Amiel dari Lodebar. Kondisinya dalam
keadaan cacat kaki (ay.1-5). Mengapa Ziba perlu memberitahukan Daud kondisi
Mefiboset adalah seorang cacat? Ini karena konstruksi sosial pada masa itu yang
menganggap orang cacat merupakan sosok yang tidak dianggap dan berada di
pinggiran, baik secara keagamaan maupun pergaulan di tengah masyarakat. Secara
keagamaan, misalnya, ada perintah dari Harun supaya mereka yang cacat jangan
mendekat untuk mempersembahkan santapannya kepada Allah (Im.21:17). Pandangan
keagamaan ini sepertinya terbawa sampai ke urusan pergaulan sehari-hari. Itulah
mengapa Yesus ditanya, “Rabi, siapakah
yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan
buta?” (Yoh.9:2). Jadi, orang cacat menjadi teralienasi demikian jauh di
masa itu karena dianggap seorang berdosa atau dari keturunan berdosa. Dengan
demikian, mereka yang hidup dengan bawaan cacat sebenarnya mereka seperti orang
yang tidak hidup lagi. Status mereka yang tidak disamakan dengan manusia lain.
Ini sebabnya, Mefiboset mengatakan, “Apakah
hambamu ini, sehingga engkau menghiraukan anjing mati seperti aku?”. Bisa
kita perhatikan saksama, Mefiboset menyamakan dirinya dengan anjing, lebih
buruk lagi, anjing yang sudah mati. Kalau anjing hidup, mungkin masih ada
gunanya. Tetapi, apa kegunaan dari anjing yang mati? Akan tetapi, perjanjian
tetap perjanjian. Daud tidak memandang kondisi fisik Mefaboset. Ia tetap
melihat Yonatan sebagai pihak yang dikasihinya. Bukankah saat itu Daud, ketika
dikejar Saul, sudah seperti anjing mati? Daud menyatakannya dengan terang,”hanya satu langkah jaraknya antara aku dan
maut” (1.Sam.20:3). Tanpa ragu lagi, Daud menyerahkan harta milik Saul
kepadanya sehingga mereka secara tidak langsung menjadi semeja untuk makan
bersama karena mengerjakan tanah yang sama (ay.6-8).
Refleksi
yang dapat kita renungkan dari firman Tuhan di minggu ini adalah kita dapat
belajar dari iman Daud yang tetap menggenapi janjinya. Daud bukan seorang yang
ingkar. Daud menghargai hak hidup seorang yang cacat. Tidak ada niatan dari
Daud sedikit pun untuk merendahkan anak dari sahabatnya, Mefaboset. Cinta Daud
kepada Yonatan turun pada anaknya, Mefaboset. Cinta itu juga yang ditekankan
oleh Yesus pada murid-Nya, “Tidak ada
kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk
sahabat-sahabatnya” (Yoh.15:13). Yesus seketika memosisikan kasih sahabat (filia) lebih besar dari kasih sejati (agape). Dan, atas dasar itu, Yesus
menjawab pertanyaan murid tentang apakah dosa yang menyebabkan seseorang itu
cacat dengan jawaban yang sangat luar biasa, “...Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena
pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” (Yoh.9:3). Kita mengasihi orang disabilitas karena
mereka adalah sesama dan sahabat kita. Mereka mengalami disabilitas
karena pekerjaan Allah yang harus dinyatakan di dalam mereka. Marilah kita
menghapus stigma buruk dan negatif pada sesama dan sahabat kita yang disabilitas.
Kira rangkul mereka di dalam kasih yang diberikan Tuhan pada kita, selaku
sahabat-Nya. (ThBS)