Sabtu, 11 Mei 2019

Puasa melintasi Iman

Muhammad Abdul Halim Sani, M.Kesos (Sahabatku)

Memasuki bulan sucinya umat Muslim seperti ini, aku selalu teringat sahabat ketika studi di FISIP-UI, yaitu Muhammad Abdul Halim Sani.
Kuatnya ingatan ini akan Sani, begitu panggilannya, disebabkan karena ia memiliki disiplin puasa (saum) yang luar biasa.
Di hari-hari biasa (di luar bulan Ramadan), selama dua tahun lebih kuperhatikan, Sani selalu rutin berpuasa. Mungkin, ada nazar yang diikatkannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Aku enggan bertanya padanya, karena ini soal hubungan yang intim antara Pencipta dengan ciptaan-Nya.
Saat belajar bersama, aku sering merasa segan apabila hendak makan dan minum di dekatnya. Sering, aku izin untuk menjauh sebentar sekadar minum karena takut mengganggu puasanya.
Akan tetapi, Sani berkali-kali mengingatkanku kalau ia lebih berharap aku tidak merasa segan. Ia sendiri malah mengingatkanku untuk tidak makan telat supaya penyakit kambuhan maag-ku tidak kumat lagi. Sangking baiknya, ia sendiri yang menuntunku ke Kantin FISIP dan menemaniku makan-minum sekalipun ia sendiri tengah puasa.
Aku pernah bertanya padanya, "Bro San, kau tidak tersinggung aku makan dan minum di depanmu yang sedang puasa?". Ia menjawab, "Bung Theo jangan tidak enakan begitu. Saya puasa untuk ibadah saya. Tidak ada hubungannya dengan orang di sekitar yang makan dan minum". Saya pun sangat salut dengan spiritualitas yang dimilikinya.
Saat buka puasa tiba, ditandai dengan shalat maghrib, ia selalu mengawali dengan ucapan syukur lalu meneguk air putih yang selalu tersedia di tas ranselnya. Tidak jarang, aku menunggunya di luar mushala fakultas untuk menunaikan shalat maghrib dengan menjaga tas miliknya.
Biasanya bulan Ramadhan seperti ini, ada disediakan oleh Progdi Fakultas hidangan untuk buka puasa bersama jika kuliah diadakan sore hari. Sebagai non-Muslim, aku memantangkan diri untuk mengambilnya karena itu adalah hak saudara-saudari yang muslim setelah seharian penuh berpuasa. Namun, Sani tiba-tiba mengambil makanan dan minuman yang ada itu untukku, sambil berkata, "kita cicip bersama saja ya, bung Theo".
Aku tahu bagi Sani tantangan puasa di bulan suci bukan sesuatu yang berat lagi karena ia sudah terbiasa dengan puasa. Namun, ia selalu menunjukkan spiritualitas yang luar biasa di dalam imannya. Di samping itu, ia sebagai aktivitis di Ikatan Pemuda Muhammadiyah memiliki jiwa nasionalisme yang sangat besar. Ucapan yang paling kuingat dari dirinya adalah "Jangan pernah berhenti untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa ini sekecil apapun itu"
Dengan kedekatan yang luar biasa, aku sering mencurahkan isi hatiku padanya tentang pergumulan di pekerjaan. Aku mengatakan kalau beberapa orang tidak memahami apa yang kupikirkan. Sani menasehatkan, "Tetap maju, bung Theo! Orang besar dengan pikiran yang besar selalu sulit untuk dimengerti". Pada hari Natal tiba, ia hampir selalu yang pertama mengucapkan selamat hari Natal untukku. Aku sangat mengapresiasinya karena begitu maraknya belakang larangan untuk mengucapkan selamat hari natal dari seorang Muslim. Aku bersyukur memiliki sahabat seperti Sani. Ia mengajarkanku kalau Islam adalah rahmat bagi semesta.
Selamat memasuki bulan suci untuk Sani, sahabatku. Berkah Ramadhan melimpahimu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar