Kamis, 10 Februari 2011

Makam Tanpa Peziarah



Hari begitu indah ketika aku berjalan menatap bebatuan di jalanan,
Dan ketika aku melihatnya, salib yang menyedihkan itu tampak mulai hancur dan kusam warnanya.
Dengan bunga di tangan untuk berziarah ke makam ayah, kutahu aku harus bergegas.
Tapi aku tak bisa untuk tak berhenti sejenak di salib itu yang tertancap persis di depanku.

Tanggal yang tertulis di depan membuatku curiga tentang aa yang telah kutahu.
Seorang anak berbaring di bawah salib mengerikan itu dan warnanya biru yang telah pucat.

Betapa egois orangtuanya menguburkan anak mereka sendirian,
tanpa bunga atau pelita di malam hari bahkan tanpa batu nisan sederhana sekalipun.

Aku melihat lebih dekat lagi ke salib yang mengerikan itu,
yang hancur dan nyaris tidak tampak lagi.
Dan di sana di belakang, kubaca kata-kata
yang mengubah hidupku selamanya sejak hari itu.

"Salib ini tidaklah besar,
tetapi.................
kupahat sendiri hingga kamu tahu, anakku;
Betapa kusayang padamu.

Warna biru adalah untuk mengingatkanku padamu,
betapa kusayang padamu,
dan......................
betapa sakitnya aku tak hadir di sini.

Bahwa kamu yang pergi selamanya dan aku masih hidup,
sementara hidupmu yang masih muda berakhir sudah
Dan aku kini sendiri tanpa rumah untuk selamanya
dan pusara yang terlalu menyedihkan untuk diziarahi"

Kedua mataku berlinang saat aku melihat sekililing
ternyata salib itu lebih baik daripada semua monumen yang ada.
Dan aku juga merasakan kehilangan yang mengerikan dari orangtua itu,
yang membuat mereka begitu menderita.

Dan semua batu nisan, sebagian lebih tinggi dariku
tiba-tiba rendah dan tampak begitu kecil.
Di sebuah salib buatan tangan itu, yang dipahat dengan penuh cinta,
kutanam bunga-bunga itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar