Selasa, 09 Maret 2021

MELESTARIKAN BUDAYA (Ayub 42:7-17)

Koentjoroningrat, Bapak Antropologi Indonesia, mendefinisikan Kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kata “belajar” di akhir definisi kebudayaan itu sangat erat kaitannya dengan pemikiran konstruksi sosial  di mana pemahaman kita akan dunia ini bertalian erat dengan aktivitas “ajar-mengajar” pada orang dan tempat yang spesifik. Beberapa minggu lalu, kita sudah dihadapkan oleh Firman Tuhan yang menyoroti bagaimana lingkungan kita mengajarkan kita tentang konstruksi sosial pada perempuan dan laki-laki, padahal Alkitab menjelaskan laki-laki dan perempuan itu pasangan yang sepadan sehingga mereka menjadi Setara di Hadapan Tuhan. Proses bekerjanya suatu budaya adalah demikian. Ia berdasarkan hasil karya budi dan daya manusia yang diturunkan dan diajarkan turun-temurun. Karena itu, budaya tidak hanya berkenaan dengan tari-tarian, bahasa, makanan, dan pemahaman umum di tengah masyarakat lainnya. Akan tetapi, budaya juga terkait dengan cara pandang, cara pikir, bahkan cara bertindak seseorang. Hal paling sederhananya saja sebagai contoh adalah budaya Timur yang dipandang lebih mengedepankan tata krama, sopan-santun, dan keramahtamahan.

Ini terlihat dari cerita Ayub yang menjadi bagian dari teks kita di Minggu ini. Ayub diceritakan Alkitab diuji oleh iblis dengan seizin Tuhan untuk melihat sejauh mana kesetiaan Ayub yang tanpa cela itu kepada Allah. Segala malapetaka pun ditimpakan pada Ayub. Hidup Ayub yang awalnya sangat kaya raya dan sangat sejahtera itu perlahan-lahan mulai direnggut satu per satu. Dalam budaya Timur, rasa prihatin dan kesetiakawanan sangat kuat di antara masyarakatnya. Para sahabat Ayub pun datang menjenguk Ayub untuk mengucapkan belasungkawa dan menghiburnya (Ayb.2:11). Dalam tradisi masyarakat konteks Ayub, para penjenguk hanya bisa menangis dan meratap sejadi-jadinya, mereka belum bisa angkat bicara pada sahabatnya yang berduka (Ayb.2:12-13). Melihat para sahabatnya yang sudah datang untuk menangis bersama, Ayub pun mulai meratapi dirinya (Ayb.3). Tapi, entah mengapa tiba-tiba Elifas angkat bicara atas Ayub. Apologi Elifas adalah tak seorang pun dapat menutup mulutnya memberikan teguran pada Ayub (Ayb.4:1-2). Tindakan Elifas yang menegur Ayub ini sangat tidak sesuai dengan nilai budaya pada saat itu. Bahkan, hal itu cenderung merendahkan martabat Ayub yang tidak dihargai lagi oleh sahabatnya.

Teguran Elifas pada Ayub berisikan tentang analisa dan penilaiannya akan alasan malapetaka yang terjadi atas Ayub, sahabatnya. Elifas orang Tēman menganalisa dan menilai sesungguhnya malapetaka itu datang hanya pada orang yang telah berbuat jahat saja dan orang baik pasti dilindungi-Nya (Ayb.4-5). Teguran ini membuat Ayub menjadi sangat kecewa pada sahabatnya. Ayub sendiri membangun apologi teologis bahwa ia sendiri tidak pernah mengerti jalan keputusan Allah atas hidup manusia. Ayub mengakui salahnya di hadapan Tuhan, bahwa ia telah lancang berbicara tentang Tuhan tanpa pengetahuan. Sehingga, segala perkataan Ayub tentang Tuhan Allah, termasuk pembelaan dirinya di hadapan Allah, dalam penyesalan dicabutnya (Ayb.42:1-6).  Tunduknya Ayub pada nasib hidupnya oleh Tuhan Allah membuat kondisinya dipulihkan. Karena, Ayub telah membuktikan kesetiaan imannya bahwa ia beribadah dan tunduk kepada Allah bukan karena harta benda, materi, kesehatan, nama baik, dan segala kemahsyuran dunia.

Akan tetapi, Allah mengecam Elifas orang Tēman beserta dua orang temannya yang telah salah berbicara tentang siapa Allah. Mereka tidak seperti Ayub yang berhati-hati berbicara tentang Allah di dalam segala keterbatasan pengetahuan mereka akan siapa Tuhan Allah itu. Tuhan Allah pun mensyaratkan pada Elifas dan temannya, kalau mereka dimaafkan-Nya bila persembahan pengampunan dosa dan minta maaf mereka sudah diterima Ayub (Ayb.42:7-9). Dan, Ayub sebagai orang yang hidup dalam budaya Timur ternyata memaafkan mereka sehingga Tuhan Allah pun turut memaafkan Elifas dan temannya. Ayub pun mendoakan sahabat-sahabatnya. Kehidupan Ayub dipulihkan kembali oleh Tuhan Allah. Semua saudara dan teman lamanya datang menjengguk Ayub dan memberikan perhiasan dan uang padanya (ay.10-17). 

Pesan firman Tuhan pada minggu ini bila dikaitkan dengan tema kita adalah perlunya kita melestarikan budaya yang baik di sekitar kita. Misalnya, dalam konteks Ayub, sebagai orang Timur, kita tidak baik terlalu banyak bicara ketika ada orang yang sedang berduka, apalagi sampai menegur dan menyakiti hati mereka. Kemudian, kita sebagai umat percaya juga harus berhati-hati di dalam menjelaskan tentang siapa Tuhan Allah. Pengetahuan kita akan Dia itu sangat terbatas adanya. Terakhir, sifat memaafkan seperti Ayub pada sahabatnya adalah suatu budaya Timur yang sangat sesuai dengan firman Tuhan 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar