Sabtu, 10 Oktober 2020

KEPEMIMPINAN YANG MENGHAMBA (Mrk.10:35-45)


Kitab Markus merupakan kitab Injil Sinoptik tertua, yang diperkirakan ditulis tahun 35-40 ZB (Zaman Bersama). Secara ketatabahasaan, kitab Markus ditulis dengan bahasa yang sangat sederhana, sehingga pesannya terlihat jelas. Salah satu tema yang jelas dapat kita lihat dari kitab Markus ini adalah tentang gambaran dari Yesus sebagai seorang Hamba yang menderita. Dan, tema kitab Markus ini sangat mengena dengan tema minggu saat ini, “Kepemimpinan yang Menghamba” di mana teks dirujuk dari Markus 10. Di awal perikop nas kita minggu ini, ada situasi menarik yang bisa kita perhatikan di mana Yakobus dan Yohanes datang menghadap Yesus agar mereka ditempatkan di sebelah kanan dan di sebelah kiri-Nya ketika Dia datang dalam kemuliaan kelak (ay.37). Permintaan ini dinyatakan Yohanes dan Yakobus secara personal/pribadi. Kita bisa lihat bagaimana Alkitab menerangkan kalau mereka mendekati Yesus dan berkata kepada-Nya akan suatu permohonan (ay.35). Yesus sebagai seorang Pemimpin dan Guru dari para murid terlihat sangat akrab dengan mereka. Yesus mau menawarkan apa yang bisa dilakukan-Nya untuk membantu Yohanes dan Yakobus (ay.36).

Namun, Yesus melihat permintaan dari Yohanes dan Yakobus itu tidak rasional. Pertama-tama, Yesus mengatakan “Kamu tidak tahu apa yang kamu minta”. Mengapa Yesus mengatakan demikian? Bagaimana tidak! Yesus baru memberitahukan tentang penderitaan yang akan dialami-Nya. Bahwa, Dia akan diadili dan dijatuhi hukuman mati. Sebagai manusia, siapa yang tidak tertekan mengetahui hari kematiannya sudah mendekat? Sekalipun pada akhirnya akan bangkit, tetapi Yesus harus melewati penderitaan yang sangat mengerikan, sadis, dan melampaui batas kemanusiaan-Nya. Bisa-bisanya Yohanes dan Yakobus mengatakan, kalau Dia nanti bangkit dari kematian agar mereka ditempatkan di sebelah kiri dan kanan-Nya. Mereka bukannya bersimpatik pada beban Yesus, malah mencari celah untuk kepentingan pribadi mereka sendiri. Karenanya, Yesus mencoba untuk mengkonfirmasi, sekiranya mereka bertukar posisi, apakah mereka sanggup minum cawan dan dibaptis dengan baptisan yang diterima-Nya (ay.38). Yang dimaksudkan Yesus di sana adalah bisakah Yohanes dan Yakobus menerima nasib buruk (dilambangkan dengan cawan) dan dituduhkan sebagai seorang berdosa dan hina sekalipun tidak melakukan semua itu (dilambangkan dengan baptisan pertobatan oleh Yohanes Pembaptis).

Satu nilai positif dari Yohanes dan Yakobus adalah mereka seorang yang percaya diri. Tanpa ragu, mereka menjawab, “Kami dapat”. Hal ketiga yang disampaikan Yesus pada mereka, “kalau mereka dapat, maka mereka akan meminum cawan itu dan dibaptis dengan baptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis itu”. (ay.39).  Akan tetapi, hal keempat yang disampaikan Yesus kalau di dalam Kerajaan Allah tidak ada orang dalam, karena itu bukan hak peyoratif dari Yesus, tetapi Bapa saja (ay.40). Perbincangan Yesus dengan Yohanes dan Yakobus pun terdengar oleh kesepuluh murid lainnya. Wajar mereka marah, karena Yohanes dan Yakobus malah mencari kesempatan dalam kesempitan, mau menang sendiri, tidak setia kawan, dan sangat egois (ay.41). Yesus pun melerai pertengkaran di antara para murid dan memberikan pengajaran penting sebelum Dia meninggalkan mereka semua sendirian di tengah dunia. Yesus menegaskan supaya mereka jangan sama seperti pemerintah dan penguasa dunia yang memerintah dengan tangan besi dan kekerasan di dalam menjalankan tugas pemberitaan Kerajaan Allah.  Akan tetapi, mereka harus mau menjadi pelayan di dalam kebesaran, serta menjadi hamba di dalam ketermukaan (ay.42-44). Yesus memesankan hal itu pada para murid karena Dia telah terlebih dahulu melakukannya. Di dalam kemuliaan-Nya, Dia datang ke dunia untuk melayani manusia berdosa, menyerahkan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang (ay.45).

Firman Tuhan ini mengajak kita merefleksikan dua hal utama, yaitu: Pertama, soal upah, dalam hal ini keselamatan, biarlah kita serahkan kepada Allah Bapa. Selama kita hidup di dunia ini, kita kuatkan saja iman kita untuk menerima cawan kita dan menghidupi baptisan Yesus. Karena, kita akan dibangkitkan di dalam baptisan-Nya kelak. Kedua, di tengah dunia ini, kita perlu mengingat bahwa tidak ada seorang yang besar tanpa ia melayani, dan tidak ada seorang yang menjadi terkemuka tanpa ia menjadi hamba yang menolong banyak orang yang membutuhkan. Pengosongan diri (Kenosisme) menjadi jalan hidup Yesus, sebagai Anak Manusia. Demikian pula kita, di dalam kehidupan ini, marilah kita bersikap rendah hati pada sesama dan menujukkan kerendahan diri di hadapan Tuhan, Allah Bapa kita. Jangan bertengkar untuk posisi, kehormatan, kekayaan, dan prestasi duniawi lainnya. Karena itu adalah cara kuasa dunia, bukan kuasa dari Kerajaan Allah yang penuh damai, sukacita, dan damai sejahtera. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar