Selasa, 09 Maret 2021

AIR KEHIDUPAN (Yoh.4:5-14)

Pembahasan tentang dialog antara Yesus dengan Perempuan Samaria terkait “Air Hidup” tentu sudah sering kita dengar. Oleh karena itu, marilah kita coba melihat dari sisi yang lebih luas lagi. Apabila dilakukan perbandingan nas Minggu (Yoh.4:5-14) ini dengan Yohanes 19:28, kita di sana menemukan Yesus ketika di kayu salib berkata, “Aku haus”. Ini terasa aneh karena pada nas kita hari ini, Yesus mengatakan, “tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya ...”. Pertanyaannya, bagaimana mungkin Yesus yang punya air hidup tetapi masih bisa merasa kehausan?

Untuk coba memahami maksud Yesus dengan Air Hidup dan rasa haus yang dirasakan-Nya, marilah kita memerhatikan perenungan dari St.Agustinus di dalam tulisannya Confessions. Di sana, ia secara terbuka mengaku bahwa di dalam Yesus ada sisi paradoks ketika kita berusaha mencari-Nya di dalam perziarahan iman kita. Refleksinya, Tuhan dapat dilihat dari sisi subjektif dan sisi objektif. Ketika berbicara subjektif, kita dapat menyebutnya sebagai iman. Dan, berbicara objektif, kita dapat menyebutnya sebagai realitas. Dalam konteks kitab Yohanes, Yesus di sisi iman pada-Nya ada Air Hidup, tetapi Yesus dalam sisi realitas sebagai manusia sepenuhnya punya rasa dahaga/haus. Kondisi paradoks ini tidak akan mengganggu atau menghalangi iman kita kepada Yesus, karena hal ini malah akan semakin membuat kita bertambah sungguh memercayai siapa Yesus yang kita sembah dan kepada-Nya kita bersembah. 

Dalam perikop kita, Yesus memberi penjelasan pada perempuan Samaria bahwa Dia adalah Mesias dari Allah. Akan tetapi, perempuan Samaria sempat gagal paham karena terbatas melihat Yesus hanya dalam profesi nabi (bnd.Yoh.4:19, 25-41). Belum lagi latar perseteruan antara Israel Utara (Samaria) dan Israel Selatan (Yahudi) yang tiada ujung. Sikap curiga tak dapat dihindarkan. Bersatunya Kerajaan di Utara dan Selatan hanya terjadi di era pemerintahan Daud dan Yosia. Sisanya, kerajaan ini terpecah dua selamanya. Peribadatan orang Selatan dipusatkan di Yerusalem, sedangkan orang Utara di gunung (bnd.Yoh.4:20). Secara keagamaan, orang di Utara sudah banyak dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan yang menundukkan mereka. Hal itu disimbolkan Yesus dengan suami perempuan Samaria (bnd.Yoh.4:17-18). Dari indikator di ayat-ayat tersebut, kita dapat memahami kemudian bahwa pembicaraan Yesus dengan perempuan Samaria ini adalah dalam konteks pergelutan iman, di mana Yesus menawarkan diri-Nya untuk menghapus kedahagaan spiritualitas orang Utara akan Tuhan Allah. Air hidup di sana dapat dipahami sebagai fondasi iman yang benar.  

Karenanya, jelas perbedaan air hidup yang dibicarakan Yesus dengan Samaria dan air yang dimintakan Yesus ketika ia merasa haus dahaga di kayu salib. Air hidup ada pada aspek beriman (subjektif) dan air minum berada pada aspek realitas (objektif). Kita membutuhkan kedua-duanya. Kita butuh Yesus yang memberikan air hidup sebagai fondasi iman kita yang benar. Dan, kita juga butuh air minum yang dapat memberikan kita kekuatan untuk beraktivitas. Jika perempuan Samaria sempat ragu-ragu menerima-Nya, apakah kita mau menerima-Nya tanpa ragu? Siapkah kita beriman dengan seluruh subjektivitas dan objektivitas iman kita akan Kristus?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar