Minggu, 23 Agustus 2015

Takut akan Tuhan dan Beribadah Kepada-Nya

Yosua & Bangsa Israel (Ilustrasi Gambar : Wikipedia)

Khotbah Minggu Umum, 23 Agustus 2015, GKPI Jemaat Khusus Jambi Kota
(Yos.24:1-2a, 14-18)

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus Kristus, Sang Kepala Gereja!
Suatu kali, Plato ingin mengetahui pendapat gurunya, Sokrates, tentang bagaimana untuk memilih cinta sejati. Karena itu, ia memberanikan diri untuk bertanya. Dari pertanyaan yang diajukan itu, Sokrates pun menjawab, “ “Ada ladang gandum yang luas di depan sana. Berjalanlah kamu tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambilah satu saja rantingnya. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta.” Plato lalu melakukan apa yang diperintahkan oleh gurunya itu dan tidak berapa lama kemudian kembalilah dia dengan tangan kosong tanpa membawa apa pun. Kemudian, gurunya bertanya: “Mengapa kamu tidak membawa satu pun ranting?” Plato menjawab: “Saya hanya boleh membawa satu saja dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali. Sebenarnya saya telah menemukan ranting yang paling menakjubkan, tetapi aku tidak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan di depan sana. Jadi saya putuskan untuk tidak mengambil ranting tersebut. Saat saya melanjutkan berjalan lebih jauh, baru saya sadari bahwa ranting-ranting yang kemudian tidak sebagus ranting yang tadi, jadi tidak ada satu pun ranting yang saya bawa pulang. Gurunya kemudian menjawab: “Jadi ya begitulah cara memilih cinta sejati.
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan!
Makna dari cerita tadi adalah dalam hidup kita harus memilih. Mau tidak mau kita harus memilih karena hidup ini merupakan pilihan. Sesulit apapun pilihan itu, kita harus memilih. Bila kita tidak menentukan pilihan, maka kita tidak akan mendapatkan apapun. Begitu pula dalam soal keyakinan/beragama, kita diberikan pilihan untuk memilih apakah beragama atau tidak beragama? Jika kita memilih untuk beragama, maka agama apa yang kita pilih? Dalam memaknai hidup yang berkaitan dengan pilihan, tentu kita tidak boleh asal dalam memilih. Oleh karenanya, kita dalam memilih harus menggunakan seluruh daya analitis, pengalaman, serta naluri kita agar jangan ada penyesalan di kemudian hari. Dalam menentukan pilihan, kita harus memikirkannya berulang-ulang sampai mendapatkan keyakinan akan pilihan itu. Demikianlah yang dilakukan oleh Yosua pada bangsa Israel pada saat hari-hari terakhir dalam hidupnya. Sebelum melepaskan bangsa Israel selamanya, Yosua ingin menegaskan pilihan bangsa Israel dalam ber-Tuhan. Apa yang dilakukan Yosua rasanya logis, karena setelah perjalanan yang panjang dari tanah perbudakan di Mesir sampai masuk tanah perjanjian di Kanaan, bukan tidak sering bangsa Israel berpaling dari Tuhan. Mereka berpaling karena selalu bersungut-sungut ketika mereka mengalami penderitaan (band.Yos.24:2). Sekarang, mereka tiba di hari yang baru. Masa perbudakan sudah berakhir. Tanah kehidupan yang baru sudah direbut dari tangan musuh. Mereka akan memulai segala sesuatu dari awal. Dalam menjalani awal kehidupan yang baru sebagai suatu bangsa merdeka, Yosua tidak dapat lagi mendampingi Israel karena ia sudah terlalu tua untuk itu. Maka, Yosua mengumpulkan bangsa Israel (ay.1) dan bertanya pada mereka akan siapa yang mereka pilih menjadi Tuhan mereka? (ay.15). Namun, sebelum mereka menjawab, Yosua terlebih dahulu menjelaskan bahwa bila mereka nantinya memutuskan beribadah kepada Tuhan Allah, mereka harus takut dan beribadah kepada-Nya secara tulus dan ikhlas, juga setia. Tidak seperti yang dilakukan oleh nenek moyang mereka dahulu (ay.14). Secara pribadi, Yosua menyatakan pilihannya bahwa “ia dan seisi rumahnya akan beribadah kepada Tuhan (Allah)”. Karena, Yosua telah menyaksikan secara langsung bagaimana Tuhan Allah menuntun mereka sampai pada tanah perjanjian.
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus Kristus Sang Kepala Gereja!
Lantas, bagaimana jawaban bangsa Israel? Ternyata, mereka menjatuhkan pilihan yang sama dengan Yosua. Mereka menjawab “jauhlah dari kami meninggalkan Tuhan untuk beribadah pada allah lain!” Alasan mereka karena mereka juga menyadari bahwa Tuhan Allah saja yang menolong bangsa Israel mulai dari masa nenok moyang mereka di tanah Mesir (rumah perbudakan) sampai di tanah Kanaan. Juga, tanda-tanda mukjizat yang telah ditunjukkan oleh Tuhan Allah di sepanjang perjalanan. Serta, bagaimana Tuhan Allah yang ikut serta dalam peperangan melawan orang Amori serta musuh-musuh lainnya. Sehingga, keputusan mereka sudah bulat untuk beribadah kepada Tuhan Allah (ay.16-18).
Ibu, Bapak, dan Jemaat sekalian!
Dari pilihan yang dilakukan oleh Yosua dan bangsa Israel, kita menemukan satu hal yang sama, yaitu mereka sama-sama memilih berdasarkan pengalaman hidup yang mereka alami serta rasakan. Dari pengalaman itu, mereka menganalisis yang melibatkan naluri kemanusiaan serta keagamaan mereka, sehingga menjatuhkan pilihan untuk beribadah kepada Tuhan Allah. Tentu, konsekuensinya sudah mereka pahami, yaitu mereka harus beribadah dengan takut serta beribadah dengan tulus, ikhlas, dan setia. Sebelum melangkah jauh ke dalam konsekuensi, kembali ke soal pilihan, kita dapat melihat juga bagaimana pengalaman hidup beriman dalam beribadah kepada Tuhan menjadi sangat penting bagi manusia. Martin Luther menjelaskan soal pengalaman hidup beriman, bahwa umat percaya tidak dapat menemukan keselamatan di dalam akan pencarian imannya sendiri. Baik itu melalui perbuatan-perbuatan baiknya. Atau apapun usaha yang diperbuatnya. Namun, hanya karena kebaikan Tuhan lewat anugerah-Nya, sehingga kehidupan beriman kita dapat dibenarkan. Jadi, pengalaman hidup beriman itu sangat terkait dari bagaimana kita menyadari bahwa Tuhan telah memberikan kita banyak kebaikan dalam hidup, terkhusus di dalam anugerah-Nya, sehingga kita beroleh pembenaran iman. Kita semua menyadari bahwa kita dapat hidup sampai dengan saat itu tidak lain karena belas kasihan Tuhan. Dengan demikian, belas kasih Tuhan adalah pengalaman hidup beriman yang kita saksikan sepanjang waktu. Sehingga, kita dapat memutuskan dengan tegas pilihan kita untuk mengikuti-Nya. Atas dasar itulah, kita kemudian berbicara tentang konsekuensi pilihan. Karena belas kasihan Tuhan, maka kita beribadah pada Tuhan dengan takut, taat, tulus, dan setia. Apakah yang dimaksud beribadah dengan takut akan Tuhan? Apakah kita takut seperti resah, cemas, khawatir, gelisah, serta tertekan ketika beribadah? Atau seperti apa? Dalam Alkitab Ibrani, takut dibedakan ke dalam dua kata, yaitu “pa-khad” dan “yi-rah”. Pa-khad itu artinya takut yang mencemaskan seperti ada rasa teror. Sedangkan, Yi-rah menekankan takut dalam nuansa hormat ataupun dapat dipahami sebagai suatu sikap segan yang tidak berlaku sembarangan. Jadi, ketika dikatakan kita beribadah dengan takut akan Tuhan, maka hal itu berarti kita harus beribadah dengan rasa segan pada Tuhan. Bersikap sungguh-sungguh seperti ketika menghadapi orang besar dalam hidup kita. Misalnya saja, jika kita hendak bertemu dengan seorang tamu yang tidak lain merupakan pejabat besar negara, maka kita akan mengatur cara berpakaian serta berbicara, bahkan gerak-gerik kita ketika berinteraksi dengannya. Namun, ketika kita hendak bertemu dengan tamu yang tidak lain adalah teman kita sendiri, maka kita tidak segan untuk berperilaku biasa-biasa saja. Bahkan, kita cenderung bersikap kurang sopan. Seperti itulah sikap takut yang diminta dalam beribadah kepada Tuhan, seolah-olah hendak akan bertemu dengan tamu besar.
Akan tetapi, dalam kenyataannya, kita dalam menghadap Tuhan tidak selalu benar-benar takut, sekalipun kita diminta takut dalam beribadah. Misalnya saja, ketika ibadah sudah dimulai, masih saja kita asyik berbicara dengan orang di sekitar kita walaupun itu tidak ada hubungannya dengan firman Tuhan. Atau, malah ada juga orang yang dengan sengaja tidur saat sedang beribadah. Tidak jarang juga ada orang yang keluar masuk gereja dengan seenaknya sekalipun ibadah sedang berlangsung. Atau, saat beribadah, kita makan atau minum, lalu sampahnya kita buang ke lantai dan tinggalkan begitu saja. Di situ, apakah kita telah bersikap hormat kepada Tuhan ketika beribadah?
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan!
Selain beribadah dengan sikap takut akan Tuhan, kita kemudian diingatkan juga konsekuensi lain ketika kita memilih Tuhan Allah yang kepada-Nya kita beribadah. Konsekuensi itu adalah kita harus beribadah dengan ikhlas, setia, dan tulus. Di sini, perbedaan antara ikhlas dan tulus adalah bila dikatakan beribadah dengan ikhlas, maka ia akan beribadah dengan hati yang bersih, tidak ada unsur paksaan. Berbicara soal beribadah dengan ikhlas, saya jadi teringat beberapa minggu belakangan di mana saya bersama rombongan guru sekolah minggu (GSM) melakukan program kunjungan bagi anak-anak sekolah (ASM) yang sudah jarang beribadah. Ada sebagian warga jemaat yang mengatakan bahwa ASM tidak boleh dipaksa beribadah. Hal yang sama juga terjadi ketika saya dan beberapa GSM menjemput ASM yang ada di ruang ibadah minggu dewasa untuk pindah ke ruang ibadah ASM di tempat berbeda. Ada juga warga jemaat yang mengatakan bahwa ASM tidak boleh dipaksa beribadah. Dua peristiwa ini menurut hemat saya adalah letak kesalahpahaman dari warga jemaat dalam memahami keikhlasan dalam beribadah. Bukan sebagai apologi, tetapi sesuatu yang tidak jelas tentu harus diluruskan. Harus diakui, tidak ada seorang pun yang boleh memaksa orang lain untuk beribadah. Yosua sekalipun diceritakan dalam nas saat ini tidak ada memaksa orang Israel beribadah kepada Tuhan. Namun, adapun maksud kunjungan dari GSM ke rumah-rumah, serta menjemput ASM dari gedung ibadah umum dewasa, tidak lain hanya sekadar mengingatkan bahwa sudahkah kita ikhlas beribadah kepada Tuhan? Kalau ASM dan orangtuanya ikhlas beribadah pada Tuhan, pasti mereka pergi beribadah ke gereja tiap hari minggu dan datang dalam kebaktian sektor. Dan juga, orangtua mengantarkan anak-anaknya untuk beribadah di sekolah minggu karena anak-anak tentu tidak memahami khotbah orang dewasa. Namun, jika dirasa itu pun tidak berkenan, itu menjadi pilihan bebas orangtua dan ASM. Tidak ada paksaan dalam beribadah. Jika orangtua memutuskan untuk tidak mengantarkan orangtuanya pergi sekolah minggu karena orangtuanya juga malas pergi bersekutu di gereja, silakan saja tidak ada paksaan. Karena, beribadah memang tidak harus di rumah ibadah, tapi persekutuan itu penting, dan salah-benarnya tindakan kita akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya kelak di hari terakhir. Begitu pula, jika orangtua enggan mengantarkan anak-anaknya pergi beribadah ke sekolah minggu, silakan saja karena tidak ada paksaan dari gereja. Namun, benar tidaknya pertumbuhan iman anak itu akan dipertanggungjawabkan oleh orangtuanya juga kelak kepada Tuhan. Di sinilah letak keikhlasan beribadah, apakah kita benar-benar memberikan hati kita secara bersih dan terbuka dalam beribadah kepada Tuhan?
Kemudian, soal tulus dalam beribadah. Ketulusan beribadah itu dipahami dengan beribadah tanpa ada maksud apa-apa. Dalam beribadah, ada banyak partisipasi dari imam dan jemaat. Pertanyaannya adalah apakah partisipasi mereka dalam beribadah itu benar-benar beribadah atau adakah motif lain? Tidak jarang terjadi ketidakcocokan di antara para pelayan di suatu gereja karena para pelayannya berlomba-lomba ingin menonjolkan dirinya di gereja. Sehingga, apabila ia tidak melakukan suatu kegiatan apapun di gereja, ia merasa kurang dihargai. Begitu pula dengan jemaat yang beribadah, apakah mereka benar-benar beribadah? Tidak jarang ada jemaat yang datang ke gereja ingin memamerkan perhiasan, mode pakaian, mode sepatu, merk mobil, merk tablet, dsb. Atau, saat pesta demokrasi sedang mendekat, kita sering melihat bahwa calon legeslatif ataupun calon pemimpin daerah sering tampil di gereja-gereja di mana mereka mendadak menjadi orang kaya yang baik hati. Tentu gereja tidak hendak mengambil sikap menjaga jarak terhadap orang seperti ini, apalagi berpikir negatif, semua dikembalikan pada pribadi masing-masing apakah kita memiliki keikhlasan dan ketulusan dalam beribadah.
Dan yang terakhir, kesetiaan dalam beribadah. Indikator kesetiaan dalam beribadah tidak hanya dilihat dari keaktifan seseorang dalam mengunjungi ibadah-ibadah yang diselenggarakan, tetapi juga dalam peribadahannya secara pribadi dengan Tuhan. Apakah ia setia tetap berdoa untuk mengucap syukur kepada Tuhan sekalipun harinya tidak menyenangkan. Apakah ia tetap setia memuji Tuhan sekalipun terjadi hal yang tidak baik dalam hidupnya. Kesetiaan mengikut Tuhan tentu tidak hanya diukur di saat kita sedang suka saja. Tetapi, kesetiaan kita juga harus dibuktikan di tiap kondisi, termasuk di kala sedang duka.
Ibu, Bapak, dan Jemaat sekalian yang dikasihi oleh Tuhan Yesus, Sang Kepala Gereja!
Akhirnya, dari sekian banyak pembahasan yang telah disampaikan, pertanyaan besarnya adalah apa yang dapat kita refleksikan untuk diaplikasikan dalam kehidupan beriman kita? Saya mencatat setidaknya ada dua hal, yaitu,
Pertama, sudah tepatkah kita memilih Tuhan sebagai Allah kita? Sehingga, dengan bangga kita dapat berkata, “Aku dan seisi rumahku beribadah kepada Tuhan?”. Sekalipun kita sudah matang dalam memutuskan pilihan bahwa Tuhan telah menjadi Allah dalam hidup kita, maka tidak ada salahnya juga bagi kita untuk merenungkan kembali mengapa kita memilih Tuhan sebagai Allah dalam hidup kita? Apakah karena kita diberikan berkat kekayaan, kesehatan, keturunan yang hebat, dsb? Biarlah perenungan kita itu membawa kemantapan langkah kita dalam mengikut Tuhan. Sehingga, dalam keadaan buruk sekalipun kita dapat menyaksikan Tuhan adalah Allah kita.
Kedua, benarkah kita sudah beribadah dengan takut, tulus, ikhlas, serta setia? Saya mengambil contoh beberapa hari lalu kita digegerkan dengan pemberitaan bahwa Frangky Sihombing mengakui perselingkuhannya dengan Febby Febiola. Ada seorang jemaat yang bertanya pada saya, “Theo, perlukah kita tolak penggunaan lagu Frangky Sihombing di gereja kita?” Saya menjawab, “Hal ini seperti seorang pernah bertanya pada Martin Luther, bagaimana bila seorang imam pendosa melayankan sakramen Perjamuan Kudus, apakah sakramen itu sah? Martin Luther menjawab bahwa sakramen itu sah karena kekudusan sakramen itu bukan karena imam ataupun manusia, melainkan karena firman Tuhan yang menyertainya. Begitu pula dengan kasus lagu Frangky Sihombing, yang bersalah adalah pribadi Frangky Sihombing dan bukan firman Tuhan yang dirangkaikan ke dalam lagu itu”. Hubungan contoh ini dengan refleksi beribadah takut, tulus, ikhlas, dan setia adalah sebaiknya ibadah kita jangan kita gantungkan pada sesuatu, baik itu orang ataupun gerejanya. Apabila kita beribadah hendaklah kita benar-benar beribadah. Sering kita menjumpai ada orang yang membandingkan gereja X dan gereja Y. Salah seorang warga GKPI yang sering beribadah di gereja lain pernah berkata bahwa ia tidak suka beribadah di GKPI karena panas, gerah, musiknya kayak gereja di kampung-kampung. Saya sangat marah mendengar cerita itu dan saya menjawab, “Anda beribadah sebenarnya menyenangkan pribadi Anda atau Tuhan?” Saya berpikir bahwa GKPI telah merancangkan liturgi beribadah yang memadukan kekhusyukan dan kekudusan seperti yang kita lakukan pada saat ini. Jadi, kita jangan pernah sama sekali menggantungkan peribadahan kita pada sesuatu baik itu benda maupun orang, karena kita tidak akan dapat beribadah dengan takut akan Tuhan, ikhlas, tulus, dan setia.
Biarlah firman Tuhan saat ini menguatkan dan meneguhkan hati kita semuanya. Amin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar