Markus 8 : 27 - 38
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus
Kristus!
Banyak orang, khususnya, orang Indonesia, yang salah mengartikan
ungkapan seorang pujangga Inggris, William Shakespere yang berkata, “What’s in
the name?” (Apalah arti sebuah nama?) Karena mereka mengira Shakespere hendak
mengabaikan makna dari suatu nama. Ungkapan indah dari Shakespere ini lahir di
dalam karya agungnya yaitu romansa, “Romeo & Juliet”. Dikisahkan bahwa
cinta mereka berdua tidak bisa bersatu karena mereka berasal dari dua suku yang
saling bermusuhan, yaitu antara suku Montague dan suku Capulet. Dalam suatu
adegan, Juliet berkata pada Romeo bahwa sesungguhnya yang menjadi musuh
keluarga besar mereka adalah sebatas nama, karena Romeo merupakan tetap seorang
manusia yang memiliki cinta dan berhak untuk mencintai. Romeo sekalipun ia berasal dari daerah bernama Montague, sehingga apa itu Montague? Ibarat mawar, ia tetap akan menjadi
bunga yang harum dan berduri layaknya mawar sekalipun ia tidak bernama mawar. Jadi,
apalah arti sebuah nama? (What’s in the name?). Di sini, Shakespere jelas ingin
menegaskan jangan sebuah nama membawa manusia ke dalam suatu tragedi yang
sangat kelam. Sama seperti baru-baru ini di mana muncul kehebohan di Indonesia
disebabkan oleh nama. Brilio.net mencatatkan setidaknya ada belasan nama aneh
yang pernah ditemukan dan tidak jarang menjadi bahan lelucon, yaitu: seorang
yang bernama, “Nama” (Kec.Sentolo-Kulon Progo), I Made Supermen (Pengemudi Taxi
di Bali), Royal Jeli (Pengemudi Taxi Silverbird), Anti Dandruf (TKI), Dontworry
(TKI asal Batam), Dono Kasino Indro (Pemuda 27 Tahun asal Jakarta), Ultramen
(Pelajar), Satria Baja Hitam (Pemuda 22 Tahun asal Lampung Selatan). Lebih unik
lagi ada namanya Syaiton, Msi (Palembang) yang ingin bertemu dengan Tuhan
(Banyuwangi). Mungkin, mereka sebaiknya dipertemukan di rumah Minal Aidin Wal
Faizin (Neglasari) saat berhari raya nanti. Perkataan Shakespere menjadi ada
benarnya karena nama Tuhan saat ini sedang dicekal oleh MUI. Bagaimana pun
fenomena nama yang tengah berkembang di Indonesia saat ini, yang jelas ilustrasi
di atas ingin membawa kita pada satu gambaran bahwa ada orang yang belum dapat
menerima identitas orang lain di dalam satu nama. Sehingga, orang lain memaksa
orang yang memiliki nama unik itu untuk berganti nama. Bahkan, tidak jarang
orang yang memiliki nama unik itu menjadi sasaran “bullying”. Mengacu pada
Shakespere, kita tentu diminta untuk menghargai seseorang dalam kapasitas yang
ia miliki bukan karena sekadar nama yang melekat pada dirinya.
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus
Kristus!
Begitu pula salah satu bagian dari nas kita saat ini, “Pengakuan
Petrus”, di mana bagian ini memperlihatkan reaksi Petrus akan nama yang
digelarkan pada Yesus, yaitu Mesias. Di dalam ayat 27, Yesus bertanya pada
murid-murid “Kata orang siapakah Aku ini?” Disusul dengan pertanyaan “Tetapi
apa katamu, siapakah Aku ini?” Sekilas, jika kita melihat, ada kesan bahwa
Yesus sedikit narsis. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh Yesus sesungguhnya
tidak terlepas dari kisah yang telah dilewati-Nya yang diceritakan pada bagian
sebelumnya. Ada beberapa peristiwa yang mendahului kisah ini, seperti Yesus
menyembuhkan seorang anak dari Perempuan Siro-Fenesia, seorang tuli di Tirus,
memberi makan empat ribu orang, berdebat dengan orang Farisi, memarahi
murid-Nya soal tidak ada roti, serta menyembuhkan seorang buta di Betsaida. Kisah
perjalanan Yesus diselingi dengan peristiwa-peristiwa yang ajaib dan
perselisihan Yesus di antara pemuka agama bahkan dengan para murid-Nya,
sehingga Yesus butuh informasi dari para murid, “bagi orang lain dan bagi para
murid, siapa Yesus itu”
Jawaban para murid ketika dimintai pendapat mereka tentang
Yesus di mata orang banyak, para murid menyebutkan Yohanes Pembaptis, Elia, dan
seorang dari para nabi. Sedangkan jawaban yang diterima Yesus tentang siapa
dirinya bagi para murid, hanya Petrus yang menjawab, “Mesias”. Mendengar
jawaban itu, Yesus melarang para murid untuk tidak menceritakannya dengan siapa
pun. Beberapa sarjana Alkitab dan teologi menyebut bagian ini sebagai “Rahasia
Mesianik”, di mana salah satu tokoh penggagasnya adalah William Wrade, seorang
Professor Perjanjian Baru di Breslau, Jerman. Secara pribadi, saya bukan
seorang yang mengikuti pandangan Wrade dalam menilai topik Rahasia Mesianik
ini. Secara pribadi, tafsiran saya melihat mengapa Yesus melarang para murid
untuk tidak memberitahukan pada siapapun sangat terkait dengan dua hal besar,
yaitu: pertama, persoalan politik di masa itu; dan kedua, pandangan futuris
Yesus terhadap para murid, terkhusus pada Petrus.
Saya akan menguraikan dua hal itu satu per satu, pertama, persoalan
politik di masa itu. Kata Mesias sebenarnya setara dengan kata Kristus yang
sematkan oleh umat Kristen masa kini pada nama Yesus (band.Yoh.1:41). Baik
Kristus maupun Mesias memiliki kekuatan politis di saat itu di mana Mesias
dipercayai sebagai pembebas umat Israel dari penjajahan sebagaimana yang telah
dinubuatkan para nabi. Dari berbagai pekerjaan yang telah dilakukan Yesus di
tengah dunia, Yesus ingin mengetahui pemahaman para murid tentang penilaian
orang banyak kepada Yesus. Sebagaimana yang disampaikan para murid, orang
banyak memang menilai Yesus bukanlah Mesias, Yang Diutus oleh Allah untuk
menyelamatkan umat Tuhan. Yesus di mata orang banyak hanya sebatas nabi, karena
Dia dapat membuat banyak mukjizat seperti yang dilakukan oleh para nabi sebelum
Yesus. Oleh karena itu, Yesus perlu mengetahui apa yang ada di pikiran para
murid ketika melihat realitas ternyata orang banyak tidak mengakui Yesus adalah
Mesias. Jawaban militan malah didapat dari seorang murid bernama Petrus, yang
menjawab Mesias. Dari jawaban yang saling bertolak belakang itulah, menurut
hemat saya, yang membuat Yesus untuk melarang para murid untuk menceritakan
perihal diri-Nya. Mungkin bagi Yesus, seperti yang dimaksudkan Shakespere,
bahwa Yesus tetaplah Mesias sekalipun orang menyebutnya sebagai nabi, setidaknya
para murid mengakuinya.
Hal kedua, pandangan futuris (ke depan) Yesus terhadap para
murid, terkhusus Petrus. Yesus tentu telah mengetahui bahwa jawaban Petrus yang
sangat berani mengakui Yesus sebagai Mesias ternyata tidak seberani
kenyataannya. Oleh sebab itu, Yesus melarang para murid, khususnya Petrus untuk
memberitahu pada banyak orang jika akan menjadi batu sandungan nantinya bagi
mereka sendiri. Sebagaimana diceritakan pada bagian berikutnya, Petrus menarik
dan menegor Yesus yang sedang mengajar orang banyak bahwa Dia yang adalah Anak
Manusia akan menanggung banyak penderitaan dan penolakkan, sehingga Dia harus
dibunuh dan bangkit pada hari ketiga. Tarikan dan teguran Petrus terhadap Yesus
secara tidak langsung telah menyangkal Kemesiasan Yesus. Padahal, Petrus baru
saja mengakui Yesus adalah Mesias. Bahkan, bukan hanya itu saja, Petrus di
kemudian hari pun menyangkal tidak mengenal Yesus sampai tiga kali. Padahal,
Petrus dalam ayat ini seolah begitu sangat mengenal Yesus dengan baik. Walaupun,
pada akhirnya Petrus berbalik dan menjadi martir demi pemberitaan tentang Yesus
dan Injil.
Inilah mengapa pada bagian berikutnya, Yesus mengajarkan
tentang syarat mengikut-Nya, sekaligus tanda pertama akan penderitaan-Nya. Syarat
yang diajukan Yesus ada tiga hal, yaitu: menyangkal diri, dan memikul salib,
dan mengikut Yesus. Apa makna di balik syarat yang diajukan oleh Yesus itu? Ini
tidak lepas dari bagian berikutnya (ay.35-38), di mana ada kaitannya dengan “kehilangan
nyawa”, “memiliki dunia”, serta “kemuliaan Bapa”. Relasi tiga syarat dan tiga
kondisi dapat digambarkan sebagai berikut:
a.
Menyangkal diri –
Kehilangan nyawa:
Menurut
pakar psikoanalitik, Sigmund Freud, kepribadian manusia itu terdiri dari tiga
elemen, yaitu: id, ego, dan superego. Freud kemudian menjabarkan bahwa Id
(hasrat) manusia itu tidak terbatas hakikatnya karena yang terlihat hanya
permukaannya saja, ibarat gunung es di laut. Sehingga, manusia secara utuh
adalah hasrat dirinya. Inilah yang kemudian diminta oleh Yesus pada orang
percaya, bahwa mereka tidak boleh hidup di dalam hasratnya yang tidak terbatas.
Namun, mereka harus menyangkal hasrat itu. Hasrat memang dapat menyenangkan
hidup kita tetapi tidak bisa menyelamatkan nyawa kita. Mungkin, orang berhasrat
memiliki banyak harta benda yang dapat digunakannya untuk melindungi nyawanya,
seperti rumah yang aman, pengawal yang terpercaya, jaminan biaya berobat yang
lebih dari cukup, dsb. Namun, tetap saja ia tidak dapat menghindari apa yang
disebut kematian. Oleh karena itu, ada baiknya selama napas masih melekat di
dalam tubuh, Yesus mengingatkan agar mereka menggunakan seluruh hidupnya untuk
memercayai kabar baik yang disampaikan oleh Yesus. Sehingga, sekalipun kematian
menghampiri mereka, kematian mereka tidak akan sia-sia karena ia diselamatkan.
b.
Memikul Salib – Memiliki Dunia:
Karena
hasrat yang tidak terbatas itu, manusia menjadi menderita ketika ia harus
menyangkal diri. Penderitaan ini dapat disebut juga dengan memikul salib. Yesus
menjelaskan pada orang banyak, lebih baik bertekun di dalam penderitaan tetapi
diselamatkan dari pada memiliki dunia tetapi tidak diselamatkan. Memang bila
kita perhatikan realitas kehidupan umat Kristen di masa kini, tidak ada jaminan
bahwa keluarga yang dekat pada Tuhan akan dapat memikul salib yang berat. Coba kita
lihat ada berapa banyak keluarga Kristen yang mengalami permasalahan dengan perselingkuhan,
korupsi di tempat kerja, bahkan anggota keluarganya yang pindah agama karena
mengincar kesenangan yang ditawarkan oleh dunia?
c.
Mengikut Yesus – Kemuliaan
Bapa:
Pada
akhirnya, Yesus memberikan jaminan siapa pun yang dapat menyangkal dirinya dan
memikul salib, makan mereka layak untuk mengikut Yesus. Karena, mereka tidak
akan kehilangan nyawanya sia-sia. Tetapi, mereka akan mendapatkan kemuliaan
dari Bapa.
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus
Kristus!
Dari sekian jauh pembahasan kita pada saat ini, apa yang
kemudian dapat kita refleksikan serta aplikasikan di dalam kehidupan beriman
kita? Saya mencatat setidaknya ada dua hal yang dapat kita refleksikan serta
aplikasikan, yaitu:
1.
Mengakui Yesus sebagai
Kristus/Mesias/Penyelamat tentu tidak sekadar pengakuan di mulut saja. Suatu pengakuan
harus diiringi oleh aksi/tindakan yang nyata. Seperti sepasang kekasih, di mana
seorang kekasih berkata pada pujaan hatinya, “Aku sangat mencintaimu, aku akan
rela melakukan apapun untukmu”. Tentu, hal ini sangat manis untuk didengar. Namun,
perkataan itu akan teruji ketika hujan deras turun di jadwal kunjungan kekasih.
Apakah kekasih yang menyatakan rela akan melakukan apa saja ternyata tidak
dapat datang karena “Hujan di malam Minggu?” Demikian juga ketika diperhadapkan
dengan soal mengakui Yesus sebagai Mesias. Kita tentu harus membuktikannya
bahwa ia adalah Mesias kita. Terkait dengan kondisi kota Jambi yang saat ini
sangat mencekam, di mana Jambi dihujani dengan kabut asap disertai debu-debu
hutan yang terbakar bukan dengan hujan air. Banyak kemudian umat percaya di
Jambi menjadi risau dan khawatir sampai frustasi dengan keadaan demikian. Seolah
mereka berpikir Tuhan telah menutup mata atas Jambi. Bukankah sebaiknya sembari
menunggu Tuhan menolong, kita coba merenungkan mengapa keadaan Jambi begitu
mengenaskan? Bukankah manusia sendiri yang mengeksploitasi dan merusak alam? Sehingga,
dampaknya pun dirasakan oleh manusia sendiri? Menahan diri untuk tidak merusak
hutan demi keuntungan duniawi adalah bagian dari menyangkal diri dan memikul
salib, serta mengikut Yesus.
2.
Menyangkal diri, memikul
salib, dan mengikut Yesus adalah satu rangkaian yang tidak terpisahkan antara
satu dengan yang lainya. Tentu hal ini dapat dimaknai umat percaya untuk tetap
setia di tengah ancaman hidup, serta menahan diri untuk tidak menjadi serakah,
di mana orientasi kehidupan umat percaya adalah kemuliaan Allah yang telah
dijanjikan oleh Yesus. Kita memercayai di dalam iman, bahwa anugerah Tuhan
dapat memberikan kita kekuatan untuk menyangkal diri, memikul salib, sehingga
kita layak diberikan kemuliaan Allah atas loyalitas mengikut Yesus.
Biarlah firman Tuhan saat ini dapat semakin menguatkan iman
percaya kita di dalam kehidupan ini. Amin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar