Tuhan
Menciptakan Penolong yang Sepadan
(Kej.2:18-24)
Ibu,
Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus, Sang Kepala Gereja!
Suatu
kali, seorang suami menggerutu di dalam hatinya, “ah Tuhan, mengapa Engkau
memberikanku istri yang pemalas? Sepulang bekerja keras di kantor, aku malah
menemukan istriku hanya menonton TV dan tiduran, bukannya menemani anak kami
belajar, atau bukannya merawat suaminya, entah dipijat karena lelah, atau
dihidangkan masakan lezat. Padahal, Engkau mengatakan perempuan adalah penolong
sepadan untuk laki-laki. Mana buktinya? Aku bekerja keras, ia enak-enakan
santai di rumah. Untuk itu, aku ingin mengadakan perhitungan dengannya, ya
Tuhan. Ubahlah posisi kami sementara waktu, aku menjadi istriku dan istriku
menjadiku. Biar ia tahu betapa beratnya menjadi seorang suami!” Tuhan yang iba
mendengar ratapan suami itu pun mengabulkan doanya. Di suatu pagi, suami yang
telah berganti posisi menjadi istri itu sudah harus bangun jam setengah lima
pagi. Ia harus memasak sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Kemudian, ia
menyiapkan pakaian untuk suami dan anak-anaknya. Ternyata, anak yang paling
kecil sedang kambuh manjanya, sehingga harus dimandikan, dipakaikan seragam
sekolahnya, dan disuapkan nasinya. Setelah suami dan anaknya berangkat, ia
mulai mencuci piring bekas sarapan dan kain pakaian semalam. Lalu, ia menjemur
pakaian dan berangkat ke pasar untuk belanja makan siang dan makan malam
keluarganya. Sepulang belanja, ia memasak lauk-pauk yang baru dibelanjakannya.
Namun, ia baru ingat kalau rekening air, telepon, dan listrik akan jatuh tempo.
Ia bergegas ke loket pembayaran untuk membayar tagihan rekening itu. Tidak
sempat kembali ke rumah, ia kemudian menjemput anak-anak mereka dari sekolah. Sesampai
di rumah, ia menemani anaknya makan sembari ia makan pagi+siang. Sehabis makan,
suami yang menjadi istri ini mengatur anak-anaknya agar tidur siang. Sehingga,
ia memiliki waktu untuk menyapu rumah, mengangkat jemuran, lalu menyetrika
pakaian. Sehabis menyetrika pakaian, waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Ia
menyuruh anak-anaknya untuk belajar. Di saat itulah ia ada waktu untuk
istirahat sejenak. Ia mengunakan waktu istirahat itu rebahan sambil menonton
TV. Di saat suaminya pulang, ia harus mendengar celotehan suaminya yang
mengeluh lelah bekerja di kantor. Tidak ingin rumah tangga mereka retak, istri
yang kelelahan itu pun hanya mendiamkan diri. Sebelum tidur malam, masih ada
“pekerjaan kecil” yang harus ia lakukan dengan suaminya di malam hari, barulah
ia baru bisa istirahat. Akhirnya, saat hendak tidur, suami yang menjadi istri
ini berdoa kepada Tuhan, “Ya Tuhan, maafkanlah aku yang telah berpikir tidak
baik atas istriku. Ternyata, pekerjaan seorang istri jauh lebih berat dari
suami. Aku telah salah dengan memarahinya. Oleh karena itu, aku mohon kepada-Mu
untuk mengembalikan posisi kami seperti semula. Aku tidak kuat lagi untuk
menjalani peran ini”. Tuhan pun mendengar doanya, “Anakku yang baik, syukurlah
bila engkau sudah sadar betapa beratnya menjadi seorang istri, tetapi aku tidak
bisa mengembalikan posisi kalian seperti semula setidaknya sampai 9 bulan ke
depan, karena engkau sedang hamil!”
Ibu,
Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus!
Sering
para suami menganggap menjadi ibu rumah tangga itu bukanlah pekerjaan. Ternyata,
pekerjaan ibu rumah tangga jauh lebih berat dari pekerjaan suami di kantor. Namun,
istri yang bekerja tidak pernah digaji itu bukannya sering diberi
apresiasi/pujian dari suaminya, malah sering ia ditekan. Apalagi, bila ada
seorang istri yang harus bekerja di luar rumah, lalu ia masih harus mengurus rumah
dan keluarganya. Betapa luar biasanya kekuatan seorang perempuan. Tidak seperti
yang dilabelkan oleh dunia di mana perempuan adalah makhluk yang lemah. Walaupun
kekuatan ototnya tidak sekuat laki-laki, perempuan terbukti lebih kuat dari
laki-laki. Di sinilah
perempuan dan laki-laki dapat saling mengisi, tolong-menolong, dan bekerja
sama. Laki-laki dan perempuan adalah mitra yang sepadan, seperti yang disaksikan
oleh firman Tuhan saat ini, Kej.2:18-24. Kalimat “penolong yang sepadan
dengannya” di dalam Kej.2:18 sangat menarik untuk digali apa makna yang
sesungguhnya? Dalam Alkitab berbahasa Ibrani, penolong yang sepadan dengannya diterjemahkan dari kalimat hezer kanegdo, di mana jika kita
memerhatikan Alkitab berbahasa Inggris dan Indonesia, ada beberapa terjemahan
yang menarik dari kalimat tersebut:
King
James Version (KJV) menerjemahkan dengan an
help meet for him (seorang penolong yang berguna baginya)
New
American Bible Version (NABV) menerjemahkan dengan a suitable partner for him (seorang rekan yang sesuai dengannya)
New
International Version (NIV) menerjemahkan dengan a helper suitable for him (seorang penolong yang sesuai dengannya)
Revised
Standard Version menerjemahkan dengan a
helper fit for him (seorang penolong yang cocok dengannya)
Terjemahan
Indonesia Sehari-hari (TIS) menerjemahkan dengan teman yang cocok membantunya.
Dari
beberapa versi terjemahan yang ada, saya secara pribadi lebih bersepakat dengan
NABV dan TIS, yaitu rekan/teman yang
cocok/sesuai membantunya. Ada beberapa alasan saya memilih terjemahan itu. Pertama,
dari alasan Allah ingin menciptakan perempuan, Allah mengatakan “tidak baik
manusia itu seorang diri saja”. Seorang diri atau sendirian tentu membutuhkan
teman, bukan pembantu/penolong. Oleh karena itu, teman atau rekan adalah kata
yang cocok untuk menerjemahkan hezer.
Kedua, untuk kata kanegdo, saya
memilih menggunakan terjemahan membantu atau sesuai karena kedua kata ini
menyiratkan kesetaraan. Membantu bukan
hanya tugas pembantu. Seorang teman yang membantu tentu didasarkan pada rasa
kasihan atau empati, bukan karena takut atau ditaklukkan. Begitu pula dengan
kata sesuai di mana kata ini
menunjukkan ada keseimbangan antara laki-laki dan perempuan. Kalau kata berguna belum tentu sesuai. Tetapi,
kalau sesuai sudah pasti ia berguna. Dan alasan terakhir, karena perempuan
diciptakan Allah dari rusuk laki-laki (ay.21), dan pengakuan laki-laki di mana
perempuan itu adalah tulang dari tulangnya dan daging dari dagingnya (ay.23),
sehingga laki-laki dan perempuan itu bukan entitas berbeda, tetapi suatu
rekanan yang sama. Lain hal kalau perempuan diciptakan dari bahan di luar
laki-laki, maka terjemahan penolong yang berguna
dapat digunakan karena mereka adalah entitas yang berbeda.
Ibu,
Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan!
Mengapa
kita penting dalam memerhatikan komposisi kata yang tepat untuk menggali
gambaran perempuan di Alkitab? Tujuannya tidak lain agar kita tidak salah dalam
memaknai firman Tuhan tentang perempuan. Salah memahami firman Tuhan untuk
penciptaan perempuan ini, tentu kita akan salah memahami perempuan secara
teologis. Untuk itu, pemeriksaan komposisi kata menjadi penting. Setidaknya,
hal itu dibuktikan dari gambaran jawaban atas survey yang saya lakukan melalui
jejaring sosial facebook serta
beberapa pesan singkat pada teman. Dari 10 teman yang saya tanyakan tentang
konsep perempuan adalah penolong sepadan, 9 orang menjawab setuju dan 1 orang
tidak setuju. Dari 9 orang yang saya tanya apakah saat ini posisi perempuan
telah dianggap menjadi penolong yang sepadan di tengah kehidupan, 7 orang menjawab
sudah dan 2 orang menjawab belum. Namun, ketika digali lagi lebih dalam tentang
konsep “penolong sepadan”, masing-masing orang memiliki gambaran yang berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Lima orang teman menjelaskan penolong
sepadan/rekan yang sesuai atau menolong itu dari perlakuan suami-istri di dalam
rumah tangga, Satu orang melihat ada dalam tugas suami-istri dalam merawat
anak, dan tiga orang teman ada yang melihat dari bagaimana cara mereka melewati
bersama-sama kehidupan yang berat. Hasil survey itu sendiri menunjukkan bahwa
banyaknya variasi memahami penolong yang sepadan/rekan yang sesuai atau
menolong. Dan, darinya kita dapat merekonstruksi pemahaman yang baru tentang
penolong yang sepadan itu tidak terbatas sebagai dalam konteks rumah tangga,
tetapi lebih luas lagi bagaimana laki-laki melihat perempuan sebagai rekan yang
sesuai/membantu. Konteksnya tidak dibatasi oleh pernikahan, tetapi lebih luas
lagi. Sehingga, mau tidak mau ini akan berbenturan dengan budaya patriakhi yang
hidup di tengah masyarakat, yang melihat adalah warga kelas dua. Kita harus
jujur mengakui bahwa banyak budaya yang berkembang di dunia ini, termasuk di
Indonesia, yang membuat perempuan menjadi tersubordinasi. Dalam beberapa
perkawinan di Indonesia, perempuan dibeli dengan mahar sehingga laki-laki
merasa berhak memperlakukannya bagaimana setelah membeli perempuan itu. Konstruksi
budaya akan laki-laki terhadap perempuan tidak hanya memengaruhi cara pandang
laki-laki pada perempuan dalam pernikahan saja, tetapi juga di dalam tempat
kerja. Oleh karena itu, dengan melakukan rekonstruksi makna bahwa perempuan
merupakan rekan yang sesuai/membantu laki-laki, masyarakat-khususnya umat
percaya-dapat memandang secara setara posisi laki-laki dan perempuan. Tidak ada
yang lebih tinggi ataupun lebih rendah. Ingat, posisi rusuk tidak di atas juga
tidak di bawah. Ia di tengah-tengah. Begitu pula perempuan dan laki-laki tidak
ada yang lebih tinggi mereka bertemu di tengah-tengah. Seorang teolog feminis,
Elisabeth Schussler Fiorenza, mengatakan bahwa pandangan terhadap perempuan
lebih baik lagi sangat tergantung pada rekonstruksi institusi sosial, karena
institusi sosial yang dapat memberikan definisi kembali atas gambaran budaya
antara peran laki-laki dan perempuan, sehingga perempuan dapat berdiri sendiri
atas dirinya sebagai manusia dan dapat menerima akses kesetaraan dalam ekonomi
dan politik. Atau singkatnya, Fiorenza melihat bahwa lembaga-lembaga budaya
dapat menarik pemahaman bahwa perempuan tidak lebih rendah dari laki-laki,
sehingga di mana pun perempuan berada, terkhusus di tempat pekerjaan, mereka
mendapatkan akses yang seharusnya mereka terima.
Memang,
kritik Fiorenza ini ada benarnya. Bagaimana tidak, pandangan kebudayaan
sedikit-banyaknya memengaruhi posisi laki-laki dan perempuan di gereja. Jika kita
lihat, belum ada perempuan yang menjadi pastor di gereja Katolik. Begitu pula
dengan gereja-gereja di Indonesia, di mana posisi pelayan perempuan tidak sebesar
pelayan laki-laki. Syukur pada Tuhan bahwa gereja di Indonesia sejak akhir
tahun 2014 telah memiliki ketua umum PGI dari kalangan perempuan untuk pertama
kali. Bahkan, di GMIT, ketua Sinode mereka yang baru adalah perempuan. Hanya di
gereja-gereja Sumatera, terkhusus GKPI yang baru saja melakukan periodesasi
pimpinan sinode, belum mendapat kesempatan menjadi Bishop. Atau, kita juga
melihat dalam ibadah-ibadah sektor yang diselenggarakan oleh GKPI, jamuan makan
malam yang pertama kali mengambilnya adalah laki-laki, kemudian perempuan. Rasanya
agak tabu kalau perempuan yang pertama mengambil makanan. Sekalipun, saat ini
terkenal dengan ungkapan “Lady first”.
Ibu,
Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan!
Pentingnya
rekonstruksi pemahaman teologis bahwa penolong yang sepadan itu mengartikan
bahwa perempuan adalah rekan yang sesuai bagi laki-laki, hal itu membuka
peluang bagi mereka untuk bersama-sama menyusun tugas dan tanggung jawab mereka
dalam menciptakan keteraturan hidup. Seperti yang dikatakan pada ayat 19-20,
bahwa tugas pertama laki-laki telah selesai menamai tiap-tiap makhluk yang
hidup. Sekarang saatnya bagi mereka mereka dapat bersama-sama mengusahakan alam
semesta beserta segala isinya untuk keteraturan hidup. Kegiatan bersama ini
ditekankan pada ayat 24, di mana laki-laki dan perempuan bersatu menjadi satu
daging. Apa maksudnya satu daging? Tentu mereka akan bersetubuh, sehingga
mereka memiliki keturunan. Mereka menjalani hidup bersama-sama dengan
keturunannya, termasuk mengusahakan alam dan segala isinya. Itulah perintah
Tuhan Allah pada perempuan dan laki-laki. Dari sedemikian jauh pembahasan
firman Tuhan pada saat ini, apa yang dapat kita refleksikan serta aplikasikan
di dalam kehidupan beriman kita? Saya mencatat setidaknya ada dua hal yang
dapat kita refleksikan serta aplikasikan, yaitu:
a. Perempuan dan laki-laki adalah rekan yang
sesuai. Sehingga, mereka harus saling menghormati, bukan saling menyakiti,
apalagi saling menindas. Dari kerekanan yang sesuai ini mereka kemudian membuka
peluang untuk saling memahami. Memang bagi laki-laki sangat sulit memahami
perempuan. Bahkan, bagi psikolog besar seperti Freud, ia berkata “pertanyaan
terbesar yang tidak pernah terjawab dan di mana aku belum bisa menjawabnya
sekalipun aku meneliti jiwa perempuan, adalah ‘Apa yang diinginkan oleh seorang
perempuan?’” Sering memang konflik perempuan dan laki-laki terjadi karena
laki-laki gagal memahami perempuan. Jika seorang laki-laki bertanya, “apakah
ada masalah?” perempuan itu pasti menjawab “tidak”. Tapi, kemudian, perempuan itu
mengatakan “kamu itu tidak peka ya?”. Lalu, laki-laki itu bertanya lagi, “masalah
kamu apa?”. Dan, perempuan itu menjawab, “tidak ada”. Begitu seterusnya. Susah memang
memahami perempuan. Namun, sekalipun perempuan itu susah untuk dipahami, bukan
berarti ia adalah makhluk yang lemah. Seperti ilustrasi di awal khotbah,
kekuatan perempuan itu ada di perasaannya dan bukan di ototnya. Makanya,
seorang ibu dapat mengendong anaknya sambil bekerja entah menyetrika ataupun
mengepel. Tidak seperti bapak yang baru 15 menit menggendong anaknya sudah
kelelahan. Itu terjadi karena ibu menggendong anaknya dengan kekuatan dari
perasaan bukan seperti bapak itu yang menggendong dengan ototnya. Di sinilah
mereka dapat saling memaknai, menghargai, dan mengerti bahwa mereka sebenarnya adalah
rekan yang sesuai.
b. Hal kedua adalah
bagaimana laki-laki dan perempuan dapat membuka peluang untuk menciptakan
keteraturan dalam hidup. Hal ini dapat dimaknai dalam contoh sederhana berikut:
Seorang ibu baru saja melahirkan. Ibu ini masih dalam keadaan lemah belum dapat
bergerak banyak. Sementara ia masih mengurus bayinya. Namun, keadaan rumah
menjadi begitu kacau karena selama ini yang bertugas merapikan adalah istri. Anak-anak
mereka selama ini tidak peduli dengan keadaan rumah. Begitu pula suaminya yang
tidak pernah mengurus rumah. Apa yang harus dilakukan agar kondisi rumah yang
kacau balau menjadi teratur? Tentu, si suami tidak perlu malu bertanya pada
istri apa saja yang harus dikerjakan agar rumah menjadi teratur. Anak laki-laki
yang tidak mau mencuci piring karena menganggap itu pekerjaan perempuan dapat
dibuka wawasannya dengan teladan dari bapaknya yang mengambil bagian tugas yang
biasa dikerjakan ibunya, misalnya mencuci pakaian. Sehingga, anak laki-lakinya
dapat mengerjakan tugas rumah yang dianggap tugas perempuan. Dengan demikian,
suasana rumah menjadi teratur. Begitu hendaknya laki-laki dan perempuan dalam
kehidupan sehari-hari. Mereka harus membuka peluang untuk saling membantu agar
tercipta keteraturan.
Inilah
firman Tuhan bagi kita pada saat ini. Biarlah firman Tuhan ini memberi kita
kekuatan untuk menciptakan keteraturan hidup sebagai hasil saling menghormati,
mendukung, dan membangun antara laki-laki dan perempuan. Tuhan memberkati!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar