Senin, 05 Oktober 2015

Bolehkah Umat Kristen Bercerai? (Mrk.10:2-16, Khotbah Kebaktian Sektor 6-7 Oktober 2015 GKPI JKJK)


Ilustrasi Gambar: Sumber Internet
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus!
Dalam berbagai pernikahan, burung merpati sering digunakan sebagai lambang pernikahan. Mengapa demikian? Mungkin, mereka yang menikah itu berharap cinta mereka sedikit banyaknya seperti pasangan burung merpati yang hidup bahagia. Burung merpati sebagaimana yang umumnya kita ketahui merupakan burung yang tidak pernah mendua hati. Di saat musim kawin, burung merpati tinggal di sarang bersama pasangannya. Pasangan burung merpati hanya satu seumur hidupnya. Oleh karena itu, ketika burung merpati harus terbang jauh mencari makanan, ia pasti akan tahu jalan pulang karena ia ingat di mana ia harus tinggal dengan pasangannya yang telah menantinya. Ketika berada di sarang, mereka saling memberikan pujian. Jika yang satu bernyanyi, maka pasangan merpati itu tertunduk malu untuk mendengarkannya. Saat membuat sarang pun mereka bekerja sama dengan sangat baik. Mereka saling bergantian membawa ranting untuk anak-anaknya. Apabila merpati betina sedang mengerami, maka merpati jantan menjaga di luar kandang manatahu ada bahaya. Saat merpati betina kelelahan mengerami, maka merpati jantan gantian mengerami. Mereka tidak pernah saling melempar pekarjaan. Dan, satu hal lagi yang menarik, burung merpati tidak memiliki empedu. Hal itu melambangkan merpati tidak menyimpan hal-hal yang pahit dalam hidupnya, sebagaimana rasa empedu adalah pahit. Inilah yang mungkin membuat mereka menjadi lambang pasangan berbahagia.

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan!
Sebagaimana Tuhan menciptakan pasangan merpati yang berbahagia, tentu sepasang manusia yang bersatu dalam pernikahan kudus diciptakan untuk berbahagia pula. Jikalau demikian, mengapa harus ada perceraian? Adapun faktor-faktor yang menyebabkan perceraian yang sering kita dengar adalah mungkin karena perselingkuhan, tidak memiliki keturunan, tidak mendapatkan anak laki-laki, tidak sejalan, kebosanan, dan alasan lainnya. Oleh karena itu, bagaimana pandangan Kekristenan tentang perceraian? Bolehkah pasangan Kristen yang telah menikah bercerai?
Konsep perceraian dalam Kekristenan muncul ketika Yesus ditanyai oleh orang Farisi tentang hukum cerai dalam konsep Yahudi. Sebagaimana kita mengetahui, orang Farisi merupakan bagian kecil dari kumpulan Yahudi yang menjunjung tinggi Taurat. Kata Farisi sendiri berasal dari bahasa Ibrani, Prushim atau Perush, yang berarti menjelaskan atau bisa juga memisahkan. Orang Farisi menjelaskan Taurat bagi mereka yang tidak mengerti dan orang Farisi memisahkan diri dari komunitas ahli Taurat. Kesehariannya, orang Farisi ini aktif menjadi pengamat Taurat dan penegak hukum yang teliti. Dalam benak orang Farisi, Allah sangat mengasihi mereka yang taat pada hukum Taurat dan menghukum mereka yang tidak mengindahkan Taurat. Merasa memiliki kapasitas memahami Taurat sangat mendalam, orang Farisi ingin mencobai Yesus tentang pemahaman-Nya akan Taurat. Adapun Yesus yang memiliki banyak pengikut yang bersimpatik dengan-Nya membuat orang Farisi kian penasaran. Banyak orang mengganggap Yesus hanya seorang rabbi (guru). Sehingga, intelektualitas Yesus akan Taurat harus diuji. Sekiranya daripada Yesus ditemukan kesalahan, maka mereka tidak segan melabelkan Yesus sebagai penyesat dan tidak layak menjadi guru atas banyak orang. Ketika Yesus mendapat pertanyaan, “Apakah seorang suami boleh menceraikan istrinya?”, adapun jawaban Yesus tidak menyimpang dari sumber Taurat, yaitu Musa. Yesus mengembalikan pertanyaan orang Farisi tentang pengetahuan mereka akan Musa, si pembawa Taurat. Ternyata, tanggapan orang Farisi mengenai Musa dan hukum perceraian sangat tepat, yaitu: “Musa memberi izin untuk menceraikannya (istri) dengan membuat surai cerai”. Tanggapan orang Farisi ini tentunya diharapkan akan memojokkan Yesus, lalu Dia segera memutuskan bahwa perceraian itu “Boleh atau Tidak?”. Di luar dugaan orang Farisi, Yesus ternyata malah menunjuk akar dari persoalan perceraian yang diaturkan Musa, yaitu “ketegaran hati” orang Israel. Ketegaran hati yang dimaksudkan Yesus adalah bagaimana cara hidup bangsa Israel di masa lalu yang sangat buruk, tidak menghargai kudusnya suatu pernikahan. Lalu, Yesus menguraikan konsep pernikahan umat percaya melalui dasar penciptaan, yaitu “seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya, dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia”. Intinya, Yesus ingin menegaskan kalau sepasang manusia telah bersepakat di dalam pernikahan kudus, mereka tidak boleh mengingkarinya melalui perselingkuhan. Dengan demikian, surat cerai tidak diperlukan. Karena, pernikahan adalah sesuatu yang diikatkan oleh Allah yang tidak dapat dilepaskan manusia.

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus!
Para murid sepertinya terlihat masih penasaran dengan jawaban Yesus atas orang Farisi. Oleh karenanya, ketika mereka telah tiba di rumah, para murid Yesus melanjutkan pembahasan tentang perceraian. Hal ini memperlihatkan bagaimana inisiatif seorang murid untuk belajar dari guru-Nya begitu sangat baik. Untuk itulah, Yesus merespons keingintahuan para murid. Yesus menjelaskan bahwa laki-laki pun akan disebut berzina kalau ia menikah dengan perempuan lain. Begitu pula sebaliknya. Maksud dari jawaban Yesus pada para murid sudah jelas bahwa perzinahan tidak hanya dikenakan pada seorang perempuan saja tapi pada laki-laki juga tetap berlaku. Ini berbeda dengan pemahaman hukum yang berlaku pada saat itu di mana hukuman atas berzina hanya dikenakan pada perempuan saja. Bandingkan dengan kisah perempuan yang ketahuan berzina. Ke mana laki-laki yang berzina dengan perempuan itu? Memang hukum pada masa itu sangat tidak adil. Bahkan, seorang perempuan yang baru dicurigai berbuat zina sudah layak diadili. Mereka akan dibawa ke hadapan hakim untuk meminum air pahit. Jika perempuan itu kepahitan atau kesakitan maka ia terbukti bersalah. Lalu, perempuan itu dirazam pakai batu sampai mati. Kalau tidak merasa sakit atau pahit, berarti perempuan itu tidak berzina. Hukum ini menunjukkan bahwa hukum ini sangat diskriminatif terhadap perempuan. Sehingga, Yesus memperjelas bahwa laki-laki juga dapat dikenakan pasal perzinahan. Yesus menggunakan anak kecil yang dibawa kepada-Nya tapi dilarang oleh para murid untuk menggambarkan bagaimana seharusnya umat percaya memperlakukan hukum Taurat. Bagi Yesus, cara menyambut Kerajaan Allah bukan seperti orang Farisi yang merasa paling tahu Taurat dan berupaya menjebak orang-orang yang dianggap tidak memahami Taurat. Karena, sebagaimana telah dijelaskan di bagian sebelumnya, orang Farisi menganggap Allah senang terhadap mereka yang paham dengan hukum Taurat. Namun, Yesus menunjuk Allah senang dengan umat percaya yang menyambut Kerajaan-Nya seperti anak kecil. Mengapa? Karena anak kecil dapat menerima orang lain tanpa syarat. Saat bermain, anak kecil hanya mengetahui bahwa permainan ini untuk bersenang-senang, bukan untuk kompetisi yang mengalahkan, meniadakan, dan menggigit. Begitu pula ketika orang percaya mengimani Allah mereka tentu memperlakukan iman mereka untuk menciptakan sukacita bagi sesama mereka bukan sebaliknya.

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus!  
Dari sedemikian jauh pembahasan firman Tuhan pada saat ini, apa yang dapat kita refleksikan serta aplikasikan di dalam kehidupan beriman kita? Saya mencatat ada dua hal yang dapat kita refleksikan serta aplikasikan, yaitu:
     1.     Keluarga Kristen tidak mengenal perceraian. Perceraian hanya dilakukan mereka yang tegar hati, yaitu mereka yang tidak menghargai arti pernikahan. Jika mereka adalah seorang Kristen, maka mereka menghargai pernikahan itu sebagai suatu janji kudus yang diikatkan oleh Allah. Karenanya, ia tidak dapat diceraikan oleh manusia. Dalam sepanjang usia pernikahan, tentu tidak selalu kebahagiaan datang mengiring. Namun, di situlah indahnya pernikahan. Bersama-sama, sepasang anak manusia  melewati ketidakbahagiaan dengan saling menopang, mendukung, dan mendoakan. Perselisihan pendapat wajar terjadi di dalam pernikahan. Akan tetapi, visi harus tetap sama, yaitu apa tujuan pernikahan mereka? Tujuan pernikahan Kristen adalah mewujudkan visi Allah terhadap manusia di bumi, yaitu membuat keteraturan di dunia ini melalui upaya mereka dalam mengupayakan hasil bumi. Jika ada keluarga Kristen yang tidak teratur, maka visi Allah pada manusia melalui pernikahan gagal. Sehingga, mereka harus bergumul apakah mereka masih dapat melihat peluang untuk membangun keteraturan itu bersama-sama lagi sekalipun harus diawali dari nol? Upaya-upaya mencari peluang itu harus terus dilakukan sehingga perceraian dalam pernikahan Kristen tidak terjadi. Dan, bagi mereka yang sudah ditinggal pasangannya karena kematian, mereka dapat melanjutkan cinta kasih mereka pada pasangan mereka dengan menjaga keturunan mereka. Karena, keturunan adalah bagian dari berkat Allah atas pernikahan manusia.
     2.     Sebagai umat percaya, kita mungkin sangat aktif membaca firman Tuhan. Namun, hal itu tidak boleh kita jadikan sebagai kesombongan rohani. Malahan, semakin kita mengetahui dan memahami firman Tuhan, kita semakin menunduk di hadapan Tuhan dan semakin melayani sesama. Belajar dari apa yang disampaikan Yesus tentang anak-anak sebagai ilustrasi menyambut Kerajaan Allah, kita harus dapat menerima orang lain dengan baik, apa adanya, mendukung, dan mendoakan. Termasuk, di dalam pernikahan, kita dapat menerima pasangan kita dengan kekurangan dan kelebihannya, bukan mencari-cari kesalahan dari pasangan kita.
Kiranya, firman Tuhan saat ini dapat menguatkan iman percaya kita kepada Allah serta memberikan kita hikmat dalam menjalani hidup bersama pasangan kita. Amin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar