|
(Ilustrasi Gambar Martin Luther: http://www.afaithtoliveby.com) |
Dalam membahas fungsi
dan peran doa dalam kehidupan umat Kristen Lutheran, esai kita tidak akan
lengkap tanpa memunculkan sosok Martin Luther, yang doanya dapat mereformasi
GKR (Gereja Katolik Roma). Kemudian, setelah mengetahui latar belakang
kehidupan Luther, kita kemudian membandingkannya dengan kehidupan doa dari
Martin Luther, serta apa itu doa dalam teologi dan menurut Alkitab, sehingga
kita dapat menyimpulkan fungsi dan peran doa dalam kehidupan umat Kristen
Lutheran.
Siapa Martin Luther? ia merupakan seorang anak laki-laki yang
lahir dari keluarga sederhana, yaitu keluarga petani yang tinggal di Thuringen.
Namun, karena menginginkan kehidupan yang lebih layak dari orangtuanya, ia
pindah ke Eisleben dan menjadi penggali tambang tembaga di sana (Berkhof, 2009,
h.120). Ayahnya bernama Hans Luther dan
ibunya bernama Magdalena Lindemann.
Martin Luther lahir pada tanggal 10 November 1483 dan pada keesokan
harinya ia dibaptis di gereja Petrus dan ia diberi nama sesuai dengan nama
Santo pada saat itu yaitu St. Martinus dari Tours, sehingga ia diberi nama
Martin. Martin Luther dididik menurut cita-cita agama zamannya karena
orangtuanya pun dikenal sebagai keluarga yang setia pada Gereja Katolik Roma.
Karena didikan yang sedemikian rupa pula yang membuat Luther ketakutan bila
mendengar nama Kristus karena dia memandang Kristus sebagai seorang hakim yang
keras dan pemurka (van den End, 2009, h.153).
Martin Luther dikenal
sebagai murid yang pandai. Oleh karena itu, ayahnya mengirimnya ke sekolah
menengah di kota Magdeburg untuk mendapat pendidikan yang baik. Luther dan
teman-temannya memiliki kebiasaan menyanyi di lorong-lorong kota untuk mencari
nafkah. Oleh karena sering menyanyi itu pun sehingga Luther dikenal sebagai
seorang yang berbakat dalam bidang musik. Pada umur 17 tahun Luther lulus pada
sekolah menengah dan memasuki universitas di Erfurt. Ayahnya sangat
menginginkan Luther menjadi seorang ahli hukum.. Pada tahun 1505, Martin Luther
lulus dalam ujian dengan gelar magister
artes sehingga ia diperbolehkan untuk menuntut ilmu hukum. Namun, secara
tiba-tiba, perubahan besar terjadi dalam diri Luther. Dalam perjalanannya
menuju rumah orangtuanya, ia ditimpa hujan deras dan disertai guruh serta
halilintar yang membuatnya sangat ketakutan. Ia pun meminta kepada St.Anna
untuk menolongnya dengan memberikan janji bahwa ia akan menjadi rahib. Luther
memang menepati janjinya. Dua minggu kemudian ia masuk biara yang memiliki
aturan yang begitu keras, yaitu ordo Eremit Augustin. Keinginan Martin Luther
untuk menjadi rahib sangat membuat ayahnya terpukul dan kecewa. Teman-temannya
pun tidak menyetujui ia menjadi rahib karena mereka akan kehilangan seseorang yang
berbakat dalam musik. Ayahnya sangat marah terhadapnya karena ia tidak
mengabulkan permintaan ayahnya supaya ia menjadi ahli hukum. Namun, Martin
Luther tetap mempertahankan akan niatnya karena dalam pikirannya, jika
seseorang ingin mengorbankan sesuatu untuk Allah, maka ia harus mengorbankan
sesuatu yang paling indah dan molek baginya (Boehlke, 1997, h.309).
Menjadi doktor biblika
dan melakukan segala perintah Tuhan tidak membuat hidupnya menjadi tenang.
Martin Luther malah merasa ia semakin jauh dari rahmat Allah karena ia mengerti
bahwa segala perbuatan manusia meski sangat baik dan saleh sekalipun tidak
berharga di hadapan Tuhan. Martin Luther tidak percaya lagi bahwa setiap dosa
manusia dihitung dalam buku “kas sorgawi”. Martin Luther pun insaf. Ia kemudian
berpikir dan menganalogikan dirinya seperti pohon. Jika mengharapkan sesuatu
yang baik dari pohon itu, maka terlebih dahulu harus melihat apakah pohon itu
baik atau tidak. Martin Luther menyadari bahwa mustahil ia akan mendapat damai
dan ketentraman bagi dirinya karena ia tahu bahwa semua yang dilakukannya tidak
benar-benar dari hatinya yang paling dalam. Ia menyadari bahwa selama ini ia
mementingkan akan dirinya sendiri. Ia mencari keselamatan untuk dirinya sendiri
dan bukan untuk kehormatan dan kemuliaan nama Allah. Makin besar usaha Martin
Luther untuk menyucikan dirinya, ia makin sadar bahwa ia semakin menuju
kebinasaan. Allah yang rahmani yang dicarinya semakin jauh saja dirasakannya,
sehingga ia mulai putus asa. Terkadang hatinya terhibur bila ia bercakap-cakap
dengan pemimpin biaranya, Johan von Staupitz. Johan menasehatinya agar percaya
kepada rahmat Kristus dan memandang luka-luka yang dialami oleh sang
Juruselamat. Menurut Staupitz lebih baik seperti itu dari pada merenungkan
apakah kita terpilih menjadi orang yang diselamatkan atau tidak karena
barangsiapa yang percaya pada Kristus, ia dapat yakin bahwa ia telah dipilih
(Berkhof, 2009, h.124)
Akhirnya, segala
keresahan dalam hatinya dapat terobati dari Firman Tuhan sendiri (Alkitab).
Dalam keputusasaanya Martin Luther menemukan surat Roma 1:17, mengenai
“keadilan Allah” (iustitia Dei) yang
merupakan istilah yang menjadi kunci dalam ajaran mengenai pembenaran manusia (iustificatio). Pada awalnya Martin
Luther tidak mengerti akan maksud dari Roma 1: 17 yang berbunyi : “Sebab di
dalamnya (Injil) nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman, seperti ada
tertulis: orang benar akan hidup oleh iman.” Siang dan malam Luther menggumuli
akan maksud Paulus menulis seperti itu. Apa hubungan antara kebenaran dan iman
kita. Akhirnya, terlintaslah pikiran terang kepadanya, ketika ia duduk merenung
di menara biaranya (Turmerlebnis).
Martin Luther menyadari bahwa kebenaran Allah itu tidak lain dari pada suatu
pemberian yang dianugerahkanNya kepada manusia untuk memberi hidup yang kekal
kepadanya; dan pemberian itu harus disambut dengan iman yang tulus. Dengan kata
lain, kebenaran yang dimaksudkan Paulus dikaruniakan Allah adalah kemenangan
yang dialami Yesus dari salib dan kebangkitanNya. Lutherpun akhirnya mulai
mendapatkan akan kedamaian dan kententraman yang selama ini dicari-carinya. Hal
ini terjadi sekitar tahun 1514. Segera pandangan-pandangan yang mengherankan
itu mulai tersebar di Wittenberg. Skolastik dan Aristoteles mulai ditolak oleh
orang-orang. Alkitab dan teologia Agustinus menjadi hal yang asyik untuk
dipelajari Luther, serta diuraikannya dalam kuliahnya. Banyak
pandangan-pandangan baru yang didapatnya dari kitab-kitab Agustinus) (de Jonge,
1993, h.25-26).
Awal timbulnya
reformasi gereja adalah perbedaan antara teologi dan praktek gereja dengan
ajaran Alkitab seperti yang ditemukan oleh Luther. Namun, pemimpin-pemimpin
gereja pusat tidak menyadari akan bahaya yang mengancamnya. Paus Leo-X dan
tokoh-tokoh gereja lainnya sibuk memikirkan akan pembangunan gereja raksasa,
yaitu gereja Santo Petrus di Roma, yang melambangkan keagungan Gereja Barat.
Lalu Paus pun menyarankan kepada Uskup Agung Albrecht dari Mainz untuk
memperdagangkan surat penghapusan dosa secara besar-besaran di Jerman.
Perdagangan Indulgensia dengan maksud “tertentu” ini tidak diketahui oleh umat
Kristen dan Luther pun tidak mengetahuinya. Namun cara menjalankannya
menimbulkan suatu kecurigaan tersendiri. Surat kuasa yang diberikan Albrecht
kepada para penjual menimbulkan sangkaan bahwa surat penghapusan siksa itu juga
dapat menebus dosa. Johan Tetzel, seorang Dominikian merupakan kepala penjualan
indulgensia ini. Tetzel melakukan propaganda besar-besaran yang mengosongkan
dompet rakyat Jerman untuk mengisi kantong Albrecht dan Leo X. Syarat
indulgensia yaitu penyesalan yang sungguh-sungguh tidak disebut lagi. Para
pembeli mengaku dosa pada rahib-rahib yang tidak mereka kenal. Rahib-rahib ini
membantu Tetzel dalam melancarkan akan penjualan indulgensia itu. Tetzel
memperdaya masyarakat bahwa indulgensia selain mengahapus dosa pembeli juga
dapat melepaskan akan keluarganya dari api penyiksaan di alam seberang.
Kata-kata Tetzel yang melegenda berbunyi : “As
soon as the money jingles in the chest, the soul springs out of Purgatory” (Collins, Michael, Price,
1999, h.132).
Beredarnya tesis-tesis
tentang indulgensia itu membuat Paus merasa terusik. Awalnya ia tidak
memperhatikan hal itu. Ia hanya menganggap bahwa hal itu hanya pertengkaran di
antara para rahib saja. Iapun meminta Martin Luther untuk memungkiri akan
pandangan-pandangannya yang sesat itu, tetapi Martin Luther tetap berdiri pada
tempatnya. Martin Luther menjelaskan akan dalil-dalilnya kepada paus dalam
sepucuk surat. Paus meminta Martin Luther untuk menghadap kepausan dalam tempo
60 hari (Edwards, 1983, h.70).
Namun, Friederich
“yang bijaksana” meminta agar Martin Luther didispensasi untuk hadir di Roma;
dan cukuplah ia diinterogasi di Augsburg oleh Kardinal Thomas de Vio. Paus
tidak berani melawan permintaan Friederich karena ia ingin mecalonkan
Friederich pada pemilihan kaisar pada tahun 1519, karena pencalonan Karel V
dari Spanyol tidak disetujuinya. Namun,
proses introgasi yang dilakukan oleh Thomas de Vio (Cajetanus) tidak mebuahkan
hasil karena Martin Luther tetap pada pendiriannya dan tidak mau menarik
dalil-dalil yang telah dikeluarkannya. Matin Luther meminta agar ia diadili
oleh Paus sendiri atau mengadakan konsili untuk menimbang dan memutuskan akan
perkaranya.Kemudian, pada bulan Juni 1519 terjadi perdebatan yang sengit antara
Luther dan Johan Eck (guru besar di kota Ingolstad, Bavaria) di Leipzig.
Walaupun Eck tidak berhasil membuat Luther meninggalkan akan ajarannya, namun
berhasil menjelaskan untuk pertama kalinya kepada publik doktrin tentang primat
dan infalibilitas konsili-konsili. Namun sebenarnya yang beruntung adalah
Luther karena dari perdebatan ini ia menyadari bahwa hanyalah Alkitab yang
menjadi ukuran dan patokan dan bukan paus ataupun konsili. Hanyalah Firman
Tuhan yang berkuasa atas orang beriman. Setelah perdebatan sengit itu, Eck pun
beranjak ke Roma untuk membantu mempersiapkan kecaman terhadap Luther. Pada
tanggal 15 Juni 1520, Paus Leo X mengeluarkan bulla Exsurge Domine (Bangkitlah Tuhan), yang menutup proses terhadap
Luther. Bulla ini mengecam 41 tesis yang ditarik dari ajaran-ajaran Luther. Eck
dan Duta Besar, Aleander yang bertanggung jawab atas penyebaran bulla itu.
Mereka mendesak Luther untuk menarik ajarannya itu dalam 2 bulan. Mengikuti
desakan mereka berarti ia harus menarik ajarannya yang telah tersebar luas.
Lagi pula sudah banyak barisan di belakang Luther dan bahkan Sylvester von
Schaumburg menawarkan pada Luther perlindungan berkekuatan 100 bangsawan
Frankonian; Franz von Sickengen dan Ulrich Hutten, yang menjunjung Luther
setinggi langit sebagai : “Pemerdeka Jerman” (Kristiyanto, 2004, h.60).
Pada tahun 1520,
Luther menerbitkan buku “An den
christlichen Adel deutscher Nation ( Kepada Bangsawan Kristen Bangsa
Jerman). Buku ini dikhususkan untuk orang Jerman. Dalam buku ini Martin Luther
ingin merobohkan akan 3 (tiga) tembok yang memungkinkan gereja Roma bertahan.
Tembok pertama adalah perbedaan antara imam (kekuasaan spiritual) dan awam
(kekuasaan duniawi). Tembok yang kedua adalah hak istimewa hierarki untuk
menafsirkan Kitab Suci. Tembok yang ketiga adalah previlese paus untuk
memanggil konsili. Kemudian Luther menulis buku “De captivitate babylonica ecclesiae praeludium (Perihal Malapetaka
Pembuangan Babilonia Gereja). Buku ini bertujuan untuk menghancurkan
doktin-doktrin gereja mengenai sakramen. Luther tetap mempertahankan sakramen
Baptis dan Ekaristi, sambil menyangkal transubstansiasi dan makna kurban
Ekaristi. Dalam De libertate Christiana
(Tentang Kebebasan Kristen), Luther menyanjung akan kebebasan (batin) manusia
yang dibenarkan oleh karena iman dan kesatuan dengan Kristus (Lane, 1990,
h.132).
Bagi Martin Luther
tindakan baik itu tidak bermanfaat sama sekali untuk pembenaran. Tetapi
tindakan baik itu wajib dilakukan karena manusia telah dibenarkan oleh iman.
Setelah melewati batas waktu yang ditentukan dari penetapan Exsurge Domine, Melanchton bersama
mahasiswa di Wittenberg ke lembah Sungai Elbe untuk melakukan ritus pembakaran
teks-teks hukum dan skolastik klasik serta buku-buku Eck. Luther sendiri
membakar Exsurge Domine, dan sebuah
salinan Kitab Hukum Kanonik, dasar yuridis bagi corpus Christianorum Abad Pertengahan. Dua hari berturut-turut
mereka berdemonstarsi melawan paus. Pemimpin Gereja Roma telah kelabakan dalam
mengatasi Luther dan para pendukungnya dan tidak tahu lagi bagaimana cara
mempertahankan kekuasaannya di Jerman tanpa dipermulakan. Akhirnya pada tanggal
3 Januari 1521, dikeluarkanlah bulla Decet
Romanum Pontificem yang mengekskomunikasikan Martin Luther dan para
pendukungnya. Popularitas Martin Luther makin teruji. Di setiap toko-toko buku
di Worms berisikan buku-buku Martin Luther. Parlemen Worms akhirnya memutuskan
utnuk mengusir Luther dan para pengikutnya dari kekaisaran; buku-bukunya
dianggap sebagai bidah dan harus dimusnahkan; penyebarluasan doktrin Luther
dilarang; siapa saja yang berkomunikasi dengan Martin Luther maka ia akan
ditangkap dan harta kekayaannya akan disita. Dalam perjalannya kembali ke Wittenberg,
Martin Luther “diculik” oleh pasukan berkuda atas suruhan Friederich dari
Saxonia dan mengamankannya di Kastel Wartburg. Selama satu tahun (awal Mei 1521
hingga awal Maret 1522) Luther tinggal di kastel itu dan memakai nama samaran
Junker Georg. Dalam kastel ini, Luther merasa aman. Aktivitas sehari-harinya
adalah menerjemahkan Alkitab dari bahasa aslinya yaitu Ibrani dan Yunani ke
bahasa Jerman. Ia selesai menerjemakan Alkitab dalam waktu 3 bulan dan dicetak
di Wittenberg pada September 1522 sehingga disebut September Testament. Cetakan pertama terjual 3000 ekslempar dan
cetakan keduanya pada bulan Desember dan disebut December Testament. Martin Luther berusaha supaya terjemahan itu
sedekat mungkin dengan teks aslinya. Terjemahan tersebut membawa perubahan
positif di Jerman khususnya bagi perkembangan bahasa Jerman dan nasionalisme.
Pada tahun 1534 berhasil menerjemahkan seluruh Alkitab. Martin Luther juga
menulis beberapa buku sekunder, misalnya Komentar Tentang Paulus, Surat-surat
Paulus, Bacaan-bacaan Dalam Perjamuan Tuhan, Argumen-argumen Melawan Bulla
Ekskomunikasi. Dan sebagai tanda terimakasihnya kepada Friederich karena telah
menculiknya setelah ekskomunikasi kepausan dijatuhkan, ia menulis sebuah buku
Magnificat verdeutschet und ausgelegt (1521).
Martin Luther pernah mengatakan bahwa Allah itu adalah Dia
yang dari-Nya kita mengharapkan segala yang baik dan kepada-Nya kita lari dalam
segala kesesakan (Jacobs, 2010, h.11).
Bagi Martin Luther, doa adalah bagian yang sangat penting dalam agenda
reformasinya. Teman Martin Luther yang bernama Johan Agricola mengumpulkan
khotbah-khotbah Martin Luhter mengenai Doa Bapa Kami di City Church of
Wittenberg dan menerbitkannya dengan judul The
Exposition of Lord’s Prayer. Yang sangat luar biasa dari buku ini adalah
buku ini terjual lima edisi pada tahun pertamanya (1518). Namun, Martin Luther
belum puas. Ia meminta temannya yang bernama Nicholas von Amsdorf untuk
menerbitkan sekali lagi buku yang sama. Inti perjuangan reformasi Martin Luther
adalah doa. Dalam hidup dan pekerjaannya, doa dan teologi adalah hal yang tidak
dapat dipisahkan. Baginya, doa menyatakan teologi dan teologi menyatakan doa.
Martin Luther juga menegaskan bahwa teologinya adalah buah dari rangkaian doanya.
Bapak reformasi ini menyatakan bahwa doa adalah keistimewaan khusus dari
komunitas orang Kristen. Dalam karyanya, On
Counsil and The Church, Martin Luther mengatakan bahwa doa adalah tanda
eksistensi sebuah gereja. Sebuah gereja disebut eksis atau berada kalau gereja
tersebut berdoa. Bagi perspektif Martin Luther, Reformasi Protestan juga
termasuk reformasi doa. Martin Luther melihat reformasi sebagai usaha bagaimana
gereja memahami dirinya sendiri di hadapan Allah dan bagaimana gereja memahami
keterlibatan Allah di dalam dunia ini melalui gereja-Nya. Itulah mengapa jika
kita ingin memahami Martin Luther, kita harus lebih dulu memaham dengan baik
mengapa ia menghabiskan hidupnya untuk berdoa bagi reformasi. (Russel dalam
Saragih dan Sipayung, 2013, h.26-27).
Dalam
berbagai tulisan tentang Martin Luther, ia diketahui bahwa Martin Luther
seorang yang tekun berdoa, setidaknya meluangkan waktu tiga jam untuk berdoa.
Hal itu tampak dari tulisannya pada sahabatnya yang cukup panjang. Walaupun
demikian, perlu diingat pula bahwa Martin Luther sendiri yang menyakinkan
sahabatnya bahwa Roh Kudus yang paling baik membimbing dalam berdoa daripada
diri Martin Luther. Martin Luther berulangkali mengingatkan bahwa contoh doanya
itu bukanlah dogma yang kaku. Namun, doa dapat berubah. Hanya saja, doa itu
sebisa mungkin mengikuti prinsip doa dalam Doa Bapa Kami (h.42). Martin Luther
pernah berkata “saya mempunyai begitu banyak pekerjaan yang tak mungkin saya
kerjakan kecuali jika saya berdoa tiga jam sehari. Hal ini menunjukkan bahwa
bagi Martin Luther, doa mengefesienkan segala waktu kita. Bukankah kita sering
memboroskan waktu karena kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan dan
bagaimana melakukannya? Doa menyelesaikan setengah dari pekerjaan, demikian
kata Martin Luther (Daulay, 2009, h.66).
Setelah
kita melihat latar belakang Martin Luther dan sekilas mengenai kehidupan
doanya, maka kita akan dapat mengerti bahwa hidup Martin Luther adalah hidup
yang berdoa. Setiap kata diresapinya dengan penuh penghayatan, termasuk Doa
Bapa Kami yang begitu menyentuhnya, seperti yang kita bahas di awal tulisan
ini. Reformasi yang dihasilkannya merupakan hasil pergumulan doanya. Martin
Luther melewati begitu banyak pergumulan, dimulai sejak ia merasa ditolak
ayahnya, sampai ia mempertanyakan iman dalam surat pengampunan dosa. Tidak satu
pun pertanyaan di dalam hidupnya dilewati tanpa berdoa. Dari doanya Martin
Luther diantar menjadi seorang doktor dalam bidang teologi. Dan, dalam doanya
juga ia menolak dogma surat pengampunan dosa. Pascareformasi gereja yang
didengungkan oleh Martin Luther, banyak gereja memperbarui dirinya dari Gereja
Katolik Roma. Hal itu terlihat dari banyaknya berbagai aliran gereja yang ada
pada saat ini.
Katekismus Besar yang ditulis oleh Luther membahas lima pokok besar: 10
perintah Allah, iman, doa, baptisan dan perjamuan kudus. Bagian ketiga tentang
doa sebenarnya merupakan penjelasan tentang Doa Bapa Kami, dan sebelumnya
Luther menulis suatu pengantar mengenai doa. Ada beberapa hal yang kita bisa
pelajari dari konsep Luther tentang doa pada bagian pengantar ini. Pertama, Luther mengaitkan doa dengan
ketaatan terhadap perintah yang kedua “Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu
dengan sembarangan …” Seperti Calvin (yang menjelaskan prinsip ini lebih
detail) Luther memahami 10 perintah Allah ini bukan hanya sebagai perintah
negatif saja (maksudnya didahului dengan kata “jangan”), melainkan juga sebagai
perintah yang positif. Dengan kata lain “Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu
dengan sembarangan” berarti kita harus menyebut nama Tuhan dengan benar. Tidak
cukup hanya dengan tidak menyebut nama Tuhan dengan sembarangan. Maka ini
berarti kita harus belajar untuk memuji nama-Nya yang kudus dan juga dalam
kesengsaraan kita memanggil nama-Nya (berdoa kepada-Nya). Sehingga, berdoa
merupakan ketaatan terhadap perintah Allah yang kedua. Dengan demikian, doa
adalah suatu keharusan, bukan suatu pekerjaan yang boleh kita lakukan kapan
kita mau. Kita berdoa berdasarkan perintah Allah, bukan berdasarkan kelayakan
kita. Luther mengutip Yesaya 1:4, yang menyatakan bahwa Allah masih murka
kepada mereka yang terpukul akibat dosa-dosa mereka, karena mereka tidak
kembali kepada Allah dan melalui doa mereka meredakan murka Allah serta mencari
kasih karunia-Nya. Dosa dapat membuat seseorang untuk semakin enggan
berhubungan dengan Allah dan hubungan seperti itu akan semakin
menghancurkannya. Kita tidak membangun doa di atas kesalehan pribadi kita,
melainkan di dalam ketaatan akan perintah-Nya. Luther menegaskan bahwa Allah
tidak melihat doa berdasarkan orang yang berdoa, melainkan berdasarkan firman-Nya
(yang menjadi dasar dari doa tersebut) dan ketaatan kehendak kita. Maka inilah hal
pertama dan yang terpenting: semua doa kita harus didasarkan atas ketaatan
kepada Allah dan perintah-Nya, tanpa melihat diri kita, layak atau tidak layak.
Dengan demikian doa dibangun atas suatu dasar yang teguh dan yang tak
tergoncangkan yaitu firman Allah.
Kedua, menurut
Luther, kita seharusnya terdorong untuk berdoa karena Tuhan adalah Tuhan yang
berjanji. Tuhan berjanji untuk memberikan pada mereka yang meminta kepada-Nya.
Jika kita menghargai janji-janji Tuhan, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,
kita pasti terdorong untuk bertekun dalam doa. Fakta bahwa kita seringkali
enggan untuk berdoa adalah karena kita tidak melihat bahwa janji-janji Tuhan
sangat berharga bagi kita. Kita menganggap sepi janji-janji Tuhan bagi kita.
Sebaliknya suka merenungkan janji-janji Tuhan memberikan dorongan terus-menerus
bagi kita untuk berdoa, karena kita tahu sesuai dengan janjiNya, Dia pasti akan
memberikannya kepada kita.
Ketiga, menurut Luther, Tuhan sendiri telah mengajarkan
kata-kata dan bagaimana kita harus berdoa serta meletakkannya dalam mulut kita.
Tidak ada alasan bagi kita untuk mengatakan kita tidak tahu bagaimana kita
harus berdoa. Dia sangat memerhatikan kesengsaraan kita dan kita boleh yakin
bahwa Doa Bapa Kami ini pasti berkenan kepada-Nya dan didengar oleh-Nya.
Keempat, bagi Luther, melalui kesengsaraan/penderitaan
yang menekan kita, kita dapat berdoa senantiasa. Karena setiap orang yang
meminta harus mengingini sesuatu, dan tanpa keinginan ini tidak ada doa yang
sejati. Luther mengaitkan timbulnya keinginan ini justru pada saat kita
mengalami kesulitan. Karena dalam kesulitan itulah timbul keinginan yang jujur
dalam diri kita. Bukan berarti tidak mungkin kita bertumbuh dalam saat yang
lancar, namun sesuai dengan natur kita yang lemah, kita cenderung berpuas diri ketika tidak ada kesulitan yang terjadi. Rasa
berpuas diri begitu merusak hingga dapat melumpuhkan kehidupan doa kita di
hadapan Tuhan. Sebaliknya ketika kita berada dalam penderitaan, jiwa kita
dibangunkan untuk berseru kepada Tuhan. Luther bahkan menegur dengan keras
mereka yang hanya berdoa sebagai suatu tindakan perbuatan baik untuk membayar
hutang kepada Allah. Orang-orang seperti itu tidak mau mengambil sesuatu dari
Tuhan, melainkan hanya memberi! Kalimat ini mengejutkan kita karena yang
seringkali kita dengar dan pelajari adalah “Jangan hanya meminta saja,
melainkan memberi juga.” Namun yang dimaksud Luther di sini adalah tidak
mungkin sebenarnya orang hanya memberi saja karena ini berarti tidak mengenal
keterbatasan diri (yang bukan merupakan sumber). Dengan kata lain orang yang
hanya mau memberi namun tidak suka meminta kepada Tuhan adalah seorang congkak
yang merasa dirinya tidak pernah bisa habis, dan akhirnya mengakibatkan satu
kehidupan yang tidak bergantung pada Tuhan. Kita semua memiliki cukup
kekurangan yang nyata; persoalannya adalah bahwa kita tidak merasakan serta
melihatnya dengan sadar. Memang penderitaan atau kesulitan pada dirinya sendiri
bukanlah suatu kebajikan atau kebaikan (ada orang yang dalam penderitaan
menjadi marah, pahit, dendam, kecewa, dingin, acuh tak acuh, mengejar
kesenangan duniawi sebagai pengimbang duka dsb), namun dalam tangan Tuhan
penderitaan dapat menjadi suatu sarana bagi kita untuk bertumbuh, asal kita
berespon dengan benar (yaitu berseru kepadaNya di tengah penderitaan kita).
Kelima, menurut Luther, doa menjadi senjata yang ampuh
dalam melawan permusuhan dengan iblis. Kita terlalu lemah untuk dapat
mengalahkan kuasa iblis dengan kekuatan kita sendiri. Doa membawa kekuatan yang
dari Tuhan untuk mengalahkan kuasa jahat, sehingga bukan kita yang berperang,
melainkan Tuhan sendiri yang berperang. Rahasia ini selalu dimengerti oleh
setiap pejuang iman yang namanya tercantum dalam sejarah Gereja. Dalam bagian
yang lain Luther pernah mengatakan bahwa orang percaya yang berdoa adalah seperti
pilar-pilar yang menopang dunia ini.
Apa yang disampaikan oleh Luther mengenai lima tentang
doa, sejalan dengan apa yang digumuli Tom Jacobs. Menurut Jacobs, doa adalah
pengerak agama. Tanpa doa, agama adalah upacara adat atau kebudayaan saja.
Dalam doa, iman dibahasakan dengan segala kekhasan dan ciri dari bahasa itu
sendiri. Bisa dengan bahasa yang puitis, suara lantang, bisa resmi, bahasa
rakyat, dan bisa juga renungan di dalam hati. Semua bentuk itu merupakan doa
yang baik karena yang pokok dalam doa itu tidak lain yang menyatakannya di
dalam hati. Orang beriman berdoa untuk membuat imannya menjadi sadar dan jelas.
Iman adlaah relasi dengan Allah, lebih khusus: tanggapan atas wahyu Allah.
Relasi itu tidak mulai dengan doa. Relasi itu sudah ada sejak Tuhan menyatakan
diri dan memanggil manusia. Karena itu, relasi juga tidak terbatas pada saat
doa khusus. Doa adalah pertama-tama suatu sikap dasar, suatu kesadaran mengenai
relasi dengan Allah. Tetapi yang paling khas dari doa adalah bahwa secara
nyata-nyata, doa itu ditujukkan kepada Tuhan. Kalau doa menjadi suatu perasaan
aman dalam hati yang hanya berpusat pada kepuasan diri sendiri saja, itu bukan
doa sungguh-sungguh. Doa atau renungan yang hanya mencari ketenangan hati dan
hiburan bathin bukanlah doa yang baik. (2010, h.23-24)
Alkitab sebagai sumber utama dalam teologi tentu tidak boleh
luput dari bahan pembahasan tentang doa. Pengetahuan
tentang doa harus dilihat juga dari apa kesaksian Alkitab tentang doa. Ada 307
kata doa di dalam Alkitab. Dari 307 kata doa di dalam Alkitab itu, ada beberapa
hal menarik yang dapat kita lihat sebagai pemahaman tentang doa. Setidaknya ada
10 hal tentang doa yang dapat kita pelajari dari Alkitab, yaitu:
1. Dalam
surat Paulus pada jemaat di Roma, doa dipahami sebagai sarana untuk menguatkan
manusia dan melakukan kehendak Allah : “Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab
kita tidak
tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita
kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan dan Allah yang menyelidiki hati nurani,
mengetahui maksud Roh itu, yaitu bahwa Ia, sesuai dengan kehendak Allah, berdoa
untuk orang-orang kudus” (Roma 8:26-27)
2. Pemazmur
menyatakan doa sebagai suara kejujuran hati orang percaya: “seandainya ada niat dalam hatiku, tentulah
Tuhan tidak mau mendengar. Sesungguhnya, Allah telah mendengar, Ia telah
memperhatikan doa yang kuucapkan” (Mzm.66:18-19)
3. Dalam
Amsal, doa berhubungan dengan mendengarkan hukum Tuhan: “siapa memalingkan telinganya untuk tidak mendengarkan hukum, juga
doanya adalah kekejian (Ams.28:9)”
4. Dalam
Injil Yohanes, doa dilihat sebagai janji penyertaan Yesus bagi umat percaya: “dan apa juga yang kamu minta dalam nama-Ku,
Aku akan melakukannya supaya Bapa dipermuliakan di dalam Anak. Jika kamu
meminta sesuatu kepada-Ku di dalam nama-Ku, Aku akan
melakukan-Nya”(Yoh.14:13-14)
5.
Menurut Paulus, doa merupakan sarana tempat
mengucapkan syukur kepada Allah: “Janganlah
hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga,
tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan
permohonan dengan ucapan syukur.
(Fil.4:6)
6. Menurut
Yesus dalam Injil Matius, kekuatan doa bukan ada pada kata-kata yang diucapkannya,
tetapi pengalaman kita dalam mengenal Allah: “Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele
seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka
bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan. Jadi janganlah
kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum
kamu minta kepada-Nya” (Mat.6:7-8)
Lalu pertanyaannya kemudian
adalah apa yang dapat dipahami umat Kristen Lutheran di Indonesia dari berdoa?
Umat Kristen Lutheran di Indonesia dapat memahami doa berdasarkan fungsi dan
perannya. Apa itu fungsi dan apa itu peran doa? Fungsi doa dalam konteks ini
berbicara tentang kegunaan dari doa bagi umat Lutheran. Sedangkan peran doa
adalah apa yang dapat dilakukan oleh umat Kristen Lutheran dengan doanya. Fungsi
doa bagi umat Kristen Lutheran tidak jauh berbeda dengan fungsi doa saat Luther
tengah berdoa. Sebelum menjadi rahib, Luther pernah berdoa ketika ia menjadi
sangat takut dengan kilat. Doa di tengah rasa takut yang muncul tiba-tiba dalam
diri Luther mewakili apa yang dirasakan oleh umat percaya. Manusia berdoa
karena ia merasa terancam dan tidak mampu mengendalikan hal yang di luar
kuasanya.
Dorongan Luther untuk
berdoa kemudian dijelaskannya setelah ia menjadi rahib dan seorang doktor dalam
dunia teologi, bahwa hal itu wajar apabila kita meminta perlindungan dari Tuhan
saat merasa takut. Manusia terdorong berdoa karena Tuhan adalah Tuhan yang
berjanji.
Tuhan berjanji untuk memberikan pada mereka yang meminta kepada-Nya. Dan, ketika umat percaya berdoa di dalam
ketakutannya, mereka menghargai janji-janji Tuhan. Dan, apa yang disampaikan oleh Luther juga sesuai dengan
yang dikatakan di dalam Alkitab bahwa doa adalah sarana untuk menguatkan manusia
serta melakukan kehendak Allah. Ketika Luther berdoa, ia melakukan kehendak
Allah lewat nazarnya untuk menjadi seorang rahib. Reformasi gereja tidak akan
mungkin terjadi apabila Luther pada saat itu tidak bernazar. Jadi, fungsi
pertama dalam doa bagi umat Kristen Lutheran adalah sebagai penguatan dalam
ketakutan dan sarana melakukan kehendak Allah.
Fungsi kedua dapat
kita acu dari apa yang dikatakan Luther sebagai bentuk ketaatan kita pada
perintah Allah. Menurut Luther, kita berdoa karena berdoa merupakan perintah
dari Allah. Apa yang dikatakan oleh Luther juga senada dengan apa yang
disaksikan oleh Alkitab bahwa doa berhubungan dengan hukum Tuhan. Di dalam
melakukan hukum Tuhan sebenarnya terlihat bagaimana relasi kita dengan Tuhan.
Jika kita melakukan hukum Tuhan, berarti kita masih berusaha menautkan diri
dengan Tuhan. Relasi dengan Tuhan bukanlah suatu relasi yang baru dibangun.
Relasi dengan Tuhan merupakan suatu relasi yang telah lama ada, bahkan sejak
semula. Namun, kesadaran kita akan relasi kita dengan Tuhan terlihat di dalam
doa kita. Untuk itu, ketika kita berdoa, doa juga berfungsi untuk menautkan
kita kepada Tuhan dan menyadarkan relasi kita dengan Tuhan. Dalam kesadaran
kita berelasi dengan Tuhan itulah kita akan terdorong melakukan perintah Tuhan. Fungsi ketiga dari doa yang dapat kita
pelajari adalah doa sebagai sarana mengucapkan syukur. Luther menjelaskan bahwa
kita dapat berdoa dalam kesukaran sehingga tidak larut dalam rasa berpuas diri.
Hal itu setara dengan apa yang disaksikan oleh Alkitab bahwa doa merupakan sarana
mengucap syukur pada Allah sebagaimana yang disampaikan oleh Paulus pada jemaat
di Filipi. Banyak orang berdoa dengan menyisipkan berbagai permintaan kepada
Tuhan tetapi sedikit mengucapkan syukur.
Sedangkan peran doa
bagi umat Kristen Lutheran adalah menjadikan kita sebagai orang yang jujur apa
adanya. Di dalam doa, kita dapat berterus terang kepada Tuhan tanpa harus ada
menyembunyikan sesuatu. Seperti yang dikatakan oleh Pemazmur, bahwa Tuhan tahu niat
apa yang ada di dalam hati, sehingga ia mendengarkan dan memerhatikan orang
yang memiliki niat tulus. Bukan orang yang berbasa-basi dengan panjang lebar
dalam kata-kata doanya. Malah Yesus mengkritik orang yang terlalu berbasa-basi
dengan doa adalah orang yang tidak mengenal siapa Tuhan.
Peran kedua dari doa adalah sebagai pilar terakhir umat
percaya untuk tidak jatuh dalam kejahatan. Luther mengatakan “Doa membawa kekuatan yang dari Tuhan untuk mengalahkan
kuasa jahat, sehingga bukan kita yang berperang, melainkan Tuhan sendiri yang
berperang”. Dalam menjalani hidup, umat Kristen tentu menghadapi
banyak tantangan. Terkadang, umat Kristen merasa bingung dan tidak tahu harus
bagaimana dalam menghadapi tantangan. Namun, doa ternyata adalah teknik yang
paling baik dilakukan agar tidak melakukan dosa. Terkadang, kita menjadi gelap
mata saat sedang putus asa. Kita percaya bahwa dalam Tuhan bekerja melalui
setiap doa yang kita panjatkan.
Terakhir, doa berperan sebagai agenda reformasi kehidupan.
Kita mengetahui bahwa melalui doa, Martin Luther berhasil mereformasi gereja
pada saat itu. Begitu pula dengan umat Kristen Lutheran di Indonesia saat ini,
doa harus berperan untuk dasar reformasi kehidupan yang dijalani. Reformasi
yang dimaksud tentu perubahan ke arah yang lebih baik, dan tidak terkungkung
dalam dogma yang kaku tentang Tuhan. Dalam agenda reformasi umat Lutheran,
dasar yang dijadikan nilai pergerakkan itu adalah Kasih Karunia Allah yang
menyelematkan manusia. Upaya manusia untuk mencari keselamatan tidak akan
berhasil jika mengandalkan kemampuannya. Oleh karena itu, manusia membutuhkan
Kasih Karunia Allah yang menyelamatkan. Di situlah nilai reformasi itu
berpijak, yaitu bukan pada kuasa manusia tapi atas belas kasih Allah pada
manusia.
Daftar Pustaka
Berkhof, H. 2009. Sejarah
Gereja. Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia
Boehlke,
Robert R. 1997. Sejarah Perkembangan
Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen. Jakarta : PT.BPK Gunung Mulia
Collins,
Michael & Matthew A. Price. 1999. The
Story of Christianity. Yogyakarta : Kanisius
Daulay,
Richard M. 2009. Firman Hidup: Edisi 60.
Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia
de Jonge, Christian. 1993. Gereja
Mencari Jawab : Kapita Selekta Sejarah Gereja. Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia
Edwards, Mark U, Jr. 1983. Luther’s Last Battles. Tuta Sub Aegide Pallas
End, Th.van den. 2009. Harta dalam
Bejana. Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia
Jacobs, Tom. 2010. Teologi Doa. Yogyakarta : Kanisius
Kristiyanto,
Eddy A, OFM. 2004. Sejarah Pustaka
Reformasi dari Dalam, Sejarah Gereja Zaman Modern. Yogyakarta : Kanisius
Lane, Tony. 1990. Runtut
Pijar. Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia
Tjen, Anwar (penerjemah).
2007. Katekismus Besar Martin Luther. Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia
Sumber Lain:
Alkitab, Lembaga Alkitab
Indonesia