Kamis, 03 Maret 2011

Refleksi Peristiwa Cikeusik, 6 Februari 2011 : Ahmadiyah dan Menteri Agama

Pernyataan kontroversial disampaikan Menteri Agama Republik Indonesia, Suryadharma Alie, pada tanggal 30 Agustus 2010. Menteri Agama itu menyatakan bahwa : "Harusnya Ahmadiyah dibubarkan, kalau tidak masalahnya akan terus berkembang". Dari pernyataan kontroversial itu, menurut hemat saya, telah memberikan celah bagi kaum fundamentalis untuk menciptakan masalah seperti di Cikeusik agar Ahmadiyah segera dibubarkan. Dengan pikiran kesal, dalam hati saya bertanya : "Pantaskah seorang menteri agama berkata seperti itu?"

Pertanyaan saya itu bukannya tanpa dasar. Ahmadiyah bukan pendatang baru di Indonesia. Bahkan, sebelum menteri agama di Indonesia ada, Ahmadiyah terlebih dahulu eksis. Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, ada banyak peran dari Ahmadiyah dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa ini. Banyak dari pemeluk Ahmadiyah pada masa pra-kemerdekaan Republik Indonesia bergabung di dalam badan-badan perjuangan rakyat, seperti BKR, TKR, KOWANI bahkan KNI. Lebih mencolok lagi, ketua PB.Ahmadiyah mula-mula, alm.R.Mohammad Muhyiddin, merupakan seorang pegawai tinggi di Indonesia yang aktif dalam mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Dalam perayaan Dirgahayu HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang pertama, beliau diangkat sebagai sekretaris panitia, di mana beliau juga memimpin barisan pawai dengan memegang sang saka merah putih.

Siapa juga tidak kenal dengan Wage Rudolf Supratman, pencipta lagu kebangsaan Indonesia yang seorang jemaah Ahmadiyah. Atau juga Arief Rahman Hakim yang menjadi korban pergolakan politik tahun 1960-an. Mengingat besarnya jasa para jemaah Ahmadiyah, dengan seenaknya menteri agama mengatakan membubarkan Ahmadiyah? Mari kita berpikir dengan nalar yang rasional, menteri agama ingin membubarkan suatu kepercayaan masyarakat yang memiliki banyak jasa dalam kemerdekaan bangsa Indonesia; lalu mempertahankan kelompok yang sering mengacau di bangsa Indonesia? menteri agama seperti apakah itu? Tidak adakah rasa nasionalisnya sebagai seorang anak bangsa? Lagian, lebih pantas jemaah Ahmadiyah mengatakan agar kementerian agama dibubarkan. Mengapa? karena Indonesia bukanlah negara agama! Alasan diperlukannya menteri agama untuk menjaga stabilitas kaum mayoritas hanyalah kamuflase belaka. Bandingkan di negara-negara Barat yang mayoritas beragama Kristen, apakah ada menteri agama yang mengatur stabilitas umat Kristen di negara sana? Bahkan tanpa adanya menteri agama, di negara-negara Barat sekalipun sudah ada penerimaan yang terbuka bagi agama minoritas.

Kaum fundamental di Indonesia mengklaim, bahwa Ahmadiyah telah menistakan agama Islam. Menurut hemat saya, persoalan yang terjadi antara umat Muslim dengan Ahmadiyah adalah persoalan internal agama, yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan negara. Mengapa pemerintah merasa perlu membubarkan Ahmadiyah? Hal tersebut menjadi suatu respons yang berlebihan dari pemerintah. Solusi untuk ketegangan Ahmadiyah dengan umat Muslim adalah mereka bertemu secara damai di atas meja perundingan dengan pemikiran yang jernih. Jikalau harus berpisah, maka dapat dipisahkan secara damai bukannya dengan pedang dan golok. Rasionalitas manusia memang telah buta diakibatkan oleh agama. Padahal kaum fundamental tidak tahu, jikalau agama itu rentan sekali ditunggangi oleh berbagai kepentingan,karena agama merupakan cara yang mudah untuk menarik simpatik massa. Sebaiknya pemerintah instropeksi diri terhadap kekerasan atas nama agama yang terjadi di Indonesia. Pemerintah harus terbuka mengakui bahwa peristiwa Cikeusik merupakan tanggungjawab pemerintah, karena telah memancing kesempatan untuk melakukan kekerasan oleh pernyataan menteri agamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar