Kamis, 08 September 2011

Gagasan Gus Dur tentang Rekonsiliasi Nasional dan Pejabarannya (Budiawan,Mematahkan Pewarisan Ingatan, 2004, hal.46-57)

Sebelum dipilih sebagai Presiden Indonesia yang keempat pada Oktober 1999, Gus Dur telah dikenal sebagai sosok pemimpin Muslim terpandang dan moderat. Ia bukan hanya sebagai tokoh agama terkemuka dalam hal toleransi beragama, yang telah membuatnya diterima oleh berbagai kalangan non-Muslim, melainkan juga pembela gerakana demokratisasi dan hak asasi manusia. Setelah dengan terang-terangan menyatakan keprihatinannya terhadap berbagai konflik dan pelanggaran HAM di Indonesia dalam tahun-tahun terakhir era pemerintahan Soeharto, dia mengangkat isu rekonsiliasi nasional. Akan tetapi seruannya itu tidak mendapat tanggapan, dan ia sendiri juga tidak mengelaborasi pemikirannya lebih jauh. Gus Dur hanya menegaskan soal pentingnya membentuk sebuah forum nasional, di mana para tokoh politik terkemuka Indonesia akan saling merundingkan kepentingan dan agenda mereka satu sama lain. Kendati demikian, Gus Dur tidak berhenti. Setelah terpilih sebagai presiden, dia mengajukan kebijakan yang ditujukan untuk mewujudkan gagasan rekonsiliasi nasional. Apa alasan di balik insiatifnya yang berkenaan dengan ekstapol dan keluarga mereka itu?

Pertama, mengenai keputusannya memberi izin kepada para pengasingan politik Indonesia untuk pulang kembali dan mendapatkan kembali hak kemwarganegaraan apabila mereka sendiri menghendaki, karena Gus Dur mengharapkan terciptanya masyarakat sipil dalam suasana Indonesia yang baru. Satu cara untuk merealisasikan harapan semacam itu adalah dengan membangun wacana demokrasi dan pluralisme, di mana setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam mengembangkan dan menghidupi kemanusiaan mereka, tak peduli apa pun agama, etnis dan afiliasi politik mereka;

Kedua, mengenai keputusannya untuk membubarkan Bakorstanas dan menghentikan praktik-praktik penelitian khusus (litsus), karena dia menganggap Bakorstanas sebagai mata-mata alat politik yang malah memperumit birokrasi. Sebagai juru bicara presiden, Marsilam Simanjuntak, menyatakan bahwa tujuan dikeluarkannya kebijakan ini adalah untuk membangun sebuah asumsi yang lebih baik terhadap setiap orang.

Ketiga, Gus Dur secara pribadi menawarkan pernyataan permintaan maaf kepada para keluarga korban pembantaian massal 1965-1966 dan kepada mereka yang telah dipenjara tanpa proses peradilan. Ini merupakan pernyataan yang mengagetkan. Bagaimanapun Gus Dur sebenarnya tidak bermaksud membuat kejutan, sebagaimana dikatakannya bahwa dia juga pernah menyampaikan maaf semacam itu ketika menjabat sebagai ketua Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai tambahan dari permintaan maafnya terhadap para korban pembantaian massal 1965-1966 itu, Gus Dur menyetujui gagasan peninjauan ulang sejarah seputar “peristiwa 1965”. Dia mengatakan bahwa demi mewujudkan rekonsiliasi nasional, misteri kalem “peristiwa 1965” harus disingkap kembali.

Keempat, Gus Dur mempunyai beberapa alasan dengan usulannya untuk mencabut TAP MPRS No.25/1966, tentang pelarangan PKI dan ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme. Awalnya usulan itu dimaksudkan sebagai tanggapan terhadap isu yang tengah muncul soal pencabutan semua ketentuan hukum yang meminggirkan para eks-tapol dan keluarga mereka yang telah diwariskan oleh rezim Orde Baru. Isu pencabutan TAP MPRS tersebut muncul ke publik ketika seratus eks-tapol yang dipimpin Sri Bintang Pamungkas melakukan demostrasi di hadapan DPR pada 3 November 1999. Mereka mengajukan petisi kepada komisi HAM dalam tubuh lembaga legeslatif tersebut. Salah satu butir dari petisi yang mereka kemukakan menuntut pencabutan TAP MPRS itu dan instrumen hukum lainnya. Ketentuan-ketentuan hukum itu menurut Bintang, merupakan sebentuk diskriminasi sosial dan politik terhadap para eks-tapol dan keturunan mereka. Bintang menggambarkan dua contoh diskriminasi dalam kaitannya dengan hal itu: a) pencantuman label ET (eks-tapol) pada KTP para eks-tapol yang merupakan sebentuk tindakan stigmatisasi secara politik, dan b) pelarangan keturunan, keluarga dan orang-orang terdekat dari para eks-tapol untuk menjadi pegawai negeri atau meniti karier dalam bidang militer atau kepolisian.

Gus Dur menjawab petisi tersebut pada akhir Januari 2000. Dia mengumumkan bahwa demi rekonsiliasi nasional, dia menerima dan sangat menyetujui gagasan pencabutan TAP MPRS No.26/1966. Gus Dur menegaskan bahwa PKI telah dihukum selama bertahun-tahun. Dia mengajukan pertanyaan retoris, “Apakah kita masih harus menghukum mereka?” Pertanyaan Gus Dur menumbulkan protes dari publik, terutama dari organisasi-organisasi Islam. Meskipun timbul protes seperti itu, Gus Dur terus menggulirkan gagasan tersebut. Dia menyatakan dan menyerukan gagasannya itu dalam beberapa kesempatan. Sebagai contoh, ketika Gus Dur berada di Universitas Islam Malang, Jawa Timur, dia mengulangi bahwa TAP MPRS tersebut seharusnya dicabut.

Gus Dur menegaskan bahwa telah banyak orang yang non-komunis turut terbunuh dan terpenjara tanpa proses pengadilan dengan ketentuan tersebut. Dia mengatakan bahwa kalaupun seorang adalah komunis, juga tidak boleh diperlakukan sebagai orang yang tanpa hak-hak sipil. Jadi, demikian ia menegaskan gagasan pencabutan TAP MPRS itu terikat dengan isu HAM.

Tanpa mempedulikan protes yang muncul, Gus Dur kembali melontarkan secara terus menerus gagasan tersebut. Bahkan sebelum melakukan shalat Jumat di Jakarta, Gus Dur mengatakan TAP MPRS itu dibuat oleh seseorang yang tengah berendam dalam nafsu kekuasaan dan takut dituduh sebagai salah satu seorang anggota PKI itu sendiri (tidak jelas apakah Gus Dur hendak mengatakan bahwa “seseorang” yang dimaksudkannya itu telah berteriak seperti maling teriak maling untuk menyelamatkan diri) Untuk meyakinkan khalayak bahwa dia benar-benar ingin menegakkan prinsip HAM, Gus Dur mengaitkannya dengan sepenggal kisah hidupnya sendiri. Dia lahir di dalam sebuah keluarga Non-PKI. Akan tetapi, dia menyaksikan sebuah hubungan pribadi yang sangat erat antara ayahnya, Wahid Hasyim dan seorang tokoh terkemuka komunis, Tan Malaka, yang acap mengunjungi orangtuanya serta diterima dengan sangat terbuka. “Bagaimana mungkin seorang kyiai dan seorang komunis saling berpelukan?” Demikian Gus Dur bertanya untuk memberi penegasan, bahwa berpayung di bawah pandangan ideologi dan ideologi yang berbeda, atau bahkan saling berseberangan, bukan merupakan sebuah aral tak terseberangi bagi terjalinnya persahabatan pribadi yang erat.

Gus Dur mengatakan bahwa orang jarang sekali berniat untuk memahami hukum dan pandangan politik seseorang atau orang lain. Dia menegaskan bahwa menghukum anggota PKI, bahkan seorang yang benar-benar terlibat dalam Peristiwa 1965, tidak berarti anak-anaknya juga harus dihukum oleh masyarakat. Gus Dur mengatakan bahwa anak-anak tersebut barangkali bahkan tidak mengerti sama sekali soal politik atau pandangan politik orangtua mereka. Oleh karena itu, TAP MPRS tersebut harus segera dicabut.

Untuk menekankan niat kuatnya atas usul pencabutan TAP MPRS tersebut, Gus Dur menggunakan argumen keagamaan: “Melanggar hak hukum seseorang karena dia telah menyerang kita tidak mencerminkan pandangan hidup seorang Muslim yang baik. Seorang Muslim yang baik harus mengatakan apa yang salah adalah salah, dan apa yang benar adalah benar, terlepas kita menyukainya atau tidak. Gus Dur menyadari bahwa sejumlah kyiai telah menetang dan mengkritiknya. Namun, dia tetap berpegang teguh pada gagasan tersebut. Gus Dur tidak merasa bermusuhan dengan yang menentang dan mengkritiknya itu. Gus Dur tiada lelahnya melontarkan gagasan itu pada berbagai kesempatan. Pada suatu kesempatan, dalam pertemuan dengan masyarakat Kedungombo, sebagai misal, dia menyatakan TAP MPRS tersebut bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945, alasannya: Konstitusi kita tidak melarang ideologi apapun. Bahkan, kalaupun sebuah ideologi dinyatakan sebagai ideologi terlarang, ideologi tersebut dibiarkan tetap hidup dalam benak para pemeluknya. Jadi, sia-sialah melarang ideologi apapun. Tambahan pula, bahkan kalaupun PKI telah berkali-kali mencoba menghancurkan negara dan bangsa, toch mereka selalu gagal. Mereka gagal total. Jadi, kita tidak perlu panik dalam menghadapi komunisme.

Menanggapi gelombang demonstrasi menentang usulannya untuk mencabut TAP MPRS tersebut, Gus Dur berjanji untuk mengklarifikasinya pada 20 Mei 2000 dan setelah tanggal itu dia akan berhenti mengkampanyekan gagasan itu. Namun, kembali lagi dia tetap merasa perlu mengatakan, proses perumusan TAP MPRS tersebut sangatlah sewenang-wenang. TAP tersebut tidak bisa membedakan antara hak hukum dan hak politik warga negara. Hak hukum seseorang tidak dapat dienyahkan begitu saja, bahkan sekalipun secara politik dia bersalah. Di samping itu, TAP tersebut mengaburkan perbedaan antara partai dan ideologi. Kita bisa saja mencabut sebuah partai, tetapi kita tidak bisa melarang sebuah ideologi.

Protes-protes tersebut kemudian mereda karena adanya janji yang disampaikan. Pada 20 Mei 2000, dalam siaran yang ditayangkan oleh TVRI, Gus Dur pertama-tama mengulangi alasannya. Kemudian dia menambahkan beberapa poin baru berkenaan dengan status hukum TAP MRPS tersebut dan tugasnya sebagai presiden. Meskipun status hukum sebuah TAP MPR lebih tinggi daripada sebuah Undang-Undang, kita tidak dapat memandangnya sebagai sesuatu yang keramat. Produk hukum seperti TAP MPR tidak terlalu relevan sepanjang masa. Sebagai contoh, TAP MPR yang berkaitan dengan jabatan seumur hidup presiden. TAP MPR yang berkenaan dengan pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila (P4). TAP MPR tentang integrasi Timor Timur semuanya telah diganti dan disesuaikan dengan situasi baru. Sesuatu yang kita butuhkan pada satu masa, mungkin saja tidak dibutuhkan pada waktu lain. Berkaitan tugasnya dengan presiden, Gus Dur menegaskan bahwa menjadi kewajibannya untuk menegakkan prinsip-prinsip HAM, sebagaimana yang dinyatakan secara tegas dalam Konstitusi UUD 1945. Dengan demikian, mengajukan gagasan mencabut TAP MPRS No.25/1966, yang menurutnya bertentangan dengan HAM, justu sangat sesuai dengan amanat konstitusi. Gus Dur menambahkan, di samping itu, dia juga hanya mengajukan kepada MPR, dan MPR yang berhak untuk mempertimbangkannya, apakah menerima atau menolak. Jika MPR menolak, maka itu adalah tanggungjawab MPR itu sendiri dan bukan lagi menjadi tanggungjawab Gus Dur. Setelah klarifikasi itu, Gus Dur akan berhenti berbicara gagasan itu. Setelah memberikan klarifikasi, Gus Dur benar-benar berhenti berbicara tentang isu itu. Pada 29 Mei, komite ad hoc Badan Pekerja MPR menolak usulan pencabutan TAP MPRS tersebut. Argumen utama mereka adalah bahwa TAP MRPS itu harus dipertahankan karena justru melindungi HAM. Argumen ini secara implisit mempersalahkan PKI sebagai pelanggar HAM par excellence, dan jika TAP MPRS itu dicabut, PKI kemungkinan besar akan hidup kembali serta mengulangi dosa-dosa lamanya. Ini menggambarkan suara dominan dari publik dalam gelombang demonstrasi menentang gagasan pencabutan TAP MPRS itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar