Pemecatan Letjen TNI Prof.Dr. dr.Terawan Agus Putranto, Sp.Rad atau
lebih dikenal dengan nama dr.Terawan, dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI),
menjadi berita yang sangat menarik simpatik masyarakat kita. Sepertinya,
masyarakat tidak menolak penanganan medis Digital Subtraction Angiography (DSA)
atau familiar disebut dengan cuci otak oleh dr.Terawan. Namun, IDI bersikeras
bahwa pekerjaan dr.Terawan dinilai tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Sehingga, praktek ini dianggap bahaya karena mengabaikan kode etik
dunia kedokteran. Lantas, mengapa masyarakat kita malah dominan melawan IDI?
Bukannya, masyarakat kita seharusnya bersyukur ketika IDI berusaha mencegah
terjadinya malpraktek dokter di Indonesia? Anehnya lagi, bagaimana mungkin masyarakat
malah mendukung didirikannya organisasi ikatan profesi dokter tandingan sebagai
pesaing IDI? Apabila memerhatikan suara masyarakat yang mendukung dr.Terawan,
kita menemukan ada kebulatan sikap yang menyuarakan akan adanya pengharapan dari
tindakan dr.Terawan selama ini. Masyarakat secara umum menilai bahwa sekalipun
praktek itu berbahaya dan tidak berbasis ilmiah, tetapi ada harapan kesembuhan
yang murah, efektif, dan efisien yang sesuai kantong masyarakat. Selama ini,
pengobatan yang berhubungan dengan penyumbatan di pembuluh darah sangat mahal
dan tidak semua dapat mengaksesnya. Isunya kemudian digiring pada kapitalisasi
kesehatan di Indonesia. Fenomena dr.Terawan ini membawa kita kemudian pada dua pilihan,
“membangkitkan harapan” atau “menegakkan kode etik ilmiah”?
Fenomena dr.Terawan ini dapat menjadi jalan masuk bagi kita untuk
memahami bagaimana pekerjaan Tuhan Yesus yang fenomenal juga yang ada di
perikop ini. Teks kita berbicara tentang ada banyaknya orang sakit, seperti orang buta, timpang/pincang,
lumpuh, dan sakit lainnya, sedang berada di pinggir kolam (ay.3). Mereka
percaya akan sebuah kolam di dekat pintu gerbang Anak Domba, Yerusalem, yang sering
disebut Bethesda, di mana ketika airnya berguncang pertanda malaikat Tuhan
datang. Sehingga, siapapun yang masuk di dalamnya bisa menjadi pulih (ay.2,4).
Dalam bahasa Aram, Bethesda berarti house of mercy (rumah belas kasih). Yesus
bertepatan hadir di sana untuk melihat perjuangan orang sakit yang mengharapkan
kesembuhannya. Kehadiran Yesus diceritakan Injil Yohanes awalnya untuk
menghadiri hari raya orang Yahudi. Sekalipun tidak dijelaskan hari raya apa,
kemungkinan besar hari raya pesta panen tujuh minggu atau Pentakosta Yahudi
(ay.1). Kehadiran Yesus sungguh
memberikan makna bagi orang yang telah terbaring sakit 38 tahun lamanya (ay.5).
Orang itu hadir di sana tapi tidak tahu bagaimana caranya supaya dapat masuk ke
kolam. Ia sendiri tidak dapat mengangkat tubuhnya dan masuk ke kolam. Terlebih,
ada banyak orang yang sudah menanti-nantikan kapan guncangan air itu datang. Ia
sudah pasti kalah, sebab tidak akan ada orang yang mau membantunya (ay.7).
Mengapa tidak ada orang yang mau membantu untuk mengangkatnya? Sebab, hari itu
adalah hari Sabat, di mana tidak boleh ada yang bekerja, termasuk mengangkat
tilam (ay.9). Sehingga, Yesus merasa perlu memberikannya harapan, “Maukah
engkau sembuh?” (ay.6). Yesus tahu kalau kesembuhan seorang yang sedang
sakit dimulai dari membangun pengharapannya terlebih dahulu. Melihat semangat
seorang yang sakit itu, Yesus memerintahkan, “Bangunlah, angkatlah tilammu
dan berjalanlah” (ay.8). Bagi kita sebagai pembaca di masa kini, perintah
Yesus itu sederhana. Tapi, hal ini tidak bagi mereka yang hidup di masa itu.
Orang yang sakit selama 38 tahun itu diberikan pilihan yang sangat berat, “Ia
mau sembuh?” atau “Ia mau mengamalkan Hukum Taurat?”. Bila memilih kesembuhan,
ia sudah pasti melanggar Taurat. Tetapi, bila mengamalkan Taurat, ia akan
melewatkan kesembuhan setelah menantikan 38 tahun lamanya. Karena Yesus
diceritakan tidak membantunya untuk turun ke kolam, tentu ia yang harus memilih
sendiri. Ini ibarat pengantar kita di awal tadi dalam kasus Terawan,
“membangkitkan pengharapan” atau “menegakkan kode etik ilmiah”? Dan, orang yang
sakit 38 tahun itu memilih untuk mengikuti perintah Yesus. Ia pun sembuh karena
kuasa firman-Nya, bukan karena air kolam Bethesda itu.
Hal yang dapat kita refleksikan dari firman Tuhan pada saat ini bagaimana
kuasa firman-Nya bekerja menerobos sekat-sekat yang dibangun oleh manusia.
Memang perintah Tuhan dalam bentuk Taurat itu diturunkan Allah kepada bangsa
Israel melalui Musa. Namun, Taurat itu kemudian telah dikonstruksi sedemikan
rupa sebagai alat legitimasi mengukur seseorang itu baik atau tidak di tengah
masyarakat. Inilah yang dikritik oleh Yesus dari para tokoh agama yang
menggunakan Taurat sebagai pencitraan diri mereka. Taurat tidak lagi sebagai
alat untuk menuntun kehidupan umat Tuhan di dalam keadaan yang tertib, tetapi
sudah terjebak di dalam kemunafikan. Injil Yohanes ketika mencatatkan kesaksian
tentang Tuhan Yesus yang memberikan perintah kepada orang yang sudah 38 tahun
lamanya terbaring sakit, sesungguhnya juga tengah memberitahukan pembacanya, apakah kita sungguh mau turut kepada perintah
Tuhan Yesus? Karena, apabila kita mau menuruti perintah Tuhan Yesus, hal itu
berarti kita dengan sungguh mau mengakui keilahian dari Yesus Kristus.
Sebagaimana kesaksian Injil Yohanes, bahwa Yesus Kristus itu datang dari
Bapa-Nya dan memberitahukan kita tentang pekerjaan Allah yang di surga di
tengah dunia. Kita pun diajak seperti orang yang sakit selama 38 tahun itu
untuk menolak sistem beriman yang sangat destruktif dan menghilangkan
nilai-nilai kemanusiaan. Secara tidak langsung, orang yang sakit selama 38
tahun itu mengakui bahwa Yesus itu datang-Nya dari Allah. Untuk itu, baiklah
kita meneladani iman orang yang sakit selama 38 tahun itu, dengan mau menuruti
perintah Tuhan Yesus. Marilah kita semua umat percaya, jangan duduk diam,
tapi bangunlah!
Pdt.Theodorus Benyamin Sibarani, S.Si (Teol),
M.Kesos
GKPI Ressort Jakarta Raya-1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar