Minggu : 6
Oktober 2019 (16.Set.Trinitatis)
Epistel : Pengkhotbah
3:1-14
Pendahuluan
LaSor, Hubbard, dan F.W.Bush (2007)
menjelaskan bahwa nama “Pengkhotbah” terjemahan dari kata Ibrani qohelet, yaitu orang yang memanggil
suatu sidang. Karena itu, terjemahan “Pengkhotbah” tidak salah walaupun
terkadang qohelet memang tidak sama
dengan pengkhotbah Kristen yang memberitakan firman Allah berdasarkan nas
Alkitab. LaSor, Hubbard, dan F.W.Bush lalu memahami bahwa secara umum penulis
kitab Pengkhotbah ini selalu dihubungkan dengan tulisan hikmat, yaitu Salomo,
karena disebutkan dalam bagiannya (Pkh.1:1,12,16). Akan tetapi, mereka tidak
menutup mata akan adanya perdebatan tentang penulis kitab Pengkhotbah - dengan
menyatakan, “memang jauh lebih mudah mengatakan bahwa Raja Salomo bukan penulis
kitab Pengkhotbah daripada mengatakan siapa penulisnya. Penulisnya jelas adalah
seorang bijak yang berhasrat untuk menantang pendapat-pendapat dan nilai-nilai
bijak yang lain”. Memang ada teolog yang meragukan qohelet atau yang sering disebut Kohelet dituliskan oleh Salomo.
Seperti, E.G.Singgih, seorang teolog Perjanjian Lama asal Indonesia, yang
memiliki pandangan kritis. Kajian kritis dari E.G.Singgih ini telah lama
dilakukannya sejak ia memulai studi doktoral di bidang Perjanjian Lama, di
bawah arahan Prof.Robert Davidson. Menurut E.G.Singgih, penafsiran tradisional
(yang menyatakan kitab Pengkhotbah ditulis oleh Salomo), bertahan hanya sampai
muncul metode penafsiran yang bersifat kritis, entah itu historis maupun
literer. Apakah kalau Kohelet bukan Salomo akan mengurangi kesakralan kitab Pengkhotbah
ini? E.G.Singgih dengan kritis menjelaskan bahwa kesakralan teks bukanlah
dikarenakan oleh nama (penulisnya), tetapi isinya yang membuat ia menjadi
berwibawa dan mampu membuat orang yang berada di zaman jauh sesudahnya dengan
konteks yang berbeda (seperti kita selaku umat percaya di masa kini) bergumul
dan menangkap sesuatu dari kekayaannya. Kitab Pengkhotbah akan berwibawa lama
dalam kehidupan orang beragama di Asia pada umumnya dan Indonesia pada
khususnya. Pendapat dari E.G.Singgih ini memberikan kita wawasan teologis
penting di dalam membahas teks firman Tuhan di minggu ini. Karena, ini akan
menjadi pengantar yang baik untuk kita menggumuli teks Epistel ini secara tekstual,
berfokus pada nas tanpa menghubungkannya kitab ini dan kitab itu, lalu mencari
refleksi teks untuk kehidupan beriman pada masa kini, terutama dalam kaitan
tema, “Hidup untuk Melayani Tuhan”.
Pembahasan
Pada ayat 1, Kohelet menggambarkan
adanya masa, yaitu bentuk waktu bagi kehidupan di dunia ini. Dalam pendekatan
fisika Newton, dunia memiliki jam utama. Detakan jam membuat waktu menjadi
mengalir yang bisa ditarik panah ke mana ia akan pergi. Secara sederhana, kita
dapat mengatur waktu mau jadi apa kita di masa kini, bagaimana membentuk masa
lalu, dan bagaimana cara kita menuju masa depan. Pendapat ini lalu dilawan oleh
Ludwig Boltzmann yang menyatakan kalau waktu tidak memiliki arah. Hal ini lalu
didukung oleh teori relativitas Einsten yang menjelaskan peristiwa waktu sangat
tergantung dari bagaimana kecepatan kita bergerak. Seperti dua orang pengamat
yang bergerak dengan kecepatan berbeda akan tidak setuju kapan dan di mana
peristiwa terjadi, tetapi mereka saling dapat setuju pada lokasinya di ruang
waktu. Bahkan, gaya gravitasi dapat membengkokkan waktu. Apa pointnya dari
kajian filsafat ilmu, khususnya pendekatan fisika? Bahwa, manusia tidak bisa
memikirkan dunia ini detik per detik, menurut parameter waktu. Kita hanya
diberikan bagian untuk melakukan prediksi akan peristiwa waktu. Bila kemudian
kita komparasi dengan wejangan hikmat Kohelet, maka kita akan takjub bagaimana
Kohelet sudah terlebih dahulu membedah waktu. Ayat ini lalu memberikan kita
suatu pemahaman dunia (alam) kita membukakan waktu, bukan pada ruang.
Itulah mengapa di ayat-ayat selanjutnya
Kohelet menggambarkan ada waktu untuk lahir, meninggal, menanam, mencabut
tanaman (ay.2). membunuh, menyembuhkan, merombak, membangun (ay.3), menangis,
tertawa, meratap, menari (ay.4), membuang batu, mengumpulkan batu, memeluk,
tidak memeluk (ay.5), mencari, merugi, menyimpan, membuang (ay.6), merobek,
menjahit, diam, berbicara (ay.7), mengasihi, membenci, perang, damai (ay.8).
Semua contoh yang diberikan Kohelet ini menegaskan kehidupan manusia ada di
antara waktu, bukannya ruang. Seluruh peristiwa waktu di hidup manusia di bawah
detak waktu yang berjalan. Hasil pekerjaan manusia di dalam ruang seolah tidak
memiliki arti selain melelahkan dirinya sendiri (ay.9). Sekalipun pekerjaan itu
datang dari Tuhan, ia tetap saja membuat manusia menjadi lelah (ay.10). Lantas,
mengapa kita harus tetap bekerja kalau itu
hanya membuat kita lelah saja? Di ayat berikutnya, Kohelet menjelaskan
bahwa manusia yang lelah bekerja itu bukan berarti ia telah membuang waktunya
dengan percuma. Kohelet menegaskan malah Tuhan memberikan kita dari kelelehan
pekerjaan itu sesuatu yang indah di waktu yang ditentukan Tuhan sendiri. Hal
ini akan terus menjadi kekaguman bagi manusia yang diingatnya sampai mati.
Tetapi, manusia tidak dapat menyelami pekerjaan Tuhan dari awal sampai akhir
(ay.11). Menarik apa yang disampaikan oleh Kohelet di ayat ini. Pekerjaan
manusia dapat dipahami dengan mudah, bahwa itu sesuatu yang sangat melelahkan
dan ada di dalam peristiwa waktu. Akan tetapi, pekerjaan Allah tidak dapat
dimengerti manusia, terlebih dijelaskan melalui kapan dimulai dan berakhirnya,
seperti di peristiwa waktu. Dengan kata lain, Kohelet ingin mengatakan kalau
pekerjaan Tuhan itu melampaui waktu dan ruang, sangat berbeda dengan kita
manusia.
Kohelet juga memberikan pertimbangan
bijaksana yang sangat positif. Manusia yang lelah bekerja dapat bersukacita
ketika ia bisa menikmati jerih payah pekerjaannya. Tuhan memberkati manusia
yang menikmati hasil dari pekerjaannya berlelah-lelah (ay.12-13). Namun,
Kohelet dibalik motivasinya untuk manusia yang berjerih lelah bekerja
memberikan peringatan kalau manusia tetap terpenjara oleh waktu. Mereka hanya
bisa hidup oleh karena pekerjaan Allah saja. Itu tidak dapat ditambah dan
dikurangi. Allah berbuat demikian supaya manusia takut akan Dia (ay.14).
Renungan
Dari sekian jauh pembahasan yang
dilakukan, kita dapat merenungkan setidaknya dua hal dari pembahasan Epistel
kita di minggu ini, yaitu:
1.
Waktu
adalah sarana Allah bekerja atas kehidupan manusia
Selama di tubuh kita masih ada napas
kehidupan, selama itu pula kita akan terkurung di dalam waktu dunia ini. Ada
saja peristiwa yang silih berganti mengiringi hidup kita, seperti yang
dicontohkan oleh Kohelet. Itu semua perlu kita lihat sebagai cara bagaimana Allah
bekerja atas hidup kita. Ketidakmengertian kita akan apa yang Allah perbuat
atas hidup kita menjadikan kita sebagai manusia yang utuh. Kita hanya tinggal berusaha
untuk menjalaninya sekuat dan semampu kita. Membiarkan rencana Tuhan saja yang
terjadi di dalam jatuh-bangunnya kehidupan kita. Kabar baiknya, pada akhirnya
Tuhan menjadikan segala sesuatu itu indah. Ini akan terus kita kenang sampai
tiba waktu kita untuk mati nantinya.
2.
Waktu
adalah sarana kita merespons pekerjaan Allah atas kehidupan manusia
Tidak ada kehidupan yang mudah selama
kita ada di dunia. Kita harus bekerja berletih-lelah. Namun, Tuhan senang
dengan hasil jerih lelah kita itu, karena itu adalah pemberian-Nya. Kita harus
meresponsnya dengan bijaksana. Caranya adalah dengan memberikan diri kita waktu
untuk menikmatinya. Karena, ada orang yang bekerja keras, banting tulang pagi,
siang, malam, sampai ketemu pagi lagi dengan alasan untuk mencari sesuap nasi.
Namun, ia sendiri tidak pernah menikmati hasilnya. Ia jarang makan karena
sibuknya. Ini bukan cara kita bersyukur atas pekerjaan Allah di dalam hidup
kita. Padahal, kita berjerih lelah bekerja di dalam segala bentuk profesi kita
tujuannya tidak lain untuk melayani Tuhan. Kalau tidak diiringi rasa syukur
itu, maka kita sesungguhnya hanya menjadi budak atas waktu. Bukannya malah
menempatkan Tuhan sebagai tujuan kita bekerja di aliran waktu yang terus
berjalan.
Diskusi
1.
Pernahkah
Anda merasa lelah dengan pekerjaan Anda sehari-hari? Mengapa itu bisa terjadi?
2.
Setujukah
Anda bila dikatakan pekerjaan kita yang berat itu merupakan sarana Allah
bekerja untuk kebaikan kita?
3.
Setujukah
Anda, bila dikatakan pekerjaan kita itu merupakan cara kita untuk melayani
Tuhan yang telah mengerjakan hal yang indah pada akhirnya di hidup kita?