Senin, 14 Desember 2015

Bermazmurlah Bagi Tuhan, Sebab Perbuatan-Nya Mulia (Khotbah di GKPI JKJK, Minggu 13 Desember 2015)


(Yesaya 12:2-6), Minggu Advent-III

Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus Kristus!
Suatu kali, seorang anak laki-laki menghampiri ibunya untuk meminta izin karena ia merasa sudah siap untuk menikahi kekasihnya. Tanpa diduga, jawaban ibunya malah meminta anak itu untuk menyampaikan permohonan maaf pada ibunya. Anak laki-laki itu yang bingung kemudian bertanya, “Mengapa saya harus minta maaf kepada ibu?”. Ibunya dengan tegas menjawab, “Ayo minta maaf!”. Berulangkali anak laki-laki ini mencari jawaban dari ibunya, “Mengapa ia harus meminta maaf?”. Namun, berulangkali pula ibunya memaksanya untuk meminta maaf. Akhirnya, anak laki-laki itu menyerah dan segera meminta maaf pada ibunya, “Ibu, saya minta maaf. Sekalipun saya tidak mengetahui apa kesalahan yang baru saya lakukan pada ibu!”. Tidak lama kemudian, ibunya langsung berubah sikap, dengan lembut ibunya pun berkata, “Anakku, itulah yang harus kau lakukan pada istrimu nanti ketika rumah tangga kalian sedang ada permasalahan! Sebagai laki-laki, engkau tidak perlu mencari alasan mengapa kau harus meminta maaf pada istrimu! Ibu sudah lebih dahulu menjadi seorang istri selama hampir 30 tahun, dan ibu tidak ingin istrimu nanti merasakan kepahitan seperti yang ibu rasakan selama berumahtangga”. Setelah menikah, anak laki-laki itu memang harus menghadapi saat-saat di mana terjadi ketidakcocokkan dengan istrinya. Persoalan yang sangat sepele sekalipun bisa menjadi sumber percecokkan dalam rumah tangga mereka. Dan, sebagaimana nasehat dari ibunya sebelum menikah, anak laki-laki itu pun meminta maaf pada istrinya. Hal ini berlangsung setidaknya sampai usia pernikahan delapan tahun, karena setelahnya anak laki-laki itu merasa kesabarannya sudah habis. Ia kemudian membalikkan tuduhan istrinya lalu memojokkan istrinya sebagai seorang yang bersalah. Karena sudah sangat rumit situasinya, istrinya pun mengajukan surat cerai. Anak laki-laki yang telah menjadi seorang bapak atas anak-anak yang tengah bertumbuh pun menjadi sangat bingung. Ia sangat mencintai istri dan anak-anaknya. Sehingga, ia memohon maaf pada istrinya dan memintanya agar tetap tinggal. Istrinya pun mengabulkan permintaan suaminya itu, karena ia pun masih mencintai suaminya. Setelah badai rumah tangga itu berlalu, anak laki-laki itu kemudian menjumpai ibunya kembali dan sambil berlutut di kaki ibunya ia pun berkata, “Syukur aku masih mengingat nasehat ibu, dan aku berterima kasih untuk peringatan yang sangat bermanfaat bagiku dan bagi keluarga kecilku”.
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan!
Sama seperti cerita di atas, demikianlah pula nas kita pada saat ini, yaitu Tuhan melalui visi Yesaya telah memperingatkan bangsa Israel bahwa nantinya mereka akan dihukum oleh Tuhan, tetapi kasih setia Tuhan tetap tinggal pada mereka yang masih beribadah kepada Tuhan. Dan, atas peringatan itu, Israel layak bersyukur kepada Allah yang masih menjaga Israel. Memang, bila kita memerhatikan cerita di dalam Alkitab, kita akan menemukan bahwa Israel akan dibuang ke Babel, tapi segera dibawa-Nya kembali mereka sebagaimana janji-Nya. Inilah yang tengah dinantikan bangsa Israel yaitu hari Tuhan yang menyelamatkan mereka di kala mereka akan menghadapi penderitaan yang sudah menanti. Mengacu pada nas kita saat ini, pembahasan kita merupakan bagian pertama dari kitab Yesaya (Protoyesaya), di mana konteksnya bangsa Israel belum dalam pembuangan. Atas nubuatan keselamatan setelah melewati serangkaian penderitaan, Yesaya mengucap syukur kepada Allah melalui puji-pujiannya, di mana isi pujiannya merupakan tema minggu kita pada saat ini. Ucapan syukur Yesaya atas keselamatan itu dibuka Yesaya dengan kalimat, “Aku mau bersyukur kepada-Mu ya Tuhan, karena sungguhpun Engkau telah murka terhadap aku, tetapi murka-Mu telah surut dan Engkau menghiburku”. Kemudian disambung dengan pengakuan bahwa “Allah adalah kesalamatan, sebab Allah adalah kekuatan dan mazmur”(ay.2). Pengakuan iman ini sangat unik karena keselamatan yang diberikan oleh Allah tidak lepas dari penghayatan mereka akan kekuatan yang diberikan Tuhan atas bangsa itu. Kekuatan di nas ini dapat kita pahami dengan cara Tuhan menjaga bangsa Israel, sekalipun berada di tengah penderitaan mereka masih dapat bertahan, seperti saat keluar dari perbudakan di tanah Mesir. Dengan kekuatan itu pula mereka bermazmur bagi Tuhan. Kata mazmur sendiri aslinya berasal dari kata ibrani sefer tehillim, yang secara gramatikal sangat dekat dengan kata haleluya. Per definisi, Mazmur dapat dipahami sebagai respons manusia terhadap Allah di tengah berbagai situasi, baik suka maupun duka. Jadi, ketika dikatakan Allah adalah mazmurku, hal ini ingin menyiratkan bahwa Allah tetap menjadi Allah yang ada di tengah suka dan duka. Dari penjabaran ini, kita dapat menarik satu benang merah, yaitu keselamatan Israel dinyatakan dalam penyertaan Tuhan lewat penguatan yang diberikan di tengah respons mereka di berbagai situasi hidup. Atas dasar itulah, kita dapat memuji Tuhan yang memberikan  penguatan akan keselamatan bagi kita. Hal berikutnya adalah bagaimana Yesaya mengajak agar umat percaya menceritakan pekerjaan besar Allah yang akan telah menyelamatkan Israel (ay.4). Janji keselamatan Allah itu digambarkan dengan mata air keselamatan (ay.3). Suatu harapan yang menjamin orang percaya bahwa tidak selamanya murka Allah ditimpakan atas kita melalui penderitaan, karena kasih Allah lebih besar dan itulah yang membuat umat percaya merasakan sukacita yang besar. Mereka tidak akan haus dalam penderitaan, karena Tuhan akan melegakan mereka dengan perbuatan-Nya yang besar. Dengan menyampaikan kesaksian pekerjaan Allah yang besar, itu merupakan pujian kita kepada Allah atas rancangan-Nya yang indah dalam suka-duka kehidupan. Juga seperti Sion, yang adalah bukit di mana Tuhan berada, serta menjadi kota benteng Israel. Sion telah menjadi tanda keperkasaan umat percaya, karena di situ keselamatan dinyatakan Tuhan. Umat percaya yang dikiaskan sebagai penduduk Sion tentu harus menyambut keberadaan Allah di tengah-tengah persekutuannya. Mereka tidak akan mungkin dikalahkan lagi karena Allah ada di tengah-tengah mereka
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus Kristus!
Dari penjabaran nas di atas, serta memerhatikan tema kita pada saat ini, maka ada dua hal yang dapat kita refleksikan pada Minggu Advent-III pada saat ini.
Pertama, persoalan alasan bermazmur. Alasan kita memuji (bermazmur) bagi Tuhan adalah karena Dia itu keselamatan. Sebagai umat percaya, kita tentu bersyukur bahwa di tengah ketidakpastian dalam hidup, kita meyakini ada hal yang pasti bahwa kedatangan Tuhan yang membawa keselamatan itu pasti akan terjadi. Umat Kristen memercayai bahwa Yesus adalah Juruselamat yang dikirimkan oleh Allah di dunia ini untuk memberikan keselamatan. Dengan memperdamaikan manusia dari dosa, manusia kembali dipersekutukan dengan Allah. Inilah yang patut kita syukuri dalam pujian kita kepada Allah. Belajar dari bagaimana menantikan kedatangan Tuhan pertama kali di dunia, begitu pula kita juga saat ini tengah menantikan kedatangan Tuhan kali keduanya. Ada beberapa pendekatan dalam menantikan hari kedatangan Tuhan kedua kali sebagai sumber keselamatan itu. Ada yang memaknainya sebagai hari kiamat. Ada pula yang memahami hari Tuhan itu datang dalam hari kematian kita, di mana tugas kita sudah selesai di dunia ini dan Tuhan datang menjemput kita dalam keabadian. Serta, banyak penjelasan tentang hari Tuhan yang beredar di kalangan umat Kristen. Apapun pemahaman yang beredar itu, yang jelas ketika menanti kedatangan hari Tuhan itu, kita harus sudah memiliki dasar yang pasti bahwa Allah adalah keselamatan. Dari situlah kemudian kita memuji Tuhan melalui hidup kita sampai hari Tuhan itu datang kembali.
Kedua, jikalau kita sudah memiliki dasar mengapa kita harus bermazmur bagi Tuhan di kala menantikan kedatangan-Nya, kita kemudian diperhadapkan dengan pertanyaan bagaimana cara kita bermazmur bagi Tuhan dalam penantian itu? Belajar dari nas kita saat ini, kita mendapatkan dua cara bermazmur dalam penantian akan kedatangan hari Tuhan yang penuh keselamatan itu. Yang pertama, kita dapat bermazmur melalui kesaksian kita akan perbuatan besar Tuhan atas hidup kita. Tuhan bekerja atas diri manusia dengan berbagai cara yang unik. Masing-masing tidak sama. Ada orang percaya yang disapa Tuhan melalui peristiwa yang membahagiakan tetapi ada juga melalui peristiwa yang menyedihkan. Ada juga yang disapa oleh Tuhan melalui situasi ketidakadilan yang terjadi. Banyak cara Tuhan menyapa umat percaya. Ketika penderitaan datang sebagai sapaan Tuhan bagi umat percaya, pada batas apa kita dapat mengaku Tuhan adalah keselamatan kita? Mungkin ketika kita sedang dilanda sakit penyakit yang kronis, atau kepedihan karena kepergiaan orang yang kita kasihi selamanya dari tengah dunia, atau juga kemelaratan hidup di tengah-tengah dunia karena ketidakadilan ekonomi, bahkan ketidaktenangan menjalani hidup yang disebabkan rasa cemas berlebih. Dari banyak penderitaan yang mengambil banyak bentuk dalam hidup itu datang, sebagai umat percaya, kita tentu harus sudah yakin bahwa kita akan telah dikuatkan oleh Tuhan dalam menghadapinya. Namun, ketika harus bersedih, menangis, kecewa, hal itu silakan kita lakukan. Akan tetapi, kita harus membatasi diri dalam bersedih, menangis, dan kecewa. Kita harus meyakini secara sungguh bahwa kita dikuatkan oleh janji-Nya kalau Dia tidak meninggalkan kita sendiri. Sebagaimana bangsa Israel di masa Yesaya akan dihiburkan di tengah pembuangan dan dibawa kembali pulang, begitu pula kita sebagai umat percaya akan dihiburkan di tengah penderitaan kita dan kehidupan kita segera dipulihkan dengan pekerjaan Tuhan yang besar. Bagaimana proses yang kita alami sewaktu Tuhan memulihkan dan menghiburkan itulah yang kita saksikan sebagai pekerjaan Tuhan yang besar atas hidup kita. Sikap hidup dan teladan iman yang baik yang kita tunjukkan kala menghadapi penderitaan, sesungguhnya itu merupakan satu kesaksian kita yang hidup, walau tanpa harus diceritakan. Seperti yang dikatakan Paus Fransiskus, “Kabarkanlah Injil bila hanya perlu dengan kata-kata”, artinya kesaksian yang hidup akan pekerjaan besar Tuhan nyata dalam kehidupan keseharian kita. Dengan demikian, ketika kita menghadapinya dengan iman yang teguh serta tidak ada kata-kata hujatan yang keluar dari mulut kita, sesungguhnya kita tengah bermazmur kepada Allah, sekaligus menyampaikan kesaksian kita pada seluruh manusia. Selanjutnya, sorak-sorai dan seruan penduduk Sion, pada masa kini dapat kita pahami dengan keoptimisan umat percaya menjalani kehidupan dengan rasa terima kasih kita kepada Tuhan yang hadir di tengah hidup, sebagaimana Dia yang hadir di antara penduduk Sion. Rasa terima kasih atas keyakinan Tuhan selalu ada di tengah kehidupan umat percaya itu terlihat dari bagaimana umat percaya menyatakan penyembahan dan persembahannya kepada Tuhan. Apakah ia menyembah dan membawa persembahan pada Tuhannya melalui ibadahnya, doanya, nyanyiannya, persembahannya, rasa syukurnya, tubuhnya, dan hidupnya? Kebulatan tekad menyembah dan bersembah kepada Tuhan sesungguhnya juga merupakan bentuk bermazmur bagi Tuhan yang adalah keselamatan itu.
Ibu, Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan!
Inilah firman Tuhan pada saat ini. Biarlah di Minggu Advent-III ini, kita semakin merenungkan bagaimana kita bermazmur kepada Tuhan dalam penantian akan kedatangan-Nya kembali. Biarlah firman Tuhan ini tidak lalu begitu saja, tetapi dapat menjadi suatu refleksi yang dihayati dalam menyambut Dia yang akan datang. Tuhan memberkati! Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar