(Yesaya 12:2-6), Minggu
Advent-III
Ibu, Bapak, dan Jemaat
yang dikasihi oleh Tuhan Yesus Kristus!
Suatu kali, seorang anak
laki-laki menghampiri ibunya untuk meminta izin karena ia merasa sudah siap
untuk menikahi kekasihnya. Tanpa diduga, jawaban ibunya malah meminta anak itu
untuk menyampaikan permohonan maaf pada ibunya. Anak laki-laki itu yang bingung
kemudian bertanya, “Mengapa saya harus minta maaf kepada ibu?”. Ibunya dengan
tegas menjawab, “Ayo minta maaf!”. Berulangkali anak laki-laki ini mencari
jawaban dari ibunya, “Mengapa ia harus meminta maaf?”. Namun, berulangkali pula
ibunya memaksanya untuk meminta maaf. Akhirnya, anak laki-laki itu menyerah dan
segera meminta maaf pada ibunya, “Ibu, saya minta maaf. Sekalipun saya tidak
mengetahui apa kesalahan yang baru saya lakukan pada ibu!”. Tidak lama
kemudian, ibunya langsung berubah sikap, dengan lembut ibunya pun berkata,
“Anakku, itulah yang harus kau lakukan pada istrimu nanti ketika rumah tangga
kalian sedang ada permasalahan! Sebagai laki-laki, engkau tidak perlu mencari
alasan mengapa kau harus meminta maaf pada istrimu! Ibu sudah lebih dahulu
menjadi seorang istri selama hampir 30 tahun, dan ibu tidak ingin istrimu nanti
merasakan kepahitan seperti yang ibu rasakan selama berumahtangga”. Setelah
menikah, anak laki-laki itu memang harus menghadapi saat-saat di mana terjadi ketidakcocokkan
dengan istrinya. Persoalan yang sangat sepele sekalipun bisa menjadi sumber
percecokkan dalam rumah tangga mereka. Dan, sebagaimana nasehat dari ibunya
sebelum menikah, anak laki-laki itu pun meminta maaf pada istrinya. Hal ini
berlangsung setidaknya sampai usia pernikahan delapan tahun, karena setelahnya
anak laki-laki itu merasa kesabarannya sudah habis. Ia kemudian membalikkan
tuduhan istrinya lalu memojokkan istrinya sebagai seorang yang bersalah. Karena
sudah sangat rumit situasinya, istrinya pun mengajukan surat cerai. Anak
laki-laki yang telah menjadi seorang bapak atas anak-anak yang tengah bertumbuh
pun menjadi sangat bingung. Ia sangat mencintai istri dan anak-anaknya.
Sehingga, ia memohon maaf pada istrinya dan memintanya agar tetap tinggal. Istrinya
pun mengabulkan permintaan suaminya itu, karena ia pun masih mencintai
suaminya. Setelah badai rumah tangga itu berlalu, anak laki-laki itu kemudian
menjumpai ibunya kembali dan sambil berlutut di kaki ibunya ia pun berkata, “Syukur
aku masih mengingat nasehat ibu, dan aku berterima kasih untuk peringatan yang
sangat bermanfaat bagiku dan bagi keluarga kecilku”.
Ibu, Bapak, dan Jemaat
yang dikasihi oleh Tuhan!
Sama seperti cerita di
atas, demikianlah pula nas kita pada saat ini, yaitu Tuhan melalui visi Yesaya
telah memperingatkan bangsa Israel bahwa nantinya mereka akan dihukum oleh
Tuhan, tetapi kasih setia Tuhan tetap tinggal pada mereka yang masih beribadah
kepada Tuhan. Dan, atas peringatan itu, Israel layak bersyukur kepada Allah
yang masih menjaga Israel. Memang, bila kita memerhatikan cerita di dalam
Alkitab, kita akan menemukan bahwa Israel akan dibuang ke Babel, tapi segera dibawa-Nya
kembali mereka sebagaimana janji-Nya. Inilah yang tengah dinantikan bangsa
Israel yaitu hari Tuhan yang menyelamatkan mereka di kala mereka akan
menghadapi penderitaan yang sudah menanti. Mengacu pada nas kita saat ini, pembahasan
kita merupakan bagian pertama dari kitab Yesaya (Protoyesaya), di mana
konteksnya bangsa Israel belum dalam pembuangan. Atas nubuatan keselamatan
setelah melewati serangkaian penderitaan, Yesaya mengucap syukur kepada Allah
melalui puji-pujiannya, di mana isi pujiannya merupakan tema minggu kita pada
saat ini. Ucapan syukur Yesaya atas keselamatan itu dibuka Yesaya dengan
kalimat, “Aku mau bersyukur kepada-Mu ya
Tuhan, karena sungguhpun Engkau telah murka terhadap aku, tetapi murka-Mu telah
surut dan Engkau menghiburku”. Kemudian disambung dengan pengakuan bahwa
“Allah adalah kesalamatan, sebab Allah adalah kekuatan dan mazmur”(ay.2). Pengakuan
iman ini sangat unik karena keselamatan yang diberikan oleh Allah tidak lepas
dari penghayatan mereka akan kekuatan yang diberikan Tuhan atas bangsa itu. Kekuatan
di nas ini dapat kita pahami dengan cara Tuhan menjaga bangsa Israel, sekalipun
berada di tengah penderitaan mereka masih dapat bertahan, seperti saat keluar
dari perbudakan di tanah Mesir. Dengan kekuatan itu pula mereka bermazmur bagi
Tuhan. Kata mazmur sendiri aslinya berasal dari kata ibrani sefer tehillim, yang secara gramatikal
sangat dekat dengan kata haleluya. Per definisi, Mazmur dapat dipahami sebagai
respons manusia terhadap Allah di tengah berbagai situasi, baik suka maupun
duka. Jadi, ketika dikatakan Allah adalah mazmurku, hal ini ingin menyiratkan
bahwa Allah tetap menjadi Allah yang ada di tengah suka dan duka. Dari
penjabaran ini, kita dapat menarik satu benang merah, yaitu keselamatan Israel dinyatakan
dalam penyertaan Tuhan lewat penguatan yang diberikan di tengah respons mereka di
berbagai situasi hidup. Atas dasar itulah, kita dapat memuji Tuhan yang memberikan
penguatan akan keselamatan bagi kita. Hal
berikutnya adalah bagaimana Yesaya mengajak agar umat percaya menceritakan
pekerjaan besar Allah yang akan telah menyelamatkan Israel (ay.4). Janji
keselamatan Allah itu digambarkan dengan mata air keselamatan (ay.3). Suatu
harapan yang menjamin orang percaya bahwa tidak selamanya murka Allah
ditimpakan atas kita melalui penderitaan, karena kasih Allah lebih besar dan
itulah yang membuat umat percaya merasakan sukacita yang besar. Mereka tidak
akan haus dalam penderitaan, karena Tuhan akan melegakan mereka dengan
perbuatan-Nya yang besar. Dengan menyampaikan kesaksian pekerjaan Allah yang
besar, itu merupakan pujian kita kepada Allah atas rancangan-Nya yang indah
dalam suka-duka kehidupan. Juga seperti Sion, yang adalah bukit di mana Tuhan
berada, serta menjadi kota benteng Israel. Sion telah menjadi tanda keperkasaan
umat percaya, karena di situ keselamatan dinyatakan Tuhan. Umat percaya yang
dikiaskan sebagai penduduk Sion tentu harus menyambut keberadaan Allah di
tengah-tengah persekutuannya. Mereka tidak akan mungkin dikalahkan lagi karena
Allah ada di tengah-tengah mereka
Ibu, Bapak, dan Jemaat
yang dikasihi oleh Tuhan Yesus Kristus!
Dari penjabaran nas di
atas, serta memerhatikan tema kita pada saat ini, maka ada dua hal yang dapat
kita refleksikan pada Minggu Advent-III pada saat ini.
Pertama, persoalan alasan
bermazmur. Alasan kita memuji (bermazmur) bagi Tuhan adalah karena Dia itu
keselamatan. Sebagai umat percaya, kita tentu bersyukur bahwa di tengah
ketidakpastian dalam hidup, kita meyakini ada hal yang pasti bahwa kedatangan
Tuhan yang membawa keselamatan itu pasti akan terjadi. Umat Kristen memercayai
bahwa Yesus adalah Juruselamat yang dikirimkan oleh Allah di dunia ini untuk
memberikan keselamatan. Dengan memperdamaikan manusia dari dosa, manusia
kembali dipersekutukan dengan Allah. Inilah yang patut kita syukuri dalam
pujian kita kepada Allah. Belajar dari bagaimana menantikan kedatangan Tuhan pertama
kali di dunia, begitu pula kita juga saat ini tengah menantikan kedatangan
Tuhan kali keduanya. Ada beberapa pendekatan dalam menantikan hari kedatangan
Tuhan kedua kali sebagai sumber keselamatan itu. Ada yang memaknainya sebagai
hari kiamat. Ada pula yang memahami hari Tuhan itu datang dalam hari kematian
kita, di mana tugas kita sudah selesai di dunia ini dan Tuhan datang menjemput
kita dalam keabadian. Serta, banyak penjelasan tentang hari Tuhan yang beredar
di kalangan umat Kristen. Apapun pemahaman yang beredar itu, yang jelas ketika
menanti kedatangan hari Tuhan itu, kita harus sudah memiliki dasar yang pasti
bahwa Allah adalah keselamatan. Dari situlah kemudian kita memuji Tuhan melalui
hidup kita sampai hari Tuhan itu datang kembali.
Kedua, jikalau kita sudah
memiliki dasar mengapa kita harus bermazmur bagi Tuhan di kala menantikan
kedatangan-Nya, kita kemudian diperhadapkan dengan pertanyaan bagaimana cara
kita bermazmur bagi Tuhan dalam penantian itu? Belajar dari nas kita saat ini, kita
mendapatkan dua cara bermazmur dalam penantian akan kedatangan hari Tuhan yang
penuh keselamatan itu. Yang pertama, kita dapat bermazmur melalui kesaksian
kita akan perbuatan besar Tuhan atas hidup kita. Tuhan bekerja atas diri manusia
dengan berbagai cara yang unik. Masing-masing tidak sama. Ada orang percaya
yang disapa Tuhan melalui peristiwa yang membahagiakan tetapi ada juga melalui
peristiwa yang menyedihkan. Ada juga yang disapa oleh Tuhan melalui situasi
ketidakadilan yang terjadi. Banyak cara Tuhan menyapa umat percaya. Ketika
penderitaan datang sebagai sapaan Tuhan bagi umat percaya, pada batas apa kita
dapat mengaku Tuhan adalah keselamatan kita? Mungkin ketika kita sedang dilanda
sakit penyakit yang kronis, atau kepedihan karena kepergiaan orang yang kita
kasihi selamanya dari tengah dunia, atau juga kemelaratan hidup di
tengah-tengah dunia karena ketidakadilan ekonomi, bahkan ketidaktenangan
menjalani hidup yang disebabkan rasa cemas berlebih. Dari banyak penderitaan yang
mengambil banyak bentuk dalam hidup itu datang, sebagai umat percaya, kita
tentu harus sudah yakin bahwa kita akan telah dikuatkan oleh Tuhan dalam
menghadapinya. Namun, ketika harus bersedih, menangis, kecewa, hal itu silakan
kita lakukan. Akan tetapi, kita harus membatasi diri dalam bersedih, menangis,
dan kecewa. Kita harus meyakini secara sungguh bahwa kita dikuatkan oleh
janji-Nya kalau Dia tidak meninggalkan kita sendiri. Sebagaimana bangsa Israel
di masa Yesaya akan dihiburkan di tengah pembuangan dan dibawa kembali pulang,
begitu pula kita sebagai umat percaya akan dihiburkan di tengah penderitaan
kita dan kehidupan kita segera dipulihkan dengan pekerjaan Tuhan yang besar.
Bagaimana proses yang kita alami sewaktu Tuhan memulihkan dan menghiburkan
itulah yang kita saksikan sebagai pekerjaan Tuhan yang besar atas hidup kita. Sikap
hidup dan teladan iman yang baik yang kita tunjukkan kala menghadapi
penderitaan, sesungguhnya itu merupakan satu kesaksian kita yang hidup, walau
tanpa harus diceritakan. Seperti yang dikatakan Paus Fransiskus, “Kabarkanlah
Injil bila hanya perlu dengan kata-kata”, artinya kesaksian yang hidup akan
pekerjaan besar Tuhan nyata dalam kehidupan keseharian kita. Dengan demikian, ketika
kita menghadapinya dengan iman yang teguh serta tidak ada kata-kata hujatan
yang keluar dari mulut kita, sesungguhnya kita tengah bermazmur kepada Allah,
sekaligus menyampaikan kesaksian kita pada seluruh manusia. Selanjutnya, sorak-sorai
dan seruan penduduk Sion, pada masa kini dapat kita pahami dengan keoptimisan
umat percaya menjalani kehidupan dengan rasa terima kasih kita kepada Tuhan
yang hadir di tengah hidup, sebagaimana Dia yang hadir di antara penduduk Sion.
Rasa terima kasih atas keyakinan Tuhan selalu ada di tengah kehidupan umat
percaya itu terlihat dari bagaimana umat percaya menyatakan penyembahan dan
persembahannya kepada Tuhan. Apakah ia menyembah dan membawa persembahan pada
Tuhannya melalui ibadahnya, doanya, nyanyiannya, persembahannya, rasa
syukurnya, tubuhnya, dan hidupnya? Kebulatan tekad menyembah dan bersembah
kepada Tuhan sesungguhnya juga merupakan bentuk bermazmur bagi Tuhan yang
adalah keselamatan itu.
Ibu, Bapak, dan Jemaat
yang dikasihi oleh Tuhan!
Inilah firman Tuhan pada
saat ini. Biarlah di Minggu Advent-III ini, kita semakin merenungkan bagaimana kita
bermazmur kepada Tuhan dalam penantian akan kedatangan-Nya kembali. Biarlah
firman Tuhan ini tidak lalu begitu saja, tetapi dapat menjadi suatu refleksi
yang dihayati dalam menyambut Dia yang akan datang. Tuhan memberkati! Amin.