Senin, 23 November 2015

Khusus Dewasa: Tips Mengajar Sekolah Minggu bagi Guru Sekolah Minggu Laki-Laki


GSM GKPI JKJK 
Tulisan ini digagasi dari diskusiku dengan salah seorang Guru Sekolah Minggu (GSM) laki-laki saat kelas persiapan Sekolah Minggu (SM) beberapa hari lalu. Ia baru saja bergabung menjadi GSM di gerejanya. Ketika melakukan microteaching depan kelas, ia terlihat begitu gugup dan kacau. Sehingga, ia memberikan pertanyaan padaku sesaat setelah  microteaching-nya dievaluasi rekan-rekan GSM lain; “Bang, bagaimana caranya agar dapat menjelaskan cerita sekolah minggu dengan baik pada Anak Sekolah Minggu (ASM)?”.
Diskusi yang dikembangkan oleh GSM laki-laki
Sebagai orang yang dipercayakan untuk memimpin kelas persiapan GSM di gereja ini, aku memang menggunakan beberapa pendekatan belajar di dalam kelas persiapan. Aku ingin kelas persiapan SM menjadi laboratorium pelayanan Kategorial Sekolah Minggu. Aku membuka pembelajaran dengan memberikan topik diskusi bagi para GSM, yaitu: hal apa yang menarik perhatian mereka terkait nas maupun buku panduan? sesuatu yang sukar dipahami? sesuatu yang menjadi bahan pertanyaan? hal yang tidak logis? sampai sesuatu yang sangat kuat maknanya? Tujuannya tidak lain untuk membangkitkan daya analistis dari para GSM. Lalu, aku mencoba menghimpun hal-hal yang ditemukan para GSM itu untuk “menjahit”-nya dalam penjabaran teologis. Setelah konstruksi teologinya utuh, kemudian hal berikutnya adalah menurunkannya menjadi suatu sajian refleksi-aplikasi bagi para GSM. Prinsipnya, bagaimana mungkin para GSM dapat menceritakan nas firman Tuhan pada ASM sedangkan GSM sendiri tidak mengerti, tidak tersentuh, dan tidak hidup di dalam firman Tuhan itu? Lalu, tugas berikutnya semakin rumit, yaitu menurunkan sajian refleksi-aplikasi dari tingkat pemahaman GSM ke pemahaman ASM. Di sini, aku mencoba untuk mengembangkan semua kemampuanku yang sudah kupelajari di bangku akademik dibantu pengalaman serta wawasan dari para GSM. Hasilnya, aku sendiri terkadang merasa takjub akan kolaborasi yang boleh kami lakukan. Langkah terakhir adalah melakukan ujicoba mengajar melalui microteaching di kelas. 
Proses Micro Teaching saat Kelas Persiapan Sekolah Minggu

GSM tiap minggunya ditentukan siapa yang akan maju di depan kelas untuk mempraktekkan cara mengajar. Tujuannya agar para GSM memiliki kesiapan setidaknya 60% menjelang hari minggu besok. Karena kami melakukan persiapan di hari Kamis, tentu para GSM memiliki beberapa hari untuk menyempurnakan bahan, materi, dan metode mengajar mereka secara pribadi sampai tiba waktu mengajar di hari minggu.
Tak ada perlakukan spesial yang kuberikan baik bagi GSM senior maupun GSM yang baru bergabung. Mereka sama-sama diberi kesempatan untuk melakukan microteaching dan saling memberi evaluasi pada temannya yang melakukan microteaching. Evaluasi di sini bukanlah sarana untuk saling menjatuhkan. Tapi, suatu kesempatan untuk saling memperkaya antarguru sekolah minggu. Microteaching dilakukan per kelas, yaitu kelas kecil, tengah, dan besar. Artinya, ada tiga GSM tiap minggunya melakukan microteaching. Ada hal menarik yang kutemukan setelah selama microteaching, yaitu: pertama, GSM senior sekalipun bisa tampil berantakan seperti GSM yang baru bergabung; kedua, terlihat metode para GSM dalam mengajar sangat terbatas dan terkesan asal mengajar saja; terakhir, GSM sering lalai dalam memilih diksi saat bercerita dan metode mengajar apa yang tepat jika memerhatikan usia ASM.
Kembali ke topik awal kita, pertanyaan dari seorang GSM laki-laki yang baru bergabung, “Bang, bagaimana caranya agar dapat menjelaskan cerita sekolah minggu dengan baik pada Anak Sekolah Minggu (ASM)?”. Hasil evaluasi memang menunjukkan kalau ia sangat kacau dalam delivery; baik itu pemilihan diksi, menekan demam panggung, dan mengatur tempo serta dinamika suaranya. Begitu pula, sistematika ceritanya yang sering gagal membangun konstruksi logika berpikir anak-anak dan orang dewasa karena sering menggunakan kalimat yang berulang-ulang dan kalimat tidak efektik. Adapun aku, aku sangat bergumul untuk menjawabnya. Karena, aku merasakan kerinduan untuk memperbaiki diri yang kuat di dalam dirinya yang baru saja gagal di microteaching. Dalam menjawab pertanyaannya, aku menggunakan pengalaman pribadiku karena aku yakin tidak ada cara memberi nasehat pada seseorang sebaik berbagi pengalaman. Aku secara terbuka mengatakan sekalipun sudah 8 tahun memimpin khotbah/mengajar, baik itu di kategorial orang dewasa maupun ibadah anak-anak, aku sendiri masih merasa gugup. Dan, kegugupanku saat ini tidak berbeda dengan pertama kali aku tampil. Jadi, bagiku, kegugupan itu adalah hal yang wajar. Semua orang pasti merasakannya, bahkan mereka yang disebut sebagai profesional sekalipun. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara menekan rasa gugup itu? Bagaimana berkhotbah/mengajar yang baik? Secara pribadi, ada beberapa tipsku untuk menyampaikan berkhotbah/mengajar, baik di kalangan orang dewasa maupun kalangan anak-anak. Dan, tipsku itu kutemukan dari pengalamanku ketika mendekati seorang perempuan yang kucintai. Aku tidak tahu apakah aku keliru dengan menyamakan mengajar/khotbah dengan cara seorang laki-laki menjalin komunikasi dengan perempuan yang dicintainya bahkan mengungkapkan perasaannya.  Ada pun tips dariku yang mungkin terdengar aneh, yaitu:
 Pertama, jika seorang laki-laki hendak mendekati perempuan yang dicintainya, ia harus berjuang mendapatkan sebanyak-banyak informasi tentang perempuan yang dicintainya itu. Entah itu lewat teman dekatnya, atau memata-matainya di jejaring sosial, bagaimana pun carany!. Informasi itu haruslah dapat dipertanggungjawabkan keakurasiannya, karena kalau salah mendapatkan informasi maka peluangnya mendapatkan perempuan yang dicintai besar kemungkinan akan hilang. Begitu pula dalam mengajar dan berkhotbah, informasi di dalam khotbah/mengajar harus dapat dipertanggungjawabkan sumbernya. Sebelumnya, kita perlu juga menyadari bahwa pelayanan firman di kalangan dewasa maupun di kalangan anak-anak merupakan hal yang sama, yaitu memberi suatu bentuk pengajaran di depan umum. Dari kesadaran akan mengajar di depan umum itu, tentu ada hal yang harus dipersiapkan secara serius. Mengapa? Karena, jangan sampai yang mengajar malah sesungguhnya menjadi seorang yang harus belajar dari yang diajari. Untuk itu, pertanggungjawaban materi mengajar/khotbah harus diperhatikan saksama. Bahan yang digunakan untuk materi harus diperhatikan sumbernya. Internet memang banyak menawarkan sumber informasi dan pengetahuan, tapi tak jarang isinya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai seorang yang sering menyampaikan firman Tuhan, baik lewat pengajaran maupun khotbah, aku bukannya tidak sering menggunakan internet. Tapi, internet hanya sebagai sumber sekunder. Materi yang hendak ingin kukembangkan adalah materi yang benar-benar kukuasai dan bahan-bahannya sudah ada dalam buku-buku yang pernah kubaca. Sehingga, internet dijadikan sebagai informasi pembanding dari bahan yang telah kugodok menjadi materi utama. Apakah ada informasi lain yang tidak kudapat atau terlewatkan olehku. Dengan demikian, sebagai seorang pengajar/pengkhotbah, aku memiliki materi yang kukuasai dan dapat dipertanggungjawabkan informasinya.
Kedua, setelah mendapatkan informasi tentang perempuan yang dicintainya, laki-laki itu harus membangun komunikasi dengan perempuan itu. Tentu, tidak semua informasi yang didapatkan dijadikan bahan komunikasi. Mengapa? Karena, perempuan itu bisa menjadi tidak nyawan. Atau, bisa jadi, bahan informasi yang digunakan itu tidak tepat untuk situasi perempuan yang dicintainya saat itu. Misalnya, ada informasi kalau perempuan yang dicintainya itu senang makan es krim, tapi saat ini ia tidak makan es krim karena lagi ikut program diet. Bisa dibayangkan apa yang terjadi kalau laki-laki itu cerita tentang es krim pada perempuan yang dicintainya yang tengah menjalani program diet? Perempuan yang dicintainya itu tentu akan menjadi sangat tidak suka. Dengan demikian, hal yang harus diperhatikan kemudian baik dalam mendekati seorang perempuan dan berkhotbah/mengajar adalah pemilihan materi apa yang sebaiknya disampaikan. Mengapa? Karena, selain penguasaan materi berdasarkan bahan yang dapat dipertanggungjawabkan, kita sebagai pengajar/pengkhotbah juga harus memerhatikan saksama situasi dari pendengar khotbah/pengajaran kita. Kondisi sosial apa yang tengah berkembang di tengah pendengar? Sebagai lanjutan pertanyaan bagaimana latar belakang sosial, antropologis, psikologis dari pendengar khotbah/pengajaran? Pemilihan materi pembicaraan yang tepat akan menarik perhatian orang yang sedang kepadanya kita bercerita. Mereka tidak akan pernah bosan mendengar cerita saat itu.

Salah Seorang GSM Laki-Laki yang Baru di GKPI JKJK
Ketiga, untuk mendukung komunikasi yang  berkualitas dengan perempuan yang dicintainya, laki-laki itu tentu harus memiliki metode pendekatan apa dalam komunikasi, di mana di dalamnya juga berbicara tentang media. Laki-laki itu harus memastikan ia memulai komunikasi dengan media apa? Apakah pesan singkat (SMS)? Twitter? Facebook? BBM? Path? Instagram? Atau, mengajak bertemu langsung berdua? Tentu, perempuan yang dicintainya harus merasa nyaman terlebih dahulu dengan media komunikasi, karena kalau tidak pembicaraan akan segera berakhir dan meninggalkan kesan yang kurang baik. Dan, peluang mendapatkan kesempatan atau perhatian dari perempuan yang dicintai akan semakin mengecil. Begitu pula dalam mengajar/berkhotbah, metode dan media menjadi unsur yang penting. Metode apa yang akan digunakan dalam mengajar/berkhotbah? Story telling? Diskusi? Role Play? atau yang lainnya? Begitu pula medianya. Apakah menggunakan media bercerita dengan menarik? Video clip? Alat peraga? Boneka Panggung? Atau yang lainnya? Penggunaan metode dan media yang tepat menjadi nilai yang sangat krusial bagi seorang pengajar/pengkhotbah. Jika berhasil memilih metode dan media yang tepat, maka pendengar akan dengan mudah terfokus pikirannya pada pengkhotbah/pengajar, yang seolah mengatakan, “Ayo dengarkan aku! Perhatikan aku!”
Terakhir, lakukanlah! Seorang laki-laki tentu pada akhirnya harus berkomunikasi dengan perempuan yang dicintainya. Setiap persiapan dan pendekatan yang telah dilakukan dengan matang dapat digunakan dalam membangun komunikasi.  Persoalan utama dalam tahap terakhir ini adalah mental yang kuat. Contohnya, sebagai seorang laki-laki, aku adalah tipe laki-laki yang buruk dalam berkomunikasi maupun mengungkapkan perasaanku. Aku tidak berani untuk memulai komunikasi dengan perempuan yang kucintai, bahkan menatap matanya saja pun aku tidak berani. Tapi, aku harus memiliki mental yang kuat untuk mengatasinya. Aku tidak akan pernah tahu hasilnya bila tidak mencoba. Ini membuatku menjadi mengubah karakter yang bukan diriku yang sebenarnya. Aku aslinya sangat susah merangkai kata untuk bercerita dengan perempuan yang kucintai. Bahkan, terkesan sangat parah. Tapi, aku mau tidak mau harus melakukannya. Begitu pula saat mengajar/berkhotbah, walaupun kita bukanlah seorang yang suka bercerita, mau tidak mau dalam pengajaran/khotbah, kita harus bercerita. Tidak ada pilihan lain! Memang hal itu akan menjadikan diri kita bukan diri kita yang sebenarnya. Namun, ia tidak bisa dihindari. Aku jadi teringat dengan seorang teolog PAK yang terkenal dengan buku Seri Selamat-nya, Andar Ismail. Aku selalu bertemu dengan beliau tiap hari Rabu dan Jumaat saat aku bekerja sebagai editor di toko buku BPK Gunung Mulia, Jakarta. Ia adalah seorang yang kaku, pendiam, dan cenderung seperti sombong. Sangat berbeda dengan Andar Ismail yang ada di buku Seri Selamat, yang ceria, penuh cerita, lucu, dan tidak jarang menungkapkan hal-hal yang konyol. Aku menjadi sadar mengapa banyak respons yang mengatakan Andar Ismail itu di dunia nyata tidak seperti di dunia tulisannya? Terkadang, ada kalanya kita memang harus menjadi bukan diri kita sendiri . Begitu pula dengan orang yang jatuh cinta, pengkhotbah, dan pengajar, mereka sering menjadi bukan diri mereka sendiri. Hal itu masih dalam tahap wajar jika mereka masih dapat menyadari perbedaan itu. Yang berbahaya adalah saat seseorang tidak menyadari ada kepribadian ganda dalam dirinya.
Dari sedemikian jauh tips yang dibagikan, mungkin ada di antara kita yang berkomentar bahwa aku terlalu gila menyamakan cara berkhotbah/mengajar dengan cara seorang laki-laki berkomunikasi dengan perempuan yang dicintainya. Aku tidak ingin berdebat dengan mereka yang memandangku demikian. Mengapa? Karena, ada kalanya hal spiritual ini didekati dengan cara percintaan. Seperti, kitab Kidung Agung sebagai contohnya. Walaupun kitab itu jarang digunakan dalam berbagai ibadah, tapi bukan berarti kitab itu bukan bagian dari Alkitab/firman Tuhan. Akhirnya, semoga tips ini bermanfaat bagi para GSM laki-laki. Tuhan memberkati!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar