Ibu,
Bapak, dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan Yesus!
Dalam
berbagai pernikahan, burung merpati sering digunakan sebagai lambang
pernikahan. Mengapa demikian?
Mungkin, mereka yang menikah itu berharap cinta mereka sedikit banyaknya seperti
pasangan burung merpati yang hidup bahagia. Burung merpati sebagaimana yang umumnya kita ketahui merupakan burung
yang tidak pernah mendua hati. Di saat musim kawin, burung merpati tinggal di
sarang bersama pasangannya. Pasangan burung merpati hanya satu seumur hidupnya.
Oleh karena itu, ketika burung merpati harus terbang jauh mencari makanan, ia
pasti akan tahu jalan pulang karena ia ingat di mana ia harus tinggal dengan
pasangannya yang telah menantinya. Ketika berada di sarang, mereka saling
memberikan pujian. Jika yang satu bernyanyi, maka pasangan merpati itu
tertunduk malu untuk mendengarkannya. Saat membuat sarang pun mereka bekerja
sama dengan sangat baik. Mereka saling bergantian membawa ranting untuk
anak-anaknya. Apabila merpati betina sedang mengerami, maka merpati jantan
menjaga di luar kandang manatahu ada bahaya. Saat merpati betina kelelahan
mengerami, maka merpati jantan gantian mengerami. Mereka tidak pernah saling
melempar pekarjaan. Dan, satu hal lagi yang menarik, burung merpati tidak
memiliki empedu. Hal itu melambangkan merpati tidak menyimpan hal-hal yang
pahit dalam hidupnya, sebagaimana rasa empedu adalah pahit. Inilah yang mungkin
membuat mereka menjadi lambang pasangan berbahagia.
Ibu,
Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan!
Sebagaimana
Tuhan menciptakan pasangan merpati yang berbahagia, tentu sepasang manusia yang
bersatu dalam pernikahan kudus diciptakan untuk berbahagia pula. Jikalau
demikian, mengapa harus ada perceraian? Adapun faktor-faktor yang menyebabkan
perceraian yang sering kita dengar adalah mungkin karena perselingkuhan, tidak
memiliki keturunan, tidak mendapatkan anak laki-laki, tidak sejalan, kebosanan,
dan alasan lainnya. Oleh karena itu, bagaimana pandangan Kekristenan tentang
perceraian? Bolehkah pasangan Kristen yang telah menikah bercerai?
Konsep
perceraian dalam Kekristenan muncul ketika Yesus ditanyai oleh orang Farisi
tentang hukum cerai dalam konsep Yahudi. Sebagaimana kita mengetahui, orang
Farisi merupakan bagian kecil dari kumpulan Yahudi yang menjunjung tinggi
Taurat. Kata Farisi sendiri berasal dari bahasa Ibrani, Prushim atau Perush,
yang berarti menjelaskan atau bisa juga memisahkan. Orang Farisi menjelaskan
Taurat bagi mereka yang tidak mengerti dan orang Farisi memisahkan diri dari
komunitas ahli Taurat. Kesehariannya, orang Farisi ini aktif menjadi pengamat
Taurat dan penegak hukum yang teliti. Dalam benak orang Farisi, Allah sangat
mengasihi mereka yang taat pada hukum Taurat dan menghukum mereka yang tidak
mengindahkan Taurat. Merasa memiliki kapasitas memahami Taurat sangat mendalam,
orang Farisi ingin mencobai Yesus tentang pemahaman-Nya akan Taurat. Adapun Yesus yang
memiliki banyak pengikut yang bersimpatik dengan-Nya membuat orang Farisi kian penasaran. Banyak orang mengganggap Yesus hanya seorang rabbi (guru).
Sehingga, intelektualitas Yesus akan
Taurat harus diuji. Sekiranya daripada Yesus ditemukan kesalahan, maka mereka tidak segan melabelkan Yesus sebagai penyesat dan tidak layak menjadi guru atas banyak orang. Ketika Yesus mendapat pertanyaan,
“Apakah seorang suami boleh menceraikan istrinya?”, adapun jawaban Yesus tidak menyimpang dari sumber Taurat, yaitu Musa. Yesus mengembalikan pertanyaan
orang Farisi tentang pengetahuan mereka akan Musa, si pembawa Taurat. Ternyata, tanggapan orang
Farisi mengenai Musa dan hukum perceraian sangat tepat, yaitu: “Musa memberi
izin untuk menceraikannya (istri) dengan membuat surai cerai”. Tanggapan orang
Farisi ini tentunya diharapkan akan memojokkan Yesus, lalu Dia segera memutuskan bahwa
perceraian itu “Boleh atau Tidak?”. Di luar dugaan orang Farisi, Yesus ternyata malah menunjuk akar dari persoalan perceraian yang diaturkan Musa, yaitu “ketegaran
hati” orang Israel. Ketegaran hati yang dimaksudkan Yesus adalah bagaimana cara
hidup bangsa Israel di masa lalu yang sangat buruk, tidak menghargai kudusnya
suatu pernikahan. Lalu, Yesus menguraikan konsep pernikahan umat percaya
melalui dasar penciptaan, yaitu “seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan
ibunya, dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah
dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia”. Intinya, Yesus ingin
menegaskan kalau sepasang manusia telah bersepakat di dalam pernikahan kudus,
mereka tidak boleh mengingkarinya melalui perselingkuhan. Dengan demikian,
surat cerai tidak diperlukan. Karena, pernikahan adalah sesuatu yang diikatkan
oleh Allah yang tidak dapat dilepaskan manusia.
Ibu,
Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus!
Para murid sepertinya terlihat masih penasaran dengan jawaban Yesus atas orang
Farisi. Oleh karenanya, ketika mereka telah tiba di rumah, para murid Yesus
melanjutkan pembahasan tentang perceraian. Hal ini memperlihatkan bagaimana inisiatif seorang
murid untuk belajar dari guru-Nya begitu sangat baik. Untuk itulah, Yesus merespons
keingintahuan para murid. Yesus menjelaskan bahwa laki-laki pun akan disebut
berzina kalau ia menikah dengan perempuan lain. Begitu pula sebaliknya. Maksud
dari jawaban Yesus pada para murid sudah jelas bahwa perzinahan tidak hanya
dikenakan pada seorang perempuan saja tapi pada laki-laki juga tetap berlaku. Ini berbeda dengan pemahaman hukum yang berlaku pada saat itu di mana hukuman atas berzina hanya dikenakan pada
perempuan saja. Bandingkan dengan kisah perempuan yang ketahuan berzina. Ke
mana laki-laki yang berzina dengan perempuan itu? Memang hukum pada masa itu
sangat tidak adil. Bahkan, seorang perempuan yang baru dicurigai berbuat zina
sudah layak diadili. Mereka akan dibawa ke hadapan hakim untuk meminum air
pahit. Jika perempuan itu kepahitan atau kesakitan maka ia terbukti bersalah.
Lalu, perempuan itu dirazam pakai batu sampai mati. Kalau tidak merasa sakit
atau pahit, berarti perempuan itu tidak berzina. Hukum ini menunjukkan bahwa
hukum ini sangat diskriminatif terhadap perempuan. Sehingga, Yesus memperjelas
bahwa laki-laki juga dapat dikenakan pasal perzinahan. Yesus menggunakan anak
kecil yang dibawa kepada-Nya tapi dilarang oleh para murid untuk menggambarkan
bagaimana seharusnya umat percaya memperlakukan hukum Taurat. Bagi Yesus, cara
menyambut Kerajaan Allah bukan seperti orang Farisi yang merasa paling tahu
Taurat dan berupaya menjebak orang-orang yang dianggap tidak memahami Taurat.
Karena, sebagaimana telah dijelaskan di bagian sebelumnya, orang Farisi
menganggap Allah senang terhadap mereka yang paham dengan hukum Taurat. Namun,
Yesus menunjuk Allah senang dengan umat percaya yang menyambut Kerajaan-Nya
seperti anak kecil. Mengapa? Karena anak kecil dapat
menerima orang lain tanpa syarat. Saat bermain, anak kecil hanya mengetahui
bahwa permainan ini untuk bersenang-senang, bukan untuk kompetisi yang
mengalahkan, meniadakan, dan menggigit. Begitu pula ketika orang percaya
mengimani Allah mereka tentu memperlakukan iman mereka untuk menciptakan sukacita
bagi sesama mereka bukan sebaliknya.
Ibu,
Bapak, dan Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus!
Dari
sedemikian jauh pembahasan firman Tuhan pada saat ini, apa yang dapat kita
refleksikan serta aplikasikan di dalam kehidupan beriman kita? Saya mencatat
ada dua hal yang dapat kita refleksikan serta aplikasikan, yaitu:
1. Keluarga Kristen
tidak mengenal perceraian. Perceraian hanya dilakukan mereka yang tegar hati,
yaitu mereka yang tidak menghargai arti pernikahan. Jika mereka adalah seorang
Kristen, maka mereka menghargai pernikahan itu sebagai suatu janji kudus yang
diikatkan oleh Allah. Karenanya, ia tidak dapat diceraikan oleh manusia. Dalam
sepanjang usia pernikahan, tentu tidak selalu kebahagiaan datang mengiring.
Namun, di situlah indahnya pernikahan. Bersama-sama, sepasang anak manusia melewati ketidakbahagiaan dengan saling
menopang, mendukung, dan mendoakan. Perselisihan pendapat wajar terjadi di
dalam pernikahan. Akan tetapi, visi harus tetap sama, yaitu apa tujuan
pernikahan mereka? Tujuan pernikahan Kristen adalah mewujudkan visi Allah
terhadap manusia di bumi, yaitu membuat keteraturan di dunia ini melalui upaya
mereka dalam mengupayakan hasil bumi. Jika ada keluarga Kristen yang tidak
teratur, maka visi Allah pada manusia melalui pernikahan gagal. Sehingga,
mereka harus bergumul apakah mereka masih dapat melihat peluang untuk membangun
keteraturan itu bersama-sama lagi sekalipun harus diawali dari nol? Upaya-upaya
mencari peluang itu harus terus dilakukan sehingga perceraian dalam pernikahan
Kristen tidak terjadi. Dan, bagi mereka yang sudah ditinggal pasangannya karena
kematian, mereka dapat melanjutkan cinta kasih mereka pada pasangan mereka
dengan menjaga keturunan mereka. Karena, keturunan adalah bagian dari berkat
Allah atas pernikahan manusia.
2. Sebagai umat
percaya, kita mungkin sangat aktif membaca firman Tuhan. Namun, hal itu tidak
boleh kita jadikan sebagai kesombongan rohani. Malahan, semakin kita mengetahui
dan memahami firman Tuhan, kita semakin menunduk di hadapan Tuhan dan semakin
melayani sesama. Belajar dari apa yang disampaikan Yesus tentang anak-anak
sebagai ilustrasi menyambut Kerajaan Allah, kita harus dapat menerima orang
lain dengan baik, apa adanya, mendukung, dan mendoakan. Termasuk, di dalam
pernikahan, kita dapat menerima pasangan kita dengan kekurangan dan
kelebihannya, bukan mencari-cari kesalahan dari pasangan kita.
Kiranya,
firman Tuhan saat ini dapat menguatkan iman percaya kita kepada Allah serta
memberikan kita hikmat dalam menjalani hidup bersama pasangan kita. Amin!