Selasa, 10 April 2012

Nasib Beruntung vs Nasib Sial (Catatan Teologis)


Oleh : Theodorus Benyamin Sibarani

Suatu ketika sehabis kelas PAK (Pendidikan Agama Kristen), ada salah seorang peserta didik bertanya kepada saya, “Pak, apakah ada yang namanya nasib beruntung dan nasib sial?” Untuk menjawab pertanyaan ini, saya menggunakan cerita ilustrasi. Suatu ketika seorang pemuda dari salah satu kampung tengah bimbang atas uang yang dimilikinya. Dia bimbang apakah harus membeli tanah untuk diolah mendatangkan penghasilan lebih atau membeli seekor kuda yang gagah untuk ditunggangi dalam perjalanan yang jauh. Tetangga pemuda itu memberikan saran agar dia membeli tanah saja, untuk kehidupannya yang lebih baik di masa depan, akan tetapi pemuda itu masih bimbang karena dia ingin sekali menunggangi kuda yang gagah. Akhirnya, keputusan pemuda itu sudah bulat. Dia memutuskan untuk membeli kuda yang gagah.
Ketika dia berjalan-jalan dengan kudanya di hutan, karena merasa haus, pemuda itu merapatkan kudanya di salah satu pohon, sedangkan dia turun ke lembah untuk mencari mata air. Sepulang melepas dahaga di mata air, dia tidak menemukan kudanya di pohon yang tadi. Dengan kecewa dia pulang ke kampungnya. Para tetangga yang melihat pemuda itu kehilangan kuda, langsung mencibirnya dan berkata : “Sudah kami ingatkan sebelumnya agar kau membeli tanah. Lihat akibat yang terjadi setelah membeli kuda sial itu!” Beberapa minggu kemudian, kuda yang hilang itu datang membawa kuda-kuda liar yang ada di hutan ke rumah pemuda itu. Tetangga pemuda yang melihat hal itu mengatakan: “Betapa beruntungnya kau membeli kuda itu!”.
Selang beberapa waktu kemudian, pemuda itu jatuh dari atas kudanya, sehingga kakinya patah. Tetangga pemuda yang melihat hal itu kembali berujar, “Sudah kami katakan sebelumnya, kuda itu pembawa sial! Seharusnya kami membeli tanah pada saat itu, bukannya kuda sial ini!” Beberapa bulan kemudian datanglah pengumuman dari kerajaan, bahwa setiap pemuda yang ada di kampung itu harus mengikuti wajib militer, untuk membantu menghalau serangan dari kerajaan lain yang ingin menjajah. Hanya pemuda yang fisiknya cacat saja diizinkan tidak mengikuti wajib militer. Lalu kata tetangga pemuda itu: “Betapa beruntungnya kau oleh kuda itu”.
Kesimpulan yang bisa kita ambil dari cerita di atas adalah nasib beruntung dan sial itu adalah relatif. Ya, teori relativitas Einstein berlaku dalam hal ini, di mana objek pengamatan sangat tergantung dari subjek pengamatnya. Dalam Alkitab, Paulus mencatat suratnya kepada jemaat di Filipi, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Filipi 1 : 21). Maksud dari Paulus di sini adalah pengikut Kristus tidak pernah mengenal akan nasib sial. Kematian yang dianggap menggerikan, malah bagi Paulus adalah suatu keuntungan. Sedangkan kehidupan umat Kristen adalah Kristus. Kehidupan Kristus tidak pernah diikuti hal-hal yang bahagia. Dia lahir di kandang hewan dan mati pun dengan cara disalibkan. Tetapi bagi Paulus ini juga bukanlah suatu kesialan. Hidup Kristus ini malah yang direkomendasikan oleh Paulus kepada pengikut Yesus. Jadi adalah suatu hal yang ironis ketika ada umat Kristen yang menjalani beban hidup, menyatakan dia mahluk tersial yang pernah lahir ke dunia. Tidak jarang ada umat Kristen yang memilih mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri, dan ada juga yang berupaya lari dari kenyataan dengan cara mengkonsumsi obat-obat penenang. Tidak ada jaminan bagi umat Kristen untuk bahagia ketika mengikut Yesus, karena hal itu adalah salib kita. Ini bukanlah suatu kesialan! Beratnya beban hidup, apabila kita syukuri dengan pengorbanan Kristus, tentu akan menjadi berkat bagi kita dan orang di sekitar kita (BER_AT + K = BERKAT). Dengan demikian, apakah kita masih percaya nasib sial dan nasib beruntung?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar