Sabtu, 27 Agustus 2011
Tampakan dan Realitas (Persoalan Filsafat) - Bertrand Russell
Di dunia ini adakah pengetahuan yang begitu pasti sehingga tidak seorang pun manusia berakal dapat meragukannya? Pertanyaan ini sekilas tampak tidak terlalu sulit, namun sebenarnya merupakan pertanyaan paling sulit yang dapat ditanyakan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menganggap banyak hal sebagai sesuatu yang pasti, padahal setelah diperiksa dengan cermat ternyata penuh dengan kontradiksi dan hanya dengan pemikiran yang suntuk, kita mampu mengetahui apakah hal itu sesungguhnya sehingga kita benar-benar dapat mempercayainya.
Dalam pencarian untuk mendapat suatu kepastian, wajar jika kita mulai dari pengalaman kita sekarang ini, dan dalam beberapa hal tidak diragukan lagi bahwa pengetahuan kita berasal dari pengalaman-pengalaman tersebut. Tetapi, pertanyaan apa pun tentang apa yang kita ketahui dan pengalaman-pengalaman yang dekat kita, kemungkinan besar keliru.
Saya merasa sedang duduk di atas sebuah kursi, di belakang sebuah meja dengan bentuk tertentu, di mana di atasnya saya melihat selembar kertas dengan tulisan tangan atau tulisan cetak. Begitu memalingkan muka melalui jendela, saya melihat gedung-gedung, awan dan matahari. Saya percaya matahari berjarak kurang lebih 93 juta mil dari bumi. Saya juga percaya bahwa matahari berupa benda bulat panas yang ukurannya beberapa kali lebih besar dibandingkan bumi. Oleh karena rotasi bumi, saya percaya bahwa matahari terbit setiap paginya dan akan terus berlanjut seperti itu selama waktu yang tidak terbatas di masa yang akan datang. Saya percaya, jika orang lain masuk ke ruangan saya, mereka akan melihat kursi, meja dan kertas yang sama seperti yang saya lihat. Semuanya itu tampak begitu nyata.
Untuk memahami letak kesulitan pemahaman di atas, mari kita pusatkan perhatian pada meja itu. Dalam penglihatan mata kita, meja itu membujur, berwarna coklat dan memantulkan cahaya. Kulit kita merasakannya mulus, dingin dan keras. Jika saya mengetuknya, terdengar bunyi ketukan. Semua orang yang melihat, merasa dan mendengar tentang meja ini akan menyetujui deskripsi ini, sehingga tampak seolah-olah tidak ada kesulitan yang muncul.
Tapi coba kita amati secara seksama lagi, maka permasalahan pun muncul. Meskipun saya percaya bahwa meja itu "benar-benar" memiliki warna yang sama di seluruh permukaannya, satu bagian yang memantulkan cahaya tampak lebih terang dibandingkan bagian lainnya dan satu bagian lagi tampak lebih putih karena pantulan cahaya itu. Saya tahu bahwa jika saya bergerak, bagian yang memantulkan cahaya itu akan tampak berbeda, sehingga sebaran warna yang tampak akan berubah.Selanjutnya, jika beberapa orang memandang meja itu secara bersamaan, di antara dua orang tidak akan ada yang secara tepat melihat sebaran warna yang sama, karena tidak akan ada dua orang yang secara tepat melihatnya dengan sudut pandang yang sama pula. Setiap perubahan dalam sudut pandang, jelas membawa perubahan dalam cara cahaya dipantulkan.
Untuk tujuan-tujuan praktis, perbedaan-perbedaan ini tidaklah penting. Tetapi bagi pelukis, masalah tersebut sangatlah penting. Seorang pelukis harus belajar meninggalkan kebiasaan berpikir bahwa segala sesuatu mempunyai warna yang menurut akal sehat "benar-benar" dimiliki oleh sesuatu tersebut. Para pelukis juga harus belajar melihat segala sesuatu menurut tampakannya. Di sini kita telah mengawali salah satu dari perbedaan-perbedaan yang paling menimbulkan masalah dalam bidang filsafat, yaitu perbedaan antara "tampakan dan realitas"Kembali ke persoalan meja yang tadi, dari uraian di atas jelas tidak ada warna yang secara dominan menjadi warna "sejati" dari meja tersebut, yang ada hanya warna yang berbeda karena sudut pandang yang berbeda, dan tidak ada alasan untuk menganggap sebagian dari warna-warna ini lebih nyata dibanding yang lainnya. Dan kita tahu bahwa dari sudut pandang tertentu sekalipun, warna bisa tampak berbeda karena ada tipuan cahaya, atau bagi orang yang memakai kacamata biru, sementara di kegelapan sama sekali tidak ada warna, meskipun bagi indera peraba dan pendengar, meja itu tidak berubah.
Warna ini bukan merupakan sesuatu yang inheren berada dalam meja itu, melainkan sesuatu yang bergantung pada meja, penonton dan cara cahaya menimpa meja itu. Hal yang sama berlaku pula bagi tekstur. Dengan mata telanjang, semua orang dapat melihat urat kayu apa meja itu mulus dan datar? Jika kita mengamati dengan mikroskop, kita akan melihat kekesatan, bukit dan lembah serta segala jenis perbedaan-perbedaan yang tidak terlihat oleh mata telanjang. Manakah dari semua ini yang merupakan meja sejati?Kita biasanya tertarik untuk mengatakan bahwa yang kita lihat dengan menggunakan mikroskop adalah yang sebenarnya, namun selanjutnya pendapat itu akan cepat berubah begitu kita menggunakan mikroskop yang lebih canggih lagi. Lalu kita tidak mempercayai apa yang kita lihat dengan mempergunakan mata telanjang, mengapa pula kita harus percaya dengan apa yang kita lihat di mikroskop? Dengan demikian, sekali lagi, kita mulai hilang keyakinan dengan indera tubuh.
Bentuk meja pun tidak jauh berbeda. Kita semua terbiasa membuat penilaian tentang bentuk sejati dari suatu benda, dan kita melakukan hal ini secara tidak sadar, sehingga terbiasa berpikir bahwa kita sungguh-sungguh melihat bentuk yang sebenarnya. Tetapi sesungguhnya seperti yang kita pelajari jika kita mencoba melukis, bentuk suatu benda biasanya tampak berbeda bila dipandang dari sudut pandang yang berbeda pula.
Jika meja itu benar-benar berbentuk persegi dilihat dari segala sudut pandang, maka dia tampak memiliki dua sudut lancip dan dua sudut tumpul. Jika sisi-sisi yang berlawanan disejajarkan, sudut-sudut itu tampak bertemu pada satu titik jauh dari yang melihatnya. Jika sisi-sisi tersebut memiliki panjang yang sama, sisi yang terdekat akan tampak lebih panjang. Dalam mengamati sebuah meja, semua ini biasanya tidak diperhatikan karena pengalaman mengajarkan kita untuk membangun bentuk yang sejati dari yang kelihatan. Dan bentuk sejati ini adalah bentuk yang menarik perhatian kita sebagai orang-orang praktis. Sayangnya bentuk sejati bukanlah yang kita lihat, sehingga sekali lagi indera tubuh tampaknya tidak menyuguhkan kepada kita kebenaran tentang meja itu, melainkan hanya tampakan meja itu.
Kesulitan serupa muncul ketika kita berbicara mengenai indera peraba. Benar bahwa meja selalu membuat kita merasakan suatu sensasi kekesatan dan kita merasakan meja tersebut melawan tekanan. Tetapi sensasi yang kita rasakan sebenarnya bergantung pada seberapa keras kita menekan meja itu, begitu juga bagian tubuh mana yang kita gunakan untuk menekannya? Hal yang sama juga berlaku bagi bunyi yang ditimbulkan dengan mengetuk meja.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa meja sejati, jika memang ada, tidak sama dengan yang segera kita alami melalui indera penglihatan, peraba atau pendengaran. Meja sejati jiaka ada sama sekali tidak segera kita ketahui meskipun sudah pasti merupakan kesimpulan dari segera yang diketahui. Karena itu, dua pertanyaan paling sulit muncul sekaligus, yaitu:
1. apakah memang benar ada meja sejati itu?
2. jika ada, objek macam apakah meja itu?
Dengan ringkas sebenarnya dapat dikatakan bahwa secara langsung yang kita lihat dan rasakan selama ini hanyalah "tampakan", yang kita percaya sebagai tanda tentang "realitas" yang ada di baliknya. Tetapi, jika realitas bukan sesuatu yang terlihat, apakah realitas itu benar-benar ada? Adakah sarana untuk mengetahui realitas tersebut? Meja yang kita kenal selama ini kurang merangsang pikiran di kehidupan kita sehari-hari, telah menjadi masalah yang penuh kemungkinan-kemungkinan yang mengejutkan. Satu hal yang tidak ketahui tentang hal ini, bahwa meja tidaklah seperti yang terlihat
Di luar hal yang sederhana ini, kita memiliki kebebasan mutlak untuk membuat dugaan-dugaan. Leibniz memberitahu kita bahwa materi itu sesungguhnya adalah sekumpulan pikiran yang belum sempurna dan benda itu merupakan koloni jiwa. Jadi mengenai meja sejati, menurut Leibniz, itu pasti ada karena dia termasuk suatu komunitas jiwa. Berkeley sependapat dengan Leibniz, bahwa ada meja sejati itu, tetapi ide-ide tertentu itu ada di pikiran Tuhan. Di antara kemungkinan yang diberitahu oleh para Filsuf Idealis ini, sebenarnya menyiratkan ada keraguan bahwa tidak ada meja sejati. Filsafat jika tidak dapat menjawab pertanyaan sebagaimana yang kita harapkan, namun setidaknya mempunyai kekuatan untuk melontarkan pertanyaan yang meningkatkan daya tarik dunia, sekaligus menyingkap keanehan dan keajaiban benda-benda paling umum sekalipun dalam kehidupan sehari-hari.
Ringkasan Buku Bertrand Russell, "The Problem of Philosophy", hal 1 - 13
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar