Ketika sedang beribadah minggu di gereja, saya mendapatkan sms dari Kang Rahmat. Kang Rahmat adalah sapaan akrab dari teman kuliah saya di Program Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP UI. Nama aslinya adalah Rahmatullah. Dia meminta bantuan saya, agar diperkenankan menginap di kost-an, sampai besok kuliah. Spontan ketika membaca sms itu langsung saya balas : "Dengan senang hati". Saya sangat senang mendapatkan kabar bahwa Kang Rahmat ingin berkunjung. Bagi saya, Kang Rahmat sudah bagaikan saudara. Dia sering memberi saya motivasi dan tidak sungkan membantu saya ketika berada di dalam masalah. Kami janjian untuk bertemu di jalan Margonda-Depok, saat sore hari.
Tubuh kecil dan senyum yang khas menyambut jemputan saya. Dengan akrab Kang Rahmat memijat pundak saya, dan berkata : "Maaf merepotkan". Karena penasaran dengan kunjungan mendadak ini, ketika berada di kost-an, saya memberanikan diri bertanya maksud kedatangan Kang Rahmat di Depok pada hari Minggu. Wajar jikalau saya penasaran, karena di semester baru ini, Kang Rahmat telah menjadi salah satu abdi pemerintah di kota Banten. Seyogianya besok Senin adalah hari kerja seorang pegawai negeri. Kang Rahmat dengan ramah menjawab bahwa dia ada urusan di kampus, sehingga khusus untuk Senin besok minta izin tidak masuk kuliah dengan atasan tempat dia bekerja.
Sebenarnya saya ingin mengajak Kang Rahmat makan malam. Akan tetapi dari raut wajahnya, saya melihat dia begitu kelelahan. Saya memaklumi hal tersebut, karena jarak Banten-Depok jikalau ditempuh dengan transportasi darat secara normal berkisar antara 3-4 jam. Ketika Kang Rahmat tidur, saya pun makan malam sendirian. Keesokan harinya, ketika sedang mengaktifkan Facebook, saya melihat di pengingat hari ulang tahun, ada nama "Rahmatullah Elmusri". Sontak saya kaget dan memberikan selamat ulang tahun kepada Kang Rahmat. Dia menyambut salam saya dengan tersipu malu.
Beberapa saat kemudian kami bercerita, sampai pada diskusi mengenai peristiwa Cikeusik 13 Februari 2011. Menurut Kang Rahmat, umat Muslim di Banten khususnya di Cikeusik bukanlah masyarakat yang berperilaku destruktif. Kejadian di Cikeusik menurut Kang Rahmat telah sama-sama dipersiapkan oleh pihak Ahmadiyah dan pihak fundamental secara sengaja. Kang Rahmat enggan berkomentar jauh mengenai doktrin maupun dogma yang menjadi dasar pertempuran berdarah tersebut. Baginya ada unsur politis yang khas di belakang peristiwa ini. Kalaupun harus ditanyakan pendapatnya secara pribadi mengenai jemaah Ahmadiyah, menurut Kang Rahmat mereka adalah sesat. Dari kacamata umat Muslim memang mereka sesat, namun ditambahkan Kang Rahmat, seharusnya umat Muslim tidak perlu anarkis menanggapi isu Ahmadiyah. Kang Rahmat setuju jikalau Ahmadiyah tetap ada, asalkan jangan mengatasnamakan diri sebagai Islam. Lebih baik dipisahkan secara baik-baik.
Saya merasa salut dengan pendapat dari Kang Rahmat. Dalam kacamata saya selama ini, umat Muslim di Banten sangat fundamental. Namun, apa yang saya dengar dan saksikan hari ini begitu berbeda. Saya memberanikan diri bertanya mengenai perbedaan "sterotupe" ini. Dengan rendah hati Kang Rahmat bercerita, bahwa dia begitu meneladani sosok seorang ayah. Ayah Kang Rahmat pada masa hidupnya senang membaca sehingga wawasannya begitu luas. Itulah yang membuat terkadang pemikiran keluarga Kang Rahmat pada masa itu dianggap aneh oleh tetangga sekitar. Hal itu kemudian turun ke diri Kang Rahmat.
Agar tidak salah paham, saya meluruskan pandangan saya. Sebelum belajar teologi dan sosiologi agama, saya menganggap bahwa semua umat Muslim adalah sama fundamentalnya. Namun, saya salah. Di setiap agama pasti ada yang beraliran fundamental. Saat ini saya menganggap agama Islam adalah agama damai, karena secara etimologi, kata Islam berasal dari kata Salam yang berarti damai. Saya juga mengenal wajah Islam yang damai dari teman-teman Muslim di Jaringan Islam Liberal (JIL). Mereka (JIL) begitu santun dan mencerminkan sosok seorang Muslim yang sangat humanis dan jauh dari kekerasan bahkan label teroris. Oleh karena JIL juga, saya mengenal jauh budaya Islam yang indah dan damai. Kang Rahmat menanggapi pernyataan saya, bahwa JIL memiliki sisi positif bagi umat Islam. Namun kritik Kang Rahmat adalah ketika JIL berusaha melawan kaum fundamental Muslim akan tetapi tanpa sadar mereka melakukannya secara fundamental pula. "Tidak ada bedanya dengan kaum fundamental",terang Kang Rahmat. JIL seharusnya konsisten dengan wajah damainya seperti ideologi mereka, tambah Kang Rahmat.
Secara jujur Kang Rahmat mengatakan bahwa perbedaan bukanlah alasan untuk tidak bersahabat, tidak berteman sehingga menciptakan batasan-batasan yang sentimental. Perbedaan harus dipandang sebagai suatu keanekaragaman untuk memperindah persatuan. Segala hal tentang perbedaan harus bisa dijembatani tanpa harus mengubah keyakinan. Sebagai seorang teolog berhaluan liberal, walaupun saya merasa kurang puas dengan komitmen Kang Rahmat mengenai Ahmadiyah, namun saya sangat menyambut gembira pemikirannya yang terbuka. Hal tersebut adalah awal yang baik untuk menghapus diskriminasi dan titik tolak mendorong nilai persatuan serta kesatuan bangsa Indonesia. Sayang "kongkow" kami tidak berlangsung lama, karena saya mendapatkan kabar buruk dari Salatiga. Perhatian saya teralihkan di "handphone" selama hampir satu jam lebih. Karena sama-sama ada urusan yang mendesak, akhirnya kami berpisah di FISIP UI. Saya sangat bersyukur kepada Tuhan atas kesempatan "kongkow" bareng Kang Rahmat. Selamat Ulang Tahun ke-28, Kang Rahmat. Tetap berikan yang terbaik bagi bangsa kita ini. Semoga semua elemen bangsa ini berpikiran yang sama dengan Kang Rahmat untuk menjembatani segala perbedaan yang ada.
Rabu, 23 Maret 2011
Kamis, 03 Maret 2011
Refleksi Peristiwa Cikeusik, 6 Februari 2011 : Ahmadiyah dan Menteri Agama
Pernyataan kontroversial disampaikan Menteri Agama Republik Indonesia, Suryadharma Alie, pada tanggal 30 Agustus 2010. Menteri Agama itu menyatakan bahwa : "Harusnya Ahmadiyah dibubarkan, kalau tidak masalahnya akan terus berkembang". Dari pernyataan kontroversial itu, menurut hemat saya, telah memberikan celah bagi kaum fundamentalis untuk menciptakan masalah seperti di Cikeusik agar Ahmadiyah segera dibubarkan. Dengan pikiran kesal, dalam hati saya bertanya : "Pantaskah seorang menteri agama berkata seperti itu?"
Pertanyaan saya itu bukannya tanpa dasar. Ahmadiyah bukan pendatang baru di Indonesia. Bahkan, sebelum menteri agama di Indonesia ada, Ahmadiyah terlebih dahulu eksis. Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, ada banyak peran dari Ahmadiyah dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa ini. Banyak dari pemeluk Ahmadiyah pada masa pra-kemerdekaan Republik Indonesia bergabung di dalam badan-badan perjuangan rakyat, seperti BKR, TKR, KOWANI bahkan KNI. Lebih mencolok lagi, ketua PB.Ahmadiyah mula-mula, alm.R.Mohammad Muhyiddin, merupakan seorang pegawai tinggi di Indonesia yang aktif dalam mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Dalam perayaan Dirgahayu HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang pertama, beliau diangkat sebagai sekretaris panitia, di mana beliau juga memimpin barisan pawai dengan memegang sang saka merah putih.
Siapa juga tidak kenal dengan Wage Rudolf Supratman, pencipta lagu kebangsaan Indonesia yang seorang jemaah Ahmadiyah. Atau juga Arief Rahman Hakim yang menjadi korban pergolakan politik tahun 1960-an. Mengingat besarnya jasa para jemaah Ahmadiyah, dengan seenaknya menteri agama mengatakan membubarkan Ahmadiyah? Mari kita berpikir dengan nalar yang rasional, menteri agama ingin membubarkan suatu kepercayaan masyarakat yang memiliki banyak jasa dalam kemerdekaan bangsa Indonesia; lalu mempertahankan kelompok yang sering mengacau di bangsa Indonesia? menteri agama seperti apakah itu? Tidak adakah rasa nasionalisnya sebagai seorang anak bangsa? Lagian, lebih pantas jemaah Ahmadiyah mengatakan agar kementerian agama dibubarkan. Mengapa? karena Indonesia bukanlah negara agama! Alasan diperlukannya menteri agama untuk menjaga stabilitas kaum mayoritas hanyalah kamuflase belaka. Bandingkan di negara-negara Barat yang mayoritas beragama Kristen, apakah ada menteri agama yang mengatur stabilitas umat Kristen di negara sana? Bahkan tanpa adanya menteri agama, di negara-negara Barat sekalipun sudah ada penerimaan yang terbuka bagi agama minoritas.
Kaum fundamental di Indonesia mengklaim, bahwa Ahmadiyah telah menistakan agama Islam. Menurut hemat saya, persoalan yang terjadi antara umat Muslim dengan Ahmadiyah adalah persoalan internal agama, yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan negara. Mengapa pemerintah merasa perlu membubarkan Ahmadiyah? Hal tersebut menjadi suatu respons yang berlebihan dari pemerintah. Solusi untuk ketegangan Ahmadiyah dengan umat Muslim adalah mereka bertemu secara damai di atas meja perundingan dengan pemikiran yang jernih. Jikalau harus berpisah, maka dapat dipisahkan secara damai bukannya dengan pedang dan golok. Rasionalitas manusia memang telah buta diakibatkan oleh agama. Padahal kaum fundamental tidak tahu, jikalau agama itu rentan sekali ditunggangi oleh berbagai kepentingan,karena agama merupakan cara yang mudah untuk menarik simpatik massa. Sebaiknya pemerintah instropeksi diri terhadap kekerasan atas nama agama yang terjadi di Indonesia. Pemerintah harus terbuka mengakui bahwa peristiwa Cikeusik merupakan tanggungjawab pemerintah, karena telah memancing kesempatan untuk melakukan kekerasan oleh pernyataan menteri agamanya.
Pertanyaan saya itu bukannya tanpa dasar. Ahmadiyah bukan pendatang baru di Indonesia. Bahkan, sebelum menteri agama di Indonesia ada, Ahmadiyah terlebih dahulu eksis. Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, ada banyak peran dari Ahmadiyah dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa ini. Banyak dari pemeluk Ahmadiyah pada masa pra-kemerdekaan Republik Indonesia bergabung di dalam badan-badan perjuangan rakyat, seperti BKR, TKR, KOWANI bahkan KNI. Lebih mencolok lagi, ketua PB.Ahmadiyah mula-mula, alm.R.Mohammad Muhyiddin, merupakan seorang pegawai tinggi di Indonesia yang aktif dalam mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Dalam perayaan Dirgahayu HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang pertama, beliau diangkat sebagai sekretaris panitia, di mana beliau juga memimpin barisan pawai dengan memegang sang saka merah putih.
Siapa juga tidak kenal dengan Wage Rudolf Supratman, pencipta lagu kebangsaan Indonesia yang seorang jemaah Ahmadiyah. Atau juga Arief Rahman Hakim yang menjadi korban pergolakan politik tahun 1960-an. Mengingat besarnya jasa para jemaah Ahmadiyah, dengan seenaknya menteri agama mengatakan membubarkan Ahmadiyah? Mari kita berpikir dengan nalar yang rasional, menteri agama ingin membubarkan suatu kepercayaan masyarakat yang memiliki banyak jasa dalam kemerdekaan bangsa Indonesia; lalu mempertahankan kelompok yang sering mengacau di bangsa Indonesia? menteri agama seperti apakah itu? Tidak adakah rasa nasionalisnya sebagai seorang anak bangsa? Lagian, lebih pantas jemaah Ahmadiyah mengatakan agar kementerian agama dibubarkan. Mengapa? karena Indonesia bukanlah negara agama! Alasan diperlukannya menteri agama untuk menjaga stabilitas kaum mayoritas hanyalah kamuflase belaka. Bandingkan di negara-negara Barat yang mayoritas beragama Kristen, apakah ada menteri agama yang mengatur stabilitas umat Kristen di negara sana? Bahkan tanpa adanya menteri agama, di negara-negara Barat sekalipun sudah ada penerimaan yang terbuka bagi agama minoritas.
Kaum fundamental di Indonesia mengklaim, bahwa Ahmadiyah telah menistakan agama Islam. Menurut hemat saya, persoalan yang terjadi antara umat Muslim dengan Ahmadiyah adalah persoalan internal agama, yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan negara. Mengapa pemerintah merasa perlu membubarkan Ahmadiyah? Hal tersebut menjadi suatu respons yang berlebihan dari pemerintah. Solusi untuk ketegangan Ahmadiyah dengan umat Muslim adalah mereka bertemu secara damai di atas meja perundingan dengan pemikiran yang jernih. Jikalau harus berpisah, maka dapat dipisahkan secara damai bukannya dengan pedang dan golok. Rasionalitas manusia memang telah buta diakibatkan oleh agama. Padahal kaum fundamental tidak tahu, jikalau agama itu rentan sekali ditunggangi oleh berbagai kepentingan,karena agama merupakan cara yang mudah untuk menarik simpatik massa. Sebaiknya pemerintah instropeksi diri terhadap kekerasan atas nama agama yang terjadi di Indonesia. Pemerintah harus terbuka mengakui bahwa peristiwa Cikeusik merupakan tanggungjawab pemerintah, karena telah memancing kesempatan untuk melakukan kekerasan oleh pernyataan menteri agamanya.
Langganan:
Postingan (Atom)