Tulisan ini digagasi dari diskusiku dengan salah
seorang Guru Sekolah Minggu (GSM) laki-laki saat kelas persiapan Sekolah Minggu
(SM) beberapa hari lalu. Ia baru saja bergabung menjadi GSM di gerejanya. Ketika
melakukan microteaching depan kelas,
ia terlihat begitu gugup dan kacau. Sehingga, ia memberikan pertanyaan padaku sesaat
setelah microteaching-nya dievaluasi rekan-rekan GSM lain; “Bang, bagaimana
caranya agar dapat menjelaskan cerita sekolah minggu dengan baik pada Anak
Sekolah Minggu (ASM)?”.
Diskusi yang dikembangkan oleh GSM laki-laki |
Sebagai orang yang dipercayakan untuk
memimpin kelas persiapan GSM di gereja ini, aku memang menggunakan beberapa
pendekatan belajar di dalam kelas persiapan. Aku ingin kelas persiapan SM
menjadi laboratorium pelayanan Kategorial Sekolah Minggu. Aku membuka pembelajaran
dengan memberikan topik diskusi bagi para GSM, yaitu: hal apa yang menarik
perhatian mereka terkait nas maupun buku panduan? sesuatu yang sukar dipahami? sesuatu
yang menjadi bahan pertanyaan? hal yang tidak logis? sampai sesuatu yang sangat
kuat maknanya? Tujuannya tidak lain untuk membangkitkan daya analistis dari
para GSM. Lalu, aku mencoba menghimpun hal-hal yang ditemukan para GSM itu
untuk “menjahit”-nya dalam penjabaran teologis. Setelah konstruksi teologinya
utuh, kemudian hal berikutnya adalah menurunkannya menjadi suatu sajian
refleksi-aplikasi bagi para GSM. Prinsipnya, bagaimana mungkin para GSM dapat
menceritakan nas firman Tuhan pada ASM sedangkan GSM sendiri tidak mengerti, tidak
tersentuh, dan tidak hidup di dalam firman Tuhan itu? Lalu, tugas berikutnya
semakin rumit, yaitu menurunkan sajian refleksi-aplikasi dari tingkat pemahaman
GSM ke pemahaman ASM. Di sini, aku mencoba untuk mengembangkan semua
kemampuanku yang sudah kupelajari di bangku akademik dibantu pengalaman serta
wawasan dari para GSM. Hasilnya, aku sendiri terkadang merasa takjub akan
kolaborasi yang boleh kami lakukan. Langkah terakhir adalah melakukan ujicoba
mengajar melalui microteaching di
kelas.
Proses Micro Teaching saat Kelas Persiapan Sekolah Minggu |
GSM tiap minggunya ditentukan siapa yang akan maju di depan kelas untuk
mempraktekkan cara mengajar. Tujuannya agar para GSM memiliki kesiapan setidaknya
60% menjelang hari minggu besok. Karena kami melakukan persiapan di hari Kamis,
tentu para GSM memiliki beberapa hari untuk menyempurnakan bahan, materi, dan
metode mengajar mereka secara pribadi sampai tiba waktu mengajar di hari
minggu.
Tak ada perlakukan spesial yang kuberikan
baik bagi GSM senior maupun GSM yang baru bergabung. Mereka sama-sama diberi
kesempatan untuk melakukan microteaching
dan saling memberi evaluasi pada temannya yang melakukan microteaching. Evaluasi di sini bukanlah sarana untuk saling
menjatuhkan. Tapi, suatu kesempatan untuk saling memperkaya antarguru sekolah
minggu. Microteaching dilakukan per
kelas, yaitu kelas kecil, tengah, dan besar. Artinya, ada tiga GSM tiap
minggunya melakukan microteaching. Ada
hal menarik yang kutemukan setelah selama microteaching,
yaitu: pertama, GSM senior sekalipun bisa tampil berantakan seperti GSM yang
baru bergabung; kedua, terlihat metode para GSM dalam mengajar sangat terbatas dan
terkesan asal mengajar saja; terakhir, GSM sering lalai dalam memilih diksi
saat bercerita dan metode mengajar apa yang tepat jika memerhatikan usia ASM.
Kembali ke topik awal kita, pertanyaan dari
seorang GSM laki-laki yang baru bergabung, “Bang,
bagaimana caranya agar dapat menjelaskan cerita sekolah minggu dengan baik pada
Anak Sekolah Minggu (ASM)?”. Hasil evaluasi memang menunjukkan kalau ia
sangat kacau dalam delivery; baik itu
pemilihan diksi, menekan demam panggung, dan mengatur tempo serta dinamika
suaranya. Begitu pula, sistematika ceritanya yang sering gagal membangun
konstruksi logika berpikir anak-anak dan orang dewasa karena sering menggunakan
kalimat yang berulang-ulang dan kalimat tidak efektik. Adapun aku, aku sangat
bergumul untuk menjawabnya. Karena, aku merasakan kerinduan untuk memperbaiki
diri yang kuat di dalam dirinya yang baru saja gagal di microteaching. Dalam menjawab pertanyaannya, aku menggunakan
pengalaman pribadiku karena aku yakin tidak ada cara memberi nasehat pada
seseorang sebaik berbagi pengalaman. Aku secara terbuka mengatakan sekalipun
sudah 8 tahun memimpin khotbah/mengajar, baik itu di kategorial orang dewasa
maupun ibadah anak-anak, aku sendiri masih merasa gugup. Dan, kegugupanku saat
ini tidak berbeda dengan pertama kali aku tampil. Jadi, bagiku, kegugupan itu
adalah hal yang wajar. Semua orang pasti merasakannya, bahkan mereka yang
disebut sebagai profesional sekalipun. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana
cara menekan rasa gugup itu? Bagaimana berkhotbah/mengajar yang baik? Secara
pribadi, ada beberapa tipsku untuk menyampaikan berkhotbah/mengajar, baik di
kalangan orang dewasa maupun kalangan anak-anak. Dan, tipsku itu kutemukan dari
pengalamanku ketika mendekati seorang perempuan yang kucintai. Aku tidak tahu
apakah aku keliru dengan menyamakan mengajar/khotbah dengan cara seorang
laki-laki menjalin komunikasi dengan perempuan yang dicintainya bahkan
mengungkapkan perasaannya. Ada pun tips
dariku yang mungkin terdengar aneh, yaitu:
Pertama,
jika seorang laki-laki hendak mendekati perempuan yang dicintainya, ia harus
berjuang mendapatkan sebanyak-banyak informasi tentang perempuan yang
dicintainya itu. Entah itu lewat teman dekatnya, atau memata-matainya di
jejaring sosial, bagaimana pun carany!. Informasi itu haruslah dapat
dipertanggungjawabkan keakurasiannya, karena kalau salah mendapatkan informasi
maka peluangnya mendapatkan perempuan yang dicintai besar kemungkinan akan
hilang. Begitu pula dalam mengajar dan berkhotbah, informasi di dalam khotbah/mengajar
harus dapat dipertanggungjawabkan sumbernya. Sebelumnya, kita perlu juga menyadari
bahwa pelayanan firman di kalangan dewasa maupun di kalangan anak-anak
merupakan hal yang sama, yaitu memberi suatu bentuk pengajaran di depan umum. Dari
kesadaran akan mengajar di depan umum itu, tentu ada hal yang harus
dipersiapkan secara serius. Mengapa? Karena, jangan sampai yang mengajar malah
sesungguhnya menjadi seorang yang harus belajar dari yang diajari. Untuk itu,
pertanggungjawaban materi mengajar/khotbah harus diperhatikan saksama. Bahan
yang digunakan untuk materi harus diperhatikan sumbernya. Internet memang
banyak menawarkan sumber informasi dan pengetahuan, tapi tak jarang isinya
kurang dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai seorang yang sering menyampaikan
firman Tuhan, baik lewat pengajaran maupun khotbah, aku bukannya tidak sering
menggunakan internet. Tapi, internet hanya sebagai sumber sekunder. Materi yang
hendak ingin kukembangkan adalah materi yang benar-benar kukuasai dan
bahan-bahannya sudah ada dalam buku-buku yang pernah kubaca. Sehingga, internet
dijadikan sebagai informasi pembanding dari bahan yang telah kugodok menjadi
materi utama. Apakah ada informasi lain yang tidak kudapat atau terlewatkan
olehku. Dengan demikian, sebagai seorang pengajar/pengkhotbah, aku memiliki
materi yang kukuasai dan dapat dipertanggungjawabkan informasinya.
Kedua, setelah mendapatkan informasi tentang
perempuan yang dicintainya, laki-laki itu harus membangun komunikasi dengan
perempuan itu. Tentu, tidak semua informasi yang didapatkan dijadikan bahan
komunikasi. Mengapa? Karena, perempuan itu bisa menjadi tidak nyawan. Atau,
bisa jadi, bahan informasi yang digunakan itu tidak tepat untuk situasi
perempuan yang dicintainya saat itu. Misalnya, ada informasi kalau perempuan
yang dicintainya itu senang makan es krim, tapi saat ini ia tidak makan es krim
karena lagi ikut program diet. Bisa dibayangkan apa yang terjadi kalau
laki-laki itu cerita tentang es krim pada perempuan yang dicintainya yang
tengah menjalani program diet? Perempuan yang dicintainya itu tentu akan
menjadi sangat tidak suka. Dengan demikian, hal yang harus diperhatikan
kemudian baik dalam mendekati seorang perempuan dan berkhotbah/mengajar adalah
pemilihan materi apa yang sebaiknya disampaikan. Mengapa? Karena, selain
penguasaan materi berdasarkan bahan yang dapat dipertanggungjawabkan, kita
sebagai pengajar/pengkhotbah juga harus memerhatikan saksama situasi dari pendengar
khotbah/pengajaran kita. Kondisi sosial apa yang tengah berkembang di tengah
pendengar? Sebagai lanjutan pertanyaan bagaimana latar belakang sosial,
antropologis, psikologis dari pendengar khotbah/pengajaran? Pemilihan materi
pembicaraan yang tepat akan menarik perhatian orang yang sedang kepadanya kita
bercerita. Mereka tidak akan pernah bosan mendengar cerita saat itu.
Salah Seorang GSM Laki-Laki yang Baru di GKPI JKJK |
Ketiga, untuk mendukung komunikasi yang berkualitas dengan perempuan yang
dicintainya, laki-laki itu tentu harus memiliki metode pendekatan apa dalam
komunikasi, di mana di dalamnya juga berbicara tentang media. Laki-laki itu
harus memastikan ia memulai komunikasi dengan media apa? Apakah pesan singkat
(SMS)? Twitter? Facebook? BBM? Path? Instagram? Atau, mengajak bertemu langsung
berdua? Tentu, perempuan yang dicintainya harus merasa nyaman terlebih dahulu
dengan media komunikasi, karena kalau tidak pembicaraan akan segera berakhir
dan meninggalkan kesan yang kurang baik. Dan, peluang mendapatkan kesempatan
atau perhatian dari perempuan yang dicintai akan semakin mengecil. Begitu pula
dalam mengajar/berkhotbah, metode dan media menjadi unsur yang penting. Metode apa
yang akan digunakan dalam mengajar/berkhotbah? Story telling? Diskusi? Role
Play? atau yang lainnya? Begitu pula medianya. Apakah menggunakan media
bercerita dengan menarik? Video clip? Alat peraga? Boneka Panggung? Atau yang
lainnya? Penggunaan metode dan media yang tepat menjadi nilai yang sangat
krusial bagi seorang pengajar/pengkhotbah. Jika berhasil memilih metode dan
media yang tepat, maka pendengar akan dengan mudah terfokus pikirannya pada
pengkhotbah/pengajar, yang seolah mengatakan, “Ayo dengarkan aku! Perhatikan aku!”
Terakhir, lakukanlah! Seorang laki-laki
tentu pada akhirnya harus berkomunikasi dengan perempuan yang dicintainya. Setiap
persiapan dan pendekatan yang telah dilakukan dengan matang dapat digunakan
dalam membangun komunikasi. Persoalan utama
dalam tahap terakhir ini adalah mental yang kuat. Contohnya, sebagai seorang
laki-laki, aku adalah tipe laki-laki yang buruk dalam berkomunikasi maupun
mengungkapkan perasaanku. Aku tidak berani untuk memulai komunikasi dengan
perempuan yang kucintai, bahkan menatap matanya saja pun aku tidak berani. Tapi,
aku harus memiliki mental yang kuat untuk mengatasinya. Aku tidak akan pernah
tahu hasilnya bila tidak mencoba. Ini membuatku menjadi mengubah karakter yang
bukan diriku yang sebenarnya. Aku aslinya sangat susah merangkai kata untuk
bercerita dengan perempuan yang kucintai. Bahkan, terkesan sangat parah. Tapi,
aku mau tidak mau harus melakukannya. Begitu pula saat mengajar/berkhotbah,
walaupun kita bukanlah seorang yang suka bercerita, mau tidak mau dalam
pengajaran/khotbah, kita harus bercerita. Tidak ada pilihan lain! Memang hal
itu akan menjadikan diri kita bukan diri kita yang sebenarnya. Namun, ia tidak
bisa dihindari. Aku jadi teringat dengan seorang teolog PAK yang terkenal
dengan buku Seri Selamat-nya, Andar Ismail. Aku selalu bertemu dengan beliau
tiap hari Rabu dan Jumaat saat aku bekerja sebagai editor di toko buku BPK
Gunung Mulia, Jakarta. Ia adalah seorang yang kaku, pendiam, dan cenderung
seperti sombong. Sangat berbeda dengan Andar Ismail yang ada di buku Seri
Selamat, yang ceria, penuh cerita, lucu, dan tidak jarang menungkapkan hal-hal
yang konyol. Aku menjadi sadar mengapa banyak respons yang mengatakan Andar
Ismail itu di dunia nyata tidak seperti di dunia tulisannya? Terkadang, ada
kalanya kita memang harus menjadi bukan diri kita sendiri . Begitu pula dengan
orang yang jatuh cinta, pengkhotbah, dan pengajar, mereka sering menjadi bukan
diri mereka sendiri. Hal itu masih dalam tahap wajar jika mereka masih dapat
menyadari perbedaan itu. Yang berbahaya adalah saat seseorang tidak menyadari
ada kepribadian ganda dalam dirinya.
Dari sedemikian jauh tips yang dibagikan,
mungkin ada di antara kita yang berkomentar bahwa aku terlalu gila menyamakan
cara berkhotbah/mengajar dengan cara seorang laki-laki berkomunikasi dengan
perempuan yang dicintainya. Aku tidak ingin berdebat dengan mereka yang
memandangku demikian. Mengapa? Karena, ada kalanya hal spiritual ini didekati dengan
cara percintaan. Seperti, kitab Kidung Agung sebagai contohnya. Walaupun kitab
itu jarang digunakan dalam berbagai ibadah, tapi bukan berarti kitab itu bukan
bagian dari Alkitab/firman Tuhan. Akhirnya, semoga tips ini bermanfaat bagi
para GSM laki-laki. Tuhan memberkati!